You are on page 1of 14
5D] Wetade Pembelajaran Cuntas dalam Pendidikan Kepramukaan E. Nilai-nilai Pembelajaran Tuntas Terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan cara pandang di dalam mengartikan nilai. Diferensiasi pendapat dalam memahami pengertian nilai merupakan suatu khazanah bagi para pakar dalam mengartikan nilai itu sendiri, karena persepsi masing-masing berdasarkan sudut pandang teoritis, analisis dan empirisnya. Mulyana memiliki pandangan bahwa nilai merupakan suatu pedoman yang tidak bisa dihindari keberadaannya untuk menjadi penentu suatu pilihan. Hal yang menjadi suatu keinginan dan mewujudkan sebuah usaha atau tindakan maka diartikan sebagai _nilai.**> ~Sedangkan pengertian nilai menurut Frankel merupakan suatu standar dalam berperilaku, keadilan, kebenaran dan sesuatu yang mengikat individu untuk dipertahankan dan dijalankan.4 Nilai penting dari pembelajaran tuntas adalah tuntasnya suatu pembelajaran bukan hanya fokus dan dilihat secara umum keseluruhan peserta didik melainkan secara individual peserta didik yang ikut dalam belajar, hal ini seperti apa yang dijelaskan pada prinsip dasar pembelajaran tuntas sebelumnya. Pada hakikatnya belajar tuntas merupakan suatu sistem belajar yang menginginkan sebagian besar atau bahkan seluruh peserta didik dapat menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas.*> Hal inilah yang menjadi perbedaan dasar antara pembelajaran konvensional dengan 8 Rohmat Mulyana, “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”, Bandung: Alfabeta, 2004, hal. 11. ™ Kartawisastra, H.U, “Strategi Klasifikasi Nilai”, Jakarta: P3G Depdikbud, hal. 32-35. 8 Kunandar, “Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)", Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 327. 5D] Wetade Pembelajaran Cuntas dalam Pendidikan Kepramukaan E. Nilai-nilai Pembelajaran Tuntas Terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan cara pandang di dalam mengartikan nilai. Diferensiasi pendapat dalam memahami pengertian nilai merupakan suatu khazanah bagi para pakar dalam mengartikan nilai itu sendiri, karena persepsi masing-masing berdasarkan sudut pandang teoritis, analisis dan empirisnya. Mulyana memiliki pandangan bahwa nilai merupakan suatu pedoman yang tidak bisa dihindari keberadaannya untuk menjadi penentu suatu pilihan. Hal yang menjadi suatu keinginan dan mewujudkan sebuah usaha atau tindakan maka diartikan sebagai _nilai.**> ~Sedangkan pengertian nilai menurut Frankel merupakan suatu standar dalam berperilaku, keadilan, kebenaran dan sesuatu yang mengikat individu untuk dipertahankan dan dijalankan.4 Nilai penting dari pembelajaran tuntas adalah tuntasnya suatu pembelajaran bukan hanya fokus dan dilihat secara umum keseluruhan peserta didik melainkan secara individual peserta didik yang ikut dalam belajar, hal ini seperti apa yang dijelaskan pada prinsip dasar pembelajaran tuntas sebelumnya. Pada hakikatnya belajar tuntas merupakan suatu sistem belajar yang menginginkan sebagian besar atau bahkan seluruh peserta didik dapat menguasai tujuan pembelajaran secara tuntas.*> Hal inilah yang menjadi perbedaan dasar antara pembelajaran konvensional dengan 8 Rohmat Mulyana, “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”, Bandung: Alfabeta, 2004, hal. 11. ™ Kartawisastra, H.U, “Strategi Klasifikasi Nilai”, Jakarta: P3G Depdikbud, hal. 32-35. 8 Kunandar, “Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)", Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 327. 52] Wlotade Pembelajaran Tuntas dalam Pendidikan Kepramukaan seperti kurva normal. Pendidikan yang dilakukan tidak akan berhasil jika prestasi peserta didiknya mengikuti distribusi kurva normal. Konsep belajar tuntas meyakini bahwa peserta didik “mau” dan “dapat” belajar (all can and will learn). Dalam konsep peserta didik “mau belajar”, berisi suatu landasan bahwa peserta didik bukan tidak punya kemauan untuk belajar. Pada dasarnya, mereka mempunyai kemauan untuk belajar. Biasanya landasan dasar ini sukar diterima untuk pertama kali mengkajinya, karena banyak anggapan mengatakan bahwa mungkin saja sebagian peserta didik sama sekali tidak mempunyai kemauan untuk belajar. Padahal jika diperhatikan lebih seksama, peserta didik tidak mempunyai kemauan belajar sebenarnya bukan karena mereka tidak ada kemauan, tetapi ada sesuatu hal lain yang menampakkan diri mereka seolah-olah tidak mau belajar. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh sesuatu hal. Namun, satu hal yang pasti menurut anggapan ini merupakan bahwa pada peserta didik ada kemauan untuk belajar. Penyebab terjadinya peserta didik seperti itu mungkin sumbernya merupakan pendidik, karena ia tidak menciptakan suasana belajar yang menantang sehingga mereka merasa lesu- untuk belajar. Cara pendidik membelajarkan materi pembelajaran sselalu§ monoton, sehingga membosankan peserta didik untuk belajar. Situasi dan kondisi belajar peserta didik tidak memberikan peluang untuk mereka berkarya sendiri sehingga anak kehilangan prakarsa. Bila bertumpu kepada anggapan dasar ini, jelas bahwa dalam situasi apapun peserta didik mau belajar. Pandangan dasar dari belajar tuntas merupakan “peserta didik dapat belajar”. Hal ini berarti, pada diri 52] Wlotade Pembelajaran Tuntas dalam Pendidikan Kepramukaan seperti kurva normal. Pendidikan yang dilakukan tidak akan berhasil jika prestasi peserta didiknya mengikuti distribusi kurva normal. Konsep belajar tuntas meyakini bahwa peserta didik “mau” dan “dapat” belajar (all can and will learn). Dalam konsep peserta didik “mau belajar”, berisi suatu landasan bahwa peserta didik bukan tidak punya kemauan untuk belajar. Pada dasarnya, mereka mempunyai kemauan untuk belajar. Biasanya landasan dasar ini sukar diterima untuk pertama kali mengkajinya, karena banyak anggapan mengatakan bahwa mungkin saja sebagian peserta didik sama sekali tidak mempunyai kemauan untuk belajar. Padahal jika diperhatikan lebih seksama, peserta didik tidak mempunyai kemauan belajar sebenarnya bukan karena mereka tidak ada kemauan, tetapi ada sesuatu hal lain yang menampakkan diri mereka seolah-olah tidak mau belajar. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh sesuatu hal. Namun, satu hal yang pasti menurut anggapan ini merupakan bahwa pada peserta didik ada kemauan untuk belajar. Penyebab terjadinya peserta didik seperti itu mungkin sumbernya merupakan pendidik, karena ia tidak menciptakan suasana belajar yang menantang sehingga mereka merasa lesu- untuk belajar. Cara pendidik membelajarkan materi pembelajaran sselalu§ monoton, sehingga membosankan peserta didik untuk belajar. Situasi dan kondisi belajar peserta didik tidak memberikan peluang untuk mereka berkarya sendiri sehingga anak kehilangan prakarsa. Bila bertumpu kepada anggapan dasar ini, jelas bahwa dalam situasi apapun peserta didik mau belajar. Pandangan dasar dari belajar tuntas merupakan “peserta didik dapat belajar”. Hal ini berarti, pada diri Pembetajaran Cuntas dalam Kajian Ceoritis dan WHistaris: (53 peserta didik terdapat sesuatu usaha untuk menguasai pembelajaran semaksimal mungkin, karena pada dasarnya setiap peserta didik memiliki kemampuan dalam menyelesaikan pembelajaran yang diberikan. Kemampuan belajar tersebut dapat dimiliki pada semua peserta didik, tanpa terkecuali. Sementara yang menjadi persoalan merupakan kecepatan kemampuan peserta didik itu berbeda- beda sehingga diperlukan praktik pembelajaran yang memperhatikan kecepatan belajar peserta didik tersebut. Implementasi belajar tuntas dilandasi dengan dua asumsi atau dua pendapat. Pertama, bahwa keberhasilan dan kemampuan atau bakat memiliki suatu keterkaitan. Pernyataan ini didasarkan pada teori bakat milik Carrol. Dia menyatakan bahwa jika peserta didik diberi pembelajaran berdasarkan kemampuan yang dimilikinya masing-masing, dengan materi yang sama dan pengukuran hasil belajar, hal ini dapat menunjukkan distribusi normal dimana peserta didik dengan kemampuan yang memiliki bakat akan memperoleh nilai tinggi sedangkan peserta didik yang tidak memiliki bakat cenderung akan mendapatkan nilai yang rendah. Kedua, jika pembelajaran dilaksanakan secara sistematis, maka semua peserta didik cenderung mampu menguasai bahan yang disajikan kepada mereka. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter, yaitu; 1. Religius 2. Kerja Keras 3. Disiplin 4. Jujur 5. Toleran 54] Metade Pembelajaran Tuntas dalam Pendidikan Kepramukaan 6. Memiliki Rasa Ingin Tahu 7. Bersahabat/Komunikatif 8. Kreatif 9. Demokratis 10. Mandiri 11. Cinta Damai, Gemar Membaca 12. Cinta Tanah Air 13. Semangat Kebangsaan 14. Menghargai Prestasi 15. Peduli Lingkungan, Peduli Sosial 16. Tanggung Jawab.°7 Bentuk-bentuk pengembangan dari nilai kehidupan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk kegiatan yaitu; kegiatan belajar mengajar di kelas, pembiasaan (habituasi) dalam bentuk budaya sekolah (school culture) dan humaniora (ekstrakurikuler).8 Beberapa nilai konsep belajar tuntas di atas dapat diimplementasikan melalui pendidikan kepramukaan sebagaimana yang akan dituangkan dalam penelitian kali ini. Menilai suatu sudut pandang dalam _ sistem pembelajaran, maka pendidik sangat perlu memahami dan memperhatikan tentang kelebihan dan kekurangan di dalamnya untuk dijadikan sebagai sebagai pertimbangan dalam penggunaannya. Kelebihan konsep belajar tuntas (Mastery learning) adalah sebagai berikut: »7 Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, “Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hal. 9. % Tri Sukitman, “Internalisasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran (Upaya Menciptakan Sumber Daya Manusia yang Berkarakter”, dalam Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol. 02 No. 02 Tahun 2016, hal. 95. Pembelajaran Cuntas dalam Kajian Cearitis dan Vistris 9H 1. Peserta didik dengan mudah menguasai isi pembelajaran Motivasi belajar peserta didik meningkat 3. Kemandirian peserta didik dalam memecahkan masalah meningkat 4. Rasa percaya diri peserta didik meningkat.*? Adapun kekurangan konsep belajar tuntas (Mastery learning) yaitu merupakan: 1. Bagi pendidik yang sudah terbiasa mengaplikasikan teknik lama akan merasa kesulitan beradaptasi 2. Fasilitas dan dana yang cukup besar, karena sebagai pendukung berjalannya proses pembelajaran agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan 3. Menuntut para pendidik untuk lebih menguasai materi secara luas dari standar yang ditetapkan.*° Berdasarkan uraian di atas maka nilai pembelajaran tuntas dianggap sangat penting dalam sistem pendidikan. Diharapkan melalui implementasi kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan lebih luas terhadap pencapaian ketuntasan belajar peserta didik, dapat mendorong perkembangan potensi yang dimiliki tiap peserta didik, agar dapat menjadi insan pelajar yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. % Made Wena, “Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional”, Jakarta: Bumi Aksara, 2014, hal. 185. 40 Mariana Alit Made, “Pembelajaran Remedial”, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktoran Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Pendidikan, 2003, hal. 24. 5B] Wietode Pembolajaran Tuntas dalam Pendidikan Kepramukaan F. Pembelajaran Tuntas dalam Kajian Historis Pembelajaran Tuntas saat ini sering menjadi bahan perbincangan dalam penelitian khususnya di dunia pendidikan. Tidak heran, karena ketuntasan belajar bagi peserta didik ini tentu menjadi harapan dalam setiap kegiatan pembelajaran. Ketuntasan materi dalam pembelajaran setiap peserta didik merupakan tujuan khusus dari pendidikan yang sangat diharapkan. Penelitian mengenai ketuntasan materi dalam pembelajaran sudah digagas sejak lama. Hal ini terbukti dari penemuan dalam sejarah mengenai pendekatan yang dapat mengantarkan peserta didik mencapai ketuntasan dalam pembelajaran. Sejarah pembelajaran tuntas dimulai sejak tahun 1920-an dengan adanya dua pendekatan utama yaitu the Winnetka Plan yang dikembangkan oleh Carleton Washburne pada tahun 1922 dan yang dikembangkan oleh profesor Henry C. Morrison pada tahun 1926 di sekolah laboratorium University of Chicago. Terdapat beberapa persamaan antara pendekatan Washburne dengan pendekatan Morrison. Di antaranya dalam hal penetapan tujuan pembelajaran, penyusunan materi belajar, pengadaan tes belajar dan keduanya sangat memperhatikan waktu sebagai faktor penentu ketuntasan belajar peserta didik. Berikut ini penjabaran mengenai enam persamaan yang dimiliki dari kedua pendekatan tersebut: 1. Ketuntasan belajar = dijabarkan | menurut — tujuan pendidikan yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap peserta didik. Menurut Washburne tujuan yang dimaksud yakni kognitif, sedangkan Morrison tujuan tersebut meliputi ketuntasan dalam kognitif, afektif dan psikomotor. Pembelajaran Tuntas dalam Kajian Ceoritis dan Historis |5T 2. Pembelajaran dikelompokkan ke dalam setiap bagian kegiatan yang disusun dengan baik. Tiap pembelajaran terdiri atas sekelompok materi kegiatan belajar yang dirumuskan secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. 3. Sebelum peserta didik maju ke tujuan unit berikutnya penguasaan terhadap setiap unit sebelumnya merupakan persyaratan wajib bagi peserta didik. Setiap unit belajar cenderung disusun berurutan hingga kegiatan belajar pada setiap unit didasarkan pada unit sebelumnya, oleh karena itu dalam the Winnetka Plan aspek ini sangatlah penting. 4. Perlu adanya tes diagnostik mengenai kemajuan belajar yang dilaksanakan pada akhir unit pembelajaran untuk memperoleh umpan balik tentang apakah _prestasi kegiatan belajarnya sudah memadai ataukah belum. Dengan adanya tes ini dapat menunjukkan apakah unit yang sedang dipelajari sudah terkuasai atau masih perlu dipelajari lagi bagi setiap peserta didik untuk mencapai penguasaan yang ideal. 5. Bersumber pada uji diagnostik tersebut, maka aktivitas belajar tiap peserta didik dilengkapi dengan aktivitas belajar korektif (learning correctives) yang pas sehingga peserta didik bisa menuntaskan aktivitas belajarnya. Bagi the Winnetka Plan, dalam perihal ini peserta didik butuh diberi bahan latihan untuk aktivitas belajar mandiri, walaupun terkadang pengajar masih perlu untuk membagikan bimbingan kepada tiap individu ataupun kelompok kecil. Bersumber pada pendekatan Morrison, macam-macam metode korektif yang dapat gunakan misalnya dengan pengajaran ulang (reteaching), 5B] Wetade Pembelajaran Cuntas datam Pendidikan Kepramukaan bimbingan, restrukturisasi aktivitas belajar, serta mengganti kerutinan belajar peserta didik. 6. Alokasi waktu yang diberikan menjadi variabel untuk mengindividualisasi peserta didik dalam aktivitas pendidikan, dengan demikian peserta didik mampu menggapai ketuntasan belajar. Bagi pendekatan the Winnetka Plan, tiap peserta didik dapat memastikan kecepatan aktivitas belajarnya masing-masing. Tiap peserta didik diberi waktu yang sesuai dengan kebutuhannya untuk menyelesaikan satu unit pendidikan. Sementara pendekatan Morrison, setiap peserta didik diberi waktu belajar sesuai dengan tuntutan guru sehingga semua atau hampir semua peserta didik menuntaskan unit itu.41 Berdasarkan rincian persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pendekatan memiliki dasar pembelajaran yang sama dimana peserta didik tidak diperkenankan melanjutkan ke unit pembelajaran berikutnya sebelum menguasai unit pembelajaran yang sedang dipelajarinya terlebih dahulu. Pengadaan tes dalam pembelajaran juga sangatlah dianggap penting, karena hal ini dapat dijadikan sebagai langkah untuk mendapatkan umpan balik mengenai penguasaan peserta didik terhadap materi yang sedang dipelajari. Kedua pendekatan tersebut pada dasarnya menilai bahwa ketuntasan belajar diharapkan dicapai oleh setiap individu. Oleh karena itu, untuk mencapai ketuntasan yang ideal peserta didik harus mendapat waktu sesuai dengan kebutuhannya. 4 James H. Block, “Introduction to Mastery Learning: Theory and Practice”, New York: Rinehart and Winston, 1971, hal. 4. Pembetajaran Cuntas dalam Kajian Teoritis dan MHistaris (59 Pendekatan yang dikemukakan oleh Morrison terkenal sampai tahun 1930-an, namun pada_ kesimpulannya tenggelam sebab tidak tersedianya teknologi yang menunjang untuk mempertahankan keberhasilan strategi tersebut. Gagasan belajar tuntas timbul kembali pada tahun 1954 dengan diperkenalkannya pendidikan terprogram (programed instruction) yang dikemukakan oleh Skinner. Pendidikan terprogram (programed instruction) ini cocok untuk peserta didik yang kurang cepat dalam belajar paling utama mereka yang membutuhkan langkah belajar sedikit demi sedikit, latihan (drill), serta memerlukan banyak penguatan (reinforcement), namun pendidikan ini tidak berarti efisien untuk seluruh peserta didik.4? Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran terprogram (programed instruction) yang dikembangkan oleh Skinner merupakan upaya yang berharga untuk membantu beberapa peserta didik mencapai penguasaan. Artinya dalam kegiatan pembelajaran beberapa peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajarnya ada yang dengan cara materi belajar dibuat dalam unit-unit kecil. Pada tahun 1963, Carroll merumuskan asumsi dasar pendekatan pembelajaran untuk mencapai_ ketuntasan semua peserta didik dapat belajar selama mereka memiliki waktu yang cukup. Selain waktu belajar, terdapat lima elemen lain yang dapat memengaruhi penguasaan pembelajaran. Lima elemen tersebut dilihat dari perbedaan pada setiap pribadi peserta didik, seperti; ketekunan, bakat/ aptitude, kemampuan memahami instruksi, pengalaman kesempatan 4 James H. Block, “Introduction to Mastery Learning: Theory and Practice”, ... , hal. 5. ED| Wtetade Pembelajaran Guntas dalam Pendidikan Kepramukaan belajar dan kualitas pengajaran. Menurut Carroll dengan memberi peserta didik waktu yang cukup untuk belajar akan memungkinkan mereka membangun keterbatasan di salah satu lima elemen tersebut. Secara sederhana, Carroll mengemukakan bahwa jika tiap-tiap peserta didik diberikan waktu yang sesuai dengan kebutuhannya untuk belajar dan ia menggunakan seluruh waktu yang dibutuhkannya itu, maka ketuntasan belajar dapat dicapai. Menurut pendekatan Caroll ini, dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang dipergunakan dan waktu yang dibutuhkan tergantung pada karakteristik dari individu yang ditentukan oleh aptitude/bakatnya dalam mengerjakan tugas yang bersangkutan serta kualitas atau karakteristik pengajaran yang dilakukan. Pendekatan Caroll ini mempunyai pemikiran jika keahlian peserta didik dalam menguasai modul pendidikan serta mutu pengajaran memengaruhi dalam memastikan jumlah waktu yang diperlukan agar peserta didik hingga titik memahami tugas secara tuntas sesuai dengan aptitude- nya. Bila keahlian peserta didik dalam menguasai materi lumayan besar serta mutu pengajaran juga baik, hingga peserta didik hanya hendak memerlukan sedikit waktu bonus ataupun tidak sama sekali. Kebalikannya, bila mutu pengajaran serta keahlian peserta didik untuk menguasai rendah, maka ia memerlukan banyak waktu tambahan untuk menggapai ketuntasan belajar. Konseptual pendekatan tuntas belajar dari Carroll tersebut ditransformasikan oleh Bloom ke © Zimmerman, Barry J. & K. Maria, “Mastery Learning and Assessment: Implications for Students and Teachers in an Era of High- Stakes Testing”, dalam Psychology in the Schools, Vol. 04 No. 05 Tahun 2008, hal. 3. Pembelojaran Tuntas dalam Kajian Georitis dan Historis [El dalam model kerja efisien untuk mastery learning pada tahun 1968. Belajar tuntas (mastery learning) yang dikembangkan oleh Bloom memberikan penawaran pendekatan yang sangat baik terhadap pembelajaran peserta didik. Hampir kepada seluruh peserta didik pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar yang berhasil dan memuaskan. Melalui pendekatan tersebut dapat menjanjikan kepada hampir seluruh atau seluruh peserta didik dapat menguasai materi yang diajarkan. Pendekatan tersebut pun dapat membuat pembelajaran peserta didik lebih efisien daripada pendekatan konvensional sebelum-sebelumnnya. Konseptual _ belajar tuntas ini akan menghasilkan peserta didik yang memiliki motivasi atau minat yang lebih besar dan sikap yang lebih baik terhadap materi yang dipelajari daripada metode pengajaran yang biasa.*4 Bloom mengembangkan cara spesifik yang dapat menjadikan lima elemen Carroll ditangani secara sistematis selama pembelajaran. Pendekatan Bloom tersebut tumbuh dari penelitiannya tentang alam dan penyebab perbedaan prestasi di antara peserta didik. Pengajar di ruang kelas tradisional biasanya melanjutkan ke topik berikutnya sebelum peserta didik menguasai topik yang dibahas. Gagasan belajar tuntas Bloom mengusulkan pendekatan yang menginstruksikan dimana peserta didik tidak pindah ke topik baru sampai topik sebelumnya dikuasai.‘® # James H. Block, “Introduction to Mastery Learning: Theory and Practice”, ... , hal. 4. “© Guskey, Thomas R, “Lesson of Mastery Learning”, dalam University of Kentucky, Vol. 68 No. 2 Tahun 2010, hal. 52-57. BZ] Wletade Pembelajaran Tuntas dalam Pendidikan Kepramukaan Hal ini menunjukkan pendekatan yang dikemukanan oleh Bloom juga mendukung gagasan pendekatan- pendekatan belajar tuntas sebelumnya. Dimana yang perlu ditekankan adalah peserta didik tidak melanjutkan ke unit materi berikutnya, jika peserta didik belum mencapai standar ketuntasan yang ditetapkan pengajar pada materi yang sedang dipelajarinya. Sejak adanya publikasi mengenai pendekatan Bloom itu, penelitian tentang belajar tuntas semakin telah banyak dilakukan. Pendekatan ini telah banyak berhasil diaplikasikan dengan mudah pada semua jenjang pendidikan. Pendekatan- pendekatan belajar tuntas telah digunakan lebih dari 32.000 sampel peserta didik. Baik dengan seorang pengajar yang mengajar 20 orang peserta didik maupun kelas dengan seorang guru yang dapat mengajar 70 peserta didik. Secara umum, 75% peserta didik yang menggunakan metode pembelajaran tuntas telah mencapai standar pencapaian yang sama dengan pencapaian maksimal 25% yang diperoleh dengan metode pembelajaran kelompok konvensional. Berdasarkan hasil penelitian, peserta didik yang belajar tuntas dan yang menggunakan metode pembelajaran tidak tuntas mencapai hasil yang sama baiknya.‘¢ Berdasarkan uraikan tersebut, eksistensi beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan belajar tuntas jelas memberikan efek positif terhadap kegiatan pembelajaran terutama ketuntasan dalam hal prestasi dan minat belajar peserta didik. Jika dibandingkan dengan pembelajaran yang tidak memperhatikan ketuntasan belajar secara individual, 4% James H. Block, “Introduction to Mastery Learning: Theory and Practice”, ..., hal. 8.

You might also like