You are on page 1of 15

Nama :Avelinda Oktavia Makota Ogur

Nim :K20.01.006
Jurusan :Keperawatan

ARTIKEL 1

APPLICATION OF OXYGEN GIVINGON PATIENTSCONGESTIVE HEART FAILURE


(CHF) WITHDISRUPTIONOF OXYGENATIONNEEDSIN RSUD WATES KULON
PROGOSamsi Bariyatun1, Catur Budi Susilo2, Maryana3Majoring Polytehnic Nursing, Ministry
of Health YogyakartaJalan Tatabumi 3 Banyuraden, Gamping, SlemanE-mail:
samsibariya16@gmail.comABSTRACTBackground: Congestive Heart Failure (CHF) is a
disorder of heart function that fails to pump blood for theneeds of body cells. Symptoms that
often arise because of heart failure is dyspnea or shortness of breath causes the patient's breath
pattern to be ineffective.Purpose: Provides an overview of oxygen givingin nursing care in
Congestive Heart Failure (CHF) patientswithdisruption of oxygenation needsMethod: This case
study uses a descriptive method. The authors compared the responses of two CHF patients who
were equally given oxygen supplementation. Data collectedby interview, observation, physical
examination, and document studyResults: The application of oxygen givingin Congestive Heart
Failure (CHF) patients with disruption of oxygenation needs has an effect on the effectiveness of
respiratory pattern in patients. Different responses in two patients after treatment were given
because both patients had different respiratory complaints and other chronic diseases that affect
the patient's breathing patterns.Conclusions: The application of oxygen givingto CHF patients
gave different responsesKeywords: Giving oxygen, Congestive Heart Failure (CHF),
disruptionof oxygenation, ineffective breathing pattern1)Nursing Student of The Ministry of
Health Polytehnic Yogyakarta2)3)Nursing Lecturer of The Ministry of Health Polytehnic
Yogyakarta
PENDAHULUANGagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal
jantung kanan, terjadi di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen1.Gagal jantung merupakan
salah satu penyakit jantung yang angka kejadiannya di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Prevalensi penyakit jantung coroner di Indonesia mencapai 0,5% dan gagal jantung
sebesar 0,13% dari total penduduk berusia 18 tahun keatas2.Pada pasien gagal jantung kongestif
dengan pola nafas tidak efektif terjadi karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang
datang dari paru-paru sehingga terjadi peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru yang
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru3. Pasien gagal jantung kongestif sering kesulitan
mempertahankan oksigenasi sehingga mereka cenderung sesak nafas. Seperti yang kita ketahui
bahwa jantung dan paru-paru merupakan organ tubuh penting manusia yang sangat berperan
dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam darah, sehingga apabila paru-paru dan
jantung tersebut mengalami gangguan maka hal tersebut akan berpengaruh dalam proses
pernapasan. Gagal jantung kongestif menyebabkan suplai darah ke paru-paru menurun dan darah
tidak masuk ke jantung. Keadaan ini menyebabkan penimbunan cairan di paru-paru, sehingga
menurunkan pertukaran oksigen dan karbondioksida4. Gangguan kebutuhan oksigenasi menjadi
masalah penting pada pasien gagal jantung kongestif. Untuk itu, sebaiknya masalah tersebut
segera ditangani agar tidak memperparah kondisi tubuh pasien. Intervensi keperawatan dalam
upaya pemenuhan kebutuhan oksigenasi bisa dilakukan dengan pemberian oksigen, memberikan
posisi semi fowler, auskultasi suara nafas, dan memonitor respirasi dan status O2.
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan
metabolisme sel tubuh dalam mempertahankan hidup dan aktivitas sebagian organ atau
sel5.Salah satu intervensi keperawatan pada penderita gagal jantung dengan gangguan kebutuhan
oksigenasi adalah pemberian oksigen. Pemberian oksigen adalah bagian integral dari
pengelolaan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya pasien yang sedang
mengalami gangguan pernapasan yaitu untuk mempertahankan oksigenasi dalam tubuh.
Pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari udara ruangan digunakan untuk
mengatasi atau mencegah hipoksia 6.METODEMetode yang digunakan padastudi kasus ini
adalah desain studi kasus diskriptif. Penulis melakukan asuhan keperawatan kepada dua pasien
dengan satu kasus yang sama dengan melibatkan keluarganya, dengan memfokuskan satu
tindakan yaitu pemberian oksigen untuk mengatasi masalah oksigenasi pasien Congestive Heart
Failure (CHF). Subyek studi kasus adalah dua pasien individu yang diamati secara mendalam,
dan memenuhi kriteria subjek. Kriteria subjeknya yaitu pasien penderitaCHF dengan gangguan
pemenuhan oksigenasi, membutuhkan pemberianoksigen tambahan dan bersedia diberi
tambahan oksigen. Subyek pada studi kasus ini yaitu dua pasien di ruang rawat inap ruang
edelweis RSUD Wates. Fokus studi ini adalah pemenuhan kebutuhan oksigenasi dengan
penerapan pemberian oksigen pada pasien Congestive Heart Failure(CHF). Instrumen yang
penulis gunakan yaitu Standar Operasional Prosedur (SOP) pemberian oksigen melalui kanul
nasal, lembar observasi pemberian oksigen kanul nasal, lembar evaluasi berbentuk SOAP, dan
lembar evaluasi status pernapasan. Prosedur pengumpulan data untuk asuhan keperawatan pada
pasien yang dipakai dalam studi kasus ini yaitu wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan
studi dokumen, dengan dilakukan inform consentsebelumnya. Cara
pengumpulan data mengenai prosedur tindakan keperawatan pemberian oksigen melalui kanul
nasal di lahan studi kasus dilakukan dengan wawancara kepada perawat di ruang rawat inap.
HASILPasien 1 yaitu Ny. J berusia 60 tahun dengan diagnosis medis CHF, asma bronchial dan
abdominal pain. Keluhan utama yaitu pusing, sesak napas jika kelelahan, sesak napas bertambah
jika sore hari atau udara dingin, batuk, mual, muntah, tidak nafsu makan, perut terasa penuh dan
mbesesek. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan RR: 24x/menit, irama napas tidak teratur,
terdapatpenggunakan tambahan otot bantu pernapasan, terdapat suara wheezing, tekanan darah
didapatkan 140/90 mmHg, denyut nadi kuat, nadi sebanyak 100x/menit. Status gizi pasien
didapatkan IMT 26,05 (gizi lebih). Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi, sudah pernah
opname di rumah sakit sebanyak 3 kali karena sakit jantung dan rutin kontrol sebulan sekali.
Pemeriksaan abdomen didapatkan asites, pitting edem derajat 1.Saat sakit, pasien mengatakan
sulit tidur karena sesak napasPemeriksaan sistemik pada pasien didapatkan turgor kulit kurang
elastis dan kulit kering, konjungtiva mata tidak pucat, tidak terdapat pernapasan cuping hidung,
mukosa bibir lembab. Pada pemeriksaan dada didapatkan tidak terdapat luka di dada, terdapat
penggunaan tambahan otot bantupernapasan, tidak terdapat benjolan abnormal, ekspansi dada
simetris, terdapat suara napas wheezing, suara perkusi sonor, irama napas tidak teratur,
kedalaman napas dalam. Iktus cordis tak tampak, suara pekak, tidak terdapat pembesaran
jantung.Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien Ny. J yaitu penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan preload, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, dan pola napas tidak efektif
berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal.Studi kasus ini membahas tentang satu
diagnosiskeperawatan yaitu pola napas tidak efektif
berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal. Asuhan keperawatan dilakukan selama
3 x 24 jam dengan intervensi pada pasien Ny.Jyaitu monitor status pernapasan pasien, edukasi
pasien untuk diberikan posisi semifowler, ajarkan pasien cara batuk efektif, kelola pemberian
oksigen, monitor pemberian oksigen sesuai standar.Adabeberapa implementasi yang dilakukan
secara kolaboratif untuk pasien Ny. J yaitu pemberian nebulizer ventolin2,5 mg dan pulmicort
0,5 mg. Hal ini dikarenakan selain menderita CHF, pasien juga menderita asma bronchial yang
juga merupakan suatu gangguan oksigenasi. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk membatasi
aktivitasnya agar tidak memicu timbulnya sesak napas. Implementasi yang yang melibatkan
keluarga yaitu melibatkan keluarga dalam mempertahankan kepatenan posisi kanul nasal dan
memantau kecukupan humidifier.Monitorstatus pernapasan pasien dilakukansetiap hari dan
evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam yaitu pola
napas pasien efektif ditandai dengan sesak napas berkurang, RR: 20x/menit, tidak terdapat suara
napas tambahan wheezing, irama napas teratur, tidak terdapat penggunaan tambahan otot bantu
pernapasan, pasien batuk, dapat melakukan batuk efektif, dan pasien mengatakan nyaman
dengan posisi setengah duduk.Pasien 2 yaitu Tn. P berusia 58 tahun dengan diagnosis medis
CHF dan anemia. Keluhan utama pasien mengatakan sesak napas hingga dadanya sakit, badan
gemetaran, badannya lemah, feses berwarna hitam, dan perut mual. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan RR: 25x/menit, irama napas tidak teratur, napas cepat, tidak terdapat penggunaan
tambahan otot bantu pernapasan, tekanan darah 150/80 mmHg, denyut nadi 86x/menit.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 8,3 g/dL. IMT: 24,14. Konjungtiva
pucat, mukosa bibir kering, turgor kulit kurang elastis. Riwayat penyakit dahulu pasien
mengatakan memiliki riwayat hipertensisatu tahun yang lalu menderita anemia.
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien Tn. J yaitu penurunan curah jantung
berhubungan dengan penurunan preload, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, pola napas tidak efektif berhubungan
dengan pengembangan paru tidak optimal, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan HB, dan angguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.Intervensi keperawatan pada Tn. J yang berhubungan
dengan pola napas tidak efektif yaitu monitor status pernapasan pasien, edukasi pasien untuk
diberikan posisi semifowler, kelola pemberian oksigen, monitor pemberian oksigen sesuai
standar, dan mengedukasi pasien untuk membatasi aktivitas.Pasien juga mendapatkan transfusi
PRC. Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam yaitu
pola napas tidak efektif pada pasien belum teratasi ditandai dengan pasien mengatakan badannya
lemah, masih sesak napas, RR: 22x/menit, irama napas tidak teratur. Pasien mengatakan lebih
nyaman dan lega dengan diberikannya oksigen 3 liter/menit dan pasien lebih nyaman dalam
posisi setengah duduk atau duduk.Kedua pasien tersebut yaitu Ny. J dan Tn. P memiliki
beberapa perbedaan.Tabel. 1 Analisa Perbedaan KasusPembedaNy. JTn. PJenis
kelaminPerempuanLaki-lakiUsia60 tahun58 tahunIMT26,0523,14Diagnosa medis selain
CHFasma bronchial dan abdominal painanemiaKeluhan utamapusing, , sesak napas jika
kelelahan, sesak napas bertambah jika sore hari atau udara dingin, batuk, mual, muntah, tidak
nafsu makan, perut sakitsesak napas hingga dadanya sakit, badan gemetaran, badannya lemah,
feses berwarna hitam, perut mual.Riwayat penyakitHipertensi, jantung satu tahun yang
laluHipertensi, anemia, tidak ada riwayat penyakit jantungPola napasIrama tidak teratur, napas
dalamIrama tidak teratur, napas dangkalKadar hemoglobin14,5 g/dL8,3 g/dL
Tabel1menunjukkan bahwa kedua pasien memiliki beberapa perbedaan seperti jenis kelamin,
usia, IMT, diagnosa medis selain CHF, keluhan utama, riwayat penyakit, pola napas, dan kadar
hemoglobin pasien. Jenis kelamin laki-laki membutuhkan lebih banyak oksigen karena
membutuhkan lebih banyak energi untuk beraktivitas sehingga Tn.P memiliki kebutuhkan
oksigen yang lebih banyak. Usia juga mempengaruhi kebutuhan oksigen, kedua pasien memiliki
rentang usia yang hampir sama sehingga tidak memiliki perbedaan yang signifikan berdasarkan
usia. Luas permukaan tubuhyang bisa diukur dengan berat badan dan tinggi badan juga
berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen, semakin luas permukaan tubuh maka kebutuhan
oksigen juga semakin banyak, sehingga dapat dikatakan Ny. J memiliki tingkat kebutuhan
oksigen yang lebih banyak dari segi IMT. Penyakit kronis juga memengaruhi kebutuhan oksigen
pasien, Ny. J memiliki riwayat jantung sejak satu tahun yang lalu dan sekarang kembali
menderita sakit jantung disertai asma bronchial. Sedangkan pasien Tn. P belum pernah menderita
sakit jantung sebelumnya dan sekarang merupakan kali pertama menderita sakit jantung disertai
anemia, hal ini akan menyebabkan terhambatnya peredaran oksigen ke seluruh tubuh.Namun,
kedua pasien tersebut sama sama memiliki riwayat hipertensi, dimana hipertensi merupakan
penyebab terjadinya Congestive Heart Failure (CHF) yang berasal dari luar atau ekstrinsik.
Kedua pasien tersebut juga memiliki pola napas yang berbeda, pasien Ny. J memiliki pola napas
dengan napas dalam sedangkan Tn. P memiliki pola napas cepat dan dangkal. Hal ini akan
mempengaruhi perkembangan pasien setelah diberikan tambahan oksigen. Kadar hemoglobin
juga akan mempengaruhi kebutuhan oksigen karena hemoglobin mengikat oksigen yang akan
diedarkan ke seluruh tubuh, jika kadar hemoglobin semakin rendah maka oksigen yang
diedarkan ke seluruh tubuh juga semakin sedikit.
PEMBAHASANStudi kasus diawali dengan melakukan pengkajian kepada pasien dengan cara
wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumen. Setelah itu, penulis melakukan
analisa data, merencanakan tindakan keperawatan untuk mengatasi pola napas tidak efektif pada
pasien, dan yang terakhir melakukan tindakan keperawatan.Hari pertama studi kasus pada kedua
pasien tersebut dilakukan pada hari kedua pasien di rumah sakit. Tetapi, respon atau
perkembangan pasien berbeda. Pasien Ny. J dan Tn. P mendapatkan tambahan oksigen 3
liter/menit. Sejak hari pertama studi kasus, pasien Ny. J diposisikan pada posisi semi fowlerdan
pasien mengatakan lebih nyaman. Ny. J mengatakan bahwa sesak napas bertambah jika sore atau
malam hari dan sesak bertambah jika posisi telentang.Begitu juga dengan pasien Tn. P yang
diposisikan semi fowler. Selain itu, setelah diberi tambahan oksigen sejak awal masuk rumah
sakit, pasien Ny. J mengatakan sesak napas berkurang dan tambahan oksigen membuat lebih
lega, RR: 24 x/menit, irama tidak teratur, masih terdapat penggunaan tambahan otot bantu
pernapasan, dan terdapat suara tambahan wheezing. Perkembangan pasien Tn. P pada hari
pertama yaitu pasien mengatakan masihsesak napas tetapi sudah tidak separah saat sebelum
masuk rumah sakit, RR : 24x/menit, irama napas tidak teratur dan napasnya pendek cepat, dan
terdapat suara wheezing. Keluhan utama Tn. P pada hari pertama yaitu badannya terasa
lemah.Hari kedua studi kasus, penulis mengedukasi dan melatih Ny. J cara batuk efektif karena
pasien mengeluh batuk berdahak dan pasien dapat melakukan batuk efektif, dahak dapat keluar
berwarna putih. Pada hari kedua ini, pasien Ny. J mendapatkan nebulizer ventolin dan pulmicort
yang diberikan pada pukul 07.00 pagi. Perkembangan status pernapasan pasien, pasien Ny. J
mengatakan sesak napas brkurang dan batuk, RR: 22x/menit. Pada pasien Tn. J pasien
mengatakan sesak napas berkurang, tetapi badannya lemah. Hari kedua, penulis
juga memberikan edukasi kepada Tn. J dan Ny.J supaya membatasi aktivitasnya agar tidak
memperparah sesak napas dan pasien tirah baring dengan mandi dan buang air besar di atas
tempat tidur dibantu oleh keluarganya.Hari ketiga studi kasus, pasien Ny. J mengatakan sudah
tidak sesak napas tetapi masih batuk, tidak terdapat suara wheezing, tidak terdapat penggunaan
tambahan otot bantu pernapasan, irama napas teratur dan RR : 20 x/menit. Sedangkan pada Tn. P
pasien mengeluh badannya lemah, sesak napas berkurang, terdapat suara wheezing, irama napas
tidak teratur dan RR : 22x/menit. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
seperti pemberian oksigen, memposisikan semi fowler, membatasi aktivitas, dan tindakan-
tindakan kolaborasi seperti pemberian nebulizer akibat asma dan transfusi darah akibat anemia,
pola napas Ny. J efektif ditandai dengan RR: 20x/menit, tidak terdapat penggunaan tambahan
otot bantu pernapasan, dan irama napas teratur. Tetapi, pasien mengeluh batuk yang berkaitan
dengan masalah bersihan jalan napas tidak efektif. Sedangkan pada Tn. P pola napas tidak efektif
belum teratasi ditandai dengan pasien mengeluh badannya lemah, RR: 22x/menit dan terdapat
suara wheezing. Teratasi atau tidak teratasinya masalah keperawatan pola napas tidak efektif
pada kedua pasien ini mengacu pada kriteria hasil tidak ada dyspnea, mampu bernapas dengan
mudah, menunjukkan irama napas, frekuensi napas dalam rentang normal, tidak terdapat suara
napas tambahan, dan tanda-tanda vital dalam batas normal7. Pasien Ny. J mengeluh mengalami
batuk. Batuk merupakan manifestasi yang sering pada gagal jantung kiri. Pasien batuk karena
sejumlah cairan yang banyak terperangkap dalam saluran pernapasan dan mengiritasi mukosa
paru8.Pemberian oksigen memiliki peranan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien CHF guna meringankan gejala sesak napas pada pasien. Meningkatkan
konsentrasi (atau
persentasi) oksigen yang dihirup pasien penting untuk mengembalikan keadaan hipoksia
(konsentrasi oksigen rendah dalam darah), menurunkan kerja sistem pernapasan karena jika
menerima tambahan oksigen, otot pernapasan tidak perlu bekerja keras untuk memompa udara
ke dalam dan keluar paru-paru dan untuk mempertahankan suplai oksigen darah yang mencukupi
dan tambahan oksigen berperan dalam menurunkan kerja jantung dalam memompa darah9.
KESIMPULANAsuhan keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure(CHF) dengan
gangguan kebutuhan oksigenasi merupakan suatu asuhan yang kompleks, tidak hanya khusus
satu tindakan berupa pemberian oksigen melalui kanul nasal tetapi juga disertai tindakan
keperawatan yang lain yang dapat mendukung teratasinya masalah keperawatan pada pasienyaitu
pola napas tidak efektifseperti pemberian posisi semi fowler, melatih batuk efektif, edukasi
pasien untuk membatasi aktivitas, dan edukasi keluarga untuk membantu kepatenan posisi atau
pemasangan kanul nasal.Respon pasien CHF dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi
setelah diberikan oksigen kanul nasal berbeda-beda. Pada studi kasus ini, kedua pasien
mengalami penurunan tingkat sesak napasnya, kedua pasien mengatakan nyaman dan lega
dengan aliran oksigen 3 liter/menit. Namun, pola napas dan respiration rate pada masing-masing
pasien berbeda, hal ini disebabkan pada kedua pasien tersebut memiliki keluhan sesak napas,
jenis kelamin, berat badan, dan riwayat penyakit jantung yang berbeda. Selain itu, pasien Ny. J
mengalami asma bronchial dan batuk berdahak, sedangkan Tn. P mengalami anemia. Keduanya
memiliki penyakit selain CHF yang turut berperan dalam gangguan pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pasien tersebut.Pemberian oksigen melalui kanul nasal pada pasien CHF dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi digunakan untuk mengurangi sesak napas,
menurunkan kerja sistem pernapasan, dan menurunkan kerja

ARTIKEL 2

Pemberian oksigen yang tidak pada tempatnya harus dihindari karena justru menyebabkan
bahaya bagi pasien. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan reactive oxygen species yang terjadi
pada penggunaan oksigen yang tidak perlu. Sudah saatnya oksigen diperlakukan sebagai obat
yang membutuhkan indikasi dan dosis yang jelas.

Oksigen sering diberikan tanpa melihat tingkat saturasi oksigen pasien. Pemberian oksigen
seperti ini dianggap dapat mencegah perburukan penyakit. Namun, hal ini justru disangkal oleh
beberapa penelitian terbaru. Penggunaan oksigen pada penyakit akut, termasuk penggunaan pada
sindrom koroner akut, yang tidak pada tempatnya justru meningkatkan mortalitas pasien.[1,2]

Sumber: J Heilman, Wikimedia commons, 2014.

Indikasi Pemberian Oksigen

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan
udara sekitar dengan tujuan memperbaiki atau mencegah gejala dan manifestasi dari hipoksia.
Hal ini dapat dilakukan di antaranya menggunakan nasal kanul, masker sederhana, masker non-
rebreathing. Tujuan dari terapi oksigen adalah untuk mengobati atau mencegah hipoksemia
sehingga mencegah hipoksia jaringan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan ataupun
kematian sel. Namun, pemberian yang tidak sesuai indikasi justru akan menyebabkan dampak
sebaliknya.[3,4]

Indikasi dari terapi oksigen:

 Hipoksemia: penurunan PaO2 pada darah di bawah nilai normal. PaO2 <60 atau SaO2
<90% pada pasien yang menghirup udara ruangan, atau dengan PaO2 dan atau SaO2 di
bawah nilai yang dinginkan pada situasi klinis spesifik
 Terapi jangka pendek seperti pada keracunan karbon monoksida atau pemulihan setelah
anestesi
 Absorbsi pneumothorax
 Pasien sesak napas (laju napas di atas 20 x/menit) yang saturasi oksigennya masih normal
 Pasien dengan risiko hipoksia jaringan, misalnya pasien asidosis metabolik atau sepsis[4]

Indikasi Pemberian Oksigen jika Saturasi Oksigen Tidak Dapat Ditentukan

Salah satu indikasi terapi oksigen adalah keadaan akut yang dicurigai terjadi hipoksia. Hipoksia
pada umumnya dinilai dengan pulse oximetry atau analisis gas darah. Namun bila keduanya tidak
tersedia atau sulit dilakukan, maka hipoksia dapat dicurigai dari gejala dan tanda dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik.  

Gejala dan tanda dari hipoksia:  

 Manifestasi neurologis (restlessness, ansietas, bingung, kejang atau koma)


 Sianosis, kulit dan membran mukus berubah warna menjadi pucat atau kebiruan
 Takipnea dan dispnea[13]

Pengaruh Terapi Oksigen yang Tidak Tepat

Pemberian terapi oksigen yang berlebih dan tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan
hiperoksemia, sehingga terjadi peningkatan jumlah reactive oxygen species (ROS). Peningkatan
ROS ini akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan hingga
kematian sel. Kondisi inilah yang menyebabkan pengaruh buruk pada pasien sebagai berikut:
Memperpanjang Lama Rawat Inap

Pasien yang dirawat di ICU yang diberikan pemberian oksigen mencapai target 94-98%
dibandingkan pasien dengan target 97-100%, ternyata dengan lama rawat lebih cepat >3 hari
pada pasien dengan target lebih rendah. [8]

Memperburuk Perjalanan Penyakit

Hiperoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah jantung. Maka pemberian


oksigen yang berlebih pada infark akut justru dapat menyebabkan hantaran oksigen menuju otot
jantung terganggu. Pemberian oksigen high-flow justru dapat menyebabkan peningkatan
gangguan reperfusi, luas dari infark, dan mortalitas pada infark miokard akut.  Hal ini juga
diduga serupa pada aliran darah serebral pada stroke. [5]

Meningkatkan Mortalitas

Mortalitas meningkat pada pemberian oksigen pasca henti jantung, stroke akut, trauma pada
otak, infark miokard akut, pasca resusitasi neonatal, dan pasien dengan keadaan kritis yang tidak
disertai hipoksia. [8-9]

Target Terapi Oksigen

Pemberian oksigen perlu diberikan pada dosis yang sesuai agar tepat pada tujuannya yaitu tata
laksana hipoksemia. Saturasi oksigen pada orang normal pada umumnya  berkisar 96-98%,
namun sering kali terapi oksigen tetap diberikan bahkan ketika saturasi mencapai 100%.

Rekomendasi target saturasi oksigen menurut Thoracic Society of Australia and New Zealand
(2015) yaitu 92-96% pada pasien kondisi akut dan 88-92% pada pasien dengan gagal napas
kronis. Hal ini berbeda dengan rekomendasi menurut guideline dari British Thoracic Society
(2017) yaitu target Sa02 mencapai 94-98% pada hampir seluruh pasien dengan penyakit akut.
[10-11] Namun hal ini dibantahkan oleh penelitian terbaru yang menemukan bahwa pasien
dengan SaO2 di atas 94-96% ternyata memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi tanpa
meningkatkan outcome pasien. [12] Pada saturasi oksigen < 92% ternyata ditemukan
peningkatan mortalitas, dengan peningkatan tertinggi pada saturasi oksigen <90%. Kadar saturasi
oksigen yang dinyatakan tidak memiliki risiko peningkatan mortalitas yaitu >92%. [14,16]

Menurut rekomendasi dari studi terbaru, maka dianjurkan target saturasi oksigen pada yaitu 88-
92% pada pasien dengan gagal napas kronis dan gagal napas hiperkapnea, dan 92-96% pada
kondisi lainnya. Turunkan dosis oksigen yang diberikan bila saturasi melebihi 96% dan hentikan
bila SaO2 sudah dapat mencapai target tanpa bantuan suplementasi oksigen.[1]

Penggunaan target saturasi oksigen berdasarkan rekomendasi tersebut tentunya harus disesuaikan
dengan penyakit yang dialami dan kondisi pasien. Contohnya pada bronkiolitis, target saturasi
oksigen yang lebih rendah, >90%, justru menghasilkan durasi rawat inap yang lebih singkat,
waktu yang lebih singkat hingga bayi mendapatkan asupan makanan yang adekuat, serta lebih
cepat kembali ke kondisi normal.[17]

Kesimpulan

Pemberian oksigen yang tidak sesuai indikasi justru akan menimbulkan bahaya bagi pasien, yaitu
memperpanjang lama rawat inap, memperburuk perjalanan penyakit, hingga menyebabkan
mortalitas. Indikasi pemberian oksigen adalah adanya hipoksemia, atau kondisi khusus seperti
pneumothorax dan keracunan karbon monoksida.

Oksigen diberikan sampai target terapi tercapai. Berdasarkan rekomendasi terbaru, target terapi
yang disarankan adalah saturasi oksigen 92-96%, kecuali pada kondisi gagal napas kronis dan
gagal napas hiperkapnea yang membutuhkan target terapi lebih rendah, 88-92%. Walau
demikian, rekomendasi target ini juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien, misalnya pada
bronkiolitis, target terapi yang disarankan adalah saturasi oksigen di atas 90%. Pastikan oksigen
diperlakukan sebagai obat, yang membutuhkan indikasi dan dosis pemberian yang jelas.
ARTIKEL 3

PENGARUH PEMBERIAN NEBULISER TERHADAP SATURASI OKSIGEN, RESPIRASI


RATE, DAN DENYUT NADI PADA ANAK DENGAN PNEUMONIA DI RSU AMINAH
BLITAR(THE EFFECT OF NEBULIZER ADMINISTRATION ON OXYGEN
SATURATION, RESPIRATION RATE, AND PULSE RATE IN CHILDREN WITH
PNEUMONIA AT THE AMINAH BLITAR PUBLIC HOSPITAL)Deby illahi Program Studi
Pendidikan Ners StiKes Patria Husada BlitarEmail :
deby.illahi@gmail.comABSTRAKPneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih
banyak dibandingkan penyakit yang lain sepertiAIDS, malaria, dan campak. Salah satu bentuk
intervensi pada pasien anak dengan pneumonia yang disertai batuk karena penumpukan sekret
adalah pemberian nebuliser. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
nebuliser terhadap saturasioksigen, respirasi rate, dan denyut nadi pada anak dengan pneumonia
di RSU Aminah Blitar. Desain penelitian yang digunakan adalah pra-eksperimental dengan
rancangan one grouppra-post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien anak
usia 2-7 tahun dengan pneumonia yang menjalani rawat inap di RSU Aminah pada bulan
November-Desember 2018, yaitu sebanyak 42 pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah
purposive sampling. Besar sampel yang digunakan adalah 30 anak. Pengumpulan data
menggunakan pulse oxymetrymerk Elitech Fox1, lembar observasi respirasi rate, dan arloji.
Analisa data dalam penelitian ini adalah uji Kruskal Wallis, yang di tunjukkan dengan p-value=
0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian nebuliser pada saturasi
oksigen, respirasi rate, dan denyut nadi. Dalam prosesnya, tindakan nebuliser dapat
menyebabkan kondisi perburukan sesaat, yang ditunjukkan dengan penurunan nilai saturasi
oksigen yang mana kondisi ini berada dalam kategori hipoksemia ringan. Berbeda dengan
saturasi oksigen, nilai respirasi ratemengalami peningkatan dan berada dalam batas yang tidak
normal (takipnea). Sedangkan nilai denyut nadi masih dalam batas normal, meskipun mengalami
peningkatan. Oleh karena itu, diharapkan bagi RumahSakit untuk menambahkan penggunaan
oksigenasi di dalam SOP pemberian nebuliser, dan perawat diharapkan untuk tetap memberikan
observasi pada tanda-tanda vital pasien di setiap menit proses nebuliser berlangsung.Kata Kunci:
Pneumonia, nebuliser, saturasi, respirasi rate, dan denyut nadiABSTRACKPneumonia is the
main killer of children under five in the world, more than any other disease such as AIDS,
malaria and measles. One form of intervention in pediatric patients with pneumonia that is
accompanied by cough due to a buildup of secretions is the administration of nebulisers. The
purpose of this study was to determine the effect of nebulisers on oxygen saturation, respiration
rate, and pulse rate in children with pneumonia in Aminah Blitar General Hospital. The research
design used was pre-experimental design with one group pre-post test design. The population in
this study were all pediatric patients aged 2-7 years with pneumonia who were hospitalized in
Aminah General Hospital in November-December 2018, as many as 42 patients. The sampling
technique used was purposive sampling. The sample size used was 30 children. Data collection
uses the Elitech Fox 1
pulse oxymetry, respiration rate observation sheets, and watches. Analysis of the data in this
study is the Kruskal Wallis test, which is shown with a p-value = 0,000 so that it can be
concluded that there is an effect of nebulisers on oxygen saturation, respiration rate, and pulse
rate. In the process, the nebuliser action can cause a momentary worsening condition, which is
indicated by a decrease in the value of oxygen saturation which is in the category of mild
hypoxemia. In contrast to oxygen saturation, the respiration rate has increased and is within the
normal range (tachypnea). While the pulse rate is still within normal limits, although it has
increased. Therefore, it is expected that hospitals will add oxygenation to the nebulisers SOP,
and nurses are expected to keep observing the patient's vital signs every minute of the nebuliser
process.Keywords: Pneumonia, nebulizers, saturation, respiration rate, and
pulsePendahuluanPenyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, sehingga
masyarakat perlu waspada terhadap penyakit ISPA sebagai penyakit yang muncul kembali (re-
emerging/new emerging disease) dan sedang melanda dunia, karena semua penyakit ISPA
berakhir dengan pneumonia. Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak
dibandingkan penyakit yang lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Di dunia, dua juta balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia (Kementrian Kesehatan RI, 2009). Salah satu bentuk
tata laksana di RSU Aminah Blitar khususnya pada pasien anak dengan pneumonia yang disertai
batuk karena penumpukan sekret adalah pemberian nebuliser yang bertujuan untuk
mengencerkan dahak. Namun dalam proses pemberian nebuliser tersebut terdapat permasalahan
yaitu adanya penurunan saturasi oksigen (Tomar et al, 2011).Pada tahun 2016 sekitar 800.000
anak di Indonesia terkena penyakit radang akut yang menyerang jaringan paru-paru dan
sekitarnya (pneumonia) (Kemenkes RI, 2016). Data dari Dinas Kesehatan Jawa Timur (2015)
menyebutkan, hingga saat ini tercatat 129.024 balita di Jawa Timur terkena penyakit yang
menyerang saluran pernafasan (pneumonia). Sedangkan pada tahun 2012, jumlah kasus
pneumonia pada balita di Kota Blitar terdapat 1.156 (Dinas Kesehatan Kota Blitar, 2013). Di
RSU Aminah Blitar pada tahun 2017, terdapat kurang lebih 360 pasien anak yang di diagnosa
pneumonia.Peneliti telah melakukan studi pendahuluan tanggal 26 April 2018 dengan mengukur
saturasi oksigen, respirasi rate, dan denyut nadi pada 10 anak dengan pneumonia yang
mendapatkan terapi nebuliser yang di ukur pada menit ke-0, menit ke-10, dan menit ke-15. Maka
di dapatkan hasil 9 dari 10 pasien pada saat nebulisasi berlangsung di menit ke-10 terjadi
penurunan saturasi oksigen 2-7% dari nilai saturasi awal, diikuti dengan kenaikan respirasi rate
80-90% dari nilai respirasi awal, dan kenaikan denyut nadi 18-20% dari nilai denyut nadi awal.
Berbeda dengan menit ke-15, dengan hasil yaitu terjadi kenaikan saturasi oksigen 3-8% dari nilai
saturasi sebelumnya, diikuti dengan penurunan respirasi rate10-12% dari nilai respirasi
ratesebelumnya, dan penurunan denyut nadi 1-2% dari nilai denyut nadi sebelumnya.Hasil studi
pendahuluan di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tomar et al(2011), bahwa
saat proses nebulisasi berlangsung terjadi penurunan saturasi oksigen hingga 3-5%. Dalam
sebuah penelitian yang di lakukanoleh Ristanto & Zakaria (2017) memaparkan bahwa ada
hubungan dengan arah korelasi negatif antara respirasi ratedan SpO2. Upaya tubuh dalam
meningkatkan respirasi ratemerupakan pertanda adanya hipoksia jaringan yang ditandai oleh
penurunan saturasi oksigen, dan diharapkan dengan meningkatnya respirasi ratemaka FiO2akan
meningkat dan berdampak pula pada peningkatan PaO2dan saturasi oksigen jaringan. Begitu
pula penelitian yg dilakukan oleh Marhana & Amin (2010), bahwa takikardi pada pasien dengan
penyakit gangguan pernafasan dapat dipengaruhi berbagai kondisi, salah satunya adalah
hipoksia.Tomar et al(2011) mengemukakan bahwa efek penggunaan nebuliser dengan β2 agonis
adalah hipoksemia. Sehingga apabila pemberian nebuliser yang tidak disertai dengan pemberian
oksigenasi, maka pasien akan mengalami kondisi berupa penurunan saturasi oksigen
(hipoksemia). WHO (2016) memaparkan bahwa hipoksemia akan mengakibatkan anak jatuh
pada kondisi letargi, kejang yang berkepanjangan, bahkan koma. The National Patient Safety
Agencydalam Great Ormond Street Hospital for Children(2010) mengungkapkan, pada saat
proses pemberian nebuliser berlangsung, maka harus disertai dengan pemberian oksigen sebesar
6-8 lpm. Akan tetapi selama ini, penggunaan nebulizer pada pasien dengan gangguan bersihan
jalan nafas belum menggunakan nebuliser yang di matchkan dengan pemberian oksigenasi.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan
Pengaruh Pemberian Nebuliser terhadap Saturasi Oksigen, Respirasi Rate, dan Denyut Nadi pada
Anak dengan Pneumonia di RSU Aminah Blitar. Metode PenelitianDesain penelitian yang
digunakan adalah pra-eksperimental dengan rancangan one grouppra-post test design. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua pasien anak usia 2-7 tahun dengan pneumonia yang menjalani
rawat inap di RSU Aminah pada bulan November-Desember 2018, yaitu sebanyak 42 pasien.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Besar sampel yang digunakan
adalah 30 anak.Pengumpulan data menggunakan pulse oxymetrymerk Elitech Fox1, lembar
observasi respirasi rate, dan arloji. Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan bantuan
komputerisasi SPSS versi 21. Analisis data yang digunakan adalah statistik analisis bivariat. Data
akan di uji terlebih dahulu normalitasnya menggunakan Kolmogoro Smirnov. Selanjutnya untuk
mengetahui pengaruh pemberian nebuliser terhadap saturasi oksigen, respirasi rate, dan denyut
nadi akan dilakukan uji hipotesis Kruskal Wallis. Hasil PenelitianTabel 1.1 Distribusi prosentase
data umum pasien anak dengan pneumonia yang diberikan nebuliser di RSU Aminah
BlitarVariabel(f)%Usia2 tahun826.74 tahun1446.66 tahun826.7Jenis
kelaminL1756.7P1343.3TempattinggalDataran tinggi1240Dataran rendah1860Hb11.8-15
mg/dL30100

You might also like