Professional Documents
Culture Documents
Nim :K20.01.006
Jurusan :Keperawatan
ARTIKEL 1
ARTIKEL 2
Pemberian oksigen yang tidak pada tempatnya harus dihindari karena justru menyebabkan
bahaya bagi pasien. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan reactive oxygen species yang terjadi
pada penggunaan oksigen yang tidak perlu. Sudah saatnya oksigen diperlakukan sebagai obat
yang membutuhkan indikasi dan dosis yang jelas.
Oksigen sering diberikan tanpa melihat tingkat saturasi oksigen pasien. Pemberian oksigen
seperti ini dianggap dapat mencegah perburukan penyakit. Namun, hal ini justru disangkal oleh
beberapa penelitian terbaru. Penggunaan oksigen pada penyakit akut, termasuk penggunaan pada
sindrom koroner akut, yang tidak pada tempatnya justru meningkatkan mortalitas pasien.[1,2]
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan
udara sekitar dengan tujuan memperbaiki atau mencegah gejala dan manifestasi dari hipoksia.
Hal ini dapat dilakukan di antaranya menggunakan nasal kanul, masker sederhana, masker non-
rebreathing. Tujuan dari terapi oksigen adalah untuk mengobati atau mencegah hipoksemia
sehingga mencegah hipoksia jaringan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan ataupun
kematian sel. Namun, pemberian yang tidak sesuai indikasi justru akan menyebabkan dampak
sebaliknya.[3,4]
Hipoksemia: penurunan PaO2 pada darah di bawah nilai normal. PaO2 <60 atau SaO2
<90% pada pasien yang menghirup udara ruangan, atau dengan PaO2 dan atau SaO2 di
bawah nilai yang dinginkan pada situasi klinis spesifik
Terapi jangka pendek seperti pada keracunan karbon monoksida atau pemulihan setelah
anestesi
Absorbsi pneumothorax
Pasien sesak napas (laju napas di atas 20 x/menit) yang saturasi oksigennya masih normal
Pasien dengan risiko hipoksia jaringan, misalnya pasien asidosis metabolik atau sepsis[4]
Salah satu indikasi terapi oksigen adalah keadaan akut yang dicurigai terjadi hipoksia. Hipoksia
pada umumnya dinilai dengan pulse oximetry atau analisis gas darah. Namun bila keduanya tidak
tersedia atau sulit dilakukan, maka hipoksia dapat dicurigai dari gejala dan tanda dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
Pemberian terapi oksigen yang berlebih dan tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan
hiperoksemia, sehingga terjadi peningkatan jumlah reactive oxygen species (ROS). Peningkatan
ROS ini akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan hingga
kematian sel. Kondisi inilah yang menyebabkan pengaruh buruk pada pasien sebagai berikut:
Memperpanjang Lama Rawat Inap
Pasien yang dirawat di ICU yang diberikan pemberian oksigen mencapai target 94-98%
dibandingkan pasien dengan target 97-100%, ternyata dengan lama rawat lebih cepat >3 hari
pada pasien dengan target lebih rendah. [8]
Meningkatkan Mortalitas
Mortalitas meningkat pada pemberian oksigen pasca henti jantung, stroke akut, trauma pada
otak, infark miokard akut, pasca resusitasi neonatal, dan pasien dengan keadaan kritis yang tidak
disertai hipoksia. [8-9]
Pemberian oksigen perlu diberikan pada dosis yang sesuai agar tepat pada tujuannya yaitu tata
laksana hipoksemia. Saturasi oksigen pada orang normal pada umumnya berkisar 96-98%,
namun sering kali terapi oksigen tetap diberikan bahkan ketika saturasi mencapai 100%.
Rekomendasi target saturasi oksigen menurut Thoracic Society of Australia and New Zealand
(2015) yaitu 92-96% pada pasien kondisi akut dan 88-92% pada pasien dengan gagal napas
kronis. Hal ini berbeda dengan rekomendasi menurut guideline dari British Thoracic Society
(2017) yaitu target Sa02 mencapai 94-98% pada hampir seluruh pasien dengan penyakit akut.
[10-11] Namun hal ini dibantahkan oleh penelitian terbaru yang menemukan bahwa pasien
dengan SaO2 di atas 94-96% ternyata memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi tanpa
meningkatkan outcome pasien. [12] Pada saturasi oksigen < 92% ternyata ditemukan
peningkatan mortalitas, dengan peningkatan tertinggi pada saturasi oksigen <90%. Kadar saturasi
oksigen yang dinyatakan tidak memiliki risiko peningkatan mortalitas yaitu >92%. [14,16]
Menurut rekomendasi dari studi terbaru, maka dianjurkan target saturasi oksigen pada yaitu 88-
92% pada pasien dengan gagal napas kronis dan gagal napas hiperkapnea, dan 92-96% pada
kondisi lainnya. Turunkan dosis oksigen yang diberikan bila saturasi melebihi 96% dan hentikan
bila SaO2 sudah dapat mencapai target tanpa bantuan suplementasi oksigen.[1]
Penggunaan target saturasi oksigen berdasarkan rekomendasi tersebut tentunya harus disesuaikan
dengan penyakit yang dialami dan kondisi pasien. Contohnya pada bronkiolitis, target saturasi
oksigen yang lebih rendah, >90%, justru menghasilkan durasi rawat inap yang lebih singkat,
waktu yang lebih singkat hingga bayi mendapatkan asupan makanan yang adekuat, serta lebih
cepat kembali ke kondisi normal.[17]
Kesimpulan
Pemberian oksigen yang tidak sesuai indikasi justru akan menimbulkan bahaya bagi pasien, yaitu
memperpanjang lama rawat inap, memperburuk perjalanan penyakit, hingga menyebabkan
mortalitas. Indikasi pemberian oksigen adalah adanya hipoksemia, atau kondisi khusus seperti
pneumothorax dan keracunan karbon monoksida.
Oksigen diberikan sampai target terapi tercapai. Berdasarkan rekomendasi terbaru, target terapi
yang disarankan adalah saturasi oksigen 92-96%, kecuali pada kondisi gagal napas kronis dan
gagal napas hiperkapnea yang membutuhkan target terapi lebih rendah, 88-92%. Walau
demikian, rekomendasi target ini juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien, misalnya pada
bronkiolitis, target terapi yang disarankan adalah saturasi oksigen di atas 90%. Pastikan oksigen
diperlakukan sebagai obat, yang membutuhkan indikasi dan dosis pemberian yang jelas.
ARTIKEL 3