You are on page 1of 15

CEREBRAL TOXOPLASMOSIS IN AIDS PATIENT

Clara Adrina1, Dewi Wulandari2


1Resident of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia,

Jakarta;
2Departement of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia,

Jakarta
Email: clara.adrina@yahoo.com

ABSTRACT
INTRODUCTION
Cerebral toxoplasmosis is the leading cause of expansive brain lesions in HIV/AIDS
patients. This incident can be found in approximately 5% of HIV/AIDS patients,
resulting in high morbidity and mortality rates. Brain is one of the main
predilection organs for Toxoplasma gondii infection in patients with advanced
immunodeficiency. The clinical manifestations of cerebral toxoplasmosis can vary
depending on its location, size and number of lesions; ranging from headache to
alteration of consciousness. Establishing the diagnosis of cerebral toxoplasmosis
based only on clinical symptoms is challenging, therefore it is necessary to carry
out additional investigation to support both the presumptive and definitive
diagnosis.
CASE
A 49-year-old man was admitted to adult neurology ward with complaint of
altered consciousness that worsened since 3 weeks before hospital admission with
accompanying symptom of significant weight loss. The patient was newly
diagnosed with HIV infection with absolute CD4+ T lymphocyte count of 7 cells/µL
and patient has yet received antiretroviral therapy (ARV). Head CT scan revealed
multiple intraaxial solid masses with hypodense lesions. In cerebrospinal fluid
analysis, chemical parameters abnormalities and pleocytosis were not found.
However, structures resembling bradyzoites and tachyzoites of T. gondii can be
viewed under the microscope. Although it is very difficult to encounter in real
setting, tachyzoite finding is considered as the definitive diagnosis of cerebral
toxoplasmosis. Consequently, cerebral toxoplasmosis diagnosis is often made
based on several presumptive diagnoses.
CONCLUSION
Bradyzoites and tachyzoites of T. gondii were found in cerebrospinal fluid sample
of adult male HIV/AIDS patient with symptom of gradual loss of consciousness,
thus confirming the diagnosis of cerebral toxoplasmosis. Extremely low count of
CD4+ lymphocyte is an important predisposing and prognostic factor in this
patient.
Key words: Cerebral toxoplasmosis, encephalitis toxoplasma, AIDS,
immunodeficiency
1

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PADA PASIEN AIDS


Clara Adrina1, Dewi Wulandari2
1PPDS Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta;
2Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta

Email: clara.adrina@yahoo.com

ABSTRAK
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis serebri merupakan penyebab utama lesi otak ekspansif pada
penderita infeksi HIV/AIDS. Kejadian ini dapat dijumpai pada sekitar 5% pasien
HIV/AIDS yang mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Otak
merupakan salah satu organ predileksi utama infeksi Toksoplasma gondii pada
pasien imunodefisiensi lanjut. Manifestasi klinis pada toksoplasmosis serebri
dapat beragam dan bergantung pada letak, ukuran, dan jumlah lesi; mulai dari
nyeri kepala hingga penurunan kesadaran. Oleh karena itu, penegakan diagnosis
berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan sehingga perlu melakukan pemeriksaan
penunjang untuk mendukung diagnosis baik presumtif maupun definitif.
KASUS
Seorang pria 49 tahun dirawat di ruang rawat bangsal neurologi dewasa dengan
keluhan penurunan kesadaran yang memburuk sejak 3 minggu sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) disertai kehilangan berat badan signifikan. Pasien baru
terdiagnosis infeksi HIV dengan hitung sel limfosit T CD4+ absolut 7 sel/µL dan
belum mendapat terapi antiretrovirus (ARV). Pada CT scan kepala ditemukan
massa padat intraaksial multipel disertai lesi hipodens. Pada analisis cairan
serebrospinal tidak ditemukan kelainan pada parameter kimia dan pleositosis,
namun ditemukan struktur menyerupai bradizoit dan takizoit T. gondii. Penemuan
takizoit dianggap sebagai diagnosis definitif toksoplasmosis serebri, namun pada
kenyataannya sangat sulit ditemukan. Dengan demikian, diagnosis toksoplasmosis
serebri seringkali ditegakkan berdasarkan kumpulan diagnosis presumtif.
SIMPULAN
Pada cairan otak seorang pasien pria dewasa dengan penurunan kesadaran dan
HIV/AIDS ditemukan bradizoit dan takizoit T. gondii dan membantu memastikan
diagnosis toksoplasmosis serebri. Hitung limfosit yang sangat rendah pada pasien
mendukung sebagai faktor predisposisi dan prognostik pada pasien ini.
Kata kunci: Toksoplasmosis serebri, toksoplasma ensefalitis, AIDS, imunodefisiensi
2

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI PADA PASIEN AIDS


Clara Adrina1, Dewi Wulandari2
1PPDS Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta;
2Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta

Email: clara.adrina@yahoo.com

LATAR BELAKANG
Lesi intrakranial pada HIV/AIDS kemungkinan besar didasari oleh tiga etiologi
utama, yaitu: infeksi oportunistis, neoplasma, dan penyakit serebrovaskular.
Toksoplasmosis serebri merupakan penyebab utama lesi otak ekspansif pada
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas.
Toksoplasmosis serebri merupakan infeksi oportunistis yang dijumpai pada 5%
ODHA dengan insiden 40%. Otak dianggap sebagai organ predileksi utama infeksi
Toksoplasma pada pasien imunodefisiensi lanjut.1–4
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh protozoa intraseluler
obligat Toxoplasma gondii. Pada individu imunokompeten, sering kali infeksi T.
gondii akut bersifat subklinis dan jarang sekali menimbulkan manifestasi klinis
berat. Hal ini berlawanan dengan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang mana
toksoplasmosis serebri disebabkan oleh reaktivasi dari kista laten otak dan dapat
menyebabkan komplikasi berat dan menjadi fatal jika tidak tertangani pada ODHA.
Reaktivasi ini dikaitkan dengan terganggunya kemampuan respons antiparasitik
sel T dan kegagalan dalam mengontrol parasit intraseluler yang persisten.2
TUJUAN
Penegakan diagnosis toksoplasmosis serebri berdasarkan gejala klinis sulit
dilakukan sehingga perlu melakukan pemeriksaan penunjang untuk mendukung
diagnosis baik presumtif maupun definitif.
KASUS
Anamnesis
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran bertahap sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
3

Riwayat Penyakit Sekarang


Tiga minggu SMRS pasien mengeluh mudah lelah dan cenderung lebih banyak
tidur, namun tetap bisa dibangunkan. Aktivitas sehari-hari dapat dilakukan. Pasien
mengalami penurunan nafsu makan.
Dua minggu SMRS pasien semakin banyak tidur dan lebih sulit untuk
dibangunkan. Pasien terlihat lebih lambat saat berjalan.
Satu minggu SMRS pasien lebih lambat dalam beraktivitas, tidak fokus.
Pasien sempat terjatuh, dikatakan oleh teman pasien bahwa pasien mengalami
kejang, preiktal tidak diketahui, iktal mata mendelik ke atas, kedua tangan
kelojotan, durasi 1-2 menit, postiktal pasien tidak sadarkan diri. Kurang dari lima
menit pasien sadar. Saat jatuh kepala tidak terbentur. Terdapat demam hilang
timbul, batuk kering. Pilek, mual, muntah, diare, disangkal.
Empat hari SMRS pasien mudah lupa. Terdapat tangan gemetar dan
gerakan lambat hingga tidak dapat memegang benda seperti ponsel.
Dua hari SMRS pasien tidak dapat mengontrol saat buang air kecil (BAK).
Pasien terjatuh dari tempat tidur, tidak ada benturan kepala. Terdapat cadel,
bicara pelo, air liur menetes terus-menerus.
Secara umum terdapat penurunan berat badan signifikan 1 bulan (tidak
ditimbang) namun terlihat jauh lebih kurus. Pasien meminum curcuma 1x20 mg,
parasetamol 4x500 mg, liprolac 1x1 saset, dan levofloxacin 1x500 mg atas saran
teman pasien (dokter). Pasien dirujuk ke RSCM untuk pemeriksaan CT scan.
Riwayat Penyakit Lain
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, stroke, penyakit jantung, kejang, dan
keganasan pada pasien disangkal. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
belum terapi antiretrovirus (ARV) diketahui 3 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, stroke, penyakit jantung, kejang, dan
keganasan pada keluarga pasien tidak diketahui.
4

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi


Pasien seorang pegawai bank, pembiayaan BPJS, status pernikahan duda memiliki
1 anak. Terdapat riwayat merokok dan minum alkohol, berhenti 5 tahun yang lalu.
Riwayat promiskuitas dan obat-obatan suntik tidak diketahui.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : apatis
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Laju nadi : 75x/menit
Laju napas : 20x/menit
Suhu tubuh : 36,7oC
Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : Vesikuler, ronki dan mengi negatif
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur dan gallop negatif
Abdomen : Perut datar, supel, nyeri tekan negatif
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema tidak ada
Status neurologis
GCS : E4M5V3, gangguan fungsi luhur
Pupil : bulat isokor 3mm/3mm, reaktif bilateral
Kaku kuduk : kesan kaku kuduk (pasien tidak kooperatif badan
dikakukan sehingga pemeriksaan kaku kuduk, laseque, dan
kernig tidak optimal)
N. cranialis : kesan tidak ada paresis
Motorik : kesan hemiparese sinistra
Refleks fisiologis :2|2
2|2
Refleks patologis : Babinski positif sinistra
5

Sensoris : sulit dinilai


Otonom : sulit dinilai
Pemeriksaan rontgen toraks (26 Januari 2021)
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
Pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras (27 Januari 2021)
Kesan :
- Massa padat intraaksial multipel di kapsula interna – ganglia basal kiri dan
thalamus kanan yang mencapai kapsula interna kanan crus posterior,
disertai edema vasogenik luas di sekitarnya yang menyebabkan herniasi
subfalcine ke kanan sejauh 0,7 cm
- Lesi Hipodens melibatkan korteks – subkorteks di lobus parietal kiri dan
mesenfalon sisi kiri, DD/ekstensi edema vasogenik, massa
- Tidak tampak perdarahan intrakranial
- Sinusitis frontal kiri, ethmoid, dan maksila kiri
- Hipopneumatisasi dd/mastoiditis kronis kiri
Saran : MRI kepala dengan kontras intravena
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Anti-HIV Penyaring di laboratorium RSCM (27 Januari
2021).

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Imunoserologi
(darah)
Anti HIV Penyaring
Metode-1 304.42 S/CO Non reaktif: <1.0
Reaktif Reaktif: >= 1.0
Metode-2 OD 3.905 CO 0.253
Reaktif
Metode-3 OD 20.35 CO 0.25
Reaktif
6

Tabel 2. Hasil pemeriksaan CD4 dan CD8 di laboratorium RSCM (9 Februari 2021).

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Imunologi
CD4 + CD8
CD4
Limfosit (CD45+) 348 /µL 1000 – 4000
absolut
Sel T (CD3+) persen 69 % 55 – 84
Sel T (CD3+) absolut 239 sel/µL 690 – 2540
Sel T (CD4+) persen 2% % 31 – 60
Sel T (CD4+) absolut 7 sel/µL 410 – 1590
CD8
Sel T (CD8+) persen 65 % 13 – 41
Sel T (CD8+) absolut 224 sel/µL 190 – 1140

Tabel 3. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal di laboratorium RSCM (11


Februari 2021).

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan


Makroskopik
Warna Tidak berwarna Tidak berwarna
Kejernihan Jernih Jernih
Bekuan Negatif Negatif
Mikroskopik
Hitung sel 2 sel/µL 0-20
Ditemukan kelompokan sel
dengan inti banyak
menyerupai bradizoit
Toxoplasma gondii
Ditemukan takizoit
Toxoplasma gondii
Hitung Jenis
PMN (segmen) 0 (0%) sel/µL Neonatus: 0-8%
Dewasa: 0-6%
MN (limfosit) 2 (100%) sel/µL Neonatus: 5-90%
Dewasa: 15-80%
Pewarnaan Tinta Tidak ditemukan
India Cryptococcus
Kimia
Protein cairan otak 37 mg/dL 15-45
Glukosa cairan otak 58 mg/dL 50-80
Glukosa serum 133.1 mg/dL 60-100
Klorida (Cl) 117 mEq/L 115-130
7

Gambar 1. Bradizoit T. gondii dengan Gambar 2. Takizoit T. gondii dengan


pewarnaan Wright, lapang pandang pewarnaan Wright, lapang pandang
imersi perbesaran 1000 imersi perbesaran 1000

Resume:
- Ditemukan kelompokan sel dengan inti banyak menyerupai bradizoit
Toxoplasma gondii
- Ditemukan takizoit Toxoplasma gondii
Kesan:
- Sesuai dengan infeksi Toksoplasmosis pada susunan saraf pusat
Saran:
- Serologi IgG dan IgM Anti-Toxoplasma darah
- Serologi aviditas IgG Toxoplasma
- PCR cairan serebrospinal T. gondii

PEMBAHASAN
Toksoplasmosis pada pasien HIV/AIDS sering kali bermanifestasi sebagai penyakit
ensefalitis, koriorenitis, dan pneumonitis atau infeksi menyebar, bergantung pada
status imunitas inang. Pada ensefalitis, ditemukan awitan subakut dengan gejala
8

neurologis fokal yang dikaitkan dengan demam, perubahan sensorik, dan nyeri
kepala. Lesi serebelar, subkortikal, atau kortikal dapat ditemukan pada lebih dari
50% kasus yang terinfeksi yang mengakibatkan hemiparesis, ambulatory gait, dan
kelainan berbicara. Beberapa orang dengan ensefalitis juga bisa datang dengan
gangguan neuropsikiatri seperti psikosis, demensia, kecemasan, hingga gangguan
kepribadian.5
Dari hasil anamnesis, ditemukan gambaran gangguan susunan saraf pusat
yang bersifat progresif lambat. Dari hasil laboratorium diperoleh data bahwa
pasien positif HIV dengan CD4 sangat rendah, sesuai dengan gambaran AIDS. Hal
ini sesuai sebagai faktor predisposisi infeksi toksoplasmosis susunan saraf pusat.
Gambaran radiologik massa padat intraaksial dan lesi hipodens, HIV positif dengan
CD4 sangat rendah, serta ditemukannya bradizoit dan takizoit T. gondii pada
analisis cairan serebrospinal.
Hasil pemeriksaan analisis cairan serebrospinal pada pasien tidak
didapatkan peningkatan jumlah sel dan abnormalitas pada pemeriksaan kimiawi,
namun ditemukan kelompokan sel dengan inti banyak menyerupai bradizoit
Toxoplasma gondii dan takizoit Toxoplasma gondii. Oleh karena itu, disimpulkan
sebagai toksoplasmosis pada susunan saraf pusat. Hal sesuai dengan pemeriksaan
dari publikasi sebelumnya bahwa pemeriksaan cairan serebrospinal dapat normal
meski juga dapat ditemukan adanya pleositosis mononukleus dan peningkatan
protein.2,6 Dari hasil analisis cairan serebrospinal dapat disimpulkan bahwa sesuai
dengan infeksi Toksoplasmosis pada susunan saraf pusat. Toksoplasmosis serebri
merupakan infeksi berat pada susunan saraf pusat pasien HIV/AIDS, oleh karena
itu disarankan pemeriksaan anti-HIV penyaring. Namun, apabila hasil anti-HIV
penyaring negatif, perlu dipertimbangkan kemungkinan kejadian toksoplasmosis
pada penyakit dengan imunodefisiensi lain.
Peran pemeriksaan cairan serebrospinal pada toksoplasmosis serebri
sampai saat ini belum jelas.2 Analisis cairan serebrospinal pada toksoplasmosis
sering kali tidak ditemukan kelainan yang bermakna. Beberapa kondisi dapat
9

menunjukkan adanya pleositosis mononukleus dan peningkatan protein, namun


sering kali normal. Sel eosinofil dapat dijumpai pada cairan serebrospinal pasien
dengan toksoplasmosis serebri.2,6
Pemeriksaan molekuler seperti PCR dapat menunjang pemeriksaan analisis
cairan serebrospinal. Sensitivitas deteksi DNA T. gondii pada pasien ODHA
bervariasi antara 11%-100% (~50%-60%) dengan spesifitas 96%-100%, nilai
prediksi positif 100%, dan nilai prediksi negatif 71%-92%. Meski kurang sensitif,
angka spesifisitas dan NPP yang baik dari metode ini menjadikan pemeriksaan PCR
cairan serebrospinal sebagai pilihan metode diagnosis toksoplasmosis. Terapi
antiparasit dapat menurunkan sensitivitas dari diagnosis molekuler, dan waktu
paling baik dalam mendiagnosis adalah minggu pertama infeksi. PCR juga dapat
dijadikan sebagai metode pemantauan efikasi terapi.2
Pemeriksaan PCR merupakan salah satu metode pemeriksaan penting
dalam diagnosis toksoplasmosis, namun cukup sulit karena tidak semua fasilitas
laboratorium menyediakan pemeriksaan ini. Pemeriksaan serologi secara umum
tidak berhubungan dengan diagnosis toksoplasmosis serebri, namun beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa titer yang tinggi mengindikasikan penyakit
sedang aktif atau berisiko perberatan. Pasien dengan toksoplasmosis serebri
memiliki kadar IgG anti-T. gondii yang tinggi, diikuti dengan aviditas yang tinggi.
Pada fase ini, takizoit dilepaskan dari kista inaktif, hal ini dianggap proporsional
dengan perbandingan antigen yang diekskresikan/disekresikan, menghasilkan
respons imun terhadap antigen ekskretori-sekretori (excretory-secretory
antigen/ESA). ESA merupakan mayoritas antigen yang bersirkulasi pada serum
inang dengan toksoplasmosis akut. ESA diproduksi oleh takizoit untuk
menyebarkan infeksi dan berperan dalam stimulasi respons imun seluler dan
humoral pada sel inang.7
Pada pasien dengan lesi otak yang ekspansif dan kontraindikasi dalam
pungsi lumbal, PCR T. gondii dapat menggunakan sampel darah, namun
konsentrasi DNA dalam darah dapat lebih rendah dibandingkan dengan cairan
10

serebrospinal sehingga dapat menyebabkan negatif palsu. Ukuran lesi otak


dikorelasikan dengan keparahan/beratnya penyakit, sehingga diperkirakan kadar
T. gondii dalam darah berbanding lurus dengan ukuran lesi otak dan perberatan
penyakit.2
Oleh karena pemeriksaan/identifikasi takizoit dan bradizoit secara
mikroskopik kurang sensitif serta memiliki unsur subjektivitas yang tinggi, maka
untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan PCR dengan tujuan
mendeteksi keberadaan T. gondii. Pada pasien ini, PCR T. gondii dapat dilakukan
menggunakan sampel cairan otak karena secara mikroskopik tampak struktur
yang diduga merupakan bradizoit dan takizoit, serta tidak ada kontraindikasi
pungsi lumbal.
Baku emas penegakan diagnosis definitif dari toksoplasmosis serebri
adalah dengan ditemukannya takizoit pada biopsi/nekropsi jaringan otak, namun
pemeriksaan ini sangat sulit dan tidak mampu laksana secara rutin.7,8 Metode yang
digunakan adalah biopsi otak stereotaksis sebagai standar prosedur untuk
mengidentifikasi lesi fokal otak pada ODHA. Toksoplasmosis serebri (19-20%)
merupakan diagnosis ketiga yang paling sering didapatkan dari pemeriksaan
histopatologi baik metode stereotaktik maupun metode biopsi otak terbuka pada
pasien ODHA setelah primary central nervous system lymphoma (PCNSL) (15-28%)
dan progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) (21%-22%).2
Pemeriksaan IgG dan IgM anti-Toxoplasma dan aviditas immunoglobulin
diperlukan untuk membantu memastikan diagnosis apabila fasilitas PCR T. gondii
tidak tersedia. Apabila diperoleh hasil IgG tinggi disertai aviditas yang tinggi, maka
mendukung diagnosis toksoplasmosis. Adanya IgM menunjukkan suatu infeksi
aktif yang bisa merupakan reaktivasi dari infeksi laten.
Ensefalitis akibat T. gondii merupakan infeksi oportunis tersering pada
pasien dengan HIV/AIDS yang mengalami imunosupresi. Keterlibatan susunan
saraf pusat sering kali terjadi pada CD4 <200 sel/µL dengan risiko lebih tinggi pada
pasien dengan CD4 <50 sel/µL. Selain akibat dari menurunnya kadar CD4 sel T,
11

infeksi ini juga dikaitkan dengan kegagalan produksi IL-12 dan IFN, serta
terganggunya aktivitas limfosit T sitotoksik sehingga tidak mampu merespons
infeksi T. gondii dengan baik.5 Pemeriksaan hitung limfosit T CD4 diperlukan untuk
menentukan status imun pasien. Apabila pasien terinfeksi HIV, hitung limfosit T
CD4 dalam hal ini penting untuk memprediksi prognosis pasien.
Manifestasi klinis pada toksoplasmosis serebri dapat beragam dan
bergantung pada letak dan jumlah lesi. Pemeriksaan pencitraan otak diindikasikan
untuk mengevaluasi terapi empiris pasien. Tanda dan gejala yang sering dijumpai
berupa: nyeri kepala (38-93%), defisit neurologi fokal (22-80%), demam (35-88%),
mental confusion (15-25%), kejang (19-58%), perubahan psikomotor dan perilaku
(37-42%), palsi nervus kranialis (12-28%), ataksia (2-30%) dan gangguan
penglihatan (8-19%). Selain itu, pasien dapat mengalami sindrom hipertensi
intrakranial dan pergerakan involunter. Progresivitas dari abnormalitas neurologi
dapat berujung pada kondisi stupor, koma, dan kematian. Glasgow coma scale
(GCS) 8 pada pasien dengan toksoplasmosis serebri memiliki luaran yang buruk. 2
Secara klinis, diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiologik, pemeriksaan molekuler, tes serologi, serta respons terapi. 5,7
Penegakan diagnosis presumtif radiologik toksoplasmosis serebri mengutamakan
modalitas pencitraan dari magnetic resonance imaging (MRI) dalam mengevaluasi
lesi otak karena memiliki sensitivitas lebih baik daripada computed tomography
scan (CT scan). CT scan kurang mampu mendiagnosis respons inflamasi minimal
pada tahap awal namun CT scan memiliki spesifisitas yang sama baiknya dengan
MRI dalam mendiferensiasi lesi otak luas pada ODHA.2,5 CT scan merupakan
fasilitas yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan pada situasi gawat
darurat. Khususnya di Indonesia, modalitas CT scan lebih banyak tersedia
dibandingkan dengan MRI yang lebih mahal.2,8 Temuan yang dapat dijumpai
adalah lesi hipodens dengan penyangat berbentuk cincin dan edema perilesi. Pada
20% pasien temuan dapat berupa lesi hipodens tanpa penyangat atau lesi fokal.
Pencitraan yang lebih jarang namun sangat sugestif dari toksoplasmosis serebri
12

adalah tanda target eksentrik pada nodul asimetris kecil di sepanjang dinding
cincin penyangat yang terlihat. Kini, teknik pencitraan yang lebih baru seperti CT
emisi foton sinyal atau tomografi emisi positron dapat meningkatkan spesifisitas
untuk menyingkirkan lesi susunan saraf pusat lainnya seperti limfoma. 5
Hasil CT scan pasien menggambarkan adanya massa padat intraaksial
multipel di kapsula interna – ganglia basal kiri dan thalamus kanan yang mencapai
kapsula interna kanan crus posterior, disertai edema vasogenik luas di sekitarnya
yang menyebabkan herniasi subfalcine ke kanan sejauh 0,7 cm, lesi hipodens
melibatkan korteks – subkorteks di lobus parietal kiri dan mesenfalon sisi kiri.
Gambaran tersebut mendukung ke arah infeksi toksoplasmosis serebri.
Karakteristik pasien dengan toksoplasmosis serebri dapat berupa defisit
neurologis fokal subakut dan hasil CT scan penyangatan bentuk cincin pada lesi di
kepala, namun memiliki spektrum klinis dan manifestasi neuroradiologis yang
luas.2 Pada CT scan juga dapat dijumpai lesi multipel hipodens atau hipointens
pada white matter dan basal ganglia. Umumnya gambaran dapat disertai edema
sehingga menjadi fatal.8
Antibodi IgM bisa jadi negatif karena sifat infeksi toksoplasmosis yang
umumnya bersifat laten.2,9 Tes serologi antibodi IgG anti-T. gondii meningkat sejak
1-2 minggu infeksi dan mencapai puncak pada minggu ke 6-8. IgG menurun secara
bertahap setelah 1-2 tahun, dan dapat menetap seumur hidup pada kasus
tertentu.5 Tingginya titer antibodi IgG anti-T. gondii dengan aviditas yang juga
tinggi, menggambarkan bukti infeksi dan mengindikasikan adanya reaktivasi fase
laten atau infeksi Toxoplasma kronis. Sehingga perlu dilakukan deteksi status
seropositivitas pada seluruh pasien HIV/AIDS untuk memperkirakan risiko
terjadinya toksoplasmosis serebri.5 Antibodi IgG spesifik T. gondii dapat terdeteksi
rendah hingga sedang, namun sering kali tidak terdeteksi terutama pada pasien
imunodefisiensi, sehingga apabila pemeriksaan serologi IgG negatif tidak dapat
menyingkirkan diagnosis toksoplasmosis.6,9 Pada pasien dengan gejala klinis
mengarah toksoplasmosis namun titer IgG rendah, perlu dilakukan pemantauan
13

titer 2-3 minggu kemudian yang diharapkan meningkat akibat toksoplasmosis


akut, hal ini dengan catatan bahwa pasien tidak dalam keadaan imunodefisiensi
berat.9 Oleh karena alasan tersebut, maka diagnosis ditegakkan berdasarkan
presumsi klinis dan pasien akan diberikan terapi anti-Toxoplasma.6

SIMPULAN
Ditemukan bradizoit dan takizoit T. gondii pada cairan otak pasien pria dewasa
dengan penurunan kesadaran dan HIV/AIDS. Temuan takizoit dan bradizoit T.
gondii merupakan diagnosis definitif toksoplasmosis serebri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Goldman HB, Gildenberg PL, Brew BJ, Antinori A, Berger JR. Evaluation and
management of intracranial mass lesions in AIDS: Report of the Quality
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology [2]
(multiple letters). Neurology. 1998;51(4):1232–4.
2. Vidal JE. HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited: Current Concepts
and Controversies of an Old Disease. J Int Assoc Provid AIDS Care.
2019;18:1–20.
3. Jautzke G, Sell M, Thalmann U, Janitschke K, Gottschalk J, Schürmann D, et
al. Extracerebral Toxoplasmosis in AIDS: Histological and
Immunohistological Findings Based on 80 Autopsy Cases. Pathol Res Pract.
1993;189(4):428–36.
4. Lee S-B, Lee T-G. Toxoplasmic Encephalitis in Patient with Acquired
Immunodeficiency Syndrome. Brain Tumor Res Treat. 2017;5(1):34.
5. Basavaraju A. Toxoplasmosis in HIV infection: An overview. Trop Parasitol.
2016;6(2):129–35.
6. Brogi E, Cibas ES. Cytologic detection of Toxoplasma gondii tachyzoites in
cerebrospinal fluid. Am J Clin Pathol. 2000;114(6):951–5.
7. Meira CS, Vidal JE, Costa-Silva TA, Frazatti-Gallina N, Pereira-Chioccola VL.
Immunodiagnosis in cerebrospinal fluid of cerebral toxoplasmosis and HIV-
infected patients using Toxoplasma gondii excreted/secreted antigens.
Diagn Microbiol Infect Dis [Internet]. 2011;71(3):279–85. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.diagmicrobio.2011.07.008
8. Wibawani R, Soeprijanto B, Ferriastuti W, Triyono EA. Head Computed
Tomography Images of HIV/AIDS Patients with Suspected Cerebral
Toxoplasmosis in Dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Biomol Heal Sci
J. 2019;2(1):21.
9. Valadkhani S, Radmard AR, Saeedi M, Nikpour S, Farnia MR. Toxoplasma
14

encephalitis and AIDS in a patient with seizure and altered mental status: A
case report. World J Emerg Med. 2017;8(1):65.

You might also like