You are on page 1of 6

Handout Presentasi Antropologi Kristiani

MANUSIA DICIPTAKAN MENURUT GAMBAR DAN RUPA ALLAH


SEBAGAI MAKHLUK SEKSUAL

Dosen Pengampu:
RD. Heribertus Winarto

Oleh:
Stefanus Lumen Christian
Yohanes Yupiter Alexander

INSTITUTUM THEOLOGICUM
IOANNIS MARIAE VIANNEY SURABAYANUM
2021
1. Pendahuluan
Di dunia ini, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di antara keduanya,
mereka memiliki ciri khas yang unik. Ciri khas tersebut membuat mereka mampu
menunjukkan ekspresi atas dirinya terhadap sesama manusia ketika ada interaksi di
antara mereka. Cinta merupakan bagian dari ekspresi tersebut sehingga cinta
menggambarkan bagaimana seseorang, sebagai makhluk seksual, menjalin hubungan
dengan sesama manusia. Dalam hal ini, seksualitas manusia mampu membangun
interaksi dengan siapa saja yang ada di sekitarnya.
Meskipun demikian, manusia pada zaman ini mengalami disorientasi seksual.
Tidak semua manusia mengalami hal tersebut. Kadang-kadang, beberapa di antara
mereka mengalami hal tersebut karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar.
Kemudian, pengaruh tersebut secara perlahan melunturkan jati diri mereka yang
sesungguhnya ketika mereka mulai menjalin hubungan dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Maksudnya, beberapa di antara mereka menjadi kurang mengerti akan kodrat
mereka yang sesungguhnya, seperti pernyataan: “Apakah aku ini dilahirkan sebagai
laki-laki atau perempuan? Mengapa gaya hubunganku dengan teman-temanku seperti
anak perempuan? Padahal, aku ini kan laki-laki. Jangan-jangan, sebenarnya aku ini
adalah perempuan yang terjebak di dalam tubuh laki-laki.”
Disorientasi seksual tidak hanya berkaitan dengan kurangnya pengertian akan
kodrat manusia sebagai laki-laki maupun perempuan, melainkan juga dengan wujud dari
hubungan di antara yang satu dengan yang lain. Beberapa di antara mereka memandang
orang-orang yang ada di sekitarnya sebagai objek atas kesenangan individu sehingga hal
tersebut mampu menimbulkan hubungan yang keliru. Bahkan, hal tersebut mampu
merugikan diri sendiri maupun orang lain, seperti tindakan perselingkuhan; free sex;
possessive relationship; dan sebagainya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak memberikan
penjelasan tentang jati diri manusia yang sesungguhnya, yang diciptakan oleh Allah
menurut gambar dan rupa-Nya, sebagai makhluk seksual. Dengan demikian, manusia,
sebagai gambar dan rupa Allah, mampu menghadirkan Allah kepada sesamanya melalui
relasi seksual yang sehat sehingga manusia sendiri semakin memahami jati dirinya
sebagai manusia yang telah diciptakan dengan baik adanya.
2. Imago Dei: Manusia sebagai Makhluk Seksual
2.1. Allah Menciptakan Laki-Laki dan Perempuan
Dalam Perjanjian Lama, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-
Nya, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan (lih. Kej 1:27). Karena Allah
menciptakan segala sesuatu dengan baik adanya, Allah menciptakan manusia seperti
demikian dengan baik adanya (lih. Kej 1:31). Penciptaan laki-laki dan perempuan
bermula dari manusia yang dikehendaki oleh Allah untuk hidup dengan penolong yang
sepadan dengannya sehingga Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia,
yang ditutup dengan daging. Karena perempuan itu hadir sebagai penolong yang
sepadan, manusia itu mengakui bahwa perempuan adalah sesamanya sehingga tulang
dan daging perempuan itu adalah tulang dan daging manusia itu (lih. Kej 2: 18; 21-23).
Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dikehendaki oleh kebaikan Allah
di dalam persamaan yang sempurna sebagai gambar dan rupa Allah. Kesamaan di antara
mereka terletak pada pribadi mereka sebagai manusia, sedangkan perbedaan di antara
mereka terletak pada kodrat mereka sebagai laki-laki dan perempuan (jati diri sebagai
seorang laki-laki maupun perempuan). Karena laki-laki dan perempuan merupakan
gambar dan rupa Allah, mereka memiliki martabat yang sama. Bahkan, martabat
manusia tidak dapat hilang karena martabat manusia merupakan pemberian dari Allah
secara langsung. Sebagai manusia yang bermartabat, kodrat manusia sebagai laki-laki
dan perempuan mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan dari Allah, Sang Pencipta1.
Allah sendiri sama sekali tidaklah menurut citra manusia. Ia bukanlah laki-laki
maupun perempuan. Allah adalah Roh murni, pada-Nya tidak bisa ada perbedaan jenis
kelamin. Namun dalam “kesempurnaan-kesempurnaan”, laki-laki dan perempuan
tercermin dari kesempurnaan Allah yang tidak terbatas: ciri khas seorang ibu dan ciri
khas seorang ayah dan suami2.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus menunjukkan bahwa Allah sejak dahulu telah
menciptakan laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki meninggalkan orang tuanya
untuk menjalin hubungan dengan perempuan hingga mereka saling mempersatukan satu
sama lain melalui ikatan cinta, mereka telah menjadi satu daging (lih. Kej 2:24; Mat 19:
1
Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 369.
.

2
Ibid., 370.
.
4-5). Kemudian, persatuan di antara mereka dipersatukan oleh Allah sehingga persatuan
tersebut tidak dapat diceraikan oleh manusia (lih. Mat 19:6). Selain itu, Rasul Paulus
menyatakan bahwa dalam Tuhan tidak ada perempuan yang hidup tanpa laki-laki,
demikian juga sebaliknya. Segala sesuatu yang berasal dari Allah digambarkan melalui
perempuan yang berasal dari laki-laki maupun laki-laki yang dilahirkan oleh perempuan
(lih. 1Kor 11: 11-12). Hal tersebut menunjukkan adanya citra Allah di dalam diri
manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan sehingga kehadiran laki-laki dan
perempuan, sebagai pribadi manusia yang unik dan memiliki martabat yang sama,
menunjukkan kehadiran Allah, yang adalah Pencipta segala sesuatu dengan baik adanya.
2.2. Cinta Kasih terhadap Sesama: Gambaran Cinta Yesus terhadap Gereja
Manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sebagai makhluk
seksual, mewujudkan cinta kasih Allah melalui hubungan yang mesra dengan orang-
orang yang ada di sekitarnya. Seorang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai
satu sama lain menggambarkan cinta kasih di antara Yesus dengan Gereja. Laki-laki
yang mencintai perempuan secara tulus, bahkan berani untuk menyerahkan diri
kepadanya secara penuh, menunjukkan cinta kasih Yesus kepada umat-Nya yang
bersifat total (lih. Ef 5:25). Laki-laki juga harus mencintai perempuan seperti ia
mencintai dirinya sendiri (lih. Ef 5:28). Demikian juga dengan perempuan yang
mencintai laki-laki karena cinta yang diberikan oleh perempuan terhadap laki-laki
menggambarkan cinta kasih umat terhadap Yesus, yang adalah kepala Gereja Kristus
(lih. Ef 5:22-24). Sebagai laki-laki dan perempuan, yang memiliki martabat karena
pribadinya sebagai manusia, mereka menerima panggilan dari Allah untuk menunjukkan
cinta kasih Yesus terhadap umat-Nya dengan menunjukkan cinta kasih mereka, seperti
suami yang mengasihi istrinya maupun istri yang menghormati suaminya (lih. Ef 5:33).
Oleh karena itu, manusia dipanggil untuk saling mencintai satu sama lain agar cinta
Allah kepada umat manusia semakin nampak di dalam kehidupannya. Dengan demikian,
cinta kasih Allah menjadi nyata melalui kesadaran manusia sebagai citra Allah yang
bermartabat dengan menunjukkan cinta kasihnya terhadap sesama seperti manusia
mencintai dirinya sendiri. Dalam pernyataan Paulus, tidak mungkin manusia membenci
dirinya sendiri karena ia selalu menjaga dan merawat tubuhnya, seperti Yesus yang
menjaga dan merawat umat-Nya (lih. Ef 5:29).
2.3. Ajaran Gereja tentang Manusia sebagai Makhluk Seksual
Seksualitas menyentuh segala aspek manusia di dalam kesatuan tubuh dan jiwa.
Seksualitas juga menyangkut kehidupan dari perasaan manusia, membangun
kemampuannya untuk mencintai, serta mengikat tali persekutuan dengan sesama3.
Seperti di dalam perkawinan, perbedaan dan kesesuaian jasmani; rohani; dan moralitas
ditujukan kepada pernikahan serta pengembangan hidup berkeleuarga. Selain itu,
keserasian di antara suami dan istri maupun masyarakat sekitar bergantung pada
bagaimana keterikatan; kebutuhan; serta usaha untuk saling membantu satu sama lain
sebagai sesama manusia mampu dihayati di dalam hidup mereka 4. Hubungan di antara
laki-laki dan perempuan dalam hidup berkeluarga terletak pada pengembangan martabat
serta panggilan bagi setiap pribadi demi memperoleh kepenuhan mereka melalui
penyerahan diri secara tulus. Ketika Allah telah menciptakan manusia menurut gambar
dan rupa-Nya, manusia, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, telah memperoleh
karunia dari Allah berupa hak-hak dan tanggung jawab yang khas bagi pribadi manusia
sehingga hal tersebut membuat mereka memiliki martabat yang sama. Dalam hal ini,
Allah mewahyukan martabat perempuan dengan cara seluhur-luhurnya melalui peranan
Bunda Maria yang tidak bernoda sebagai Bunda Allah yang dihormati oelh Gereja.
Kemudian, sikap hormat Yesus yang penuh dengan perasaan ditunjukkan kepada kaum
perempuan sehingga Ia memanggil kaum perempuan untuk mengikuti-Nya dan menjadi
sahabat bagi-Nya5.
Karena Allah adalah kasih6, manusia dipanggil oleh-Nya untuk hidup di dalam
kemurnian. Dalam hal ini, kemurnian berarti integrasi seksualitas yang membahagiakan
dan kemudian kesatuan batin manusia berada di dalam keberadaannya secara jasmani
dan rohani. Seksualitas manusia juga menunjukkan bahwa ia berada di dalam dunia
jasmani dan biologis sehingga mereka nilai-nilai kemanusiaan karena pribadinya sebagai

3 .
Ibid., 2332.
4 .
Ibid., 2333.
5 .
Familiaris Consortio, art. 22.
6 .
Deus Caritas Est, art. 1.
manusia. Hal itu semakin memperkuat kebajikan akan kemurnian dalam memberikan
jaminan atas keutuhan pribadi dan kesempurnaan akan penyerahan diri 7. Dengan adanya
kemurnian, manusia diajak untuk mengendalikan diri agar martabat manusia menuntut
dirinya untuk bertindak menurut kehendak bebasnya sebagai manusia yang memiliki
kesadaran dan kebebasan. Oleh karena itu, manusia perlu menggerakkan dorongannya
secara pribadi untuk melawan hawa nafsu yang tidak teratur sehingga ia mampu
mengejar tujuannya yang bebas dengan melepaskan diri dari belenggu nafsu yang
mampu membuatnya jatuh ke dalam penyimpangan tindakan. Dengan demikian,
manusia mampu memilih apa yang baik dalam menjalin hubungan seksual secara sehat
ketika berjumpa dengan sesamanya8.
Ketika manusia jatuh ke dalam homoseksual, hidup mereka tidak sesuai dengan
kodratnya sebagai pribadi manusia. Hal itu karena perbuatan homoseksual tidak berasal
dari satu kebutuhan yang benar dalam menjalin hubungan yang saling melengkapi, baik
secara afektif maupun seksual. Tidak semua manusia memiliki kecenderungan
homoseksual. Dalam hal ini, homoseksualitas merupakan cobaan. Sebagai manusia,
yang merupakan citra Allah, ia dipanggil untuk melayani sesamanya yang seperti
demikian (jatuh ke dalam homoseksualitas) dengan cinta; hormat; dan bijaksana. Oleh
karena itu, setiap manusia dipanggil untuk memenuhi kehendak Allah di dalam
kehidupannya sehingga manusia yang jatuh ke dalam homoseksual dipanggil untuk
hidup di dalam kemurnian. Melalui kebajikan dengan sikap pengendalian diri, yang
mampu mengarahkan dirinya untuk menuju kepada kemerdekaan batin, manusia yang
seperti demikian dapat mendekatkan diri melalui doa dan rahmat sakramental selangkah
demi selangkah, namun pasti, demi mengarahkan kepada hidup di dalam kesempurnaan,
seperti hidup di dalam Kristus9.
3. Relevansi

4. Penutup

7 .
Bdk. Katekismus, Op.Cit., 2337.
8 .
Bdk. Ibid., 2339.
9 .
Bdk. Ibid., 2357-2359.

You might also like