You are on page 1of 70

PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK FUNGSIONAL

BERBASIS PROBIOTIK LOKAL TERHADAP STATUS


HEMATOLOGI TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI

YENNI MS NABABAN
F24063517

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
EFFECT OF FUNCTIONAL SYNBIOTICS YOGHURT FROM PROBIOTIC
INDIGENOUS TOWARDS HEMATOLOGICAL STATUS AT RATS
Yenni MS Nababan, Darwin Kadarisman, and Made Astawan
Department Of Agricultural Engineering, Faculty Of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, West Java
Indonesia.

ABSTRACT

Gastro intestinal is evidently an extremely complex microecosystem, colonized by at least 50


genera or more than 400 species of microbiota. These microbiota may have either potentially
pathogenic effects, or health-promoting effects or both. Some indigenous species of Lactobacillus as
probiotics and fructooligosaccharide (FOS) as prebiotics, have been addressed to be a functional
synbiotics yoghurt product.The objective of this study was to observe the effect of functional synbiotics
yoghurt from probiotic indigenous at rats that infected by Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC),
and also to detect the impact toward hematological status, include erythrocytes, hematocrit,
hemoglobin, platelets and leukocytes. A total of 65 male Sprague Dawley rats were used for this study
and divided into 5 treatment groups. After terminating on day 21st, the results demonstrated that the
number of platelet, hematocrit, and leukocytes of the positive control group had the highest number
and significantly different (p<0.05) with the negative control group. Meanwhile, the number of
erythrocyte and hemoglobin was not affected by synbiotics yoghurt.

Keywords: hematology, synbiotics yoghurt, EPEC, FOS


Yenni MS Nababan. F24063517. Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Fungsional Berbasis
Probiotik Lokal Terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan Darwin
Kadarisman dan Made Astawan.

RINGKASAN

Saluran pencernaan manusia merupakan organ yang sangat spesial, baik secara fisiologis
maupun mikrobiologis (Tamime 2005). Lebih dari 400 spesies bakteri ada di dalam usus manusia.
Seluruh mikroba tersebut membentuk 100 trilyun mikroflora normal yang hidup dari hari ke hari.
Masing-masing mikroflora usus mensekresikan enzim yang mampu mengubah makanan dalam
saluran pencernaan menjadi senyawa yang menguntungkan dan merugikan.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup kompleks karena
jika tidak ditangani dengan baik, dapat mempengaruhi pertahanan tubuh penderita, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kematian. Penyebab diare terbesar adalah infeksi dan intoksikasi
(poisoning). WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare infeksi setiap tahun dengan tingkat
mortalitas 3-4 juta/tahun (Zein et al. 2004). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa secara in
vitro bakteri probiotik galur Lactobacillus dan Bifidodobacteria dapat menghambat penempelan dan
invasi bakteri enteropatogen penyebab diare seperti Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan
Salmonella thypimurium. Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa mengonsumsi bakteri asam laktat
golongan Lactobacillus mampu meningkatkan sistem imun seluler dan humoral. Kuncinya adalah
kemampuan kedua bakteri tersebut untuk menempel pada mukosa usus sehingga terjadi komunikasi
antara sel inang dengan bakteri probiotik, serta menghambat bakteri penyebab diare seperti
Escherichia coli maupun Clostridium deficile menempel pada mukosa usus. Dengan semakin
berkurangnya populasi bakteri penyebab diare dalam saluran cerna, maka diare dapat diatasi (Black
dan Anderson 1989).
Pada umumnya bakteri probiotik yang digunakan masih bersifat impor. Padahal isolat lokal
sangat diperlukan untuk pengembangan pangan probiotik di Indonesia. Arief (2008) telah berhasil
mengisolasi 10 bakteri asam laktat lokal dari daging sapi yang berasal dari beberapa pasar tradisional
di daerah Bogor. Isolat lokal ini kemudian diaplikasikan pada produk pangan berupa yogurt karena
yogurt merupakan minuman yang cukup diminati masyarakat Indonesia. Tujuan umum dari penelitian
ini adalah mengaplikasikan dua bakteri asam laktat probiotik lokal terbaik, yaitu Lactobacillus
plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik fungsional
yang memiliki sifat sebagai imunomodulator dan antidiare. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh
pemberian yogurt sinbiotik terhadap status hematologi tikus percobaan dengan parameter eritrosit,
leukosit, hemoglobin, trombosit dan hematokrit.
Penelitian ini telah mengaplikasikan BAL probiotik lokal terbaik. Formula yang terpilih
adalah yogurt F3 dengan BAL probiotik L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4 dan FOS
5%. Pada analisis secara in vivo dengan tikus percobaan membuktikan bahwa adanya EPEC dapat
menyebabkan gangguan penyerapan makanan. Hal ini terlihat dari kurva berat badan tikus kelompok
yang diinfeksi EPEC mengalami kenaikan yang paling rendah di antara yang lainnya. Selain itu
terlihat dari kondisi feses tikus yang diinfeksi EPEC (kontrol positif) berwarna agak coklat, lembek,
agak berair dengan kadar air feses yang mencapai 66.87%, berbeda nyata dengan kelompok tikus
yogurt sinbiotik
Status hematologi menunjukkan bahwa secara statistik, perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah eritrosit (p>0.05). Analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh sangat
nyata lebih tinggi (p<0.01) terhadap jumlah leukosit tikus percobaan. Secara umum konsentrasi
hemoglobin pada tiap kelompok perlakuan antara 12–14 g/dL dan perlakuan tidak berpengaruh
terhadap kadar hemoglobin.
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
trombosit tikus percobaan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif berbeda
sangat nyata lebih tinggi dengan kelompok yogurt sinbiotik. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan yang diberikan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah hematokrit tikus dan kelompok
kontrol positif berbeda sangat nyata (p<0.01) lebih tinggi dengan kelompok tikus lainnya.
PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK FUNGSIONAL
BERBASIS PROBIOTIK LOKAL TERHADAP STATUS
HEMATOLOGI TIKUS PERCOBAAN

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
YENNI MS NABABAN
F24063517

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Fungsional Berbasis Probiotik Lokal
Terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan
Nama : Yenni M.S. Nababan
NIM : F24063517

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

(Ir. Darwin Kadarisman, MS) (Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS)
NIP. 19470917 197403 1 001 NIP. 19620202 198703 1 004

Mengetahui :
Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.)

NIP. 19650814 199002 1 002

Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian
Yogurt Sinbiotik Fungsional Berbasis Probiotik Lokal Terhadap Status Hematologi Tikus
Percobaan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum
diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011


Yang membuat pernyatan

Yenni M.S. Nababan


F24063517
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Siborongborong, Tapanuli Utara - Sumatera Utara


pada tanggal 20 April 1988 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan
Bapak Jonsar Nababan dan Ibu Emmyda Siadari. Penulis lulus dari SD Negeri 2
Siborongborong pada tahun 2000, kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri
1 Siborongborong dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2006 penulis lulus dari
SMU Negeri 1 Siborongborong dan pada tahun yang sama diterima di IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Kemudian pada tahun 2008 penulis
memilih Supporting Course sebagai bidang keahlian.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni
menjadi pengurus aktif Komisi Pelayanan Anak Panti Asuhan Candranaya, Food Processing Club
(FPC), panitia BAUR ITP 2008, panitia Retreat Komisi Pra-Alumni Persekutuan Mahasiswa Kristen
(PMK) IPB. Penulis juga aktif di kegiatan non-akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM-AI).
Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian pada tahun 2010 sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor dan melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian
Yogurt Sinbiotik Fungsional Berbasis Probiotik Lokal Terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan.
Penelitian ini di bawah bimbingan Ir. Darwin Kadarisman, MS dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik
Fungsional Berbasis Probiotik Lokal Terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan. Penelitian
ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa bakteri probiotik tertentu seperti
Bifidobacteria dan Lactobacillus dapat memperkuat sistem imun, mengatasi diare oleh rotavirus
maupun bakteri, serta mengatasi sembelit. Kuncinya adalah karena kemampuan kedua bakteri tersebut
untuk menempel pada mukosa usus sehingga menghambat bakteri penyebab diare seperti Escherichia
coli menempel pada mukosa usus. Sehingga salah satu cara mencegah terjadinya diare adalah dengan
menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan, yaitu dengan mengonsumsi produk probiotik
dan prebiotik secara teratur.
Pada umumnya bakteri probiotik yang digunakan masih bersifat impor. Padahal isolat lokal
sangat diperlukan untuk pengembangan pangan probiotik di Indonesia. Isolat lokal ini kemudian
diaplikasikan pada produk pangan berupa yogurt karena yogurt merupakan minuman yang cukup
diminati masyarakat Indonesia. Telah diketahui bahwa beberapa strain probiotik memiliki aktivitas
bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC, dan dengan penambahan bakteri asam laktat
probiotik lokal diharapkan status hematologi tikus bisa bertahan, bahkan bisa ditingkatkan.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan karya ini.
Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan memberikan kontribusi yang
nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Januari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1
1.2 TUJUAN ................................................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................................... 3
2.2 DIARE ................................................................................................................... 3
2.3 MIKROFLORA USUS ........................................................................................... 4
2.4 BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ............................................ 5
2.5 PREBIOTIK, PROBIOTIK, DAN SINBIOTIK ...................................................... 7
2.6 YOGURT ............................................................................................................... 9
2.7 DARAH ................................................................................................................. 11
2.7.1 ERITROSIT ................................................................................................. 12
2.7.2 LEUKOSIT .................................................................................................. 13
2.7.3 HEMOGLOBIN ........................................................................................... 14
2.7.4 TROMBOSIT .............................................................................................. 15
2.7.5 HEMATOKRIT ........................................................................................... 16
2.7.6 HEMATOLOGY ANALYZER ........................................................................ 17
III. METODOLOGI
3.1 BAHAN DAN ALAT .............................................................................................. 18
3.2 ANALISIS YOGURT SINBIOTIK SECARA IN VITRO ......................................... 20
3.2.1 PEMBUATAN YOGURT SINBIOTIK ......................................................... 20
3.2.2 PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA BAL ....................................... 21
3.3 ANALISIS YOGURT SINBIOTIK SECARA IN VIVO ............................................ 21
3.3.1 PENGELOLAAN HEWAN PERCOBAAN ................................................ 21
3.3.2 ANALISIS HEMATOLOGI ......................................................................... 24
3.3.3 RANCANGAN PERCOBAAN .................................................................... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENENTUAN YOGURT SINBIOTIK FORMULA TERPILIH ............................... 26
4.2 PERTUMBUHAN BERAT BADAN TIKUS ........................................................... 27
4.3 KEJADIAN DIARE PADA TIKUS TERINFEKSI EPEC......................................... 28
4.4 HEMATOLOGI TIKUS .......................................................................................... 31
4.4.1 ERITROSIT .................................................................................................. 31
4.4.2 LEUKOSIT ................................................................................................... 32
4.4.3 HEMOGLOBIN ............................................................................................ 34
4.4.4 TROMBOSIT .............................................................................................. 35
4.4.5 HEMATOKRIT ........................................................................................... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN ........................................................................................................ 39
5.2 SARAN ................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 40
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 44
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Lima kelompok utama bakteri pada saluran pencernaan manusia .............................. 5
Tabel 2. Syarat mutu yogurt menurut SNI.............................................................................. 10
Tabel 3. Komposisi ransum basal basis 1000 gr ..................................................................... 22
Tabel 4. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan ........................... 23
Tabel 5. Metode kontak 2, 4, 6 jam ....................................................................................... 26
Tabel 6. Nilai pH formula yogurt .......................................................................................... 27
Tabel 7. Rataan eritrosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21 ....................................... 31
Tabel 8. Rataan leukosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21 ..................................... 32
Tabel 9. Rataan hemoglobin tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21 ................................ 34
Tabel 10. Rataan trombosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21 .................................... 35
Tabel 11. Rataan hematokrit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21 .................................. 37
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram sederhana dari diferensiasi sel darah di sumsum tulang ....................... 11
Gambar 2. Skema perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi
fibrinogen membentuk benang fibrin ................................................................ 16
Gambar 3. Hematology analyzer di Labkesda Bogor ......................................................... 17
Gambar 4. Diagram alir alur penelitian yang dilakukan ..................................................... 19
Gambar 5. Kandang tikus percobaan ................................................................................. 22
Gambar 6. Pemberian air minum, yogurt dan EPEC menggunakan sonde .......................... 23
Gambar 7. Bagan perlakuan proses terminasi tikus percobaan ........................................... 24
Gambar 8. Metode terminasi dan pengambilan darah tikus ................................................ 24
Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3, dan F4 ............................................................ 26
Gambar 10. Kenaikan berat badan tikus selama 21 hari percobaan ....................................... 27
Gambar 11. Grafik kadar air feses tikus .............................................................................. 29
Gambar 12. Feses tikus pada hari terakhir sebelum terminasi .............................................. 30
Gambar 13. Rataan eritrosit tikus pada hari ke-21 .............................................................. 32
Gambar 14. Rataan leukosit tikus pada hari ke-21 .............................................................. 33
Gambar 15. Rataan hemoglobin tikus pada hari ke-21 ......................................................... 35
Gambar 16. Rataan trombosit tikus pada hari ke-21 ............................................................ 36
Gambar 17. Rataan hematokrit tikus pada hari ke-21 .......................................................... 37
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Prosedur penggunaan Hematology Analyzer................................................ 45
Lampiran 2. Hasil ANOVA nilai log kematian EPEC ..................................................... 46
Lampiran 3. Hasil ANOVA kenaikan berat badan tikus .................................................. 48
Lampiran 4. Data berat badan tikus masing-masing kelompok ........................................ 49
Lampiran 5. Hasil ANOVA kadar air feses tikus ............................................................ 52
Lampiran 6. Hasil uji lanjut Duncan kadar air feses tikus ............................................... 53
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan sampel darah tikus percobaan ........................................ 54
Lampiran 8. Hasil ANOVA eritrosit ............................................................................... 56
Lampiran 9. Hasil ANOVA leukosit............................................................................... 57
Lampiran 10. Hasil uji lanjut Duncan leukosit ................................................................ 57
Lampiran 11. Hasil ANOVA hemoglobin ........................................................................ 58
Lampiran 12. Hasil ANOVA trombosit ............................................................................ 59
Lampiran 13. Hasil uji lanjut Duncan trombosit ............................................................... 59
Lampiran 14. Hasil ANOVA hematokrit .......................................................................... 60
Lampiran 15. Hasil uji lanjut Duncan hematokrit.............................................................. 60
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saluran pencernaan manusia merupakan organ yang sangat spesial, baik secara fisiologis
maupun mikrobiologis (Tamime 2005). Bila dibentangkan, saluran pencernaan manusia ini dapat
mencapai luas 200 m2 sehingga dapat meningkatkan daya serap makanan. Permukaan yang luas
tersebut menjadikan saluran pencernaan manusia ini sebagai bagian tubuh yang lebih banyak kontak
dengan lingkungan luar dibandingkan dengan organ kulit. Hal ini terjadi karena saluran pencernaan
selalu terpapar oleh makanan selama proses pencernaan makanan (Tamime 2005).
Saluran cerna merupakan organ sistem imun yang paling besar dalam tubuh manusia (80%
sistem imun terdapat dalam saluran cerna) karena saluran cerna paling banyak terpapar dengan
berbagai jenis bakteri (bakteri baik maupun bakteri jahat) yang masuk ke dalam tubuh. Lebih dari 400
spesies bakteri ada di dalam usus manusia. Seluruh bakteri tersebut membentuk 100 trilyun mikroflora
normal pada saluran pencernaan yang hidup dari hari ke hari. Masing-masing mikroflora usus
mensekresikan enzim yang mampu mengubah makanan dalam saluran pencernaan menjadi senyawa
yang menguntungkan dan merugikan. Fungsi mikroflora saluran pencernaan sangatlah penting untuk
menjaga kesehatan inang sehingga secara tidak langsung berhubungan dengan proses penuaan
(Wahyudi 2008).
Kesehatan tubuh kita juga ditentukan oleh bakteri yang ada dalam saluran cerna, sehingga kita
wajib menjaga keseimbangan populasi bakteri, dengan mengatur agar bakteri baik bisa tumbuh
optimum (Myllyluoma et al. 2007). Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa bakteri probiotik
tertentu seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus dapat memperkuat sistem imun, mengatasi diare oleh
rotavirus maupun bakteri, serta mengatasi sembelit (Moller and Vrese 2004). Kuncinya adalah
kemampuan kedua bakteri tersebut untuk menempel pada mukosa usus sehingga terjadi komunikasi
antara sel inang dengan bakteri probiotik, serta menghambat bakteri penyebab diare (seperti
Escherichia coli maupun Clostridium deficile) menempel pada mukosa usus. Dengan adanya bakteri
probiotik dalam saluran cerna, maka diare dapat diatasi (de Vrese M dan Offick 2010).
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup kompleks. Jika tidak
ditangani dengan baik, diare dapat mempengaruhi pertahanan tubuh penderita yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian. Penyebab diare terbesar adalah infeksi dan intoksikasi (poisoning).
WHO menyatakan ada sekitar 4 milyar kasus diare infeksi setiap tahun dengan tingkat mortalitas 3-4
juta/tahun (Zein et al. 2004). Berkat pesatnya perkembangan di bidang mikrobiologi, penemuan baru
bidang etiologi bermunculan sehingga memperluas wawasan spektrum etiologi diare akut yang
disebabkan oleh mikroba. Pada dekade 1970-1980-an telah ditemukan beberapa jenis mikroba baru
penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak. Sekarang telah dikenal tiga group E. coli sebagai
penyebab diare akut, yaitu Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC) dan
Enteroinvasive E. coli (EIEC) (WHO 2009).
Salah satu cara mencegah terjadinya diare adalah menjaga keseimbangan mikroflora saluran
pencernaan, yaitu dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Berbagai
penelitian para ahli telah membuktikan bahwa secara in vitro bakteri probiotik galur Lactobacillus dan
Bifidodobacteria dapat menghambat penempelan dan invasi bakteri enteropatogen penyebab diare,
seperti EPEC, ETEC, dan Salmonella thypimurium. Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa
mengonsumsi bakteri asam laktat golongan Lactobacillus mampu meningkatkan sistem imun seluler
dan humoral. Bakteri asam laktat yang sering ditemukan pada yogurt komersial yaitu Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophilus belum cukup untuk menjaga saluran pencernaan. Oleh
sebab itu harus ditambahkan bakteri probiotik lain yang mampu bertahan hidup pada saluran
pencernaan manusia.
Efek probiotik pada saluran pencernaan berperan dalam menghambat adhesi patogen dan
imunomodulator. Pemberian probiotik dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan karena probiotik
dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek seperti asam laktat dan asam asetat yang menyebabkan
suasana usus menjadi asam sehingga menurunkan pertumbuhan dan patogenitas bakteri serta
memperbaiki keseimbangan bakteri dalam usus. Pengaruh bakteri probiotik terhadap regulasi imunitas
berbeda antar strain. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengaruh probiotik terhadap
imunitas menunjukkan bahwa mekanisme yang terkait dengan imunitas antara lain adalah pencegahan
peningkatan permeabilitas sel, meningkatkan produksi IgA dan IgE serta meregulasi respon imun
(Gill HS dan Cross ML 2001). Walaupun target utama bakteri probiotik adalah saluran pencernaan
dan usus, namun beberapa penelitian membuktikan bahwa efek immunomodulator probiotik terhadap
gambaran hematologik dapat dijelaskan secara sistematik. Secara spesifik, hal ini terlihat pada
leukosit dan imunitas humoral yang hanya dapat diuji secara ex vivo. Beberapa bagian sistem imun
telah diketahui dapat dipengaruhi oleh pemberian probiotik, termasuk limfosit (proliferasi, sekresi
sitokin, dan sitotoksik selular); sistem imun bawaan (fagositosis, produksi radikal, sekresi enzim
lisosim); aktivitas sel pembunuh alami dan sel natural killer (NK) serta antibodi (immunoglobulin
level dan spesifik antigen) (Gill HS dan Cross ML 2001).
Bakteri probiotik dan obat apa pun yang diberikan secara oral akan diangkut oleh darah ke
organ targetnya. Darah berfungsi mendistribusikan nutrisi, oksigen serta zat-zat lain ke semua organ,
sehingga memungkinkan organ tubuh melakukan fungsinya. Fungsi darah dapat terganggu bila
parameter darah tidak normal, akibatnya terjadi penyakit atau gangguan pada darah dan fungsi darah
yang pada gilirannya dapat menyebabkan gangguan pada organ lain. Berdasarkan hal tersebut perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui pemberian bakteri probiotik terhadap parameter darah yang
meliputi jumlah eritrosit, leukosit, konsentrasi hemoglobin dan jumlah trombosit.
Pada umumnya bakteri probiotik yang digunakan di industri pangan masih bersifat impor.
Padahal isolat lokal sangat diperlukan untuk pengembangan pangan probiotik di Indonesia. Arief
(2008) telah berhasil mengisolasi 10 bakteri asam laktat lokal dari daging sapi mentah yang berasal
dari beberapa pasar tradisional di daerah Bogor. Isolat lokal ini memiliki keunggulan sangat mudah
beradaptasi dengan kondisi lingkungan Indonesia sehingga tidak perlu manipulasi dan rekayasa.
Isolat lokal ini kemudian diaplikasikan pada yogurt karena yogurt merupakan minuman yang cukup
diminati masyarakat Indonesia.
Namun demikian, sifat fungsional lainnya belum diteliti, terutama sifat fungsional sebagai
pencegah diare akibat infeksi EPEC. Telah diketahui bahwa beberapa strain probiotik memiliki
aktivitas bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC, dengan cara meningkatkan status imun
inang yang mengonsumsinya (sebagai imunomodulator). Oleh sebab itu, dengan penambahan bakteri
asam laktat probiotik lokal diharapkan status hematologi tikus bisa bertahan, bahkan bisa
ditingkatkan.
Proses pengambilan sampel darah dilakukan melalui proses pembedahan karena selain sampel
darah juga diambil organ-organ lain seperti limpa, usus, hati dan ginjal untuk prosedur sediaan
histologis yang tidak dibahas dalam tulisan ini. Tikus didislokasi leher untuk membunuh tikus tanpa
memecah pembuluh darahnya. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kemampuan bakteri asam laktat
probiotik lokal berupa Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai
antidiare pada tikus percobaan yang dipapar bakteri EPEC secara in vivo serta mengetahui dampaknya
pada gambaran hematologik (eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit).

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengaplikasikan dua bakteri asam laktat probiotik
lokal terbaik yang berasal dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor, yaitu
Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik
fungsional yang memiliki sifat sebagai imunomodulator dan antidiare.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengaplikasikan BAL probiotik lokal terbaik, yang berasal dari daging sapi di beberapa pasar
tradisional wilayah Bogor, pada pembuatan formula yogurt sinbiotik fungsional (mengandung
probiotik dan prebiotik).
2. Melakukan uji kemampuan yogurt sinbiotik sebagai antidiare pada tikus percobaan yang
dipapar dengan bakteri EPEC penyebab diare.
3. Mengetahui pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap status hematologi tikus percobaan
dengan parameter yang dianalisis terdiri penghitungan jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar
hemoglobin, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Pendahuluan

Suhesti (2010) membuktikan bahwa penambahan EPEC pada tikus dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan kejadian diare pada tikus. Status hematologi menunjukkan bahwa jumlah
eritrosit, hematokrit dan hemoglobin tikus kontrol positif memiliki jumlah yang paling rendah dan
berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok tikus yang diberikan BAL, dengan atau
tanpa penambahan EPEC. Kelompok kontrol positif memiliki jumlah trombosit yang paling rendah
dan berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok tikus yang diberikan BAL L.
plantarum 2C12. Demikian halnya dengan jumlah leukosit tikus kelompok kontrol positif berbeda
nyata dengan kelompok kontrol positif, kelompok BAL L. plantarum 2C12 dan kelompok BAL L.
fermentum.
Penambahan probiotik berupa BAL L. plantarum 2C12 dan BAL L. fermentum 2B4 pada
kelompok tikus yang diberikan EPEC mampu mempertahankan status hematologi tikus untuk
parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, dalam jumlah yang normal. Pemberian BAL L.
plantarum 2C12 menunjukkan kemampuan yang lebih besar dalam mempertahankan jumlah eritrosit,
hematokrit, dan hemoglobin tikus yang diinfeksi tikus, dibandingkan dengan pemberian BAL L.
fermentum 2B4.

2.2 Diare

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200
ml/24 jam. Menurut WHO (2009), diare didefinisikan sebagai yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali/hari atau melebihi frekuensi buang air besar pada umumnya. Buang air besar encer tersebut dapat
disertai lendir dan darah. Diare merupakan penyakit kedua terbanyak setelah infeksi saluran nafas akut
dan merupakan penyebab pertama kematian di tahun 1986 (Kolopaking 2002).
Menurut de Vrese M dan Offick (2010), ada empat jenis diare yaitu :
1. Diare osmotik, terjadi bila bahan-bahan tertentu yang tidak dapat diserap ke dalam darah
tertinggal di usus. Bahan tersebut menyebabkan peningkatan kandungan air dalam tinja
sehingga terjadi diare. Makanan tertentu (buah dan kacang-kacangan) dan heksitol, sorbitol
juga manitol (pengganti gula dalam makanan dietetik, permen dan permen karet) dapat
menyebabkan diare osmotik.
2. Diare yang berhubungan dengan pengacauan motilitas, disebabkan adanya gangguan motilitas
sehingga waktu transit usus menjadi lebih cepat.
3. Diare sekretorik, terjadi jika usus kecil dan usus besar mengeluarkan garam (terutama natrium
klorida) dan air ke dalam tinja. Hal ini juga bisa disebabkan oleh toksin tertentu seperti pada
kolera dan diare infeksius lainnya.
4. Diare penyebab radang
Diare ini terjadi jika lapisan usus besar mengalami peradangan atau membentuk tukak, lalu
melepaskan protein, darah, lendir dan cairan lainnya.

Diare dapat disebabkan oleh infeksi virus, keracunan makanan, alergi, dan lactose intolerance
makanan tertentu (de Vrese M dan Offick 2010). Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme.
Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja yaitu meningkatkan gerak
peristaltik dan menurunkan penyerapan di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan
perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau
lebih mekanisme tersebut untuk dapat menembus pertahanan mukosa usus (Myllyluoma et al. 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh Enteropatogenic E. coli (EPEC), sangat khas karena sebagian
besar terjadi pada bayi yang dicirikan dengan diare yang tidak berlendir, muntah, dan sedikit demam
(Donnenberg 1995). Pemberian antibiotik pada diare akut seharusnya dihindari karena dapat
menyebabkan kematian mikroflora usus yang bermanfaat untuk menjaga homeostasis tubuh.
Antibiotik hanya diberikan pada disentri dan kolera, karena antibiotik selama kejadian diare akut
merupakan resiko terjadinya diare yang berkepanjangan. Pemberian antibiotik untuk diare persisten
adalah tidak efektif (Hidayat 1997).
Terjadinya diare karena EPEC masih belum diketahui pasti. Patogenesisnya lebih kompleks
daripada Enterotoxigenic E. coli (ETEC) dan diyakini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu non
intimate binding yang diperantarai fili (bfp). Tahap kedua, adhesi bakteri pada sel inang mencetuskan
tranduksi sinyal, yang berhubungan dengan aktivasi kinase tirosin sel inang dan menyebabkan
kenaikan level Ca2+ intraseluler sel inang. Tahap ketiga, yaitu intimate binding dan actin
rearrangement yang ekstensif di sekitar bakteri. Pada banyak penderita, dilihat dengan mikroskop
elektron, EPEC melekat erat pada permukaan mukosa dan sebagian dikelilingi oleh pedestals
(attaching and effacing) pada permukaan enterosit dan pada area perlekatan EPEC, brush border
mikrovili menjadi hilang. Perlekatan EPEC pada sel-sel inang dan kerusakan kekuatan absortif pada
sel-sel mukosa yang rusak ini mungkin bertanggung jawab pada terjadinya diare karena EPEC
(Gibson dan Roberford 1995)
Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan merusak mikrovili sel-sel mukosa
inang yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk menyerap air sehingga terjadi diare
akut berair yang persisten, selain kadang-kadang disertai demam ringan dan muntah. Diare dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dalam mikroflora usus, peningkatan permeabilitas usus dan radang
usus (Salminen S et al. 1998). Di sisi lain, probiotik diharapkan dapat mengurangi resiko diare.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa Bifidobacteria dan Lactobacilli dapat menurunkan
resiko diare secara signifikan. Salah satu cara mencegah diare adalah dengan menjaga keseimbangan
saluran pencernaan (Myllyluoma et al. 2007). Bakteri probiotik tertentu seperti L. rhamnosus GG
diketahui dapat meningkatkan pembentukan antibodi nonspesifik dan respon imun spesifik melawan
rotavirus, tetapi respon imun yang dihasilkan spesifik terhadap strain tertentu (Majamaa et al. 1995).
Jika bakteri probiotik mampu melekat pada epitel usus dan berkolonisasi pada usus maka
diharapkan probiotik dapat digunakan untuk membantu mencegah atau mengobati diare.

2.3 Mikroflora Usus


Mikroflora usus sangat penting untuk kesehatan. Pada usus manusia terdapat sekitar 100
spesies bakteri dengan populasi sebesar 1014 dan berat keseluruhannya dapat mencapai 1-1,5 kg atau
1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa (O’Hara dan Shanahan 2006). Mikroflora usus dapat
tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan
manusia. Studi mengenai mikroflora usus merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan
produk prebiotik. Pengaruh mikroflora usus terhadap karakteristik biokimia, fisiologis dan imunologis
telah banyak diteliti. Informasi mengenai mikroflora manusia umumnya diperoleh dengan
menganalisis kandungan mikroba pada feses (Jackson MS et al. 2002).
Pada manusia dewasa yang sehat, mikroflora usus berada dalam keseimbangan, walaupun
terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan yang lain. Komposisi mikroflora usus berubah
seiring meningkatnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang
paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae,
Eubacterium, dan Peptococcoaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan. Bifidobacterium
spp. akan semakin menurun jumlahnya dan pada beberapa orang tua menghilang, sedangkan
Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp, serta Lactobacillus semakin meningkat
jumlahnya (Favier et al. 2002). Klaassens et al.(2007) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
mikroflora usus tidak hanya disebabkan oleh faktor usia, akan tetapi dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Sebagai contoh, mikroflora usus berubah saat menderita konstipasi dan diare.
Peranan mikroflora usus berdasarkan aktivitasnya dapat dibagi menjadi dua yaitu aktivitas
yang menguntungkan dan aktivitas yang merugikan. Bifidobacteria, Lactobacillus spp., dan
Eubacteria memiliki aktivitas yang menguntungkan, sedangkan Clostridium perfringens, Veilonella
spp. dan Proteus spp. memiliki aktivitas yang merugikan (Kearney et al. 2008). Bakteri yang memiliki
aktivitas menguntungkan dan merugikan adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli
serta Enterococcus.
Kelompok bakteri menguntungkan pada mikroflora usus mampu menekan pertumbuhan
bakteri patogen, mensintesis vitamin atau protein, membantu penyerapan serta merangsang fungsi
kekebalan tubuh. Sedangkan kelompok bakteri yang merugikan menghasilkan senyawa karsinogen,
toksin, NH3, H2S, amin serta fenol yang dapat menyebabkan penyakit diare, konstipasi, kerusakan
hati, penurunan kekebalan, kanker dan hipertensi (Kearney et al. 2008).
Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan manusia normal dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Lima kelompok utama bakteri pada saluran pencernaan manusia


Populasi Bakteri (log CFU/ gr)
Kelompok
Jejunum Ileum Kolon Feses

Lactobacillus 3 5 6 6

Gram positif, anaerob, tidak berspora 2 2 5 6

Enterococcus 3 5 7 7

Bacteroides 3 3 7 9

Enterobacteriaceae 3 4 6 8

Sumber : Yuguchi et al. (1992)

2.4 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik


Bakteri asam laktat (BAL) merupakan salah satu jenis bakteri dari mikroflora alami saluran
pencernaan manusia. Bakteri ini mengkolonisasi bagian-bagian spesifik dari saluran pencernaan
manusia dengan cara menempel pada sel-sel epitel (Van de Water dan Naiyanetr 2008). BAL adalah
kelompok bakteri yang menguntungkan dan memfermentasi gula sebagai sumber energi untuk
memproduksi asam laktat dalam jumlah besar, dan jika memecah protein tidak membentuk senyawa
putrefaktif (senyawa yang berbau busuk). Menurut Axelsson (1998), klasifikasi genus bakteri asam
laktat terbagi menjadi sepuluh yaitu Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus,
Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus. Bakteri
asam laktat berdasarkan sifat fermentasinya dibagi menjadi dua golongan yaitu heterofermentatif dan
homofermentatif.
Mikroba yang umum digunakan dalam pembuatan minuman dan makanan probiotik berasal
dari berbagai kelompok, termasuk BAL. Kelebihan BAL adalah kemampuannya untuk bertahan hidup
dan mengkolonisasi usus, memproduksi asam laktat, bakteriosin dan merangsang pembentukan
antibodi tubuh (Salminen dan Wright 2004). Faktor utama dalam pemilihan mikroba probiotik adalah
kemampuannya untuk bertahan hidup dan mengkoloni terminal ileum (ujung usus halus), dan kolon.
Produk-produk probiotik dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit diare, membantu
penderita lactose intolerance (Tannock 1999).
Daya tahan hidup setelah melalui saluran pencernaan merupakan syarat mikroorganisme untuk
dapat memberikan manfaat kesehatan setelah dikonsumsi. Bakteri yang berpotensi sebagai probiotik
harus tahan terhadap pH rendah pada lambung dan tahan garam empedu pada duodenum usus halus.
Untuk dapat memberikan manfaat sepenuhnya, galur probiotik harus dapat mengkoloni usus, minimal
untuk sementara atau dalam jangka waktu pendek.
Efek antimikroba dari BAL ditunjukkan oleh aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri
patogen. Menurut Collado et al. 2007 terdapat dua hipotesis tentang penurunan jumlah bakteri
patogen di dalam usus manusia oleh BAL, yaitu:
1. Sel BAL mampu mengganti posisi penempelan bakteri patogen di usus.
2. Komponen antimikroba yang dihasilkan oleh BAL dapat menghambat bakteri patogen.
Asam organik (asam laktat dan asam asetat) yang dihasilkan oleh BAL dapat menurunkan
pH hingga kurang dari 4 sehingga pertumbuhan Escherichia coli dapat terhambat karena
Escherichia coli tumbuh pada kisaran pH 4-8.
Diasetil menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif, kapang, dan khamir.
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat yang bersifat bakterisidal terhadap
mikroba dengan mengoksidasi sel bakteri, enzim, serta grup sulfidril dari protein sel dan
membran lipida.
Karbondioksida (CO2) menyebabkan kondisi lingkungan menjadi anaerobik dan juga
dapat berperan sebagai antimikroba.

Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan jenis BAL yang paling banyak digunakan
sebagai kultur probiotik oleh negara-negara maju. Efek menguntungkan dari BAL terhadap kesehatan
manusia adalah (1) non-patogenik, (2) tidak membentuk/memproduksi toksin, (3) mikroaerofilik dan
aerotoleran sehingga membutuhkan proses fermentasi yang sederhana, (4) umumnya dapat tumbuh
dengan cepat, (5) dapat memfermentasi berbagai jenis substrat yang murah, (6) pertumbuhan BAL
dapat mencegah pembusukan dan kontaminasi oleh mikroba yang lain (memperpanjang umur
simpan), dan (7) memproduksi bakteriosin.
Jumlah sel mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik masih menjadi
perdebatan, akan tetapi umumnya adalah sebesar 106-108 cfu/mL (Tannock 1999) dimana jumlah
(viabilitas) mikroorganisme setelah melalui saluran pencernaan adalah sekitar 10 6-107 cfu/g isi usus.
Walaupun demikian, dosis tersebut sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan dan strain yang
digunakan (Rahayu 2004). Manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari probiotik adalah memelihara
keseimbangan mikroflora normal usus, menghambat bakteri patogen, merangsang sistem imun,
aktivitas antikarsinogenik dan antimutagenik, mengurangi gejala lactose intolerance dan penurunan
kolesterol dalam serum darah.
Menurut Nadal et al. (2007) probiotik yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria : 1)
memberikan efek yang menguntungkan pada inang, 2) tidak patogenik dan tidak toksik, 3)
mengandung sejumlah besar sel hidup, 4) mampu bertahan dan melakukan kegiatan metabolisme
dalam usus, 5) tetap hidup selama dalam penyimpanan dan waktu digunakan, 6) mempunyai sifat
sensori yang baik, 7) diisolasi dari inang. Efek kesehatan yang menguntungkan dari probiotik adalah :
1) memperbaiki keluhan malabsorsi laktosa, 2) meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di
usus, 3) supresi kanker, 4) mengurangi kadar kholesterol darah, 5) memperbaiki pencernaan, 6)
stimulasi imunitas gastrointestinal.
Pada penelitian kali ini, BAL yang digunakan sebagai probiotik untuk diaplikasikan pada
produk yogurt sinbiotik adalah BAL lokal terbaik yang diisolasi dari daging sapi yang banyak dijual
di beberapa pasar tradisional di wilayah Bogor, yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus
fermentum 2B4.

a. Lactobacillus plantarum

Lactobacillus plantarum adalah bakteri gram positif yang memproduksi asam laktat dan hidup
pada berbagai lingkungan yang berbeda, termasuk pada beberapa pangan dan saluran pencernaan
manusia (EBI 2010). L. plantarum merupakan bakteri yang bersifat aerotoleran yang dapat tumbuh
pada suhu 15°C, tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 45°C (Wikipedia 2010). Menurut Liong (2007),
strain L. plantarum dapat menginduksi pelepasan sitokin dari donor manusia sehat melalui leukosit
darah periferal mononuklear dan meningkatkan produksi interleukin-10 (IL-10) oleh makrofag dan sel
T dari mukosa usus.

b. Lactobacillus fermentum

Lactobacillus fermentum adalah bakteri gram positif yang umumnya ditemukan pada bahan
tumbuhan dan hewan fermentasi (Wikipedia 2010). Kullisaar et al. (2003) diacu dalam Liong (2007)
melaporkan bahwa konsumsi dari susu fermentasi yang mengandung L. fermentum menunjukkan efek
antioksidatif dan antiaterogenik. Sementara itu, menurut Reid (2000), strain L. fermentum dapat
memproduksi hidrogen peroksida yang berperan sebagai senyawa antimikroba.
Menurut Zoumpopoulou et al. (2008), L. fermentum menunjukkan potensi probiotik karena
memiliki karakteristik probiotik di antaranya memiliki aktivitas mikrobial dan immunomodulator
yang diuji secara in vitro yang dikonfirmasi dengan pengujian in vivo menggunakan tikus percobaan.
Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Bao et al. (2010) yang menyatakan bahwa L. fermentum
memiliki karakteristik probiotik yang potensial karena bakteri ini memiliki ketahanan terhadap pH
rendah serta mampu menstimulasi enzim pada saluran pencernaan dan garam empedu.

2.5 Prebiotik, Probiotik, dan Sinbiotik

Prebiotik adalah komponen pangan yang tidak dapat dicerna yang mempunyai pengaruh baik
terhadap inang dengan memicu aktivitas, pertumbuhan yang selektif, atau keduanya terhadap satu
jenis atau lebih bakteri penghuni kolon (Salminen et al. 1998). Prebiotik pada umumnya merupakan
karbohidrat dengan bobot molekul rendah yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap serta
umumnya berbentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat pangan (inulin) (Reddy 1999). Tidak
semua oligosakarida yang tidak dapat dicerna tersebut memiliki karakteristik sebagai prebiotik. Inulin,
fruktooligosakarida (FOS), serta galaktooligosakarida (GOS) merupakan prebiotik yang umum
digunakan (Macfarlane dan Cummings 1999). Namun demikian, dengan semakin majunya proses
pengolahan pangan maka terdapat industri yang memproduksi senyawa yang lambat diserap tubuh,
seperti frukto-, galakto-, dan xylo-oligosakarida, yang memiliki efek prebiotik sebaik laktosa, laktitol,
xylitol, dan maltitol (Salminen et al di dalam Salminen et al. 1998).
Manfaat prebiotik terhadap kesehatan (Gibson dan Roberfroid 1995), antara lain:
1. Memiliki efek antagonis terhadap patogen
Prebiotik dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan jumlah
Bifidobacteria dan Lactobacilli. Asam laktat yang diproduksi oleh bakteri tersebut
diketahui memiliki sifat penghambatan.
2. Meningkatkan penyerapan kalsium
3. Melindungi dari kanker kolon
Prebiotik dapat melindungi dari kanker kolon dengan cara memproduksi metabolit yang
bersifat protektif (butirat dapat menstimulasi apoptosis sel kanker kolon dan berperan
sebagai bahan bakar untuk kesehatan sel-sel kolon) dan membuat metabolisme bakterial di
dalam kolon menghasilkan produk akhir yang tidak berbahaya.
4. Memiliki efek imunologi
Secara tidak langsung, prebiotik dapat memberikan efek imunologi. BAL yang dapat
menggunakan prebiotik dapat menstimulasi sejumlah sel yang terlibat dalam respon imun
spesifik.

Bahan pangan yang diklasifikasikan sebagai prebiotik harus: 1) tidak dihidrolisis dan tidak
diserap di bagian atas traktus gastrointestinal sehingga dapat mencapai kolon tanpa mengalami
perubahan struktur dan tidak diekskresikan dalam tinja, 2) substrat yang selektif untuk satu atau
sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon, jadi memicu pertumbuhan bakteria
yang aktif melakukan metabolisme, 3) mampu mengubah mikroflora kolon menjadi komposisi yang
menguntungkan kesehatan. Supaya kerja prebiotik lebih efektif, fermentasi selektif adalah hal yang
sangat esensial (Gibson 1998).
Prebiotik yang mempunyai fungsi regulasi terhadap mikroekosistem mikrobiota probiotik
dalam usus dapat diperoleh dari : 1) ASI yang hanya kurang dari 5% dicerna di usus, 2) Karbohidrat
yang secara alami mengandung fruktooligosakarida, terdapat dalam berbagai sayur dan buah misalnya
bawang, asparagus, chicory (mengandung inulin), pisang, dan artichoke (Gibson 1998). Untuk
memperoleh oligosakarida yang akan dipakai sebagai bahan prebiotik dapat dilakukan melalui 1)
ekstraksi langsung polisakarida alami dari tumbuhan, 2) hidrolisis polisakarida alami, 3) sintesis
enzimatik dengan menggunakan hydrolases dan atau glycocyl transferases, kedua enzim tersebut
mengkatalisis reaksi transglikosilasi sehingga terjadi oligosakarida sintetik dari mono dan disakarida.
Fruktooligosakarida (FOS) merupakan oligosakarida dengan berat molekul yang rendah yang
memiliki efek terhadap Bifidobacteria usus dan merupakan prebiotik yang penting. FOS adalah suatu
gabungan rantai panjang dan pendek β-2-1-glikosidik (Roberfroid et al. 1998) FOS memiliki banyak
karakteristik yang diinginkan, termasuk stimulasi bifidus yang kuat (strong bifidus-stimulation). FOS
ini memiliki sifat larut dalam air, tidak dicerna di dalam usus halus, tidak bersifat viscous, tidak
mengikat asam empedu, dan sangat mudah difermentasi (Schneeman 1999). FOS berantai pendek
secara alami terdapat di dalam bawang, bawang putih, jerusalem artichoke, asparagus, gandum, dan
gandum hitam.
Fruktooligosakarida (FOS) merupakan substrat yang efisien untuk pertumbuhan Bifidobacteria
dibandingkan dengan glukosa (Rao 1999). Studi in vitro menggunakan inokulum fekal menunjukkan
bahwa FOS dapat dimanfaatkan secara cepat dan menyeluruh oleh mikroflora usus. Studi in vivo
dengan manusia pun menunjukkan bahwa FOS dapat meningkatkan Bifidobacteria (Hond et al. 2000).
Sebenarnya setiap bahan pangan yang masuk ke dalam usus besar adalah kandidat prebiotik.
Namun demikian untuk efektivitas, selektivitas fermentasi adalah sangat esensial. Bahan yang
mendapat banyak perhatian dan sukses dipakai adalah non digestible oligosaccharide seperti fruktosa,
xylosa, soya, galaktosa, glukosa, dan mannosa. Mengonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat
memodulasi komposisi mikrobiota kolon yang menyebabkan Bifidobakteria lebih dominan didalam
kolon dan banyak ditemukan di dalam tinja (Gibson 1995). Berdasarkan hasil penelitian Le Blay et al.
(1999), pemberian 9 g FOS per 100 g pakan untuk tikus percobaan dapat meningkatkan konsentrasi
total bakteri penghasil asam laktat dan Lactobacillus sp. setelah dua minggu.
Mikroorganisme probiotik secara umum didefenisikan sebagai kultur tunggal atau campuran
dari mikroorganisme hidup, yang bila diaplikasikan atau dikonsumsi oleh hewan atau manusia,
memberikan dampak positif terhadap kesehatan dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora usus
(Ouwehand 2002). Probiotik bekerja dalam berbagai cara termasuk memproduksi bakteriosin dan
menurunkan pH usus. Meskipun semua mekanisme probiotik belum sepenuhnya dipahami, diketahui
bahwa probiotik juga memiliki efek pada respon imun di usus, yaitu mengurangi peradangan.
Penggunaan probiotik telah disarankan untuk pencegahan dan perawatan kesehatan masalah usus
termasuk diare infeksi akut, diare terkait antibiotik dan penyakit radang usus.
Jumlah minimal sel probiotik yang dapat memberikan efek kesehatan masih kontroversial,
tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa dosis terapinya adalah harus lebih atau sama dengan 10 7
cfu/mL (Kailasapathy dan Rybka 1997), harus mencapai 108 sel probiotik hidup per hari (Lourens-
Hattingh dan Viljoen 2001), atau minimum 105 sel hidup setiap gram atau ml produk (Farida 2005).
Walaupun demikian, dosis tersebut sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan dan strain yang
digunakan (Rahayu 2004).
Mikroflora pada kolon manusia dapat memberikan manfaat kesehatan pada inang dengan
berfungsi sebagai natural barrier terhadap bakteri patogen (Collado et al. 2007). Selain meningkatkan
fungsi pencernaan normal dan perlindungan terhadap bakteri patogen, mikroflora memberikan efek
menguntungkan pada metabolisme sistemik dan sistem kekebalan (Bengmark 1998). Kemampuan
untuk mengontrol pertumbuhan dan potensi patogen bakteri ini tergantung pada fungsi yang tepat dari
mikroflora (McCracken dan Lorenz 2001). Dosis efektif probiotik ditentukan oleh afinitas relatif
untuk setiap reseptor (Salminen et al. 1999). Probiotik berbeda jenis dan bahkan berbeda strain
memiliki tindakan berbeda dan kemanjuran klinis dalam indikasi yang berbeda pula (Holst dan Breves
2005). Saat ini banyak dilakukan penelitian untuk memanipulasi komposisi mikrobiota kolon dalam
upaya memperoleh aspek potensial yang menguntungkan untuk inang misalnya Lactobacillus dan
Bifidobakteria.
Saat ini pangan probiotik semakin berkembang dan diminati masyarakat. Beberapa susu
fermentasi produksi industri pangan banyak yang telah menonjolkan bakteri probiotik. Bahan
makanan yang mengandung probiotik antara lain: (1) Yogurt, berisi L. bulgaricus dan S.
thermophilus dan jenis lain berisi L. acidophilus dan Bifidobacteria, (2) Acidophilus milk, berisi
Lactobacillus acidophilus, (3) Kefir, berisi sejumlah bakteri asam laktat, termasuk L. lactis, L.
cremoris, L. kefir, L. casei, L. acidophilus, dan Leuconostoc sp. (Dairy Foundation 1997). Produk-
produk probiotik juga telah banyak diproduksi oleh berbagai perusahaan dengan bermacam-macam
kemasan.
Kemungkinan yang lain untuk mengatur mikroflora adalah menggunakan sinbiotik, yaitu
kombinasi probiotik dan prebiotik. Sinbiotik adalah campuran probiotik dan prebiotik yang
bermanfaat terhadap inang dengan memperbaiki ketahanan dan implantasi dari suplemen pangan
berupa mikroba hidup di dalam saluran pencernaan inang (Andersson et al. 2001). Penambahan
mikroorganisme hidup (probiotik) dan substrat (prebiotik) untuk pertumbuhan bakteri, misalnya
fruktooligosakarida (FOS) dengan Bifidobacterium, atau lactitol dengan Lactobacillus. Keuntungan
dari kombinasi ini adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik oleh karena substrat yang
spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari
kombinasi ini.
Probiotik umumnya aktif di usus kecil sedangkan prebiotik hanya efektif dalam usus besar,
kombinasi dari keduanya akan memberikan efek sinergis. Penggunaan formulasi probiotik dapat
meningkatkan dan mempertahankan mikroflora usus yang sehat namun jumlahnya akan menyusut
dengan cepat. Oleh sebab itu, para peneliti membutuhkan sesuatu yang akan membantu menjaga
bakteri baik dalam sistem pencernaan yaitu dengan menyertakan prebiotik. Prebiotik menyediakan
tempat yang tepat untuk probiotik dapat berkembang. Selain itu, prebiotik merangsang pertumbuhan
dan meningkatkan kegiatan positif mikroflora usus endogen (Tomasik 2003). Dengan meningkatkan
jumlah prebiotik dalam makanan maka jumlah bakteri baik dalam sistem pencernaan kita akan
semakin meningkat. Hal ini akan dapat mengurangi risiko diare, alergi dan bahkan kanker usus besar.

2.6 Yogurt
Yogurt adalah susu fermentasi tertua yang pernah diketahui, dan menjadi makanan yang
dikonsumsi oleh penduduk di Timur Tengah. Pembuatan yogurt merupakan salah satu metode tertua
dalam sejarah pengawetan susu, yaitu dengan cara mengasamkan susu yang terkontaminasi secara
alami pada suhu sekitar 40-500 C (Prajapati dan Nair 2008). Kemudian konsumsi yogurt yang
diproduksi secara komersial meningkat dengan cepat di Eropa pada awal abad ke-20 setelah publikasi
dari Metchnikoff yang menyatakan bahwa mengkonsumsi susu fermentasi dapat memperpanjang
umur (Van de Water dan Naiyanetr 2008). Secara alami susu memiliki substrat antimikroba yang
berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri merugikan tetapi substrat tersebut menghilang
beberapa saat setelah pemerahan, terutama komponen yang mudah menguap (volatil).
Proses fermentasi adalah salah satu cara untuk memproduksi substrat antimikroba pasca-
pemerahan tersebut. Dalam pembuatan yogurt, susu skim, susu segar yang telah dihomogenasi atau
susu segar ditambahkan starter untuk proses fermentasinya. Starter yogurt adalah bakteri termofilik
yang dapat hidup pada suhu 40-450C. Hubungan antara S. thermophilus dan L. bulgaricus adalah
simbiosis. Faktor penstimulir pada starter yogurt terjadi pada saat inkubasi dimana L. bulgaricus
menyediakan nutrisi misalnya asam amino dan peptida untuk pertumbuhan S. thermophilus yang
kemudian akan memproduksi sejenis asam format dan akan menstimulir pertumbuhan L. bulgaricus
(Vedamuthu 2006).
Menurut Vedamuthu (2006), S. thermophilus adalah bakteri berbentuk kokus dan L. bulgaricus
berbentuk batang. Pada awal inkubasi, S. thermophilus tumbuh cepat dan mendominasi fermentasi.
Setelah pH mencapai di bawah 4.2 maka fermentasi akan didominasi oleh L. bulgaricus.
Perbandingan yang baik antara S. thermophilus dan L. bulgaricus adalah 1:1 dengan konsentrasi
starter 2% dari volume susu. Flavor khas yogurt disebabkan karena asam laktat dan sisa-sisa
asetaldehida, diasetil, asam asetat dan bahan-bahan mudah menguap lainnya yang dihasilkan oleh
fermentasi bakteri. L. bulgaricus adalah penyebab utama terbentuknya asetaldehida (Buckle et al.
1987). Selama proses fermentesi, akan dihasilkan asam laktat hingga mencapai konsentrasi 109/mL.
Penurunan pH akibat produksi asam laktat akan mengakibatkan destabilisasi kasein misel pada pH
5.1–5.2 hingga tercapai koagulasi pada pH 4.6. Kemudian yogurt disimpan pada suhu 4–10°C
untuk memperlambat proses fermentasi (Van de Water dan Naiyanetr 2008)
Sifat yogurt dapat dipengaruhi oleh komposisi susu yang digunakan. Yogurt yang dibuat dari
susu segar, dimana kandungan lemaknya lebih tinggi akan memberikan rasa lemak yang lebih tinggi
dan teksturnya lebih halus, sedangkan jika dibuat dari susu skim maka mouthfeelnya akan berkurang,
karena kandungan lemaknya rendah (Chandan 2006).
Berdasarkan struktur fisik koagulumnya, yogurt terbagi atas set yogurt, yaitu yogurt yang
berstruktur setengah padat dan stirred yogurt, yang mempunyai struktur gel yang pecah sebelum
pendinginan dan pengemasan (Tamime 2005). Syarat mutu yogurt berdasarkan SNI 01-2981-2009
dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan protein yogurt minimal 3.5 %, lebih besar dibandingkan susu
murninya yang hanya 2.80-4%. Hal ini disebabkan adanya penambahan protein dari sintesis mikroba
dan kandungan protein dari mikroba itu sendiri. Perubahan zat gizi lainnya tidak menunjukkan
perubahan yang nyata (Vedamuthu 2006).
Komponen-komponen penting dalam susu yang berperan dalam fermentasi adalah laktosa dan
kasein. Selama proses fermentasi laktosa oleh bakteri asam laktat diubah menjadi asam laktat. Laktosa
susu yang diubah menjadi asam laktat hanya sekitar 30% sedang sisanya (79%) masih dalam bentuk
laktosa. Untuk menambah rasa manis maka sisa laktosa dapat diubah menjadi glukosa dengan bantuan
penambahan enzim laktase (Chandan 2006).
Kasein merupakan bagian terbesar penyusunan protein susu, yaitu sekitar 76%. Senyawa
kasein dalam susu merupakan senyawa kompleks, karena terdapat bersama-sama kalsium dan fosfat
sehingga membentuk senyawa kalsium kaseinat fosfat juga merupakan casein micelle. Senyawa inilah
yang berperan dalam pembentukan gel protein (Tamime 2005). Laktosa dihidrolisis menjadi glukosa
dan galaktosa atau galaktosa-6-fosfat oleh enzim α-D-galaktosidase dan α-D-fosfogalaktosidase yang
dihasilkan oleh L. bulgaricus dan S. thermophilus.

Tabel 2. Syarat mutu yogurt menurut SNI


N Kriteria uji Satuan Yogurt tanpa perlakuan Yogurt dengan perlakuan
No panas setelah fermentasi panas setelah fermentasi
Yogurt Yogurt Yogurt Yogurt Yogurt Yogurt
rendah tanpa rendah tanpa
lemak lemak lemak lemak
1. Keadaan
1.1. Penampakan - Cairan kental – padat Cairan kental – padat
1.2. Bau - Normal/khas Normal/khas
1.3. Rasa - Asam/khas Asam/khas
1.4. Konsistensi - Homogen Homogen
2. Kadar lemak % Min.3 0.6-2.9 Maks. Min 0.3 0.6-2.9 Maks.
(b/b) 0.5 0.5
3. Total padatan % Min. 8.2 Min. 8.2
susu bukan
lemak (b/b)
4. Protein (Nx6,38) % Min. 2.7 Min. 2.7
(b/b)
5. Kadar abu (b/b) % Maks. 1.0 Maks. 1.0
6. Keasaman % 0.5-2.0 0.5-2.0
(dihitung sebagai
asam laktat) b/b
7. Cemaran logam
7.1. Timbal(Pb) mg/kg Maks. 0.3 Maks. 003
7.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20.0 Maks. 20.0
7.3. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0
7.4. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.03 Maks. 0.03
7.5. Arsen mg/kg Maks. 0.1 Maks. 0.1
8. Cemaran mikroba
8.1. Bakteri coliform APM/g Maks. 10 Maks. 10
atau
koloni/g
8.2. Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g
8.3. Listeria - Negatif/25 g Negatif/25 g
monocytogenes
9. Jumlah bakteri koloni/g Min 107 -
starter*
*sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)
Sumber: SNI 01-2981-2009

Glukosa hasil pemecahan laktosa, selanjutnya melalui jalur glikolisis dapat dibentuk asam
piruvat dan selanjutnya dapat diubah menjadi asam laktat oleh enzim laktat dehidrogenase yang
dikeluarkan oleh L. bulgaricus dan S. thermophilus. Terbentuknya asam laktat menyebabkan
penurunan pH sehingga kasein mengalami koagulasi pembentuk gel. Terbentuknya gel menyebabkan
tekstur menjadi semi padat sehingga viskositasnya naik dan dipengaruhi oleh kandungan zat padat,
protein dan proses homogenisasi. Selama proses fermentasi dibentuk senyawa-senyawa penyebab
flavor yaitu asetaldehid, asetoin, aseton, dan diasetil (Robinson et al. 2006)
Penggunaan kultur campuran yaitu L. bulgaricus dan S. thermophilus dapat meningkatkan
jumlah asetaldehid, dibandingkan bila hanya dipergunakan kultur tunggal, komponen pendukung
flavor yang lain adalah asam lemak volatil dan asam amino. Kultur susu fermentasi bersifat
proteolitik, sehingga selama proses fermentasi terjadi penaikan jumlah protein terlarut dapat
membantu pembentukan flavor dan pembentukan struktur. Aktivitas proteolitik dari L. bulgaricus
lebih besar dibandingkan dengan S. thermophilus. Selain aktivitas proteolitik, kultur juga mempunyai
aktivitas lipolitik walaupun hanya rendah, yang dapat menyebabkan kenaikan jumlah asam lemak
bebas selama penyimpanan (Tamime 2005)
Dalam penelitian kali ini, selain probiotik, akan ditambahkan juga prebiotik sehingga yogurt
yang dihasilkan adalah yogurt sinbiotik. Sinbiotik adalah campuran probiotik dan prebiotik yang
bermanfaat terhadap inang dengan memperbaiki ketahanan dan implantasi dari suplemen pangan
berupa mikroba hidup di dalam saluran pencernaan inang (Andersson et al. 2001).
Yogurt sinbiotik merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat dengan
menggunakan campuran beberapa kultur bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus,
Streptococcus thermophilus, Lactobacillus achidophilus, dan Bifidobacterium bifidum, yang
dikombinasikan dengan prebiotik seperti fruktooligosakarida (FOS). Kombinasi probiotik (bakteri
asam laktat) dan prebiotik dapat meningkatkan daya tahan bakteri probiotik oleh karena substrat yang
spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari
kombinasi ini (Ouwehand et al. 2007).

2.7 Darah
Darah didefinisikan sebagai kumpulan elemen dalam bentuk suspensi atau sel yang terendam
dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut sebagai plasma darah atau larutan yang bersifat
cair dan terdiri dari bermacam-macam molekul organik dan anorganik. Darah merupakan media cair
yang terdiri dari sel-sel yang diproduksi oleh jaringan hemopoietika yang disirkulasikan ke dalam
jaringan tubuh sebagai pembawa nutrien dan mengandung faktor-faktor yang penting untuk
mempertahankan tubuh terhadap penyakit (Frandson 1996).
Darah yang merupakan pembawa berbagai zat tersebut dipompakan oleh jantung melalui
sistem pembuluh darah yang tertutup. Darah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu cairan dan
padatan. Gambar 1 menjelaskan pembentukan sel-sel darah menjadi sel yang berdiferensiasi. Cairan
terdiri dari serum atau plasma dan padatan terdiri dari butir darah merah, butir darah putih dan
kepingan darah (Harper 1997). Sel darah terdiri atas tiga macam yaitu sel darah merah, sel darah
putih dan kepingan darah. Bila contoh darah dibiarkan atau disentrifus akan terjadi pemisahan menjadi
dua bagian yaitu 1) elemen seluler terdiri dari eritrosit, leukosit, trombosit dan kadang-kadang sel
miselenius dari retikulo endoplasmik sistem (RES), 2) plasma atau ekstraseluler mengandung air,
protein, elektrolit, glukosa, enzim dan hormon. Volume darah dalam tubuh bervariasi jumlahnya
tergantung pada ukuran tubuh, umur, derajat aktivitas tubuh, keadaan kesehatan, makanan, laktasi dan
lingkungan (Harper 1997).

Eritroblas Eritrosit

Eosinofil

Basofil Sel
Mieloblas Granul
Mast

Sel Bakal Neutrofil


Pluripotensial

Monoblas Monosit Makrofag

Megakarioblas Trombosit

Limfosit B
Sel Bakal
Prolimpoblas
Limfosit
Limfosit T

Gambar 1. Diagram sederhana dari diferensiasi sel darah di sumsum tulang (Corwin 2000).
Darah sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras, emosi, serta latihan yang berlebih. Jika
tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan.
Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan oleh faktor internal seperti pertambahan umur, keadaan gizi,
latihan, kesehatan, siklus stress, proses produksi darah, kebuntingan, dan suhu tubuh. Perubahan
eksternal antara lain infeksi kuman penyakit, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton 1997).
Fungsi utama darah adalah mempertahankan homeostasis. Fungsi penting darah selain sebagai
homeostasis dalam sistem sirkulasi yaitu : 1) pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran
pencernaan menuju ke jaringan tubuh, 2) pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan
karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa produk buangan dari berbagai jaringan
menuju ke ginjal untuk diekskresikan, 4) pembawa hormon dari kelenjar endokrin ke organ lain dalam
tubuh, 5) alat mempertahankan keseimbangan air dan sistem buffer dan 6) penggumpalan atau
pembekuan sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka
(Ganong 1995). Darah juga berfungsi untuk mempertahankan tubuh terhadap masuknya benda-benda
asing dan mikroorganisme.

2.7.1 Eritrosit
Eritrosit adalah sel darah merah yang membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Eritrosit
berbentuk bikonkaf dan berukuran 7 µm, tebalnya 1–3µm dan merupakan 45 % dari total volume total
darah (Thrall 2004). Fungsi utama sel darah merah adalah untuk mengangkut Hb (hemoglobin).
Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton 1997). Pada saat
dewasa baik eritrosit, leukosit dan trombosit dibentuk di dalam sumsum tulang sedangkan pada saat
fetus, sel-sel darah juga dibentuk di dalam hati dan limpa (Ganong 1995).
Proses pembentukan sel darah merah di dalam tubuh disebut eritropoiesis. Pembentukan sel
darah merah mengalami kendali umpan balik. Pembentukan ini dihambat oleh meningkatnya kadar sel
darah merah dalam sirkulasi yang berada di atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia.
Hal itu karena jumlah sel darah merah yang rendah akan merangsang ginjal untuk mensekresikan
eritropoietin sehingga keadaan anemia dapat tertanggulangi. Pembentukan sel darah merah juga
dirangsang oleh hipoksia (kekurangan oksigen), dan aklimatisasi terhadap tempat tinggi (Ganong
1995).
Ginjal merupakan tempat utama diproduksinya eritropoietin, sedangkan target utamanya dalah
sumsum tulang. Eritropoietin dibentuk juga di hati pada masa fetus dan di ginjal pada saat hewan
dewasa. Kedua organ tersebut mengandung mRNA untuk eritropoietin. Eritropoietin juga dapat
diekstraksi dari limpa dan kelenjar air liur, tetapi kedua jaringan ini tidak mengandung mRNA dan
dengan demikian tampaknya tidak membentuk hormon ini. Bila massa ginjal berkurang akibat
penyakit ginjal atau pemotongan ginjal maka hati tidak dapat mengkompensasi dan terjadi anemia
(Ganong 1995).
Eritropoietin akan merangsang diferensiasi sel induk menjadi rubiblast. Selain itu merangsang
proliferase dan mempercepat pematangan rubiblast serta pelepasan retikulosit ke dalam sirkulasi.
Eritropoietin sangat peka terhadap perubahan kadar oksigen di dalam jaringan. Kadar oksigen di
dalam jaringan dipengaruhi oleh aliran darah, kadar hemoglobin, saturasi oksigen hemoglobin, dan
afinitas oksigen terhadap hemoglobin. Penurunan oksigen akan merangsang ginjal untuk melepaskan
enzim eritrogenin yang mengaktifkan eritropoietinogen. Eritropoietinogen merupakan suatu prekursor
eritropoietika yang dihasilkan oleh hati (Thrall 2004).
Pembentukan sel darah merah dimulai dari pluripotensial stem cell (PPSC) di dalam sumsum
tulang yang berdiferensiasi dan berkembang menjadi unipotensial stem cell. Eritrosit dibentuk melalui
suatu proses pematangan yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembelahan dan perubahan-
perubahan morfologi sel berinti mulai dari rubiblas, prorubrisit, rubrisit, metarubrisit. Setelah itu
dilanjutkan dengan pembentukan eritrosit polikrom tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya
menjadi eritrosit.
Menurut Guyton dan Hall (1997) tahapan diferensiasi eritrosit dibagi sebagai berikut :
1. Sel Progenitor
a. Burst Forming Units-Erythoid (BFU-E) yaitu sel-sel progenitor eritoid yang paling primitif.
Terdiri dari koloni yang sangat besar dengan ribuan nukleus prekursor eritoid di dalam jaringan.
b. Bentuk Intermediet.
c. Colony Forming Units-Erythoid (CFU-E) adalah sel progenitor yang telah mengalami
perubahan eritoid lebih lanjut. Bentuk koloni lebih kecil dengan 64 nukleus perkursor eritoid di
dalam jaringan.
2. Morfologi prekursor nukleus sudah dapat dikenali. Hal ini dikategorikan dari apa yang dilihat dari
ulasan sumsum tulang yang diwarnai dengan perwarnaan eosin metylene blue sebagai berikut:
a. Pronormoblast adalah prekursor sel darah merah paling awal yang dapat dikenali dengan sebuah
sel besar bersitoplasma biru dan nukleis yang mengisi sel. Pada nukleus ditemukan benang
kromatin yang berisi satu sampai beberapa nukleus kecil berwarna biru.
b. Normoblast, ada tiga tahapan perkembangan diferensiasi yang dikenal yaitu :
1. Basofilik yaitu sel yang kehilangan nukleolusnya dengan kromatin inti sel yang terlihat tidak
beraturan dan sitoplasma tetap biru tua karena berisi RNA tinggi.
2. Polikhromatik yaitu sel dengan nukleus lebih kecil dengan kromatin bervariasi dari abu-abu
keunguan sampai ungu-merah jambu yang terefleksikan dari penurunan isi RNA dan
peningkatan isi hemoglobin.
3. Orthokhromatik yaitu sel yang kecil dengan nukleus yang menyusut menjadi sebuah bola
hitam yang keras dan sitoplasma berwarna merah muda.
3. Retikulosit adalah sel yang hampir dewasa memiliki bekas nukleus. Meskipun tetap berisi residu
RNA di dalam sitoplasma, dimana dapat mengendap menjadi sebuah jaringan retikulin yang
dipertegas dengan pewarnaan yang lebih pekat. Sel tersebut diberi nama retikulosit. Pewarnaan
untuk jaringan retikulin digunakan untuk membedakan retikulosit dari BDM yang dewasa.

Menurut Guyton (1997) rubiblas disebut juga pronormoblas atau proeritroblas. Sel ini berinti
bulat dengan beberapa anak inti dan khromatin yang halus. Ukuran sel rubiblas bervariasi antara 18-
25 µm dalam keadaan normal jumlah rubiblas di dalam sumsum tulang kurang dari 1 % dari seluruh
jumlah sel berinti. Rubiblas membelah beberapa kali sampai akhirnya membentuk 8-16 sel darah
merah matang. Sedangkan menurut Hoffbrand et al (2005) pronormoblas adalah sel besar dengan
sitoplasma biru tua, dengan inti di tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal.
Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin kecil melalui
sejumlah pembelahan sel.
Pada proses pematangan eritrosit setelah pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti sel
masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini
berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di dalam darah tepi. Pada saat proses
pematangan akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen
mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom,
dimana konsentrasi hemoglobin sekitar 34%, sedangkan nukleus memadat dan ukurannya mengecil
(Hoffbrand et al. 2005).
Membran eritrosit terdiri atas dua lapis lipid yaitu protein membran integral dan suatu
rangkaian membran. Sekitar 50 % membran adalah protein, 40% lemak, dan 10 % karbohidrat.
Metabolisme eritrosit melalui dua jalur yaitu Embden-meyerhoff (jalur glikolisis anaerob). Melalui
jalur ini eritrosit memiliki kemampuan menghasilkan energi ATP dan eritrosit dapat menghasilkan
kekuatan pereduksi sebagai NADH, sedangkan melalui jalur pintas heksosa monofosfat eritrosit
sebagai nikotinamida adenine dinukleoitida (NADH) (Hoffbrand et al. 2005).
Lama masa hidup eritrosit yang rata-rata 120 hari menyebabkan jumlah eritrosit yang relatif
tetap yang dihancurkan setiap hari oleh Retikulo Endoplasmik Sistem (RES). Oleh karena itu jumlah
seluruh eritrosit dalam sirkulasi juga tergantung kecepatan produksi eritrosit dalam sumsum tulang
(Guyton 1997). Ada berbagai jenis kelainan pada bentuk eritrosit yaitu eritrosit yang bentuknya
makrosit disebabkan oleh penyakit hati, alkoholisme, oval pada anemia megaloblastik. Menurut
Frandson (1996) hitungan darah menyajikan suatu prosedur laboratories yang berguna untuk
memperkirakan jumlah dan jenis sel-sel dalam darah yang bersirkulasi pada hewan pada suatu waktu
tertentu. Hitungan sel total dinyatakan dalam jumlah sel dalam milimeterkubik darah. Hitungan ini
berlaku untuk eritrosit dan leukosit, walaupun teknik dan peralatannya agak berbeda.
Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon eritropoietin
yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi proeritroblas dari sel-sel
hemopoietik dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dan asam folat mempengaruhi eritropoiesis pada
tahap pematangan akhir dari eritrosit. Sedangkan hemolisis dapat mempengaruhi jumlah eritrosit yang
berada dalam sirkulasi (Meyer dan Harvey 2004).
2.7.2 Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan unit yang termobil/aktif dalam sistem pertahanan
tubuh (Guyton 1996). Setelah dibentuk, leukosit diangkut oleh darah menuju jaringan tubuh untuk
digunakan. Fungsi leukosit yaitu untuk pertahanan tubuh yang cepat dan kuat terhadap setiap benda
asing yang mungkin ada (Guyton dan Hall 1997). Leukosit ada dalam beragam bentuk, namun
semuanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari banyak penyebab penyakit seperti bakteri, virus, dan
parasit. Leukosit terbagi dalam 2 golongan berdasarkan ada tidaknya granula dalam sitoplasma yaitu
polimorfonuklear/granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil) dan mononuklear/agrunalosit (limfosit dan
monosit) (Harvey 2001). Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi
yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan (Clark 2009). Semua sel-sel ini bekerja sama untuk
mencegah penyakit melalui dua cara yaitu : 1) dengan memakan benda-benda sing asing tersebut
melalui proses fagositosis dan 2) dengan membentuk antobodi dan limfosit yang peka, salah satu atau
keduanya dapat menghancurkan atau membuat benda sing menjadi tidak aktif (Guyton dan Hall
1997). Leukosit memiliki bentuk yang khas. Pada keadaan tertentu, inti dan sitoplasmanya mampu
bergerak. Kalau eritrosit bersifat pasif dalam melaksanakan tugasnya maka leukosit dapat keluar dari
pembuluh darah untuk melakukan fungsinya. Jumlah leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi
tergantung hewannya. Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu
seperti stress, aktivitas fisiologi, gizi, umur dan lain-lain (Dharmawan 2002).
Menurut Clark (2009), leukosit melindungi tubuh melalui dua mekanisme yang berbeda yaitu
fagositosis yang dilakukan oleh makrofag dan neutrofil serta pembentukan antibodi. Sejumlah besar
leukosit keluar dari dalam tubuh melalui jalan saliva, susu, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. Penyingkiran leukosit melalui jalan ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh melawan
penyakit. Secara fisiologis hal ini terjadi akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di
dalam sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel
tersebut. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara
fisik maupun emosional atau akibat penyakit yang diderita, dapat menyebabkan peningkatan jumlah
leukosit. Sedangkan pada leukositosis patologis, peningkatan leukosit disebabkan oleh leukosit aktif
melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20000-
40000/µL. Leukosit dalam melaksanakan fungsinya menggunakan darah sebagai media transportasi
dari sumber pembentuknya menuju jaringan-jaringan di dalam tubuh (Guyton dan Hall 1997).
Sirkulasi darah sebagai media transportasi akan membawa sel sel leukosit menuju lokasi invasi
mikroorganisme atau perlukaan di dalam jaringan.
Jumlah total leukosit per millimeter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan
dan kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah
total leukosit dalam keadaan sehat. Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam
seluruh aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton
1996). Leucopenia atau penurunan jumlah leukosit di dalam sirkulasi umumnya disebabkan oleh
neutropenia atau limfopenia (Harvey 2001).

2.7.3 Hemoglobin

Hemoglobin merupakan pigmen pada eritrosit yang terdiri dari protein terkonjugasi kompleks
yang mengandung besi (Guyton 1996). Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas dalam
stadium retikulosit kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang. Jika sel eritrosit meninggalkan
sumsum tulang dan masuk ke aliran darah maka akan tetap melanjutkan pembentukan sedikit
hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya.
Hemoglobin terbentuk dari gabungan dua komponen yaitu heme dan globin. Heme
mengandung protophorpirin dan ion Fe2+ yang disintesis oleh mitokondria dan dari beberapa
penyelidikan dengan menggunakan isotop diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat
dan glisin yang umumnya terjadi di dalam mitokondria (Guyton 1995). Kandungan zat besi yang
terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian
dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong 1995). Globin adalah suatu
polipeptida yang didapatkan dari pembentukan hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah
merah (Frandson 1996).
Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan
reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan mengubah sifat-sifat fisik molekul
hemoglobin (Guyton 1995). Hemoglobin janin normalnya digantikan dengan hemoglobin dewasa,
segera setelah lahir (Ganong 1995). Hemoglobin pada fetus berbeda dengan orang dewasa. Perbedaan
ini terdapat pada komposisi asam amino, kurva disosiasi oksigen, kelarutan dan spektrum absorbansi
ultra violet.
Kadar hemoglobin pada tikus sangat dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk proses
pengambilan darah, umur, jenis kelamin, galur, anesthesia yang dilakukan, dan stress. Pada tikus,
pengambilan darah yang dilakukan dari hati, secara signifikan menurunkan jumlah eritrosit, leukosit,
hemoglobin dan hematokrit jika dibandingkan dengan pengambilan darah dari retroorbital sinus atau
ekor (Campbell 2004). Kadar hemoglobin dalam darah normal tikus berkisar 13.2-16.4 g/dL
(Campbell 2004).
Hemoglobin embrional terdiri dari sebuah kombinasi antara dua rantai α dengan dua rantai ε,
yang pada akhirnya hemoglobin embrional dikomposisikan dalam sebuah tetramer rantai ε yang akan
menghilang setelah 3 bulan pertama hidup di intrauterus. Hemoglobin fetus (Hgb F) terdiri dari 2
rantai polipeptida yaitu α dan γ. Produksi rantai α dan γ dimulai sejak awal kehidupan fetus, kemudian
rantai γ berangsur-angsur menurun sebelum kelahiran dan digantikan dengan peningkatan produksi
rantai β dan pada saat lahir Hgb F tetap dibuat dengan nilai sekitar 75% dari total hemoglobin, tetapi
kadar Hgb F menurun hinga 5 % pada usia 6 bulan (Ganong 1995). Hemoglobin orang dewasa normal
90%-nya berupa hemoglobin A (Hgb A) yang terdiri dari dua rantai polipeptida rantai α dan β.
(Guyton 1995).

2.7.4 Trombosit
Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah. Sebanyak 45% dari volume darah terdiri dari sel-
sel darah dan 55% terdiri dari plasma. Elemen darah terbentuk oleh tiga jenis sel, yaitu sel darah
merah (RBC- red blood cell), sel darah putih (WBC- white blood cell) dan sel pembekuan darah
(trombosit). Trombosit mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu sebesar 2 μm. Trombosit tidak
mempunyai inti sel dan merupakan fragmen sel, dan berbentuk giant cell di dalam sumsum tulang
belakang (Harvey 2001).
Keping-keping darah atau sering dikenal dengan sebutan trombosit berukuran kecil, tidak
berwarna, dan berbentuk bulat atau batang (dalam sirkulasi darah hewan). Besar trombosit bermacam-
macam, pada mamalia rata-rata berdiameter 3μ, dalam keadaan tertentu dapat berukuran besar.
Trombosit dibentuk di hati fetus, limfa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, sumsum tulang
merupakan tempat pembentukan utama. Trombosit berasal dari megakariosit dan jumlahnya paling
banyak pada darah yang bersirkulasi. Jumlah trombosit tergantung pada spesies hewan. Pada individu
yang sama, jumlah trombosit darah vena dan arteri berbeda (Supriatna 1998).
Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit dibentuk di sumsum tulang belakang dari
megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang belakang
yang memecah menjadi trombosit. Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah
sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi.
Membran sel trombosit juga memegang peranan yang penting. Di permukaannya terdapat
lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal
dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan
bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka pada bagian pembuluh. Waktu paruh hidup
trombosit dalam darah berkisar antara 8-12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit
kemudian diambil dari sirkulasi oleh sistem makrofag jaringan dan diganti dengan sel yang baru.
Menurut Sacher dan McPheson (2000), trombosit mempunyai dua fungsi yang berbeda: (1)
melindungi integritas endotel pembuluh darah, dan (2) memulai perbaikan apabila terjadi kerusakan
pada dinding pembuluh darah. Interaksi trombosit dengan dinding pembuluh ini disebut hemostatis
primer.
Trombosit berfungsi dalam sistem pembekuan darah, dari trombosis jaringan yang rusak akan
dikeluarkan tromboplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin.
Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang
terluka. Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit memegang peranan yang penting dalam
mengubah protrombin menjadi trombin, karena benyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor
trombosit yang telah berikatan dengan jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat
pembentukan trombin dari protrombin. Mekanisme terbentuk benang fibrin yang akan menutup
jaringan yang rusak dapat dilihat pada Gambar 2.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma prekusor sel induk, yaitu megakariosit. Ukuran trombosit
bervariasi dan beredar selama kurang lebih 10 hari sebagai sel berbentuk piringan dan tidak berinti.
Pembentukan trombosit dilakukan oleh trombopoietin, yang analog dengan eritropoietin pada
pembentukan eritrosit. Trombopoietin memiliki homologi yang subtansial dengan eritropoietin dan
tidak saja meningkatkan produksi trombosit, tetapi juga proliferasi megakariosit (Sacher dan
McPherson 2000).

Protrombin
Aktivator Ca2+
protrombin
Trombin

Fibrinogen Fibrinogen
monomer

Benang-benang
fibrin Ca2+

Trombin → faktor
stabilisasi fibrin yang
teraktivasi

Benang fibrin yang saling


berikatan

Gambar 2. Skema perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk
benang fibrin (Guyton dan Hall 1996)

Gangguan pada jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan pemanjangan waktu pendarahan
dan kelainan pembentukan bekuan. Keadaan dimana jumlah trombosit darah berkurang disebut
dengan trombositopenia. Ini terjadi saat trombosit menghilang dari sirkulasi, lebih cepat sebelum
waktunya dan belum digantikan oleh trombosit baru. Trombositopenia juga dapat diakibatkan oleh
gagalnya produksi trombosit yang masih ada dalam sirkulasi darah. Menurut Sacher dan McPherson
(2000), penyebab utama trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) kegagalan
sumsum tulang belang untuk menghasilkan trombosit dalam jumlah memadai, dan (2) peningkatan
destruksi perifer atau sekuestrasi trombosit.

2.7.5 Hematokrit

Hematokrit atau PVC (Packed Cell Volume) adalah suatu persentase sel darah merah di dalam
100 ml darah. Pada hewan normal, PVC sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin.
Makin besar presentase eritrosit maka makin besar nilai hematokritnya. Nilai hematokrit bervariasi
tergantung dari tingkat keaktifan tubuh, adanya anemia, atau ketinggian tempat tinggal (Guyton
1995). Hubungan eritrosit terhadap viskositas darah adalah berbanding lurus yaitu semakin besar
hematokrit maka semakin banyak pula timbul gesekan antara lapisan darah dimana viskositas darah
semakin meningkat, yang ditunjukkan dengan meningkatnya derajat kesukaran aliran darah melalui
pembuluh darah kecil (Guyton 1995).
Hematokrit merupakan indikasi dari proporsi sel cairan di dalam darah. Hematokrit yang
rendah dapat mengindikasikan beberapa kelainan antara lain anemia, hemoragik, kerusakan sumsum
tulang, kerusakan sel darah merah, malnutrisi, myeloma, rheumatoid, dan arthritis. Sebaliknya nilai
hematokrit yang tinggi mengindikasikan dehidrasi eritrositosis dan polisitemia vena. Limpa
memainkan peranan yang penting dalam mempengaruhi besarnya sirkulasi darah merah. Pemeriksaan
yang dilakukan berhubungan dengan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit di
pembuluh darah. Rasio total hematokrit pembuluh darah dengan hematokrit vena lebih besar ketika
limpa mengalami gangguan (Campbell 2004). Darah dalam pembuluh yang kecil pada tubuh secara
nyata menurunkan nilai hematokrit dibandingkan dengan darah yang berasal dari jantung atau
pembuluh besar.
Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang
diberi zat agar tidak menggumpal, kemudian dilakukan sentrifugasi sampai sel-sel menggumpal di
bagian dasar. Sejumlah darah yang disentrifugasi dengan kecepatan tinggi menyebabkan terpisahnya
elemen-elemen darah yang dapat dibedakan dari atas ke bawah sebagai berikut : 1) Plasma berupa
selapis kuning yang terpisah karena diperas dari lapisan- lapisan sel darah, 2) Bagian keruh/bafikut,
yaitu suatu lapisan berwarna abu-abu sampai abu-abu kemerahan yang terdiri dari trombosit (mengisi
lapisan teratas berwarna kuning kecoklatan), leukosit (lapisan berwarna abu kemerahan), dan eritrosit
(memberi warna merah dalam lapisan keruh ini), 3) Retikulosit yaitu lapisan terbawah berwarna
merah tua. Nilai hematokritnya kemudian dapat diketahui secara langsung dari tabung tersebut. Nilai
hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan eritrosit total dan pelaksanaannya
juga jauh lebih mudah (Frandson 1996).

2.7.6 Hematology Analyzer

Hematology analyzer atau blood cell counter adalah alat yang digunakan untuk pemeriksaan
darah. Fungsi alat ini intinya untuk menghitung jumlah sel-sel darah. Tetapi hasil pemeriksaan dari
alat ini bisa bermacam-macam, seperti perhitungan volume rata-rata eritrosit/Mean Cell Volume
(MCV), rata-rata sel hemoglobin/Mean Cell Hemoglobin (MCB), konsentrasi rata-rata sel
hemoglobin/Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC), volume rata-rata platelet/Mean Platelete
Volume (MPV) dan masih banyak parameter lain yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan alatnya.
Menurut Sofie (1994), alat ini dapat bekerja ganda yaitu dengan metode otomatik optik dan
metode elektrik konduksi. Metode otomatik optik mendasarkan pada pengumpulan hamburan cahaya
dari sel-sel darah dan mengonversinya ke dalam bentuk pulsa-pulsa listrik untuk dihitung. Cahaya
tersebut dilewatkan melalui aliran sel, kemudian diteruskan ke detektor cahaya seperti photo
multiplier. Jika ada sel yang lewat maka cahaya yang ke detektor akan terhalang oleh sel. Besar
kecilnya sel akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya cahaya yang ke detektor, sehingga detektor
juga akan mengkonversinya ke dalam pulsa-pulsa listrik dengan amplitudo yang berbeda-beda. Pulsa-
pulsa ini kemudian dikuatkan oleh amplifier berimpedansi imputan tinggi. Setelah melalui amplifier,
pulsa-pulsa ini masuk discriminator amplitudo yang dapat diatur untuk memilah-milah pulsa yang
benar-benar dari sel. Kemudian dihitung dan ditampilkan ke penampil (display). Teknik ini
membutuhkan waktu 30 detik untuk sekali proses penghitungan secara lengkap. Sistem ini
memerlukan kurang lebih satu mililiter sampel darah.
Dalam metode kedua yaitu metode elektrik konduksi, menggunakan prinsip mengukur
perubahan konduktivitas yang terjadi pada saat tiap sel melewati sebuah lubang sel pada orifice (ruang
penghitungan). Prinsip pengukurannya bahwa darah adalah bukan konduktor yang baik dan pelarut
yang digunakan adalah konduktor yang baik. Metode ini menggunakan dua buah elektrode, yang satu
diletakkan dalam orifice dan yang lainnya ditempatkan di luarnya. Di antara kedua elektrode (terbuat
dari platinum) itu dialirkan arus listrik konstan. Penghitungan sel terjadi saat sel-sel darah dialirkan
melewati lubang bersama mengalirnya larutan (reagen). Pada saat tidak ada sel yang melewati lubang
orifice maka resistansi antara dua elektrode sangat kecil, tetapi pada saat sebuah sel melewati lubang
orifice maka resistansi akan menjadi besar sehingga pulsa tegangan akan terbentuk sesuai dengan
besar atau volume sel.
Alat hematology analyzer yang dipakai dalam penelitian ini berada di Laboratorium Kesehatan
Daerah di Jl. Kesehatan No.3 Tanah Sareal Bogor. Tipe alatnya yaitu Hemavet HV950FS multispecies
hematology analyzer (Gambar 3). Prosedur penggunaannya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 3. Hematology analyzer di Labkesda Bogor
BAB III
METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tikus percobaan berjenis kelamin jantan
jenis Albino Norway Rats galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu. Ransum yang digunakan terdiri
atas pati jagung, kasein, mineral mix, vitamin mix, air, minyak jagung, dan carboximethylcelulose.
Bahan untuk pembuatan yogurt adalah kultur Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus,
bakteri asam laktat (BAL) lokal (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4),
kultur Enteropathogenic Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1), media de Man Rogosa Sharpe Broth
(MRSB), media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media Nutrient Broth (NB), media Eosin
Methylene Blue Agar (EMBA), KH2PO4, akuades, NaOH 1N, glukosa, bacto agar (Difco), CaCO3,
susu skim, gula pasir, fruktooligosakarida (FOS), alkohol 70%, dan spiritus. Bahan untuk pembedahan
tikus adalah alcohol 70 % dan kapas. Untuk analisis hematologi diperlukan batu es, tube yang berisi
larutan EDTA, larutan lyse dan diluent.

3.1.2 Alat

Alat yang digunakan dalam pemeliharaan tikus dan pembuatan makanan tikus adalah kandang
metabolik, botol minum, timbangan dan baskom. Alat yang digunakan dalam pembedahan tikus
adalah jarum suntik, papan bedah dan alat bedah. Alat untuk pembuatan yogurt adalah lup (ose),
mikropipet, pipet Mohr, pipet tetes, tabung reaksi, labu takar, corong gelas, erlenmeyer, gelas kimia,
gelas ukur, pengaduk, sudip, vorteks, kapas, aluminium foil, cawan petri, botol semprot, bunsen,
wadah penampung (panci, baskom), cup, termometer, kompor, neraca analitik, autoklaf, oven,
inkubator, refrigerator atau lemari pendingin. Sedangkan untuk analisis hematologi menggunakan
Hematology Analyzer yang terdapat di Labkesda Bogor.
Secara keseluruhan, penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembuatan formula yogurt sinbiotik:


Penelitian
1)Formula 1: L. bulgaricus + S. thermophilus
Pendahuluan
2)Formula 2: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12
3)Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4
4)Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12 +
L. fermentum 2B4
NB : Semua formula ditambah 5% FOS

Penelitian Pengujian antidiare yogurt sinbiotik secara in vitro dengan


Utama metode kontak

Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik

Pengujian antidiare formula terbaik yogurt sinbiotik secara in


vivo dengan kelompok tikus percobaan:
1. Kontrol negatif
2. Kontrol positif
3. Yogurt formula terbaik
4. Yogurt formula terbaik + EPEC
5. Yogurt prebiotik konvensional

Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan

Analisis :
Analisis dilakukan dengan menggunakan alat otomatis hematology
analyzer dengan parameter : trombosit, leukosit, hemoglobin, eritrosit,
dan hematokrit

Diperoleh data efek yogurt sinbiotik terhadap status


hematologi tikus percobaan

Gambar 4. Diagram alir alur penelitian yang dilakukan


3.2 Analisis Yogurt Sinbiotik secara In Vitro

3.2.1 Pembuatan Yogurt Sinbiotik

3.2.1.1 Pembiakan kultur starter


Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophilus serta bakteri asam laktat (BAL) lokal (Lactobacillus
plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) yang berpotensi sebagai probiotik. Pertama,
kultur murni disegarkan terlebih dahulu pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB).
Kemudian, sebanyak 2% dari kultur yang disegarkan tersebut diinokulasikan ke dalam larutan susu
skim steril 10%. Setelah itu, kultur tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam. Kultur hasil
inkubasi ini disebut dengan kultur induk.
Sebanyak 2% dari kultur induk tersebut lalu diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril
10% dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam yang hasilnya disebut dengan kultur antara.
Kemudian, sebanyak 2% dari kultur antara diinokulasikan ke dalam larutan susu skim 10% dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam yang hasilnya disebut dengan kultur kerja. Setelah itu,
kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk mengetahui
populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur
dengan jumlah populasi lebih dari atau sama dengan 109 cfu/mL.

3.2.1.2 Pemeliharaan kultur stok


Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak
berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama, dapat berkurang aktivitasnya karena habisnya
substrat dan menumpuknya metabolit.

3.2.1.3 Pembuatan formula yogurt sinbiotik


Bakteri asam laktat lokal yang berpotensi sebagai probiotik, yaitu Lactobacillus plantarum
2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada pembuatan yogurt sinbiotik
(mengandung probiotik dan prebiotik). Sementara itu, jenis prebiotik yang ditambahkan ke dalam
masing-masing formula yogurt adalah fruktooligosakarida (FOS) 5%.
Empat formula yogurt yang dibuat adalah sebagai berikut :
1) Formula 1: L. bulgaricus + S. thermophilus
2) Formula 2: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12
3) Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4
4) Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophilus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4

Proses pembuatan yogurt diawali dengan melarutkan gula pasir 5%, FOS 5%, dan susu skim
agar total padatan yogurt menjadi 22%. Hal ini karena total padatan, yaitu padatan susu maupun
pemanis dengan konsentrasi lebih dari 22% akan menghambat aktivitas L. bulgaricus (Rahman et al.
1992). Kemudian, susu skim tersebut ditambahkan gula pasir 5% dan FOS 5%. Setelah itu, campuran
bahan dipanaskan pada suhu 85°C selama 30 menit, kemudian didinginkan hingga suhu 37°C. Lalu,
dilakukan penambahan starter (2%) sesuai dengan formula yang telah ditentukan, kemudian diaduk
hingga merata. Selanjutnya, agar terjadi proses fermentasi, dilakukan inkubasi dalam inkubator
dengan suhu 37°C selama semalam (Suliantari et al. 2009). Setelah itu, untuk menjaga mutu yogurt
tersebut, yogurt dapat disimpan dingin pada suhu 5-6°C.
3.2.2 Pengujian Aktivitas Antimikroba BAL
Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui BAL probiotik terbaik dalam
bentuk yogurt sinbiotik adalah metode kontak. Metode ini didasarkan pada sifat antimikroba dari BAL
probiotik lokal (L. plantarum 2C12 dan/atau L. fermentum 2B4) dalam yogurt terhadap bakteri
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) yang dapat menyebabkan diare dan melihat penurunan
jumlah bakteri EPEC setelah dikontakkan dengan yogurt.
Sebanyak 0.1 mL (1%) kultur bakteri patogen dimasukkan dalam 10 mL produk. Untuk
mengetahui jumlah bakteri patogen awal (jam ke-0), dilakukan pemupukan dengan media spesifik
pada tingkat pengenceran produk 10-6, 10-7 dan 10-8 kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 37oC
selama 24-48 jam. Media agar yang digunakan untuk Escherichia coli adalah EMBA.
Untuk mengetahui jumlah bakteri EPEC (1%) awal, dilakukan pemupukan pada media EMBA
(Eosin Methylene Blue Agar) kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Sementara itu,
untuk mengetahui seberapa besar penghambatan formula yogurt, bakteri EPEC (1%) dikontakkan
dengan masing-masing formula yogurt selama dua, empat, dan enam jam. Penentuan lama waktu
kontak tersebut didasarkan pada kurva pertumbuhan EPEC di mana waktu dua, empat, dan enam jam
tersebut merupakan waktu bakteri E. coli berada pada fase log (Quigley 2008).
Setelah itu, jumlah bakteri EPEC akhir dapat diketahui dengan melakukan pemupukan pada
jam ke-2, jam ke-4, dan jam ke-6 pada media EMBA, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam. Lalu, dilihat bagaimana efek penghambatan masing-masing formula yogurt tersebut terhadap
EPEC yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah bakteri EPEC (dengan mengurangi jumlah EPEC
awal dengan EPEC akhir). Selanjutnya, yogurt yang memberikan nilai penghambatan tertinggi
merupakan yogurt formula terbaik yang kemudian dioptimasikan agar menjadi produk yang siap
dipasarkan.

3.3 Penelitian Utama: Analisis Yogurt Sinbiotik secara In Vivo


Pada penelitian utama ini, formula terbaik dari empat formula yogurt sinbiotik yang diuji
secara in vitro pada penelitian pendahuluan, diuji pada tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC
untuk diketahui efek imunomodulator dan antidiarenya.

3.3.1 Pengelolaan Hewan Percobaan

3.3.1.1 Hewan percobaan


Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Albino Norway Rats (Rattus
novergicus) galur Sprague Dawley yang berumur 5-6 minggu dan berjenis kelamin jantan hasil
perkembangbiakan Pusat Studi Biofarmaka–LPPM IPB. Tikus percobaan yang digunakan untuk
penelitian ini berjumlah 70 ekor dengan kisaran berat badan awal 80–100 gr.

3.3.1.2 Kandang dan perlengkapan


Kandang hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang yang
berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm dan berjumlah 70 buah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan
(Gambar 5). Kandang tikus berlokasi pada tempat atau ruangan yang bebas dari suara ribut dan terjaga
dari asap industri dan polutan lainnya. Ruangan tempat kandang tikus berada mudah dibersihkan dan
disanitasi dengan suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24°C, kelembapan udara 50-60%, dan
ventilasi yang cukup, namun tidak ada jendela yang terbuka (Faith dan Hessler 2006).
Gambar 5. Kandang tikus percobaan

3.3.1.3 Ransum
Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC yaitu mengandung karbohidrat,
protein, lemak, mineral, vitamin, dan air.
Berikut adalah komposisi (sumber dan jumlah) ransum untuk tikus percobaan:

Tabel 3. Komposisi ransum basal basis 1000 gr


Komponen Sumber Perhitungan (%) Jumlah (gr)

Protein Kasein (N=6.38) 118.70

Lemak Minyak jagung 78.70

Mineral Mineral mix 47.9

Vitamin Vitamin mix (Vitkom) 1% 10


Serat Carboxymethylcellulose 1% 10

Air Air 36.2

Pati Pati jagung 100 – (lainnya) 698.5

Sumber : (AOAC 1990)

3.3.1.4 Perlakuan terhadap hewan percobaan

Tikus percobaan yang berjumlah 70 ekor akan dibagi menjadi 5 kelompok. Setiap kelompok
terdiri atas 15 ekor tikus sebagai ulangan, kecuali kelompok yogurt prebiotik konvensional hanya
terdiri atas 5 ekor tikus. Sebelum pemberian perlakuan, dilakukan adaptasi tikus terhadap lingkungan
selama tiga hari dengan pemberian makan ransum basal terhadap semua tikus.
Adapun pembagian kelompok tikus terdiri atas kelompok kontrol negatif, kontrol positif,
yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik konvensional, yogurt sinbiotik + EPEC. Pada Tabel 4 dijelaskan
perlakuan dari masing-masing kelompok tikus percobaan. Adapun kelompok yogurt prebiotik
konvensional hanya terdiri dari BAL L. bulgaricus dan S. thermophilus (bukan probiotik) dan FOS 5
%. Yogurt dengan BAL L. bulgaricus dan S. thermophilus saja adalah sama dengan jenis yogurt
komersial yang umum dijual di pasaran. Adanya kelompok ini berfungsi sebagai pembanding untuk
melihat apakah yogurt komersial sudah cukup untuk menjaga saluran pencernaan atau tidak.
Tabel 4. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan
Kelompok Tikus Perlakuan
Kontrol negatif Tikus normal yang hanya diberi ransum standar
dan akuades
Kontrol positif Tikus yang diberi ransum standar dan infeksi
EPEC
Yogurt sinbiotik Tikus yang diberi ransum standar diiringi
pemberian yogurt sinbiotik formula terbaik
Yogurt sinbiotik + EPEC Tikus yang diberi ransum standar, diiringi
pemberian yogurt sinbiotik formula terbaik
dan diselingi dengan pemberian EPEC
Yogurt prebiotik konvensional Tikus yang diberi ransum standar diiringi
pemberian yogurt prebiotik konvensional

Pengujian perlakuan anti EPEC secara in vivo dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.
(2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Yogurt sinbiotik formula terbaik adalah yogurt
sinbiotik dari hasil penelitian pendahuluan. Yogurt diberikan secara oral sebanyak 1 mL/hari (dengan
populasi BAL sebanyak 109 cfu/mL) menggunakan sonde mulai hari ke-1 sampai hari ke-21. Infeksi
EPEC (penyebab diare) dilakukan dengan populasi 107 cfu/mL sebanyak 1 mL/hari selama 7 hari (hari
ke-8 sampai hari ke-14) secara oral menggunakan sonde (Gambar 6). Berdasarkan Oyetayo (2004),
bahwa dosis infeksi EPEC adalah minimal 105 cfu/mL.

Gambar 6. Pemberian air minum, yogurt dan EPEC menggunakan sonde

Bobot badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali. Sementara itu, pakan yang diberikan dan
sisanya ditimbang setiap hari Setelah perlakuan tertentu selesai diaplikasikan pada tikus percobaan,
dilakukan proses terminasi seperti terlihat pada Gambar 7.
H(-3) H(0) H(7) H(14) H(21)

Cekok
Adaptasi EPEC 107
cfu/mL
T0 T1 T2 T3

Keterangan:
T0 = terminasi awal (5 ekor tikus)
T1 = terminasi hari ke-7 (5 ekor tikus setiap kelompok)
T2 = terminasi hari ke-14 (5 ekor tikus setiap kelompok)
T3 = terminasi hari ke-21 (5 ekor tikus setiap kelompok)

Gambar 7. Bagan perlakuan proses terminasi tikus percobaan

Proses pengambilan darah dilakukan dengan metode dislokasi cervical pada intra cardiaca atau
daerah jantung (Gambar 8).

Gambar 8. Metode terminasi dan proses pengambilan darah tikus percobaan

Tikus didislokasi leher untuk membunuh tikus tanpa memecah pembuluh darahnya. Dislokasi
dilakukan dengan memegang bagian leher tikus dan bagian belakang dekat ekor dan menariknya
sampai tikus mati. Tikus diletakkan secara terlentang diatas papan untuk memudahkan pembedahan.
Pengambilan darah dari intra cardiaca/jantung dilakukan dengan anestesi terlebih dahulu. Pertama,
ekor dipegang di daerah sepertiga pangkal ekor kemudian jari telunjuk dan ibu jari tangan lain
memegang kuduk, jari kelingking menjepit ekor (sebaiknya dengan tangan kiri) hingga persendiannya
terpisah. Kemudian darah diambil dari jantung secara cepat dan hati-hati agar tidak terjadi hemolisis
lalu dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA).

3.3.2 Analisis Hematologi


Analisis kondisi hematologik dilakukan sesuai Aboderin dan Oyetayo (2006). Analisis kondisi
hematologik dilakukan sebagai alat diagnosa kesehatan tubuh dan parameter status imun darah.
Prosedur analisanya sebagai berikut : sampel darah tikus dikoleksi dari tikus melalui cardiac puncture
ke dalam botol EDTA.
Analisis dilakukan dengan menggunakan alat otomatik hematology analyzer dengan parameter
jumlah trombosit, kadar hemoglobin (Hb), jumlah leukosit (white blood cell/WBC), jumlah eritrosit
(red blood cell/RBC), dan nilai hematokrit.
3.3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan model matematika


sebagai berikut :

Yij = µ + αi + βj + εij, dimana


Yij = pengaruh perlakuan pada tikus (kelompok tikus) ke –i dan ulangan ke-j
µ = nilai tengah perlakuan
αi = pengaruh perlakuan ke-i
βj = pengaruh ulangan ke-j
εi = galat perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut
dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1995).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Formula Yogurt Sinbiotik Terpilih

Aktivitas antimikroba formula yogurt sinbiotik dilakukan dengan metode kontak dimana
kombinasi formula yogurt sinbiotik yang dibuat dikontakkan dengan kultur bakteri EPEC selama 2, 4,
dan 6 jam. Berdasarkan hasil uji metode kontak, aktivitas antimikroba formula yogurt sinbiotik dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Metode kontak 2, 4, dan 6 jam


Rata-Rata Nilai Kematian EPEC (log cfu/mL)
Formula Uji kontak Uji kontak Uji kontak Rata-rata uji kontak
2 jam 4 jam 6 jam
a a
F1 2.78 ±0.54 3.02±0.25 3.98±0.26a 3.2623±0.6358a
F2 2.73±0.23a 3.15±0.50a 4.07±0.48a 3.3197±0.6863a
F3 2.69±0.30a 3.54±0.38a 4.31±0.88a 3.4319±0.8218a
F4 2.51±0.72a 3.61±0.23a 4.19±0.43a 3.3593±0.8430a
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05)

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba dari yogurt Formula 3 (F3) relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan formula lainnya walaupun hasilnya tidak berbeda nyata. Hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata nilai log kematian EPEC-nya bernilai 3.4319. Hasil ANOVA (Lampiran
2) menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata nilai log
kematian EPEC. Namun, berdasarkan hasil tersebut, terdapat kecenderungan nilai log kematian EPEC
yang terbesar dimiliki oleh yogurt dengan penambahan probiotik L. fermentum atau yogurt F3.
Sementara itu, dilihat dari penampakannya (teksturnya), yogurt F3 juga memiliki penampakan
yang relatif paling bagus karena whey yang dihasilkan relatif sedikit (Gambar 9). Sehingga
berdasarkan hasil uji metode kontak dan teksturnya, yogurt F3 memiliki konsistensi yang paling baik.

Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3, dan F4

Selain itu, berdasarkan tingkat keasamannya, yogurt F3 memiliki nilai pH 4.51 (Tabel 6) yang
mendekati nilai pH rata-rata yogurt komersial yaitu 4.5 (Rahman et al. 1992). Oleh karena itu secara
organoleptik, yogurt F3 dapat diterima dan digunakan sebagai yogurt terpilih untuk analisis secara in
vivo.
Tabel 6. Nilai pH formula yogurt
Formula pH
Rata-Rata
Yogurt Ulangan 1 Ulangan 2
F1 4.45 4.77 4.61
F2 4.24 4.50 4.37
F3 4.46 4.56 4.51
F4 4.20 4.64 4.42

Berdasarkan penelitian, yogurt F1 merupakan yogurt konvensional yang terdiri dari L.


bulgaricus dan S. thermophilus. Beberapa laporan menyatakan bahwa L. bulgaricus dan S.
thermophilus tidak tahan terhadap kondisi asam lambung dan garam empedu. Oleh karena itu L.
bulgaricus tidak dapat menempel pada permukaan usus dan berkompetisi dengan bakteri patogen pada
saluran pencernaan. Oleh sebab itu, yogurt yang hanya terdiri dari L. bulgaricus dan S. thermophilus
tidak dapat digunakan untuk mencegah diare (Chandan et al. 2006).
L. fermentum yang terdapat pada yogurt F3 berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bao et
al. (2010) memiliki karakter probiotik yang potensial. Hal ini disebabkan bakteri ini memiliki
ketahanan terhadap pH yang rendah, dapat menstimulasi enzim yang terdapat pada saluran
pencernaan, dan menstimulasi pengeluaran garam empedu. Oleh sebab itu yogurt yang dipilih sebagai
yogurt probiotik untuk dikembangkan selanjutnya adalah yogurt F3.

4.2 Pertumbuhan Berat Badan Tikus

Pertumbuhan berat badan tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 10. Pada gambar tersebut
dapat dilihat bahwa keseluruhan kelompok tikus mengalami kenaikan berat badan selama
pemeliharaan. Hasil ANOVA (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap kenaikan berat badan tikus. Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa kecenderungan
kenaikan berat badan terkecil terlihat pada kelompok kontrol positif yaitu kelompok tikus yang
diinfeksi EPEC. Hal ini mungkin disebabkan tikus tersebut mengalami infeksi pada saluran
pencernaannya akibat adanya pemberian EPEC sehingga menyebabkan penyerapan zat-zat gizi
menjadi terhambat.

8.50
7.83 a
Kenaikan berat badan (gram)

8.00 7.58 a 7.53 a


7.30 a 7.46 a
7.50
7.00
6.50
6.00
5.50
5.00
4.50
4.00
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
Negatif Sinbiotik Sinbiotik + Positif Prebiotik
EPEC Konvensional
Kelompok Tikus
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05)

Gambar 10. Kenaikan berat badan tikus selama 21 hari percobaan


Enteropatogenic E. coli (EPEC) adalah salah satu bakteri penyebab diare terutama pada anak-
anak. EPEC dapat mengakibatkan rusaknya mikrovili usus sehingga menimbulkan gangguan
penyerapan makanan yang mengakibatkan hambatan pertumbuhan. Infeksi EPEC menyebabkan
kerusakan mikrovili usus akibat adanya aktivitas proteolitik dari bakteri (Murtini et al. 2005). Adanya
EPEC dapat menyebabkan gangguan penyerapan makanan. Hal ini terlihat dari kurva berat badan
dimana dari lima kelompok tikus yang diuji, maka kelompok yang diinfeksi EPEC (kontrol positif)
mengalami kenaikan berat badan yang paling rendah di antara yang lainnya walaupun secara statistik
tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lainnya. Pelekatan bakteri patogen pada usus akan
mengakibatkan kolonisasi, kerusakan sel, gangguan mekanisme pengaturan sel, pertumbuhan dan
perkembangbiakan intraseluler (Collado et al. 2007).
Efek diare pada pertumbuhan dapat disebabkan penurunan selera makan, penurunan
penyerapan nutrisi, atau kenaikan kebutuhan metabolik. Diare dapat menurunkan penyerapan pada
saluran pencernaan sebagai hasil dari beberapa mekanisme langsung yaitu entereocyte dan crypt cell
pada saluran pencernaan secara langsung dirusak oleh enteropatogen, toksin atau oleh respon immun
dari individu tersebut yang menyebabkan penurunan penyerapan makanan dan penurunan jumlah
garam empedu karena kenaikan frekuensi buang air besar. Data berat badan tikus masing-masing
kelompok dapat dilihat pada Lampiran 4.
Dari Gambar 10 juga terlihat bahwa pemberian yogurt sinbiotik dapat mengoptimalkan
penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Ini ditandai dengan kecenderungan kenaikan berat badan
kelompok yogurt sinbiotik adalah yang tertinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian yogurt
sinbiotik dapat menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Walaupun pemberian yogurt
sinbiotik tidak secara nyata meningkatkan daya tahan tubuh secara signifikan namun terlihat bahwa
adanya yogurt sinbiotik dapat meminimalkan pengaruh buruk akibat diare. Dapat dikatakan bahwa
yogurt sinbiotik dapat mengoptimalkan penyerapan zat-zat gizi dalam usus.

4.3 Kejadian Diare pada Tikus Terinfeksi EPEC


Menurut WHO (2009) diare adalah buang air besar bersama feses yang tidak berbentuk atau
cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali selama 24 jam atau lebih sering daripada orang sehat pada
umumnya. Diare terjadi jika penyerapan air pada kolon terganggu yang disebabkan oleh kerusakan
pada kolon atau terjadinya inflamasi. Perlekatan EPEC pada sel epitel inang akan merusak mikrovili
sel-sel mukosa inang yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air
sehingga terjadi diare akut berair yang persisten, selain kadang-kadang disertai demam ringan dan
muntah. Kerusakan pada sel-sel mukosa ini yang mungkin bertanggungjawab pada terjadinya diare
karena EPEC.
Kejadian diare pada tikus percobaan dimulai sejak hari ke-6 setelah pemberian EPEC yang
berlangsung secara terus-menerus. Hal ini terlihat dari kondisi feses yang dikumpulkan pada minggu
III pemeliharaan (hari ke-19 dan ke-20). Hasil ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan
yang diberikan berpengaruh nyata terhadap kadar air feses tikus. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6)
menunjukkan bahwa kelompok tikus kontrol positif memiliki kadar air feses tertinggi dan berbeda
nyata (p<0.05) dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus kontrol negatif (Gambar
11). Hal ini juga terlihat pada Gambar 12 bahwa feses tikus yang diinfeksi EPEC (kontrol positif)
berwarna agak coklat, lembek dan agak berair. Tikus yang sehat (diberi yogurt sinbiotik) tidak
mengalami diare dengan kadar air feses sebesar 56.01%, tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kadar
air kelompok tikus kontrol negatif sebesar 55.93%. Feses kelompok tikus kontrol positif terlihat lebih
lembek dan agak berair, berbeda dengan feses kelompok tikus lainnya yang cukup keras dan lebih
hitam. Hal ini menunjukkan bahwa tikus kontrol positif mengalami infeksi pada saluran
pencernaannya akibat adanya EPEC.
68.00 66.87 b
66.00 64.85 b 63.62 ab

Kadar Air Feses (%)


64.00
62.00
60.00
58.00 55.93 a 56.01 a
56.00
54.00
52.00
50.00
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
Negatif Sinbiotik Sinbiotik + Positif Prebiotik
EPEC Konvensional
Kelompok Tikus
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)

Gambar 11. Grafik kadar air feses tikus

Secara umum kejadian diare yang dialami oleh tikus percobaan masih termasuk diare tahap
sedang. Ditandai dengan feses yang cukup lunak, sedikit berair dan berwarna coklat tetapi belum
terlihat sisa feses pada bagian ekor tikus atau feses yang berwarna kuning akibat diare yang cukup
parah (akut). Dari Gambar 11 juga terlihat bahwa kadar air tertinggi adalah pada kelompok tikus
kontrol positif, kemudian diikuti oleh kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC. Feses kelompok tikus
yogurt sinbiotik + EPEC agak lebih keras daripada kelompok tikus kontrol positif karena setelah
diinfeksi oleh EPEC dilanjutkan dengan pemberian yogurt sinbiotik.
Penurunan kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC dibandingkan dengan feses
kelompok kontrol positif menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap
feses tikus walaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sazawal et al. (2004) yang menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik berupa GOS (galakto-
ologosakarida) dan B. lactis HN019 juga tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap
kejadian diare namun berpengaruh nyata terhadap penyakit disentri.
Pemberian yogurt prebiotik konvensional juga tidak terlalu berpengaruh terhadap diare. Hal ini
karena yogurt prebiotik konvensional hanya terdiri dari L. bulgaricus dan S. thermophilus yang tidak
tahan terhadap kondisi asam lambung dan garam empedu. Sementara itu pemberian prebiotik tanpa
diiringi probiotik tidak seefektif dengan adanya probiotik. Sama halnya dengan penelitian Asahara et
al. (2001) menggunakan B. breve dan GOS dapat mengurangi translokasi dan ekskresi fecal
Salmonella enterica, tetapi penggunaan GOS saja tidak memberikan pengaruh yang berarti. Untuk
lebih jelasnya, penampakan feses tikus seluruh kelompok dapat dilihat pada Gambar 12.
Adanya bakteri probiotik yang mampu melekat dan berkolonisasi pada epitel usus, serta
prebiotik yang dapat memicu pertumbuhan bakteri probiotik dapat digunakan untuk membantu
mencegah diare. BAL probiotik memiliki kemampuan dalam melindungi usus dari bakteri-bakteri
enterik patogen (EPEC) dengan cara memproduksi senyawa-senyawa penghambat seperti asam-asam
organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin, memblokade sisi penempelan melalui kompetisi pada
permukaan epitel usus, berkompetisi dalam perolehan nutrisi, mendegradasi reseptor toksin, serta
menstimulir sistem imun (Collado et al. 2007)

Kelompok A U1 Kelompok A U2 Kelompok B U1 Kelompok B U2

Kelompok E

Kelompok C U1 Kelompok C U2 Kelompok D U1 Kelompok D U2

Gambar 12. Feses tikus pada minggu terakhir sebelum terminasi. Keterangan tikus : Kelompok A
(kontrol negatif), kelompok B (yogurt sinbiotik), kelompok C (yogurt sinbiotik +
EPEC), kelompok D (kontrol positif), dan kelompok E (yogurt prebiotik
konvensional)
4.4 Hematologi
Hematologi berasal dari bahasa Yunani yaitu "haima" yang berarti darah, adalah cabang
kedokteran internal yang difokuskan pada fisiologi, patologi, laboratorium klinis kerja, dan pediatri
yang berkaitan dengan studi tentang darah, yang membentuk darah, dan penyakit darah. Hematologi
meliputi studi tentang etiologi, diagnosis, pengobatan, prognosis, dan pencegahan penyakit darah
(Anonim 2010). Hasil pemeriksaan hematologi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.4.1 Eritrosit

Eritrosit merupakan komponen darah yang terbanyak dalam satu mililiter darah. Setiap orang
memiliki jutaan bahkan miliaran eritrosit dalam tubuhnya. Penghitungan eritrosit digunakan untuk
menentukan apakah jumlah eritrosit rendah (anemia) atau tinggi (polisitemia). Proses pembentukan
eritrosit disebut eritropoisis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa,
dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon eritropoietin. Setelah
dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka
produktivitas sumsum tulang semakin turun.
Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang mieloid yang terdapat di sumsum
tulang. Sel ini akan membentuk berbagai jenis leukosit, eritrosit, dan megakariosit (pembentuk keping
darah). Rata-rata umur eritrosit kurang lebih 120 hari. Eritrosit menjadi rusak dan dihancurkan dalam
sistem retikulum endotelium, terutama dalam limfa dan hati. Globin dan hemoglobin dipecah menjadi
asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari
hemoglobin dikeluarkan untuk pembentukan eritrosit lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi
bilirubin (warna kuning empedu) dan biliverdin, yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat
dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.

Tabel 7. Rataan eritrosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21
Jumlah Eritrosit (juta/µL)
Kelompok Tikus
Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Kontrol negatif 6.51 6.93 7.26
Yogurt sinbiotik 6.48 6.97 7.47
Yogurt sinbiotik + EPEC 6.39 7.49 6.86
Kontrol positif 6.32 6.74 7.51
Yogurt prebiotik konvensional - - 7.01

Gambar 13 menunjukkan jumlah eritrosit berbagai kelompok perlakuan tikus pada hari ke-21.
Hasil ANOVA (Lampiran 8) pada hari ke-21menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak
berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap jumlah eritrosit. Dari hasil uji statistik terlihat bahwa kelompok
yogurt sinbiotik tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol positif. Walaupun ada kecenderungan
peningkatan jumlah eritrosit pada minggu kedua, namun peningkatan tersebut sangat sedikit serta
masih fluktuatif dari waktu ke waktu. Perbedaan jumlah eritrosit pada tiap kelompok perlakuan secara
statistik juga tidak berbeda nyata, walaupun menunjukkan sedikit variasi. Jumlah eritrosit dapat
dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, aktivitas tubuh, gizi, volume darah dan keadaan
lingkungan. Oleh karena itu agar hasil pengujian tidak bias oleh faktor-faktor tersebut, semua tikus
percobaan dijaga agar berada pada kondisi yang sama.
8 7.47 a 7.51 a 7.01 a
7.26 a 6.86 a

Jumlah eritrosit (juta/µL)


7
6
5
4
3
2
1
0
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
negatif sinbiotik sinbiotik + positif prebiotik
EPEC konvensional
Kelompok Tikus

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata(p<0.05)

Gambar 13. Rataan jumlah eritrosit tikus perlakuan dan kontrol (juta/µL) pada hari ke-21

Pada Tabel 7 dan Gambar 13 dapat dilihat bahwa secara umum jumlah rata-rata eritrosit pada
tiap kelompok perlakuan selama masa percobaan adalah 6.32–7.51 juta/µL. Hal ini masih berada
kisaran normal tikus percobaan yaitu 6.6–9.0 juta/µL (Campbell 2004). Hal tersebut tidak dipengaruhi
oleh pemberian yogurt, karena kelompok kontrol yang tidak diberi yogurt juga memperlihatkan hal
serupa. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh umur tikus yang masih muda dan kondisi lingkungan
percobaan yang menghambat pembentukan dan pematangan eritrosit.

4.4.2 Leukosit

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh yang cepat bereaksi terhadap
infeksi dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Guyton 1996). Leukosit terbagi atas dua
golongan besar, yaitu granuler (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit),
dimana pembagiannya berdasarkan pada ada tidaknya butiran dalam sitoplasma (Frandson 1996).
Jumlah total leukosit per mililiter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan dan
kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah total
leukosit dalam keadaan sehat. Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam seluruh
aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton 1996).
Dalam keadaan normal jumlah leukosit tikus berkisar 6630-20350 sel/µL (Car et al. 2006).

Tabel 8. Rataan leukosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21
Jumlah Leukosit (sel/µL)
Kelompok Tikus
Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Kontrol negatif 5767 4367 2333
Yogurt sinbiotik 6100 4500 3700
Yogurt sinbiotik + EPEC 5200 4733 5167
Kontrol positif 4133 4667 6900
Yogurt prebiotik konvensional - - 5000
8000 6900 d

Jumlah leukosit (sel/µL)


7000
6000 5167 c 5000 c
5000
3700 b
4000
3000 2333 a
2000
1000
0
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
negatif sinbiotik sinbiotik + positif prebiotik
EPEC konvensional
Kelompok Tikus

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)

Gambar 14. Rataan jumlah leukosit tikus perlakuan dan kontrol (sel/µL) pada hari ke-21

Jumlah leukosit tikus percobaan berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil
ANOVA (Lampiran 9) pada hari ke-21 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah leukosit tikus. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10) menunjukkan bahwa kelompok
kontrol positif berbeda sangat nyata (p<0.01) lebih tinggi dengan kelompok tikus kontrol negatif,
kelompok yogurt sinbiotik, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan kelompok yogurt prebiotik
konvensional. Dari Tabel 8 pada kolom minggu pertama (hari ke-7) diketahui bahwa jumlah leukosit
pada tikus kelompok kontrol negatif, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan kelompok yogurt
sinbiotik berada pada jumlah leukosit normal tikus Sprague Dawley yaitu 6630-20350 sel/µL, dan
untuk kelompok kontrol positif juga mempunyai jumlah leukosit yang berada pada kisaran normal.
Kemudian pada hari ke-14 dan hari ke-21, terlihat bahwa jumlah leukosit pada tikus kelompok kontrol
negatif, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan kelompok yogurt sinbiotik mengalami penurunan.
Adanya jumlah leukosit yang tinggi di hari ke-7 mungkin disebabkan karena kelompok tikus tersebut
masih mengalami stress karena pemberian yogurt atau air dengan cara disonde.
Adapun mekanisme peningkatan jumlah leukosit ketika terjadi gangguan fisiologis (stress)
adalah kondisi stress akan menstimulir sistem saraf pusat (terutama hypothalamus) untuk
menghasilkan CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang keberadaannya akan merangsang
hipofisia anterior untuk melepaskan ACTH (Adreno Corticotropin Hormone) yang akan menggertak
kortek adrenal untuk menghasilkan hormon steroid yaitu kortikosteroid (Guyton 1995). Adanya
kortikosteroid ini menyebabkan tubuh memproduksi leukosit lebih banyak, akan tetapi belum jelas
jenis sel leukosit mana yang meningkat jumlahnya. Namun setelah beberapa minggu, jumlah leukosit
kelompok tikus kontrol negatif, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan kelompok yogurt sinbiotik
mulai menurun hingga mendekati jumlah leukosit normal. Hal ini karena tikus tersebut sudah terbiasa
dengan perlakuan yang dilakukan dan keadaan lingkungannya.
Selain itu ada pengaruh nyata jumlah leukosit tikus kelompok yogurt sinbiotik dengan leukosit
kelompok tikus kontrol positif (p<0.05). Hal ini mungkin karena probiotik bertindak sebagai
immunomodulator (imunostimulan) yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Tannock
1999). Selain itu Walker (2008) juga menambahkan bahwa penempelan probiotik dapat merangsang
aktifnya sel-sel epithelia dan fungsi limfosit sehingga dapat meningkatkan kapasitas perlindungan
pada sistem pertahanan mukosa. Bakteri probiotik dapat melekat pada permukaan usus untuk
meningkatkan pertahanan saluran percernaan inang. Probiotik dapat melindungi inang dari kolonisasi
bakteri yang bersifat patogen dengan mekanisme yang berbeda-beda (Walker 2008).
Berbeda dengan ketiga kelompok tersebut, kelompok tikus kontrol positif malah mengalami
peningkatan jumlah leukosit dari hari ke-7 hingga hari ke-21 mencapai 6900 sel/µL darah. Adanya
peningkatan leukosit secara signifikan disebabkan oleh reaksi pertahanan tubuh terhadap masuknya
benda benda asing. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme
terhadap benda-benda asing. Peningkatan dan penurunan jumlah leukosit dapat terjadi karena
pengaruh fisiologis atau patologis. Peningkatan jumlah leukosit dalam darah disebut leukositosis.
Leukositosis yang terjadi karena faktor fisiologis dapat disebabkan oleh aktivitas otot, rangsangan
ketakutan, dan gangguan emosional. Sedangkan pengaruh patologis dapat disebabkan oleh proses
apatologis dalam tanggapan terhadap serangan penyakit. Jumlah leukosit di atas kisaran normal dapat
menjadi indikasi adanya infeksi (Ganong 1999).
Adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan leukosit
bermigrasi ke dalam jaringan yang mengalami perlukaan atau infeksi. Secara fisiologis hal ini terjadi
akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di dalam sirkulasi darah sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan
sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun
emosional atau akibat penyakit yang diderita dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit.
Sedangkan dalam leukosit patologis, peningkatan leukosit dalam darah disebabkan oleh leukosit aktif
dalam melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20000-
40000 sel/µL (Doxey 2002).
Adanya infeksi akan merangsang pelepasan hormon adrenal yang mempengaruhi peningkatan
sirkulasi leukosit. Leukosit memiliki dua fungsi yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses
fagositosis dan membentuk antibodi (kekebalan) (Guyton 1996). Pemberian 109 cfu/mL L.
acidophilus (HN017), L. rhamnosus (HN001), atau B. lactis selama 10-28 hari pada tikus (Schiffrin et
al (1997) dan pemberian Lactobacillus fermentum AD1 pada burung puyuh yang dipapar E. coli
(Strompfova et al. 2005) juga dapat menyebabkan peningkatan leukosit secara signifikan jika
dibandingkan dengan pemberian susu tanpa BAL (Schiffrin et al (1997).

4.4.3 Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi
yang mengandung besi. Protein hemoglobin adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh
warna heme. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton dan Hall
1997). Heme mengandung protoporphirin dan ion Fe yang disintesis dalam mitokondria. Kandungan
zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati,
kemudian akan dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong 1995). Globin
adalah suatu polipeptida untuk pembentukan hemoglobin yang disintesis dalam sitoplasma eritrosit.

Tabel 9. Rataan hemoglobin tikus pada hari ke-7, 14, dan 21


Kadar hemoglobin (g/dL)
Kelompok Tikus
Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Kontrol negatif 13.17 13.57 13.83
Yogurt sinbiotik 13.13 13.87 14.27
Yogurt sinbiotik + EPEC 12.97 14.27 13.80
Kontrol positif 12.90 13.17 14.37
Yogurt prebiotik konvensional - - 13.73

Rerata kadar hemoglobin selama perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 15. Secara
umum kadar hemoglobin pada tiap kelompok perlakuan antara 12–14 g/dL. Hal ini masih berada pada
kisaran normal tikus percobaan yaitu 13.2-14.64 g/dL. Hasil ANOVA (Lampiran 11) pada hari ke-21
menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar hemoglobin. Secara
statistik, perlakuan yang berbeda pada kelompok tikus tidak berpengaruh terhadap kadar hemoglobin,
namun ada pengaruhnya dari waktu ke waktu pada masing-masing kelompok perlakuan (p>0.05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian yogurt dapat meningkatkan kadar hemoglobin, namun tidak
dipengaruhi oleh formula yogurt yang diberikan. Peningkatan dan penurunan yang terjadi, berbeda-
beda antar kelompok perlakuan.

16.00 13.83 a 14.27 a 13.80 a 14.37 a 13.73 a


14.00
Jumlah Hb (g/dL)

12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
negatif sinbiotik sinbiotik + positif prebiotik
EPEC konvensional
Kelompok Tikus

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05)

Gambar 15. Rataan jumlah Hb tikus tikus perlakuan dan kontrol (g/dL) pada hari ke-21

Tabel 9 menunjukkan adanya peningkatan kadar hemoglobin pada semua kelompok pada hari
ke-7, ke-14 dan hari ke-21. Hal ini disebabkan adanya pemberian pakan setiap harinya dan mampu
diserap dengan baik oleh tikus percobaan. Menurut fungsinya, hemoglobin merupakan media
transport oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Seperti kita ketahui bersama, oksigen merupakan
bagian terpenting dari metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi. Hemoglobin juga berfungsi
membawa karbondioksida hasil metabolisme dari jaringan tubuh ke paru-paru untuk selanjutnya
dikeluarkan saat bernafas.

4.4.4 Trombosit

Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur seluler sumsum tulang dan berperan penting dalam
hemostasis dan pembekuan darah. Trombosit berasal dari sel multipotensial yang akan berubah
menjadi megakarioblas bila terdapat rangsangan trombosit (Megakaryocyte Colony Stimulating
Factor). Megakarioblas ini akan berubah menjadi megakariosit. Kemudian inti megakariosit
mengalami pembelahan tetapi sel itu sendiri tidak mengalami pembelahan (endomitosis), kemudian
sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri menjadi sejumlah trombosit (Wilson dan Price 1995).
Trombosit mempunyai diameter 1-4 µ dan berumur kira kira 10 hari.

Tabel 10. Rataan trombosit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21
Jumlah Trombosit (ribu/µL)
Kelompok Tikus
Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Kontrol negatif 409 444 395
Yogurt sinbiotik 446 521 338
Yogurt sinbiotik + EPEC 293 358 376
Kontrol positif 298 382 487
Yogurt prebiotik konvensional - - 388
610

Jumlah trombosit (ribu/µL)


487 c
510 376 b
395 b 388 b
410 338 a
310
210
110
10
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
negatif sinbiotik sinbiotik + positif prebiotik
EPEC konvensional
Kelompok Tikus
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)

Gambar 16. Rataan jumlah trombosit tikus perlakuan dan kontrol (ribu/µL) pada hari ke-21

Jumlah rataan trombosit tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 16. Hasil
ANOVA (Lampiran 12) pada hari ke-21menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah trombosit tikus. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 13) menunjukkan bahwa
kelompok kontrol positif berbeda sangat nyata (p<0.01) lebih tinggi dengan kelompok tikus kontrol
negatif, kelompok yogurt sinbiotik, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan kelompok yogurt
prebiotik konvensional. Pada Tabel 10 terlihat kelompok tikus yang mengalami penurunan dan
peningkatan jumlah trombosit. Kelompok tikus kontrol positif mengalami peningkatan yang cukup
tinggi, dapat dilihat dari hari ke-21 tikus kontrol positif memiliki jumlah trombosit paling tinggi
dibandingkan kelompok tikus yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya aktivitas patogen
EPEC yang dapat melisis dinding mukosa usus dan menyebabkan pendarahan. Karena terjadi luka
maka trombosit jaringan yang rusak akan mengeluarkan trombosiplastin yang akan bereaksi dengan
protrombin dan kalsium membentuk thrombin. Trombin yang terbentuk akan bereaksi dengan
fibrinogen menutup fibrin lalu menutup jaringan yang luka. Karena adanya pendarahan akibat diare
maka tubuh membentuk trombosit untuk menutupi luka sehingga jumlahnya menjadi tinggi.
Pada hari ke-14 terlihat bahwa kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki jumlah trombosit
tertinggi yaitu 521 ribu/µL. Hal tersebut mungkin menunjukkan bahwa yogurt sinbiotik dapat
meningkatkan jumlah trombosit, dan peningkatan tersebut berbeda pada tiap kelompok perlakuan.
Peningkatan trombosit mungkin disebabkan oleh pengaruh bakteri probiotik dan prebiotik yang
terkandung dalam yogurt terhadap faktor perangsang koloni megakariosit. Megakariosit merupakan
sel raksasa di dalam sumsum tulang. Sel tersebut membentuk trombosit dengan mengeluarkan sedikit
sitoplasma ke dalam sirkulasi darah. Satu sel megakariosit berpotensi membentuk 4000 sel trombosit
(Frandson 1996).
Dapat dilihat juga pada Gambar 16 bahwa adanya pemberian yogurt sinbiotik dapat
mempertahankan jumlah trombosit dalam kisaran normal. Lactobacillus fermentum dapat bertahan
secara in vivo dalam saluran pencernaan. BAL tersebut juga memiliki sifat yang menguntungkan
inangnya dengan meningkatkan proliferasi limfosit dan menurunkan jumlah patogen (E. coli, B.
cereus, S. thyphimurium, dan S. aureus) (Nuraida et al. 2008).
4.4.5 Hematokrit

Hematokrit merupakan penghitungan konstanta darah dan jumlah sel. Nilai hematokrit adalah
perbandingan antara sel-sel darah dengan volume darah keseluruhan setelah dilakukan pemusingan
dan dinyatakan dalam persen. Pada keadaan normal, nilai hematokrit mempunyai hubungan yang
positif dengan jumlah eritrosit dan hemoglobin. Nilai hematokrit akan meningkat pada individu pria
dewasa sejalan dengan meningkatnya sekresi androgen yang juga akan meningkatkan jumlah dan
volume eritrosit. Meningkatnya kadar hemoglobin akibat terselamatkannya sel eritrosit dari kerusakan
mikroba patogen akan berakhir pada meningkatnya nilai hematokrit.
Sejalan dengan terjadinya diare maka gambaran nilai hematokrit juga diukur. Gambaran
pengaruh pemberian yogurt terhadap nilai hematokrit disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 17. Hasil
ANOVA (Lampiran 14) pada hari ke-21 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap
nilai hematokrit tikus.

Tabel 11. Rataan hematokrit tikus percobaan pada hari ke-7, 14, dan 21
Nilai hematokrit (%)
Kelompok Tikus
Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Kontrol negatif 33.87 34.37 34.70
Yogurt sinbiotik 34.57 35.07 34.23
Yogurt sinbiotik + EPEC 34.40 36.20 35.03
Kontrol positif 34.73 34.23 37.37
Yogurt prebiotik konvensional - - 34.57

38.00 37.37 b
Jumlah hematokrit (%)

37.00
36.00 35.03 a 34.57 a
35.00 34.70 a 34.23 a
34.00
33.00
32.00
31.00
30.00
Kontrol Yogurt Yogurt Kontrol Yogurt
negatif sinbiotik sinbiotik + positif prebiotik
EPEC konvensional
Kelompok Tikus
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)

Gambar 17. Rataan nilai hematokrit tikus perlakuan dan kontrol (%) pada hari ke-21

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) menunjukkan bahwa hematokrit kelompok kontrol
positif berbeda sangat nyata (p<0.01) lebih tinggi dengan kelompok tikus lainnya. Sementara itu
kelompok tikus kontrol negatif, kelompok yogurt sinbiotik, kelompok yogurt sinbiotik + EPEC, dan
kelompok yogurt prebiotik konvensional tidak berbeda nyata. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
kondisi diare dapat menyebabkan peningkatan nilai hematokrit darah. Peningkatan nilai hematokrit
terjadi pada saat tikus mengalami diare dengan tingkat keparahan sedang. Pada saat diare, feses
menjadi lunak dan tidak berbentuk akibat konsentrasi air dalam feses tinggi. Tingginya konsentrasi air
dalam feses menyebabkan kandungan air dalam tubuh berkurang yang berakibat dalam peningkatan
hematokrit. Meningkatnya jumlah hemoglobin akibat terselamatkannya eritrosit dari kerusakan bakteri
patogen akan berakhir pada meningkatnya nilai hematokrit (Dharmawan 2002).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini telah mengaplikasikan BAL probiotik lokal terbaik, yang berasal dari daging sapi
di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor. Formula yang terpilih (F3) adalah yogurt dengan BAL
probiotik L. bulgaricus + S. thermophilus + L. fermentum 2B4 dan FOS 5%. Pada analisis secara in
vivo dengan tikus percobaan membuktikan bahwa adanya Enteropathogenic E. coli (EPEC) dapat
menyebabkan gangguan penyerapan zat-zat gizi. Hal ini terlihat dari kurva berat badan pada
kelompok yang diinfeksi EPEC mengalami kenaikan berat badan yang paling rendah di antara yang
lainnya walaupun tidak berbeda nyata secara statistik. Selain itu terlihat dari kondisi feses tikus yang
diinfeksi EPEC (kontrol positif) berwarna agak coklat, lembek, agak berair dengan kadar air feses
yang mencapai 66.87%, berbeda nyata (p<0.05) lebih tinggi dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik.
Status hematologi menunjukkan bahwa secara statistik, perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah eritrosit (p>0.05). Hasil ANOVA menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh sangat
nyata (p<0.01) terhadap jumlah leukosit percobaan. Ada pengaruh sangat nyata lebih tinggi jumlah
leukosit tikus kelompok yogurt sinbiotik dengan leukosit kelompok tikus kontrol positif. Secara
umum konsentrasi hemoglobin pada tiap kelompok perlakuan antara 12–14 juta/L dan perlakuan tidak
berpengaruh terhadap konsentrasi hemoglobin.
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
trombosit tikus. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa trombosit kelompok kontrol positif berbeda
sangat nyata lebih tinggi dengan kelompok yogurt sinbiotik. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai hematokrit tikus dimana kelompok kontrol positif
berbeda sangat nyata lebih tinggi (p<0.01) dengan kelompok tikus lainnya.

5.2 Saran

Hal-hal yang dapat disarankan untuk penelitian berikutnya adalah :


1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai jumlah FOS yang dipakai oleh BAL probiotik dan
sisanya untuk dipergunakan dalam tubuh inang.
2. Penelitian lebih lanjut mengenai efek mengkonsumsi yogurt sinbiotik terhadap status
hematologi manusia dengan parameter eritrosit, leukosit, hemoglobin, trombosit dan
hematokrit.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Hematologi. http://id.wikipedia.org/wiki/Hematologi. [1 November 2010].


Aboderin FI, Oyetayo VO. 2006. Haematological Studies Of Rats Fed Different Doses Of Probiotic,
Lactobacillus plantarum, Isolated From Fermenting Corn Slurry.Pakistan J Of Nutrition 5 (2)
: 102-105
Arief II, Maheswari RRA, Suryati T. 2008. Aktivitas antimikroba bakteri asam laktat yang diisolasi
dari daging sapi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Departemen IPTP Fakultas Peternakan
IPB, Bogor.
Asahara T, Nomoto K, Shimizu K, Watanuki M, Tanaka R. 2001. Increased Resistance of mice to
Salmonella enterica serovar Typhimurium infection by synbiotic administration of
Bifidobacteria and transgalactosylated oligosaccharides. J Appl. Microbiol., 91 (6): 985–996.
AOAC. 1990. Official Methode of Analysis of AOAC International. AOAC International. Virginia.
USA.
Andersson H, Asp N-G, Bruce A, Roos S, Wadstrom T, Wold AE. 2001. Health effects of probiotics
and prebiotics: A literature review on human studies. Scand J Nutr 45: 58-75.
Axelsson LT. 1998. Lactic acid bacteria classification and physiology. Di Dalam: Salminen, S. A.
Von Wright, dan A. Ouwehand, (Eds.) 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology And
Functional Aspect. Marcell Dekker Inc., New York, Basel.
Bao Y, Zhang Y, Zhang Y, Li Y, Wanga S, Dong X, Wang Y, Zhang H. 2010. Screening of potential
probiotic properties of Lactobacillus fermentum isolated from traditional dairy products.
Food Control J 21: 695-701.
Bengmark S. 1998. Econutrition And Health Maintenance: A New Concept To Prevent Inflammation,
Ulceration And Sepsis. Clin Nutr.15:1–10.
Campbell TW. 2004. Mammalian hematology : Laboratory Animals and Miscellaneous Species. In :
Thrall MA. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Lippincott Williams and
Wilkins.
Car BD, Eng VM, Everds NE, dan Bounous DI. 2006. Clilnical pathology of the rat. In : Suckow MA,
Weisbrith SH, and Franklin CL (Eds.). The laboratory rat. USA : Elsevier Academic Press.
Chandan RC. 2006. Milk Composition, Physical and Processing Characteristics. In : Ramesh C.
Chandan (Ed). Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Iowa: Blackwell Publishing.
Chandan R, White CH, Kilara A, Hui YH. 2006. Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Iowa:
Blackwell Publishing.
Collado MC, Gueimonde M, Salminen S. 2007. Probiotics adhesion of pathogens: mechanisms of
action. In : Ronald Ross Watson and Victor R. Preedy (Eds.). Bioactive Foods in Promoting
Health : Probitics and Prebiotics. Elsevier Applied Science. Oxford.
Dairy Foundation. 1997. The Probiotic Effects Of Lactic Acid Bacteria. An Interpretive Review of
Recent Nutrition Research. Burnaby. (Online), (http//www.probiotics. com/journal/01.pdf,
diakses tanggal 5 Agustus 2005.
de Vrese M, Offick B. 2010. Probitics and Prebiotics Effect on Diarrhea. In : Ronald Ross Watson and
Victor R. Preedy (Eds.). Bioactive Foods in Promoting Health : Probitics and Prebiotics.
Elsevier Applied Science. Oxford.
Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner (Hematologi Klinik). Cetakan ke-2.
Denpasar : Pelawa sari.
Donnenberg MS. 1995. Enteropathogenic Escherichia coli. Raven Pr. New York. pp 709-726.
[EBI] European Bioinformatic Institute. 2010. Lactobacillus plantarum is important to the dairy
industry for lactic acid production.
http://www.ebi.ac.uk/2can/genomes/bacteria/Lactobacillus_plantarum.html. [3 November
2010].
Faith RE, Hessler JR. 2006. Housing and environtment. In : Suckow MA, Weisbrith SH, and Franklin
CL (Eds.). The laboratory rat. USA : Elsevier Academic Press.
Farida E. 2005. Seleksi Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik dan Evaluasi Penempelannya secara
In Vitro [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Favier CF, Vaughan EE, de Vos WM dan Akkermans ADL. 2002. Molecular monitoring of
succession of bacterial communities in human neonates. appl. environ.microbiol., 68, 219–
226.
Frandson RD. 1996. Anatomi Dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
__________. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review Of Medical Physiology). Edisi 14.
Diterjemahkan Oleh Patrus Andrianto. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta : 486-510.
Ganong WF. 1999. Review of Medical Physiology. Terj. Adji Dharma. Fisiologi Kedokteran. Edisi
ke-17. EGC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
__________. 2002. Fisiologi Kedokteran, 20th edition. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah.
Jakarta: CV EGC
Gibson GR, Roberford MB. 1995. Dietary Modulation of the Human Colonic Microbiota: Introducing
the Concept of Probiotics. J. Nutr. 125: 1401-1412.
Gibson GR, 1998. Dietary Modulation Of The Human Gut Microflora Using Prebiotics. Br J Nutr
80(4):S209-12.
Gill, H.S dan Cross, M.L. 2001. Probiotics and Immune Function. In : Philip C. Chalder, Catherine J.
Field dan Harsharnjit S. Gill (Eds). Nutrition and Immune Function. New York : CABI
Publishing.
Guyton AC. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook Of Medical Physiology) Edisi 7.
Diterjemahkan Oleh Ariata Tengadi. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. pp. 52-67.
Guyton AC, Hall JE. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Irawati Stiawan (Penerjemah). Textbook
of Medical Physiology. Jakarta: EGC
Harper. 1997. Biokomia. Edisi Ke-4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology : Blood and Bone Marrow of Domestic Animals.
Pennsylvania : WB Saunders Company.
Hayakawa K. 1992. Classification and action of food microorganism. di dalam: Nakazawa, H. dan A.
Hosono (Eds.). 1992. Functions Of Fermented Milks : Challenge For The Health Science.
Elsevier Applied Science, London, New York.
Hidayat A. 1997. Diare Salah Satu Penyebab Utama Kematian Bayi Indonesia. Kompas. Jakarta
Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. 2005. Hematologi. Edisi Ke-4. Dewi Asih Mahanani.
Penerjemah: Jakarta. Penerbit Kedokteran EGC. Terjemahan Dari Essential Haematology.
Holst H, Breves G. 2005. Probiotics – From Empirical Medicine To The Therapeutic Standard. Z.
Gastroenterol. 43: 601–606.
Hond ED, Geypens B, Ghoos Y. 2000. Effect Of High Performance Chicory Inulin On Constipation.
Nutrition Research 20 (5): 731-736.
Jackson MS, Bird AR dan McOrist AL. 2002. Comparison of two selective media for the detection
and enumeration of lactobacilli in human faeces, J. Microbiol. Methods, 51, 313–321.
Kailasapathy K, Rybka S. 1997. L. acidophilus and bifidobacterium spp. – their therapeutic potential
and survival in yogurt. The Australian J of Dairy Technology 52: 28-35.
Kearney N, Stanton C, Desmond C, Coakley M, Collins JK, Fitzgerald G, dan Ross RP. 2008.
Challenges Associated with the Development of Probiotic-Containing Functional Foods. In :
E.R. Farnworth (Editor). Handbook of Fermented Functional Foods. CRC Press, Boca Raton.
Klaassens ES, de Vos WM, Vaughan EE. 2007. Molecular approaches to assess the activity and
functionality of commensal and ingested bifidobacteria in the human intestinal tract. In :
Maria Saarela (Eds.). Functional Dairy Products Vol 2 : Woodhead Publishing Limited
Cambridge : 303-329.
Kolopaking, MS. 2002. Penatalaksanaan Muntah dan Diare Akut dalam Simposium Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II di Hotel Sahid 30-31 Maret 2002.
Kullisaar T, Songisepp E, Mikelsaar M, Zilmer K, Vihalemm T, Zilmer M. 2003. Antioxidative
probiotic fermented goats’ milk decreases oxidative stress-mediated antherogenicity in
human. Br J Nutr 90: 449-456.
Le Blay G, Michel C, Blottiere HM, Cherbut C. 1999. Prolonged Intake of Fructo-Oligossacharides
Induces A Short-Term Elevation of Lactic Acid-Producing Bacteria and Persistent Increase
In Fecal Butyrate In Rats. J. Nutrition 129: 2231-2235.
Liong M. 2007. Probiotics: a critical review of their potential role as antihypertensives, immune
modulators, hypocholesterolemics, and perimenopausal treatments. Nutrition Reviews 65 (7):
316-328.
Lourens-Hattingh A, Viljoen BC. 2001. Yogurt as probiotic carrier food. International Dairy J 11: 1-
17.
Majamaa H, Isolauri E, Saxelin M And Vesikari T. 1995. Lactic acid bacteria in the treatment of acute
rotavirus gastroenteritis. J Pediatr Gastroent Nutr, 20, 333–338.
Mcfarlane GT, Cummings JH, 1999. Probiotics and prebiotics : Can Regulating The Activities Of
Intestinal Bacteria Benefit Health. BM J, 318: 999-1003.
McCracken VJ, Lorenz RG. 2001. The Gastrointestinal Ecosystem: A Precarious Alliance Among
Epithelium, Immunity And Microbiota. Cell Microbiol.
Meyer DJ dan Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. Third
Edition. USA : Sanders.
Myllyluoma E, Kajander K, Saxelin M. 2007. Functional dairy products for gastrointestinal infections
and dysfunction. In : Maria Saarela (Eds.). Functional Dairy Products Vol 2 : Woodhead
Publishing Limited Cambridge, 63-80.
Moller C, Vrese M.D. 2004. Review: Probiotics Effects Of Selected Acid Bacteria, Institute For
Physiology And Biochemistry Of Nutrition. Federal Research Center for Nutrition and Food,
Location Kiel, D-24103 Kiel, Germany.
Murtini S, Nurhayati T, Purwanto SB, Wibawan IWT.2005. Pengembangan Metode Produksi Antigen
Protease Escherichia Coli Enteropatogenik (EPEC). J Med Vet Indonesia 9 (1):27-31.
Nadal ES, Barbera SE, Lopez JF, Alvarez JAP. 2007. Food formulation to increase probiotic bacteria
action or population. In : Ronald Ross Watson and Victor R. Preedy (Eds.). Bioactive Foods
in Promoting Health: Probitics and Prebiotics. Elsevier Applied Science. Oxford.
Nuraida I, Susanti, Palupi NS. 2008. Probiotic Propertion of Lactobacillus fermentum A17 isolated
from milk. Symposium on Diet, Nutrition and Immunity. Singapore, 16-17 April 2008.
O’Hara AM, Shanahan F. 2006. The gut flora as a forgotten organ. EMBO Rep 7,688–693.
Ouwehand AC, Salminen S, Isolauri E. 2002. Probiotics: Anoverview Of Beneficial Effects. Antonie
Van Leeuwenhoek 82, 279–289.
Ouwehand AC, Tiihonen K, Mäkivuokko H dan Rautonen N. 2007. Synbiotics: combining the
benefits of pre- and probiotics. In : Maria Saarela (Eds.). Functional Dairy Products Vol 2 :
Woodhead Publishing Limited Cambridge, pp 303-329.
Oyetayo VO. 2004. Performance of Rats Orogastrically Dosed with Faecal Stains of Lactobacillus
acidophilus and challenged with Escherichia coli. Afr J Biotecnol 3 (8): 409-411.
Prajapati JB, Nair MB. The History of Fermented Foods. 2008. In :Edward R. Farnworth (Eds.).
Handbook of Fermented Functional Foods Second Edition. Boca Raton: CRC Press, pp 1-24.
Quigley T. 2008. Monitoring The Growth of E. coli with Light Scattering Using The Synergy™ 4
Multi-Mode Microplate Reader with Hybrid Technology™. http://www.biotek.com/
resources/docs/E_coli_app_note_final_format-2.pdf [6 November 2010].
Rao VA. 1999. Dose-Response Effects Of Inulin and Oligofructose On Intestinal Bifidogenesis
Effects. J. Nutrition 129: 1442S-1445S.
Rahayu ES. 2004. Makanan Fermentasi dan Probiotik. Yogyakarta: Pusat Studi Pangan dan Gizi,
Universitas Gajah Mada.
Rahman A, Fardiaz S, Rahayu WP, Suliantari, Nurwitri CC. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Reid G. 2000. In vitro testing of Lactobacillus acidophilus NCFMTM as a possible probiotic for the
urogenital tract. International Dairy J 10: 415-419.
Reddy BS. 1999 : Possible Mechanism By Which Pro- And Prebiotics Influence Colon
Carcinogenesis and Tumor Growth. J Nutr 129 (7 Suppl):1478S-82S.
Roberfroid MB, van Loo JAE, Gibson GR. 1998. The bifidogenic nature of chicory inulin and its
hydrolysis chicory product. J. Nutr 128: 11-19.
Robinson RK, Lucey JA dan Tamime AY. 2006. Manufacture of yoghurt. In : Tamime Adnan (Ed).
Fermented Milks. Blackwell Science Ltd.
Salminen S, Bouly C, Boutron-Ruault MC, Cumming JH, Frank A, Gibson GR, Isolauri E, Moreau
MC, Roberfroid M, Rowland I. 1998. Functional food science gastrointestinal physiology
and function. Br J Nutr Suppl 1:S147-71.
Salminen S, Ouwehand A, Benno Y, dan Lee YK. 1999. Probiotics: how should they be defined.
Trends in Food Science and Technology 10: 107-110.
Salminen S, Von Wright A, Ouwehand A. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology And Functional
Aspects 3th Edition Revised And Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York.
Sacher RA dan McPherson RA. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sazawal S, Dhingra U, Sarkar A, Dhingra P, Deb S, Marwah, D, Menon V P, Kumar J, Black RE.
2004. Efficacy of milk fortified with a probiotic Bifidobacterium lactis (DR-10TM) and
prebiotic galacto-oligosaccharides in prevention of morbidity and on nutritional status. Asia
Pac. J. Clin. Nutr., vol. 13. p. 28.
Schneeman BO. 1999. Fiber, Inulin, and Oligofructose: Similarities And Differences. J. Nutrition 129:
1424S-1427S.
Schiffrin EJ, Brassart D, Servin AL, Rochat F, Donnet-Hughes A.1997. Immune modulation of blood
leukocytes in humans by lactic acid bacteria, criteria for strain selection, Am. J. Clin. Nutr.,
66, 515S–520S, 1997.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 2981-2009. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Sofie M. 1994. Hematology Analyzer Pendeteksi kanker Darah. Universitas Diponegoro, Semarang.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Principles and Procedures of Statistic. A Biometrical Approach. 2 nd
edition. McGraw Hill Book Co., New York.
Suhesti Eri. 2010. Dampak pemberian bakteri asam laktat (BAL) probiotik indigenous terhadap status
hematologi tikus percobaan yang dipapar entheropathogenik Escherichia coli (EPEC).
Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Suliantari, Dewanti-Hariyadi R, Budijanto S, Herawati D. 2009. Prinsip proses produksi susu
fermentasi. In: Palupi NS, Syah D (eds.). Penuntun Praktikum Terpadu Pengolahan Pangan.
Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB.
Supriatna ER. 1998. Patologi Klinik. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Strompfova V et al. 2005. New probiotic strain Lactobacillus fermentum AD1and its effect in
Japanese quail. Vet. Med. – Czech, 50, 2005 (9): 415–420
Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK, Mistry VV, Shah NP. 2005. Production and maintenance
of viability of probiotic micro-organisms in dairy products. In: Tamime AY (ed.). Probiotic
Dairy Products. Oxford: Blackwell Publishing Ltd., pp 39-72.
Thrall MA. 2004. Erythrocyte Morphology. In : Thrall MA. Veterinary Hematology and Clinical
Chemistry. Lippincott Williams and Wilkins.
Tannock GW. 1999. Probiotics: A Critical Review. Horizon Scientific Press, Nortfolk, England.
Van de Water J, Naiyanetr P. 2008. Yogurt and immunity: the health benefits of fermented milk
products that contain lactic acid bacteria. In: Edward R. Farnworth (Eds). Handbook of
Fermented Functional Foods, Second Edition. Boca Raton : CRC Press.
Vedamuthu ER. 2006. Starter cultures for yogurt and fermented milks. In : Ramesh C. Chandan (Ed).
Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Iowa: Blackwell Publishing.
Wahyudi Ahmad dan Samsundari Sri. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi. Rahasia Hidup Sehat
Panjang Umur. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Walker WA. 2008. Role of Nutriens and Bacterial Colonization in the development of Intestinal Host
Defense. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 30: 22000.
Wilson LM, Price S. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Ed 4, Buku 1. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
WHO. World Health Organization 2009. Diarrhoea. http://www.who.int/topics/diarrhoea/en . [19 Juni
2010].
Wikipedia. 2010. Lactobacillus fermentum. http://en.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus_fermentum.
[30 November 2010].
____. 2010. Lactobacillus plantarum. http://en.wikipedia.org/wiki/Lactobacillus_plantarum. [30
November 2010].
Yuguchi H, Goto T, Okonogi S. 1992. Fermented milks, lactic drinks, and intestinal microflora. In:
Nakazawa, Y. dan A. Hosono (eds.). Function of Fermented Milk: Challenges for Health
Sciences. Elsevier Science Publisher Ltd., Cambridge.
Zein U, Kholid, Josua. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri.
http://www.litbang.usu.ac.id/modules/php. [06 Februari 2010].
Zoumpopoulou G, Foligne B, Christodoulou K, Grangette C, Pot B, Tsakalidou E. 2008.
Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 Displays Probiotic Potential In Vitro and Protects
Against Trinitrobenzene Sulfonic Acid $(TNBS)-Induced Colitis and Salmonella Infection In
Murine Models. International J of Food Microbiology 121, 18–26.
Lampiran 1. Prosedur penggunaan Hematology Analyzer

Prosedur Penggunaan alat Hematology Analyzer

1. Homogenkan sampel darah yang akan diperiksa


2. Tekan “New Sample”
3. Masukkan identitas sampel
4. Alat akan menghisap darah yang akan diukur melalui pipet yang tersedia pada alat. Ingat
tabung reaksi atau sampel ditarik bila sudah ada bunyi “Tik” atau terdapat tulisa “Remove
Tube” pada monitor.
5. Hasil akan keluar dalam waktu 57 detik
6. Tekan “Sample” untuk melihat hasil. Hasil akan diprint out secara otomatis. Hasil yang
sudah diprin out, sudah tersimpan secara otomatis di memori instrument.
7. Tekan “New Sample” untuk pemeriksaan sampel berikutnya.
Lampiran 2. Uji statistik (ANOVA) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 2,
4, dan 6 jam

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Penghambatan_2jam

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Model 115.493a 7 16.499 64.988 .000


Formula .174 3 .058 .228 .875
Ulangan .557 3 .186 .731 .559
Error 2.285 9 .254
Total 117.778 16
a. R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .966)

Uji statistik (ANOVA) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 4 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Penghambatan_4jam

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Model 178.835a 7 25.548 204.719 .000


Formula .999 3 .333 2.669 .111
Ulangan .393 3 .131 1.049 .417
Error 1.123 9 .125
Total 179.959 16
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989)
Uji statistik (ANOVA) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt selama 6 jam

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:Penghambatan

Type III Sum of


Source Squares df Mean Square F Sig.

Model 276.447a 7 39.492 223.360 .000


Formula .254 3 .085 .478 .705
Ulangan 2.204 3 .735 4.155 .042
Error 1.591 9 .177
Total 278.038 16
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .990)

Uji statistik (ANNOVA) dengan SPSS untuk aktivitas antimikroba yogurt secara keseluruhan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Rata2_Penghambatan
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
a
Model 138.570 6 23.095 1.052E3 .000
Formula .046 3 .015 .693 .589
Ulangan 4.391 2 2.195 100.024 .000
Error .132 6 .022
Total 138.702 12
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Lampiran 3. Hasil ANOVA kenaikan berat badan tikus percobaan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Berat Badan
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
a
Model 3098.233 14 221.302 83.946 .000
Ulangan 601.919 9 66.880 25.369 .000
Perlakuan 1.926 4 .481 .183 .946
Error 79.088 30 2.636
Total 3177.320 44
a. R Squared = .975 (Adjusted R Squared = .963)
Lampiran 4. Data berat badan masing-masing tikus

Berat Badan (gram)


Kelompok
H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14 H15 H16

A1 98 113 128 143 142


A2 98 115 120 132 135
A3 95 118 129 141 141
A4 95 113 120 126 128
A5 94 111 116 112 125
A6 90 118 128 138 145 150 153
A7 89 108 123 135 139 144 147
A8 89 110 124 134 145 144 148
A9 88 105 119 128 136 141 140
A10 88 106 112 118 124 126 129
A11 84 108 115 121 123 125 134
A12 84 99 110 119 125 129 133
A13 84 102 114 121 124 133 136
A14 83 99 102 105 105 104 110
A15 83 98 112 121 130 131 132
B1 98 110 115 129 135
B2 97 114 135 146 149
B3 96 112 128 144 147
B4 95 112 123 130 134
B5 93 110 114 122 127
B6 90 110 122 132 141 146 150
B7 89 109 121 136 154 165 170
B8 88 101 112 124 135 140 148
B9 88 105 122 125 131 130 132
B10 88 109 115 132 141 148 153
B11 84 102 118 120 125 128 136
B12 84 94 104 116 130 138 139
B13 83 104 115 121 131 135 134
B14 83 98 108 117 123 126 132
B15 82 100 106 121 124 130 136
C1 92 131 136 142
C2 92 136 144 154
C3 90 135 144 149
C4 90 144 159 166
C5 90 139 148 153
C6 87 111 118 119 124 122
C7 87 123 134 140 145 144
C8 87 135 146 150 155 157
C9 86 135 142 148 152 158
C10 86 114 120 125 128 131
C11 82 118 126 128 133 133
C12 80 116 124 126 133 140
C13 80 105 114 116 119 123
C14 79 112 125 134 138 145
C15 77 112 123 122 122 125
D1 92 135 147 151
D2 92 132 145 150
D3 90 131 142 150
D4 90 132 147 152
D5 90 128 140 148
D6 87 125 128 128 127 126
D7 87 118 129 135 136 136
D8 86 126 138 139 150 155
D9 86 133 130 148 145 152
D10 86 137 148 155 161 160
D11 81 112 122 129 131 140
D12 80 118 125 131 138 145
D13 80 126 136 146 149 155
D14 79 115 126 137 144 151
D15 78 111 120 122 120 121
E1 85 96 110 125 138 146
E2 85 105 115 127 136 141
E3 85 101 110 120 126 132
E4 85 98 110 116 126 129
E5 85 98 106 119 126 130
Lampiran 5. Hasil ANOVA kadar air feses tikus

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: KADAR Air
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 211.813(a) 5 42.363 5.582 .060
Intercept 37767.170 1 37767.170 4976.381 .000
KELOMPOK 211.132 4 52.783 6.955 .043
ULANGAN .681 1 .681 .090 .779
Error 30.357 4 7.589
Total 38009.340 10
Corrected Total 242.170 9
a R Squared = .875 (Adjusted R Squared = .718)
Lampiran 6. Hasil uji lanjut duncan kadar air feses tikus

Post Hoc Tests


KELOMPOK

Homogeneous Subsets
KADAR AIR FESES
Duncana,b

KELOMPOK N Subset
1 2
Kontrol negatif 2 55.9350
Yogurt sinbiotik 2 56.0100
Yogurt prebiotik konvensional 2 63.6200 63.6200
Yogurt sinbiotik + EPEC 2 64.8450
Kontrol positif 2 66.8650
Sig. .052 .310
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error
term is Mean Square(Error) = 7.589.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan sampel darah tikus percobaan
Hb Leukosit Trombosit Hematokrit Erytrosit
Sampel (g/dL) (sel/µL) (Ribu/µL) (%) (Juta/µL)
A1 12.60 6200 407 32.00 6.29
A3 13.50 5200 407 34.90 6.54
A5 13.40 5900 414 34.70 6.7
Rata-rata 13.17 5767 409 33.87 6.51
A6 13.60 5200 485 34.70 6.71
A7 13.60 4000 432 34.70 7.16
A9 13.50 3900 415 33.70 6.92
Rata-rata 13.57 4367 444 34.37 6.93
A11 13.00 1200 360 33.20 7.71
A12 14.10 1400 371 35.10 7.45
A14 14.40 4400 453 35.80 6.61
Rata-rata 13.83 2333 395 34.70 7.26
B1 13.50 7700 438 35.20 6.58
B2 12.50 4800 459 33.40 6.20
B3 13.40 5800 441 35.10 6.66
Rata-rata 13.13 6100 446 34.57 6.48
B7 13.8 4500 462 35.30 6.76
B8 13.7 4800 540 33.60 7
B9 14.1 4200 560 36.30 7.14
Rata-rata 13.87 4500 521 35.07 6.97
B11 14.50 2800 314 32.50 7.61
B12 13.60 3600 345 34.90 6.98
B13 14.70 4700 356 35.30 7.82
Rata-rata 14.27 3700 338 34.23 7.47
C1 12.30 4400 307 32.70 6.13
C2 13.20 4300 274 35.10 6.54
C3 13.40 6900 299 35.40 6.49
Rata-rata 12.97 5200 293 34.40 6.39
C6 14.20 5400 309 34.6 7.57
C9 14.20 4200 364 36.8 7.24
C10 14.40 4600 401 37.2 7.66
Rata-rata 14.27 4733 358 36.20 7.49
C12 13.60 4700 366 33.80 6.88
C13 13.50 4800 375 35.50 6.85
C14 14.30 6000 386 35.80 6.86
Rata-rata 13.80 5167 376 35.03 6.86
D1 12.70 4800 304 34.5 6.24
D4 13.00 2900 317 34.7 6.29
D5 13.00 4700 273 35 6.43
Rata-rata 12.90 4133 298 34.73 6.32
D8 13.80 5800 373 34.10 7.13
D9 11.40 4900 350 30.60 5.81
D10 14.30 3300 424 38.00 7.29
Rata-rata 13.17 4667 382 34.23 6.74
D13 14.30 6100 442 37.30 7.57
D14 14.20 6900 488 37.40 7.44
D15 14.60 7700 531 37.40 7.52
Rata-rata 14.37 6900 487 37.37 7.51
E3 13.60 4300 359 34.40 7.08
E4 14.00 5100 384 34.40 7.07
E5 13.60 5600 421 34.90 6.88
Rata-rata 13.73 5000 388 34.57 7.01
Lampiran 8. Hasil ANOVA eritrosit

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: NILAI
Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 1.123(a) 6 .187 1.641 .252
Intercept 782.359 1 782.359 6859.391 .000
ULANGAN .165 2 .083 .725 .514
PERLAKUAN .958 4 .239 2.099 .173
Error .912 8 .114
Total 784.395 15
Corrected Total 2.035 14
a R Squared = .552 (Adjusted R Squared = .216)
Lampiran 9. Hasil ANOVA leukosit

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: NILAI
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 44306666.667(a) 6 7384444.444 25.941 .000
Intercept 320166000.000 1 320166000.000 1124.705 .000
ULANGAN 9156000.000 2 4578000.000 16.082 .002
PERLAKUAN 35150666.667 4 8787666.667 30.870 .000
Error 2277333.333 8 284666.667
Total 366750000.000 15
Corrected Total 46584000.000 14
a R Squared = .951 (Adjusted R Squared = .914)

Lampiran 10. Hasil uji lanjut duncan leukosit

Post Hoc Test

Perlakuan
Homogeneous Subsets
NILAI
Duncana,b
PRLAKUAN N Subset
1 2 3 4
Kontrol negatif 3 2333.33
Yogurt sinbiotik 3 3700.00
Yogurt prebiotik konvensional 3 5000.00
Yogurt sinbiotik + EPEC 3 5166.67
Kontrol positif 3 6900.00
Sig. 1.000 1.000 .712 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error
term is Mean Square(Error) = 284666.667.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 11. Hasil ANOVA hemoglobin

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: NILAI
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.817(a) 6 .303 1.551 .276
Intercept 2940.000 1 2940.000 15051.195 .000
ULANGAN .784 2 .392 2.007 .197
PERLAKUAN 1.033 4 .258 1.323 .340
Error 1.563 8 .195
Total 2943.380 15
Corrected Total 3.380 14
a R Squared = .538 (Adjusted R Squared = .191)
Lampiran 12. Hasil ANOVA trombosit

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: NILAI
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 45740.667(a) 6 7623.444 22.338 .000
Intercept 2360960.067 1 2360960.067 6917.889 .000
ULANGAN 9491.733 2 4745.867 13.906 .002
PRLAKUAN 36248.933 4 9062.233 26.553 .000
Error 2730.267 8 341.283
Total 2409431.000 15
Corrected Total 48470.933 14
a R Squared = .944 (Adjusted R Squared = .901)

Lampiran 13. Hasil uji lanjut Duncan trombosit

Post Hoc Test


Homogeneous Subsets
NILAI
Duncana,b
PRLAKUAN N Subset
1 2 3
yogurt sinbiotik 3 338.33
yogurt sinbiotik + EPEC 3 375.67
yogurt prebiotik konvensional 3 388.00
kontrol negatif 3 394.67
kontrol positif 3 487.00
Sig. 1.000 .261 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error
term is Mean Square(Error) = 341.283.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 14. Hasil ANOVA hematokrit

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: NILAI
Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 25.905(a) 6 4.318 9.288 .003
Intercept 18564.486 1 18564.486 39937.940 .000
ULANGAN 6.988 2 3.494 7.517 .015
PRLAKUAN 18.917 4 4.729 10.174 .003
Error 3.719 8 .465
Total 18594.110 15
Corrected Total 29.624 14
a R Squared = .874 (Adjusted R Squared = .780)

Lampiran 15. Hasil uji lanjut duncan hematokrit

NILAI

Duncana,b
PRLAKUAN N Subset
1 2
yogurt sinbiotik 3 34.2333
yogurt konvensional 3 34.5667
kontrol negative 3 34.7000
yogurt sinbiotik + EPEC 3 35.0333
kontrol positif 3 37.3667
Sig. .213 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error
term is Mean Square(Error) = .465.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b Alpha = .05.

You might also like