You are on page 1of 32

Not Alone

Oleh : Larasati Lathifunnisa' (XII MIPA 2)

Chapter 1 : Sang Idola

Sebuah mobil putih berhenti di salah satu SMA negeri favorit. Seorang gadis muncul dari dalam
mobil dengan seragam SMP yang menempel pasi di badannya. Dia, Kelana Senja Hutama atau
biasa dipanggil Senja. Siswa kelas 10 yang sedang menjalani kegiatan MPLS.

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh siswa kelas 10. Karena, hari ini ada Study
lapangan di tiga tempat populer di Yogyakarta. Bank Indonesia, Keraton, Dan Museum
Sonobudoyo. Siapa sih yang nggak suka pembelajaran diluar sekolah. Pasti sukalah.

Terlihat 7 bis sudah terpakir sempurna di halaman sekolah. Ia sampai tidak bisa tidur karena
saking tidak sabarnya. Tapi dalam lubuk hati dia gelisah. Selama dua hari ia menjalani MPLS
tidak ada satupun yang akrab dengannya. Itu membuat beban pikirannya. Apakah dia akan duduk
sendiri didalam bus. Padahal dia tidak suka kesendirian. Dia butuh teman untuk diajak bicara.
Tapi salah dia sendiri karena tidak bisa bersosialisasi.

Senja memang tipe orang introvert. Dia tidak berani membuka pembicaraan lebih dahulu. Tapi
dia juga tidak suka dengan keheningan. Aneh kan. Ya begitulah Senja.

Senja menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia mengeratkan


tangan pada tali tasnya. Padahal sudah tiga hari dia memasuki sekolah ini tapi kenapa rasanya
sama saja. Deg-degan.

Ia mulai melangkahkan kakinya dengan jantung yang berdegup kencang. Rambut yang ia
biarkan tergerai berayun-ayun karena terpaan angin. Puluhan pasang mata tertuju padanya. Ia
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ada rasa tidak nyaman di relung hatinya. Ada apa ini
kenapa mereka melihatnya seperti itu? Padahal kemarin biasa saja. Apa ada yang salah dengan
penampilannya?

Senja mencoba untuk tidak peduli. Tapi tetap saja tidak bisa. Kepalanya agak ia tundukkan
karena malu. Ia bergerak tak nyaman. Sejak dari pintu gerbang mereka menatapnya seperti ingin
mengintimidasi.
Gadis manis dan cantik itu mulai mempercepat langkahnya. Hingga saat di belokkan menuju
kelasnya ia tidak sengaja menabrak seorang cowok dengan almamater navy. Alhasil kumpulan
lembar kertas yang dibawa cowok itu jatuh bertebaran di lantai.

Senja langsung membantu memunguti kertas cowok itu. Rasa bersalah memenuhi benaknya. Ini
semua salahnya. Kalau saja dia berjalan tidak sambil menunduk pasti jadinya tidak seperti ini. Ia
takut kertas yang dibawa kakak kelasnya ini adalah kertas penting.

Senja menyerahkan kertas itu pada kakak kelasnya. Cowok itu mengambil kertas yang diberikan
senja. Mata mereka beradu. Ada sedikit rasa debaran di jantungnya. Sebentar mata ini cukup
familiar. Dia siapa ya? Senja membulatkan matanya terkejut. Loh dia kan kakak OSIS
pendamping di kelasnya. Kalau tidak salah namanya itu Gemilang Langit Pradana. Atau
biasanya dipanggil Langit.

Cowok kelas XI sekaligus anggota OSIS yang di gilai banyak siswa. bahkan menjadi anak
kesayangan guru-guru. Bagaimana tidak dia tampan pintar dan berprestasi. Ia sering
menyumbangkan piala untuk sekolahan.

Senja membuyarkan lamunannya. " Eh aduh, maaf kak. Aku nggak sengaja," ujar senja keki.

"Lain kali kalo jalan liatnya kedepan bukan ke bawah. Emang ada yang menarik di lantai," ujar
langit datar tanpa ekspresi.

"Iya kak. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tahu ini salahku." Senja menundukkan kepalanya
dengan tangan yang ia tautkan.

"Sebagai hukumannya. Kamu harus ikut ke kantor." Tanpa persetujuan dari senja, cowok itu
menarik tangannya keras. Hingga menimbulkan banyak pasang mata dan bisikan di belakang
sana.

Padahal dari awal senja masuk dari gerbang sudah banyak yang menatapnya tambah lagi dengan
kejadian ini.

"E-eh kak lepas," senja menghempaskan tangannya agar lepad dari genggaman kakak kelasnya
itu.
"Kenapa? Mau kabur?" Tanya langit dengan salah satu alisnya yang ia naikkan.

"Eh Enggak kok. Aku cuma malu, soalnya ada banyak orang yang ngeliat ke arah kita." Langit
mengedarkan pandangannya. Ia menatap orang-orang yang melihatnya dengan senja satu
persatu. Cowok itu meminta mereka untuk bubar. Dan seketika mereka bubar.

"Udah nggak ada yang ngeliatin. Ayo." Langit mengulurkan tangan mencoba untuk
menggandeng tangan senja lagi. Senja mengernyitkan dahinya.

"Itu tangannya mau ngapain?"

"Mau gandeng kamu lah."

"Enggak usah kak. Aku nggak kabur kok,"tutur senja.

"Yaudah, daripada tangan kamu nganggur kamu bawain ini." Langit memberikan beberapa
lembar kertas pada Senja.

Sekilas Senja membaca kertas itu. Ternyata ini formulir pendaftaran ekstra dan organisasi yang
kemarin ia isi. Senja mengekori langit, mengikuti kemana arah cowok itu pergi. Ia hanya
menuruti saja. Langit menolehkan kepalanya, ia menarik Senja agar berjalan disampingnya.

"Biar nggak hilang. Kalo sampe hilang nggak jadi study lapangan kamu nanti." Entah mengapa
mendengar penuturan langit ada sedikit debaran di dadanya. Senja berusaha untuk tidak
tersenyum. Ia mengulum bibirnya dan menunduk malu. Kedua pipinya terasa panas.

"Kalo jalan liat kedepan bukan liat kebawah. Nanti nabrak lagi."

"I-iya kak." Senja mengangkat kepalanya. Aduh kenapa dia kadi salting begini.

Langit melirik perempuan yang berada disampingnya. Ia tersenyum tipis hingga seseorang tidak
mampu melihatnya. Adik kelasnya ini terlalu menggemaskan. Ingin rasanya ia mencubit pipinya
yang agak berisi itu.

Setelah melewati beberapa kelas, akhirnya mereka sampai di kantor guru. Ternyata jaraknya
lumayan jauh dari lorong yang mereka lewati. Langit mengetuk pintu yang terbuat dari pohon
jati itu. Tidak ada balasan dari dalam. Ia mengetuknya sekali lagi. Tapi tetap saja tidak ada
balasan.

Senja mengetuk-ngetukkan sepatunya dilantai sambil mengedarkan pandangannya. Aduh kok


lama banget. Ia melirik jam tangan berwarna birunya yang melingkar di tangan kirinya. Jam
menunjukkan pukul enam lewat lima puluh menit. Sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi.

Langit menepuk dahinya. Ia lupa kalau guru-guru ada briefing di meeting room. Padahal tadi
malam dia sudah di wanti-wanti sama pak iwan. Untuk berangkat lebih awal.

"Aku lupa. Kalo guru-guru ada briefing di meeting room. Sekarang kamu ke gor. Sepuluh menit
lagi bel bunyi. Nanti ada arahan dari waka kesiswaan buat study lapangannya. Makasih udah
emenin aku," ujar langit.Senja mengangguk paham lalu menuruti apa yang dikatakan kakak
kelasnya itu.

***
Chapter 2 : love first sight

Saat ini suasana gor sangat hening. Hanya ada suara arahan dari waka Kesiswaan yang
menginterupsi siswa. Pria yang kira-kira berumur 50 tahunan itu menjelaskan kegiatan yang
akan dilakukan ketika ditempat yang akan dikunjungi nanti.

Di barisan belakang, Senja memainkan jari tangannya. Tapi ia masih bisa mendengarkan
perintah dari waka kesiswaan. Hingga tiba-tiba ada suara bisikan di telinganya.

"Dengerin." Senja terlonjak kaget. Ia spontan menolehkan kepalanya. Ternyata itu langit.

"Ih kak langit ngagetin aja. Aku lagi dengerin nih,"ujar senja lirih. Langit terkekeh.

"Emang bisa fokus dengerin kalo sambil mainan kuku. Gitu." Langit mengangkat alisnya.

"Bisa. Nyatanya aku paham kok nanti mau ngapain aja."

"Kalo paham apa aja yang di bilang sama pak iwan?"

" Tadi pak iwan bilang-" perkataan senja berhenti dia tampak mengernyitkan dahinya.

"Kok berhenti. Nggak ingat ya," goda langit

"kita kok jadi ngobrol sihh bukanya dengerin pak iwan. Kak langit gimana sih katanya suruh
dengerin kok malah ngajak omong" Senja kembali mengarahkan pandangannya ke depan dengan
muka cemberut. Langit terkekeh lagi. Ia mengusak rambut adik kelasnya ini saking gemasnya.

"Heh nggak usah cemberut. Jelek tahu." Bisik langit lagi.

Senja membiarkannya. Ia tidak merespon kakak kelasnya karena sudah terlalu kesal.
Padahal aslinya jantungnya berdegup kencang tak karuan. Ia mengulum bibirnya. Dan sebisa
mungkin untuk tidak tersenyum. Kenapa hanya usakan kecil pada rambutnya memiliki efek yang
besar untuk jantungnya.

Langit menatap adik kelasnya ini sambil tersenyum kecil. Entah mengapa rasanya seru sekali
menjaili adek kelasnya ini. Baru beberapa jam langit berinteraksi dengan senja tapi kenapa sudah
nyaman saja. Padahal dia sangan sulit nyaman atau akrab dengan orang lain.

Sejak pertama langit melihat Senja di kelas MOS beberapa hari yang lalu. Ia sudah tertarik
dengan gadis itu. Hanya melihat Senja duduk di pojokkan seorang diri dan memperkenalkan diri
didepan kelas dengan tatapan polos. Itu sungguh membuatnya gemas. Dia sempat berpikir
apakah itu love first sight. Tapi ia menepis pikiran itu. Mungkin perasaan itu hanya datang
sementara bukan selamanya.

Ternyata dugaannya salah. Semakin hari rasa itu kian tumbuh besar. ditambah kejadian tadi pagi
yang menimbulkan rasa ingin melindungi dan memiliki gadis itu.

Pak iwan menutup sambutan sekaligus arahan dengan salam. Elang. Sang ketua OSIS
mengambil alih posisi ketika pak iwan meninggalkan gor.

Elang mengarahkan semua siswa untuk keluar dari gor untuk segera masuk bis sesuai kelas
masing-masing. Mereka berbondong-bondong berjalan ke halaman sekolah.

Senja berjalan ditengah keramaian orang seorang diri. Gini nih nggak enaknya kalau nggak
punya teman. Apa-apa sendiri. Di kelas duduk sendiri, di barisan sendiri, berjalanpun sendiri. Ia
menghela nafas panjang. Rasanya jadi tidak menyenangkan. Ia jadi tidak bersemangat utuk
mengikuti studi lapangan hari ini.

Senja tidak bisa membayangkan jika nanti ditempat wisata ia seperti orang hilang yang hanya
melihat teman-temannya berfoto bersama, canda tawa bersama. Miris banget ya kalau nggak bisa
bersosialisasi.

Gadis itu menekuk wajahnya. Ia berjalan dengan tatapan kosong. Hingga tiba-tiba kakinya
terplintir sebuah kerikil yang membuat badannya tidak seimbang. Ia membuka matanya. Kok
nggak ada rasanya. Ternyata ada yang menarik ranselnya. Kini posisi tangannya direntangkan
dengan salah satu kaki agak terangkat.

"Dari tadi pagi kok jalannya nggak bener."Gadis itu membenarkan posisinya. Senja menolehkan
kepalanya. Kak langit. Ia tidak tahu jika langit mengikuti dirinya. Senja mengira langit pergi
berkumpul dengan anggota Osis lainnya.

Senja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "makasih ya kak."

"Kalau jalan yang benar," tutur langit.

"Iya kak, aku duluan yah." Senja langsung berlari meninggalkan langit dan menyusul teman-
temannya ke bis. Ia takut jika berdekatan dengan langit akan menimbulkan kehebohan seperti
tadi pagi apalagi dengan keadaan yang ramai seperti ini.

Bau solar memasuki indra penciumannya. Senja langsung menutup hidungnya karena ia tidak
terlalu suka dengan bau solar. Itu akan membuatnya mual. Gadis itu menunggu semua temannya
naik. Dia memang sering mendahulukan temannya.

Kini giliran dia untuk menaiki bis. Dengan hati hati. Senja memijak satu persatu anak tangga bis.
Setelah berhasil masuk, ternyata semua orang sudah memiliki tempat duduk dan pasangan
masing-masing. Hanya tinggal bangku paling belakang dekat jendela yang tersisa.

Senja berjalan menuju bangku itu. Ia sudah pasrah. Lagian ini juga pilihannya, mendahulukan
teman-temannya daripada dirinya. Jadi dia harus menerima risikonya. Entah itu berdiri atau
duduk di belakang seorang diri karena bis ini bukan bis Pariwisata yang luas dan memiliki
bangku yang banyak. Bis ini hanya sederhana tapi memiliki fasilitasnya bagus. Ada AC, wifi,
dan televisi yang berukuran sedang.

Senja menjatuhkan bokong pada kursi penumpang. Tas yang mengganjal punggungnya ia
letakkan pada bangku disampingnya sehingga dia dapat menyandarkan punggungnya tanpa ada
penghalang. Ia melihat kearah luar jendela, matanya menangkap seorang lelaki yang berjalan
beriringan dengan seorang laki dengan pakaian yang sama.
Jantung senja selalu berdegup kencang jika melihat lelaki itu. Siapa lagi kalau bukan Langit.
Tatapannya mengikuti kemana perginya cowok itu. Tapi kenapa dia seperti berjalan ke arah
bisnya.

Suara tapakan sepatu terdengar. Langit muncul dari bawah tangga. Suasana yang awalnya sudah
bising kini semakin bising. Puluhan pasang mata menatap langit. Bahkan ada yang berbisik-
bisik.

Senja yang duduk di belakang membulatkan matanya. Tatapan mereka bertubrukan. Ada sebuah
senyuman tipis yang tercetak dibibirnya. Teman-temannya mulai histeris. Mereka mengabadikan
moment langka ini dengan mengambil foto lelaki itu. Banyak orang bilang langit jarang
tersenyum. Dia memang terkenal dingin dan kaku disekolah hanya ada beberapa orang yang bisa
membuatnya seperti ini.

Lelaki itu berjalan mendekati salah satu bangku untuk duduk. Tatapannya masih mengarah pada
senja. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Tidak ingin membuat jantungnya bekerja lebih
keras.

"Boleh duduk disini?" Senja menoleh ke sumber suara. Ia mengangguk menyetujui lalu
memindahkan tasnya ke lantai bis. Lelaki itu langsung duduk disebelahnya.

***
Chapter 3 : dekat

Bis berwarna orange dengan coretan abu-abu itu melaju membelah kota Yogyakarta yang
dipadati banya kendaraan. Senja duduk didalam sana ditemani langit. Gadis itu menikmati
pemandangan di luar jendela menghiraukan teman-temannya yang bernyanyi dan berjoget.

Langit yang berada di sampingnya menatap gadis yang ada disampingnya. Adek kelasnya ini
kenapa cantik sekali. Dia masih belum percaya kalau tidak ada orang yang mau berteman
dengannya. Apa mereka insecure karena dia terlalu cantik. Menurut langit, senja cantik, baik.
Entah kenapa ia bisa menilai senja seperti itu padahal dia baru dekat hari ini.

"Kenapa kamu cantik banget sih," ujar langit lirih

"Gimana kak? Kakak ngomong apa?" Senja menoleh kearah langit.

"Oh enggak kok."

Senja menganggukkan kepalanya, "oh berarti aku halusinasi."

Langit mengarahkan tatapannya kedepan. Ia mengambil hp-nya yang berada di kantong


almamaternya.
Gadis itu mengambil tas yang berada di bawahnya, ia mengeluarkan sebuah kotak Tupperware.
Ia membukanya. Ternyata isinya sandwich yang ia buat tadi pagi.

"Kak ambil. Ini aku loh yang buat. Cobain deh enak tahu,"tawar senja.

Langit menggelengkan kepalanya. "Enggak papa, ambil aja kak. Aku sengaja buat banyak," tutur
senja. Langit tetap menggeleng. Senja menghela nafas teratur. Ia mengambil sepotong sandwich.

"Kak, Aaaaaa." Langit menghindari suapan dari Senja. Terpaksa dia meraih dagu langit lalu
menjejalkan sandwich itu kedalam mulutnya. Ini memang agak nggak sopan sih apalagi sama
kakak kelas.

Langit meraih sandwich yang ada di bibirnya. Matanya membesar terlihat ada binaran disana.
Seumur hidup dia nggak pernah makan sandwich seenak ini. Memang agak alay sih tapi ini
kenyataan.

"Baru kamu doang yang berani sama kakak kelas," tutur langit.

Senja menundukkan kepalanya, merasa bersalah. "Maaf ya kak. Abisnya aku gemes sih sama
kakak. Sok-sokan nggak mau padahal lagi laper ya kan?"

Langit terkejut setelah mendengar penunturan adek kelasnya ini. Senja tahu darimana kalu
dirinya lapar. Perasaan perutnya nggak bunyi. Tadi pagi dia memang belum sempat sarapan
karena buru-buru bertemu dengan pak Iwan. Tapi pada akhirnya dia tidak jadi bertemu pak Iwan.

"Setelah dari sutdy lapangan kamu harus di hukum soalnya udah berani sama kakak kelas."

Senja terkejut, "kan aku tadi udah minta maaf." Gadis itu menatap melas langit.

Cowok itu terkekeh. "Kok ketawa sih,"

Langit mencubit pipi yang agak chubby. Ia sudah tidak tahan dengan adek kelasnya. "Ih kok di
cubit sih. Sakit tahu." Senja mengelus pipinya.

"Kamu gemesin." Singkat padat jelas. Kalimat itu berhasil memporak-porandakan jantungnya.

Senja mengalihkan pandangannya. Pipinya mulai memanas karena terlalu malu. Ia menundukkan
kepalanya, menyembunyikan guratan merah di pipinya.
Selama senja dan langit mengobrol seperti ini ada beberapa sorot mata yang memperhatikan
mereka dengan tatapan penuh keirian dan tidak suka. Bahkan ada suara cuitan yang tidak enak
didengar. Senja bisa mendengar tapi ia mencoba menghiraukan. Tapi tidak bisa. Ada rasa sakit
yang terselip di hatinya.

Langit menatap senja yang tengah menundukkan kepala. Sepertinya dia tahu apa yang
menyebabkan gadis ini muram. Langit menyentuh pundak senja. Gadis itu menolehkan
kepalanya. Menatap langit dengan tatapan penuh kesedihan.

"Jangan di dengerin ya. Anggap omomgan itu cuma angin lalu." Langit mengusap pundak senja.
Mencoba menenangkan.

"Apa emang aku nggak pantes duduk sama kakak."

"Siapa bilang, semua orang pantas duduk sama aku termasuk kamu. Lagian tadi kursi yang
kosong cuma disamping kamu kan?"

"Tapi aku nggak mau setelah kakak duduk sama aku orang-orang pada benci kakak."

"Aku nggak peduli. Jadi tolong jangan salahin diri kamu sendi senja."

Senja mebulatkan matanya kaget, "kakak tahu nama aku."

"Kamu lupa atau giamana. Aku kan termasuk kakak pendamping di kelas kamu."

"Oh iya iya." Langit mencubit hidung senja hingga membuat gadis itu memberontak.

"Semua orang harus tahu kalau kamu lucu."

"Apasih kak." Senja menundukkan kepalanya lagi. Ia malu. Memang berdekatan dengan seorang
gemilang langit sanjaya sangat membahayakan. Termasuk membahayakan hatinya.

"Salting ya," goda langit lalu tertawa.

"Enggak."

"Ah masak. Nggak percaya aku."


Akhirnya mereka hanyut dalam obrolan dan saling menggoda satu sama lain. Sesekali diselingi
dengan canda dan tawa.

***

Chapter 4 : Apes

Suara decitan rem bis terdengar. Tujuh bus berhasil berhenti di depan sebuah gedung bertingkat
yang didominasi warna putih. Ada tulisan BANK INDONESIA di atas jendela tepat dilantai dua.
Senja menatap pemandangan dari balik jendela sambil menunggu teman-temannya keluar. Dia
sempat terpana dengan bangunan kokoh itu.

"Kamu nggak keluar?" Tanya langit yang sudah berdiri dari tempat duduknya.

"Keluar. aku mau beresin barang dulu sambil nunggu sepi biar enggak desak-desakan. Kakak
kalau mau duluan nggak papa," ujar senja. Langit diam. Ia tidak ingin meninggalkan cewek ini
sendirian. Cowok itu menatap Senja yang tengah memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.
Gadis itu berdiri, spontan cowok itu menaruh tangannya tepat dia atas kepala senja. Takutnya
gadis ini terbentur bagasi bis.

Senja melirik keatas sebentar. Ia mengernyitkan dahinya, bingung.


"Biar enggak kebentur," jelas langit seolah-olah tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu. Ia
sempat speechless mendengar perkataan cowok itu. Kenapa dia sangat perhatian sekali
dengannya? Ia tidak ingin GR. Tapi boleh GR nggak sih.

"Kakak cenayang ya kok tahu apa yang aku pikirin." Cowok itu tertekekeh.

Langit mendekatkan wajahnya sehingga membuat gadis itu memundurkan wajahnya. Langit
berbisik. "Sebenarnya aku tahu isi pikiran dan hati kamu. Aku tahu apa yang kamu rasain."

Langit tersenyum lalu pergi keluar dari bis, meninggalkan senja yang masih mencerna omongan
lelaki itu. Langit tidak bisa menahan senyumannya. Reaksi adek kelasnya ini kelewat
menggemaskan. Ingin rasanya ia mencubit pipinya lagi.

Senja membuyarkan lamunannya. Ia mengejar langit, meminta penjelasan tentang perkataannya


tadi. Apa yang dimaksud kakak kelasnya ini?

Senja mengiringi langkah langit. "Jadi kakak tahu isi pikiran aku, isi hati aku? Berarti kakak tahu
dong kalo aku kagum sama kakak." Langit tiba-tiba menghentikan langkahnya. Apa yang dia
dengar tadi tidak salah. Senja kagum padanya. Ia memutar tubuhnya sehingga mereka berdiri
berhadapan.

"Jadi kamu kagum sama aku. Sejak kapan," goda langit.

Senja menautkan alisnya. "Lhoh harusnya kakak tahu dong. Kan kakak bisa baca pikiran aku,"
ujar senja.

"Kata siapa?"

"Lhah tadi kakak bilang didalam bis."

Langit terkekeh."Aduhh gemes banget sih kamu. Nanti kalo ada orang nawarin permen jangan
diterima ya."langit mencubit pipi senja. Sepertinya love language langit itu mencubit deh.

"Jadi kakak bohong."langit tertawa lepas. "Ih sebel." Senja memukul lengan kakak kelasnya lalu
pergi meninggalkan langit yang sedang mengelus lengannya.
Senja mempercepat langkahnya dengan perasaan malu. Pipinya terasa panas. Jadi dia tadi tidak
sengaja mengakui perasaannya. Eh bukan mengakui perasaan. Lagian dia kan cuma kagum
bukan naksir. Tapi tetap saja malu. Mulai hari ini dia harus jauh-jauh dari langit.

***

Semua siswa sudah berkumpul dihalaman BANK INDONESIA. Suasana sangat hening hanya
terdengar suara kendaraan yang melintas dan suara elang yang tengah memberikan arahan
didepan para siswa.

Seperti biasa, senja berdiri dibelakang sendirian.

Sejak tadi dia tidak fokus mendengarkan arahan dari kakak OSIS-nya itu. Pikirinya di bayangi
perbuatan bodohnya tadi. Kenapa dia bisa sepolos itu.

Senja berdecak gelisah. Ia megetuk-ngetukkan kepalanya dengan tangan.

"Yang belakang itu paham tidak." Senja terhenyak kaget, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan
kekiri. Ia bingung yang dimaksud kakak kelasnya ini siapa.

"Ya kamu kok malah tolah toleh. Sini maju kamu."

Senja menghela nafas berat. apes banget. Gadis itu berjalan membelah barisan. Seketika semua
pandangan tertuju padanya. Jantungnya berdegup kencang. Bahkan tangannya mulai dingin.

Senja berdiri di hadapan ratusan siswa. Ada berapa cuitan yang tidak mengenakkan telinga.

"Eh itu tadi yang bareng sama kak Langit kan?"

"Baru jadi siswa baru kok udah ganjen sama kakak kelas."

Senja menghiraukan cuitan-cuitan itu. Kata langit anggap aja kalu itu hanya angin lalu.

"coba jelaskan dari awal sampai akhir apa yang saya katakan," ujar Elang.

Senja bergeming. Ia tidak bisa menjawab apa-apa karena tidak mendengarkan arahan dari kakak
kelasnya tadi. Aduh kenapa dia melakukan hal bodoh lagi.

Rasanya ia ingin mengumpat dan menyumpah serapahi diri sendiri.


Dibelakang barisan ada langit yang tengah menatap senja. Ada rasa kasian yang terselip di benak
langit. Senja berhak diberi hukuman karena tidak memperhatikan penjelasan Elang. Cowok itu
sepertinya tahu apa yang membuat senja tidak fokus. Ini pasti gara-gara tadi. Mengingat kejadian
tadi ingin membuatnya tertawa. Ternyata ada ya perempuan yang sepolos senja.

Padangan mereka bertubrukan. Jantung senja tiba-tiba berdetak tak nyaman. Ada ukiran yang
terbit di bibir langit. Senja bisa melihat itu. Kenapa manis sekali bahkan gula aja kalah dengan
senyuman langit.

"Heh kok diem aja. Ayo jawab." Elang menepuk pundaknya hingga membuatnya terperanjat
kaget. Senja menolehkan kepalanya, menatap Elang.

"Maaf kak saya enggak tahu," tutur Senja lalu menundukkan kepalanya.

Suara sorakan dari siswa terdengar. Ada beberapa orang yang tertawa meremehkan.

"Diam." Sebuah teriakan berhasil mencuri perhatian siswa. Suasana yang awalnya dipenuhi
sorakan kini mulai hening.Itu Langit. Cowok itu tidak suka jika ada yang meremehkan dan
mempermalukan senja.

Langit berjalan kedepan menghampiri elang dan senja. Cowok itu berdiri disamping senja.

"Kalian yang menyoraki senja udah merasa hebat." ujar langit tegas. Semua siswa terdiam.

"Kalau kalian udah merasa hebat coba terangin yang dikatakan kak elang." Imbuh langit lagi.
Senja mengangkat alisnya, mengedarkan pandangan menatap satu persatu siswa yang ada
dihadapan. Mereka diam seriubu bahasa.

"Lihat nggak bisa kan. Makanya jangan pernah meremehkan orang lain. Coba kalian bayangin
jika berada diposisi senja. Pasti kalian nggak mau-kan?"

"Senja besok lagi jangan diulangi. Silahkan kembali ke dalam barisan," seru Elang.

Senja menganggukkan kepala lalu berjalan kembali ke dalam barisan.

"Bagus ngit. Kamu udah cocok jadi ketos,"ujar elang sambil tersenyum bangga.

"Engga kok kak. Saya cuma nggak suka kalo ada orang yang saling meremehkan," tutur langit.
"Baik adek-adek. Jadikan perkataan kak langit sebagai pelajaran ya. Oke sekarang kalian
berbaris menjadi dua banjar."

***

Chapter 5 : menghindar

Senja berjalan menjelajahi setiap sudut bank itu. Terkadang dia mengambil gambar yang
menurutnya bagus. Sejak tadi dia tidak melihat batang hidung langit. Baguslah, lagian dia ingin
mnghindari cowok itu. Setiap ia mengingat kejadian tadi, gadis itu akan bertingkah seperrti
orang aneh. Contohya seperti sekarang, gadis itu memukul-mukul kepalannya sambil
menyumpahi dirinya sendiri.

Banyak pasang mata yang menatp dirinya aneh sehingga gadis itu menghentikkan tingkahnya
yang aneh itu. Mungkin mereka berpikir kalau dia ini orang gila. Ia juga bingung kenapa dia
seperti ini. Sejak kecil senja memang sudah kebiasaan seperti ini. Padahal mamanya sudah
memperingati agar bisa mengontrol sikap anehnya.

Gadis itu kembali berjalan menyusuri setiap sudut di dalam bangunan ini.

"Adek-adek semua silahkan naik ke lantai dua. Karena acara di selenggarakan di auditorium."
Suara Elang menggema. Membuat semua siswa yang tengah melihat-lihat bangunan itu langsung
menuruti permintaannya.

***

Didalam ruangan ber AC itu. Semua siswa sudah duduk rapi ditempat yang sudah disediakan.
Ada dua sayap, sayap kanan dan kiri yang dipisahkan oleh tangga. Senja duduk dibarisan
belakang sayap kanan. Ada bangku kosong disebelah kirinya sedangkan disebelahkan ada
seorang gadis dengan rambut yang berkucir dua. Senja tidak tahu namanya. Sebenarnya ia ingin
bertanya tapi rasa takut mengalahkannya.

Bagku yang kosong tadi ia manfaatkan untuk menaruh snack yang diberi dari pegawai bank.
Sedangkan tasnya yang mengganjal punggungnya ia taruh dibawah. Tenang saja lantainya
bersih.

"Selamat pagi adek-adek." Suara seorang wanita dengan jas lengkap dengan celana dan high
heels nya berhasil mengambil perhatian para peserta study lapangan.

Banyak yang terpana dengan wanita itu. Bahkan Senja juga ikut terpana. Wanita dengan rambut
bergelombang itu tetap cantik walaupun dengan mengenakkan kacamata. Kulit putih dan
senyumnya yang manis bisa menyihir setiap orang yang melihatnya.

"Selamat datang di Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta," sambut wanita itu tak lupa
dengan senyum manisnya. Menurut Senja wanita ini terlihat sangat ramah. Terlihat dari nada
bicaranya yang sangat lembut dan menenangkan.

Senja fokus mendengarakan penjelasan wanita itu. Wanita itu bernama angel. Salah satu pegawai
bank Indonesia. Namanya sangat mencerminkan dirinya. Cantik seperti bidadari.
Senja sedang fokus mendengarkan dan mencatat hal-hal penting yang disampaikan Angel.
Karena untuk bahan laporan kunjungan.

Gadis itu merasakan ada yang duduk disebelahnya. Snack yang ia taruh di kursi sebelahnya kini
pindah ke pangkuannya. Senja menolehkan kepalanya. Ia membesarkan matanya, terkejut. Lelaki
yang ia hindari kini duduk di sampingnya. Mereka beradu pandang ditengah siswa yang
mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang Bank Indonesia. Di sayap sebelah kiri ada seorang
gadis yang memandang tidak suka pada Senja. Ada perasaan benci dibenak gadis itu. "Yang
sabar sya. Habis ini kita kasih perhitungan. Enak aja baru jadi siswa baru udah tepe tepe sama
kakak kelas," ujar temannya yang mengenakan sergam yang sama.

Senja mengedarkan pandangannya lalu menepuk pundak teman yang duduk disebelahnya, "boleh
tukeran tempat." Cewek berkucir kuda itu menganggukkan kepala antusias. Siapa sih yang nggak
mau duduk disebelah cogan apalagi dia itu salas siswa populer. Jadi harus dimanfaatkan sebaik
mungkin.

Saat senja ingin pindah tempat duduk. Tangannya ditahan oleh langit. "mau kemana? Jangan
coba-coba menghindar lagi karena nggak akan bisa," tekan cowok itu.

Senja melepaskan tangannya dari cekalan langit. Dia menghiraukan perkataan langit. Ia tetap
pindah tempat. Langit menarik tangan senja hingga membuat gadis itu terduduk. Senja menatap
langit kesal. "Duduk bisa nggak sih,"ujar langit lirih.

Senja menghembuskan nafasnya kasar. Kapan-sih acara ini akan selesai. Ada dua tempat lagi
yang belum di kinjungi. Museum Sonobudoyo dan keraton.

***

Seluruh siswa berhamburan keluar dari bank Indonesia. Setelah mengikuti acara tadi. Kepala
Senja menjadi pusing. Aslinya dia tidak kuat dengan ruangan yang dingin. Gadis itu melepaskan
tangannya dari genggaman langit. Ia mengambil botol minumnya yang berada di dalam tasnya.
Ia menegakk minumannya untuk menghilangkan pening dikepalanya.

"Kamu kenapa? Sakit," tanya Langit. Senja menggelengkan kepalanya. Gadis itu gagal
menghindar dari langit. Sejak langit duduk di sampingnya. Lelaki itu menggandeng tangannya.
Kalau saja dia tidak menempati tempat duduk tadi mungkin dia bisa menghindar. Tapi mau
gimana lagi kejadian itu sudah terjadi dan tidak bisa diulang.

Mereka berjalan beriringan menuju museum Sonobudoyo karena lokasi tempat itu sangat dekat
dengan Bank Indonesia.

Disepanjang jalan ada banyak stand yang menjual beberapa barang, salah satunya novel yang
menarik perhatian senja. Ingin rasanya membeli tapi uangnya kurang.

Setelah beberapa menit berjalan akhirnya mereka sampai di museum.

***

Chapter 6 : terimakasih

Langit dan senja berjalan beriringan sambil melihat-lihat barang-barang unik yang dipamerkan di
dalam museum. Sesekali gadis itu mengambil foto yang menurutnya menarik dan cocok
dimasukkan kedalam laporannya.
"Kak foto yuk. Jarang-jarang kita main sampai kesini," pinta senja. Langit meng-iyakan. Ia harus
memanfatkan kesempatan ini. Karena ia baru pertama kali ada yang mengajaknya foto seperti
ini.

Senja membuka aplikasi kamera nya di hp. Mereka berdiri berdekatan. Senja mengangkat kedua
jarinya membentuk huruf V sedangkan langit, cowok itu merangkul dirinya. Senja melirik tangan
yang ada di pundaknya sebentar. Debaran jantungnya mulai menggila. Senja berusaha untuk
tenang. Ia mulai action dan menyentuh tombol kamera di hp nya.

Sudah beberapa gaya mereka gunakan. Langit dan senja melihat hasil foto mereka berdua. Senja
tertawa melihat gaya mereka yang konyol apalagi gaya langit. Lidah cowok itu julurkan,
matanya ia julingkan dan tangannya membentuk simbol metal.

"Nanti jangan lupa kirim ya," ujat langit.

"Aku kan nggak punya nomornya kak langit. Gimana mau ngirimnya."

Hingga beberapa saat hp-nya berbunyi.

Ada nomor tidak dikenal mengirim pesan pada dirinya.

"Itu nomorku, jangan lupa di save." Senja menganggukkan kepala. Mereka berdua melanjutkan
langkahnya.

Dibelakang sana ada empat gadis berpakain sama menatap tidak suka. Gadis itu adalah gadis
yang sama di Bank Indonesia tadi. Mereka adalah bela, diandra, gita, dan karina. Mereka
berempat adalah primadona di SMA ini yang terkenal dengan sifat angkuh sombong dan suka
membuly.

Bela mengepalkan tangannya kuat. Masih berani ternyata adek kelasnya itu dekat-dekat langit. Ia
tidak suka jika cowok itu ada yang mendekati. Ia akan menghabisi perempuan yang berani
mendekati langit tanpa pandang bulu.

Karina mengusap pundak sahabatnya mencoba menenangkan. "Tahan bell. Kita kasih pelajaran
nanti pas dia nggak sama langit." Bela sudah tidak sabar ingin menghabisi adek kelasnya itu.

***
Senja dan langit muncul dari balik pintu keluar museum. Berjalan menyusuri museum membuat
mereka kelelahan. Langit berjongkok di dekat nathan. Teman sekelasnya yang menjadi OSIS.
Senja meninggalkan langit. Gadis itu berjalan kearah pedagang yang menjual beberapa
minuman. Ia membeli dua botol air mineral. Setelah menyerahkan beberapa lembar gadis itu
menghampiri kakak kelasnya.

"Ini kak minum dulu." Senja memberikan sebotol air kepada langit. Nathan yang berada
disampingnya tersenyum. "Widih si es batu udah punya pawang ternyata," goda nathan. Langit
menonyor kepala nathan.

Senja mengerutkan dahinya. "Kok es batu sih kak. Orang dia manusia gini," ujar langit polos.

"Pantesan kamu nyaman deket sama dia ya ngit. Orang dia gemesin gini." Nathan ingin mencubit
pipi senja tapi langit segera menepis tangannya.

"Pawang kamu galak ya dek." Nathan tertawa.

"Kok pawang sih kak. Emang aku hewan yah," ujar senja lalu memanyunkan bibir. Spontan
nathan berdiri. Dia ingin menyentuh senja dan memberikan penjelasan kepada adek kelasnya ini
agar tidak salah paham dengan candaannya.

"Jangan sentuh dia," seru langit sambil menatap tajam nathan. Serem banget.

"Gini dek, tadi itu cuma candaan. Jadi jangan dia anggap serius ya," jelas nathan.

Senja menganggukkan kepala dengan bibir yang masih manyun. "Aduh gemes banget. Boleh
diakarungin nggak sih dia."

"Kamu nyentuh bajunyu. Pulang-pulang tinggal nama kamu than." Nathan bergidik ngeri.

***

"Kak langit jangan galak-galak dong sama orang. Kasihan tahu kak nathan tadi," ujar senja
sambil menaiki anak tangga. Kini mereka berada di keraton. Tempat terakhir yang mereka
kunjungi.

"Itu cuma candaan doang senja enggak beneran."


"Ya walaupun cuma candaan jangan berlebihan kayak gitu."

"Kenapa kamu semakin gemesin sih." Langit mencoba meraih pipi senja tapi gadis itu
menghindar.

"Pacaran terus," teriak nathan yang berjalan di belakang mereka berdua.

"Iri bilang bos," ujar langit lalu tertawa.

"Eh asli ngit. Aku merinding. Sejak kapan jiwa es batu kamu jadi air putih. Gini. Baru pertama
kali kamu ketawa kayak gitu. Wah aku harus laporan nih di group." Nathan merogoh saku
almetnya untuk mengambil hp.

"Mau ngapain kamu?" Tanya langit sambil menaikkan salah satu alisnya. "Mau laporan di group
lah. Kejadian langka ini harus dibagikan. Kalo seorang gemilang langit sanjaya udah jadi air
putih alias udah nggak dingin lagi weh." Nathan mengetikkan beberapa kalimat di sebuah group
yang berisi empat orang.

"Lebay. Nggak usah neko-neko deh," cowok itu berusaha merebut hp temannya tapi gagal.

"Udah aku send." Nathan menjulurkan lidahnya. Menggoda langit. Senja menatap dua sahabat
sambil tersenyum. Ternyata jika memiliki teman sangat menyenangkan ya. Bisa canda tawa
bersama. Sedangkan jika sendiri siapa yang akan diajak bercanda. Tembok?

"Ternyata kak nathan lucu yah," ujar senja yang membuat dua orang cowok itu menoleh
kearahnya.

Nathan memukul lengan langit. "Duh aku dipuji sama cewek cantik. Pasti kamu belum pernah
dipuji sama dia kan. Siapa nama kamu dek." Nathan mengulurkan tangannya. Saat hendak
membalas uluran nathan tangan senja buru buru ditarik oleh langit. "nama aku senja kak." Teriak
senja. "Ye, posesif banget jadi cowok. Orang mau kenalan doang enggak boleh," ujar nathan lalu
berjalan menyusul mereka berdua.

"Kak jangan cepet-cepet aku capek nih." Gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman langit.
Ia membungkukkan badannya lalu mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Langit
membukakan air mineral lalu memberikan pada Senja. Gadis itu meraih botol itu lalu
menegaknya.

Kini mereka berdua berada di sebuah ruangan yang berisi silsilah keluarga sultan Hamengku
Buwono IX.

"Kalau suatu saat pak Sri Sultan Hamengku Buwono IX enggak memimpin terus yang gantiin
siapa yah. Anak-anaknya perempuan semua ya." Tutur senja.

"Iya ya. Padahal jogja pemimpinya turun temurun ya." Ujar langit. Mereka berjalan beriringan
keluar dari area itu.

"Hari ini seru banget. Seneng banget bisa jalan-jalan. Makasih kak udah nemenin aku," ujar senja
menyunggingkan senyuman.

"Iya sama-sama. Aku juga seneng bisa nemenin kamu. Aku jadi tahu sifat kamu gimana ya
walaupun cuma sehari doang. Aku berharap kita bisa dekat seperti ini di sekolah. Jadi aku harap
jangan menghindar ya Senja. Aku akan melindungi kamu dari orang-orang yang jahat sama
kamu."

Merek berdiri berhadapan dan saling tatap. Rasanya waktu seperti berhenti. Mereka tenggelam
dalam tatapan yang menenangkan ini. Senja bersyukur bisa mengenal langit begitupun
sebaliknya. Mungkin kesan pertama mereka kurang baik. Tapi kalau tidak seperti itu pasti
mereka hanya menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal.

"Heh. Malah tatap-tatapan. Kalian mau ikut foto nggak. Mereka sudah nunggu tuh." Ujar nathan
mengagetkan mereka berdua.

Kini semua siswa sekaligus guru sudah berkunmpul di halamam keraton. Mereka akan foto
bersama. Senja kini berdiri paling depan memegang banner ditengah-tengah nathan dan langit.

Sesi foto telah usai kini mereka kembali ke bis.

***
Chapter 7 : Perhitungan

Tujuh bis berhenti disebuah restoran bintang lima di Yogyakarta. Saat ini hujan datang tak
terduga. Padahal tadi pagi sangat cerah dan tidak ada tanda-tanda akan hujan. Seperti plot twist
di dalam drama. Senja dan langit keluar dari bis. Mereka menerobos hujan dengan jaket sebagai
pelindung. Kini jarak mereka berdua sangat dekat. Bau maskulin milik langit memasuki indera
penciumannya. Mengapa cowok ini masih wangi padahal dari pagi panas. Apa keringat orang
ganteng itu wangi ya. Puluhan sorotan mata menatap mereka iri.

Setelah mereka berhasil menapakkan kaki di lantai restoran. Langit dan senja segera mengantri
mengambil makanan. Di meja panjang terdapat berbagai macam menu makan. Dari gudek
sampai sup sayur ada disini. Bahkan ada makanan pencuci mulut. Senja mengambil satu centong
nasi. "Kalo makan itu yang banyak. Nggak kasihan sama tubuh kamu. Kurus gini," ujar langit
lalu menambahkan satu centong nasi di piring Senja.

Setelah mengambil makan dan minum. Mereka berjalan ke meja bundar dekat jendela.

"Ikut gabung dong." Nathan menarik kursi tepat di depan senja.

Langit berdecak. "Kenapa harus disini sih. Tuh lihat bangku ada banyak."

"Kak nggak boleh kayak gitu. Orang kak nathan mau makan bareng kita. Masak nggak boleh,"
ujar senja sambil melahap makanannya.

"Tuh denger ngit. Senja aja nggak papa. Kamu kok sewot."langit memutar matanya jengah.

Mereka bertiga asyik menikmati makanannya. Ternyata sesuai dengan restorannya. Masakannya
sangat enak.

"Kok wortelnya nggak dimakan sih kak. Enak lho ini." Ujar senja pada langit.

"Enggak enak."

"Emang kakak udah nyobain kok udah bilang nggak enak." Langit tidak menghiraukan. Cowok
itu memotong dagingnya.

"Kak, coba buka mulut deh." Langit menggelengkan kepalanya.


"Kak ayo dong. Emang mau kayak tadi di bis."

Langit menghela nafasnya kasar. Cowok itu menoleh kearah senja lalu membuka mulutnya.
Gadis itu memasukkan sesuap worten dengan daging dan nasi. Langit mulai mengunyah.
"Enakkan? Wortelnya jadi nggak kerasa kan." Langit menganggukkan kepalanya.

Nathan hanya bisa menatap iri. Mengapa dia selalu jadi saksi keuwuwan sahabatnya. Entah itu
deon, vero, dan sekarang langit. Padahal dia dulu sangat senang langit menjomblo karena ada
temannya.

Di lain sisi. Bela meremat garpunya. Rasanya ia ingin menusuk perempuan itu dengan garpu.

"Mau sampai kapan begini terus. Kapan kita kasih perhituy rin. Kesabaranku sudah habis." Bela
menatap karin. "Tunggu sebentar ya bel."

"Eh bel dia pergi tuh," ujar diandra.

Mereka berempat beranjak dari tempat duduknya lalu mengikuti kemana senja pergi. Gadis itu
masuk ternyata kekamar mandi.

Bela dan ketiga sahabatnya menyusun strategi. Bela dan karina masuk kedalam kamar mandi
sedangkan diandra dan gita meminta kunci.

Bela dan karina masuk kedalam bilik kamar mandi. Karina menutup pintu. Senja tengah mencuci
tangannya dengan dihantui rasa was-was. Kenapa kakak kelasnya ini menatap dirinya seperti ini.

Senja mengeringkan tangannya. Saa ingin berjalan ke pintu keluar. Kedua kakak kelasnya ini
mendekati dirinya dengan kedua tangan disilangkan didepan dada. "oh ini yang namanya senja."
Bela memutari senja. Gadis itu lalu menarik rambut adek kelasnya. Senja meringis kesakitan.
"Murid baru yang ganjen sama kakak kelas." Karina menyeringai melihat temannya memberi
perhitungan pada adek kelasnya.

"Pinter ya kamu. Milih cowok yang pinter, ganteng, most wanted lagi. Mau numpang tenar
kamu!!" Bentak bela. Jembakan pada rambutnya kian kencang sehingga menimbulkan rasa perih
di kepalanya. "S-sakit. Kak."
"Rasa sakit kamu nggak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasain. Berani-beraninya kamu
deket-deket langit sama nathan. Emang siapa kamu. Kamu itu nggak pantes sama dia."

"M-maaf kak lagian kita dekat juga nggak disengaja. Kita cuma temenan." Ujar senja terbata-
bata.

"Temenan. Emang ada ya temenan sampai suap-suapan. Cewek dekil kaya kamu kok bisa dapet
dua cowok ganteng macam mereka berdua. Pakek pelat apa kamu." Rambut sebelah kiri kini
dijambak oleh karina. rasa pusing kini mulai menjalar keseluruh kepalanya.

"K-kak tolong lepasin." Air mata senja tidak bisa terbendung lagi. Rasanya sanngat sakit. Baru
pertama kali diperlakukan seperti ini.

"Nggak semudah itu." Bela menyeringai.

"Kak aku mohon. Aku bakak menjauh dari kak nathan dan kak langit." Ujar senja memohon.
Karina dan bela melepaskan jambakannya yang membuat punggung senja menabrak dinding
kamar mandi. Rasa nyeri kini mulai menjalar di punggungnya. Kedua gadis itu keluar dari kamar
mandi tak lupa menguncinya. Senja merosot. Badannya bergetar. Dia sangat ketakutan.
Padangannya mulai mengabur dan akhirnya tak sadarkan diri.

***
Chapter 8 (end) : balasan

Sudah setengah jam lamanya senja di toilet. Tapi sampai sekarang batang hidungnya pun belum
kelihatan. Langit mulai gelisah. Nggak ada orang yang selama itu di kamar mandi. Bahkan orang
diare juga tidak sampai selama itu. Langit merasa ada yang tidaka beres dengam senja. Langit
menggelengkan kepalanya. menepis pikiran negatif itu.

"Si adek kok belum dateng-dateng ya. Apa dia ketiduran dikamar mandi." Nathan menaruh jari
telunjuknya diatas dagu.

Langit menonyor kepala sahabatnya itu. "Ngawur kamu. Masak iya tidur dikamar mandi."
Nathan terkekeh.

"Bisa aja kan. Nyatanya dia belum balik Sampai sekarang. " Yang dikatakan nathan ada
benarnya. Tapi masak iya senja tidur di kamar mandi. Aneh banget.

"Tapi kenapa feeling-ku enggak enak ya than. Aku takut ada yang terjadi sesuatu sama senja,"
ujar langit khawatir.

"Yaudah coba aja kita cek ke kamar mandi. Buat mastiin sebenarnya apa yang terjadi sama si
adek." Saran nathan.

"Yaudah ayok. Eh tapi than kok aku geli kamu manggil senja adek ya." Ujar langit sambil
berdiri.

"Biarin. Aku mah nggak peduli. Kamu mau geli, gumoh. Terserah kamu. Soalnya dia udah aku
anggap sebagai adek sendiri." Jelas nathan sambil tersenyum bangga.

"Emang dia mau sama kamu than. Kayaknya sih enggak ya. Mana mau dia punya kakak aneh
kaya kamu."

Nathan menonyor kepala langit. "Sembarangan kalo ngomong."


"Beranai kamu sama aku." Langit menatap tajam nathan. Cowok yang berkulit sawo matang iti
hanha cengengesan bukanya takut.

Langit berjalan mendahului nathan.

"Eh kalian mau kemana?" Sebuah suara berhasil menginterupsi mereka. Ternyata itu pak iwan.

"Mau ke toilet pak," jelas nathan sopan.

"Lhoh toilet pria kan disebelah kanan. Ngapain kalian belok kekiri. Itu kan toilet perempuan."
Tegas pak iwan.

Langit mwnggaruk tengkuknya, ia bingung bagaimana menjelaskan kepada gurunya ini. "Begini
pak kita ke toilet perempuan mau nyariin adek kelas pak. Udah setengah jam di kamar mandi
tapi nggak keluar-keluar. Saya takut terjadi sesuatu dengan adek kelas kita pak. Karena disini
kita sebagai pendamping." Jelas langit yang mampu membuat pria paru baya itu juga ikut
khawatir. Karena beliaulah penanggungjawab acara ini.

"Yaudah kita kesana sama-sama." Ujar pak iwan lalu di anggukki oleh nathan dan langit.

Dibelakang sana keempat gadis mulai gelisah. Apakah rencana mereka akan gagal. Karena pada
dasarnya rencana yang buruk tidak akan membuahkan hasil tapi malah membuat mereka celaka.

***

Nathan, langit, dan pak iwan telah sampai di kamar mandi. Langit mencoba membuka pintu tapi
ternyata terkunci. Ini aneh. Biasanya kamar mandi umum tidak pernah terkunci. Kini perasaan
gelisah mulai bertambah. Langit yakin ada sesuatu yang terjadi pada senja. Sejak tadi firasatnya
tidak baik-baik saja. Pikirannya sejak tadi dipenuhi dengan senja.

Langit mengetuk pintunya. "Senja. Senja. Kamu bisa dengar suara aku?" Tidak ada jawaban dari
dalam.

"Senja. Kamu baik-baik aja akan!! Tunggu ya senja aku bukain pintunya. Kamu harus bertahan."
Langit panik setengah mati. Cowok itu mundur mengambil ancang-ancang lalu dengan sekali
dobrakan pintu terbuka.
Pandangan pertama yang ia lihat adalah senja terkapar dia atas lantai kamar mandi. Dengan
keadaan rambut acak-acakkan. Masih ada bekas air mata dipipinya. Dan saat itu juga hatinya
tercabik-cabik. Siapa yang berani melukai gadis ini. Pak iwan dan nathan menatap tidak percaya.

Tanpa basa-basi langit mengangkat tubuh senja yang lumayan berat. "Than tolong telefon
ambulan."

"Kelamaan. Bapak bawa mobil sekolahan. Pakai mobil sekolahan aja. Kasihan dia." Ujar pak
iwan lalu mengarahkan mereka ke mobil yang dimaksud.

Langit melewati area makan yang mampu mengundang perhatian banyak orang. Bahkan pegawai
restoranpun ikut heboh. Mereka tampak kebingungan.

Para siswa yang sudah masuk kedalam bis kini berhamburan keluar. Penasaran dengan apa yang
terjadi.

Bela dan keempat temannya sudah sangat gelisah. Bagaimana ini. Mereka harus kabur detik ini
juga. Keempat gadis itu keluar dari kerumunan. Bela mengetikkan beberapa angka di hp-nya.
Keempat gadis itu akan kabur menggunakan taxi.

Suara klakson mobil terdengar. Itu taxi yang mereka pesan sudah datang. Mereka bergegas
berjalan kearah taxi itu. Hingga tiba-tiba.

"Heh kalian mau kemana?" Teriak nathan.

"Eh nathan." Keempat gadis itu membalikkan badan sambil tersenyum kikuk.

"Nggak mau kemana-mana kok. Ini mau balik ke bis," ujar bela.

"Bis kita kan ada disana. Kalian mabok ya."

Seorang pria dengan kumis tebal menghampiri mereka berlima.

"Permisi atas nama mbak Bela Hanastasya yang mana ya?" Tanya bapak itu.

Nathan mengankat salah satu alisnya. Cowok itu menatap bela curiga. Kenapa cewek ini
memesan taxi padahal mereka tadi berangkat menggunakan bis. "Bel kamu pesan taxi?
Bukannya kita berangkat pakek bis."
Bela bergeming. Gadi itu menggaruk kepalanya. Bingung. Nathan menyeringai. Cowok ini
mendekati keempat gadis itu. "Jangan-jangan kalian yang buat senja terluka seperti itu," ujar
langit sambil menatap tajam keempat gadis itu. "Enak aja bukan iya!" Ujar bella sedikit
meninggi.

"Ya kalo enggak. santai dong. Kalo kamu kaya gini jadi nambah curiga aku." Goda nathan
sambil menyilangkan tangannya.

"Jadi ini yang namanya mbak bella yang mana. Jadi atau tidak." Bapak sopir taksi itu menyela
karena kesal.

"Maaf ya pak saya cancel." Ujar nathan lalu memberikan lembaran uang seratus ribu.

"Nathan kok kamu cancel sih." Ujar bella kesal.

"Loh kok marah. Terus kalo nggak di cancel kalian mau ngapain. Orang kita berangkat naik bis
kok. Lagian kalian berempat kedapatan tempat duduk kan?"jelas nathan panjang lebar

"Apa jangan-jangan bener ya. Kalian yang melukai senja. Terus kalian mau kabur. Ngaku
enggak."imbuh nathan

"Enggak nathan. Udah berapa kali sih aku bilang," tutur bella mulai kesal.

"Kalau bukan sekarang. Kalian harus ikut aku ke ruangan CCTV."

Keempat gadis itu saling tatap.

"Malah liat-liatan cepet jalan." Seru langit.

***

Diruangan CCTV sudah ada pak Iwan dan Langit bersama salah satu pegawai restoran. Mereka
mengecek satu-persatu video di layar komputer.

"Ayo masuk." Suara nathan berhasil mengambil atensi langit dan pak iwan. Bella dan teman-
temannya. Rasa takut sudah menghantui mereka berempat.
"Ada apa ini nathan? Kenapa kamu membawa mereka berempat?" Pak iwan menatap bingung.
"Mereka mencurigakan pak. Masak tadi bella pesan taksi online padahal kita berangkat naik bis."
Jelas nathan.

"Apa benar itu bella?" Tanya pak iwan tegas. Keempat gadis itu menundukkan kepala.

Dilayar komputer terlihat seorang gadis dijambak oleh dua orang perempun dengan almamater
yang sama di kenakkan oleh langit. Ada dua orang perempuan lain yang tegah berjaga di luar. Di
kamar mandi memang tidak dipasang CCTV tapi di tempat cuci tangan yang terhubung dengan
toilet. Cowok itu menatap keempat gadis itu sebentar lalu kembali menatap layar komputer.
Ternyata itu bella dan karina. Sedangkan yang berjaga didepan pintu gita dan diandra. Tamat
riwayat keempat gadis itu. Mau kabur-pun tidak bisa

Pak iwan menatap keempat gadis itu. Marah. "Bapak tidak menyangka kalian berani melakukan
seperti itu. Bapak jadi menyesal melantik kalian sebagai anggota OSIS. Kalian ini ingat tidak
dengan sumpah kalian. Apa kalian tidak malu dengan tuhan karena sudah mengingkari janji
kalian sebagai petugas OSIS. Kalian itu kakak kelasnya. Harusnya memberikan contih yang baik
pada adek kelasnya kok malah melakukakan kekerasan. Mulai sekarang kalian saya keluarkan
dari anggota OSIS." Jelas pak iwan.

Langit sudah tidak bisa menahan amarahnya. Cowok itu menarik bella keluar. Membawa cewek
itu ke taman belakang resotoran. Ia menghempaskan bella sehingga gadis itu terjatuh.

"Sakit langit." Rintih bella lalu berdiri.

"Itu belum sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan senja."

"Sekarang aku mau tanya. Kenapa kamu melakukan itu sama senja. Emang dia punya salah sama
kamu. Mungkin kenal sama kamu aja enggak."

"Dia udah ngerebut kamu dari aku langit."tutur bella.

"Ngerebut? Emang aku barang apa? Seenak jidat di rebutin. Lagian emang kita punya hubungan.
Kayaknya enggak deh. Jadi stop ngelarang aku." Jelas langit yang membuat hatinya sakit.
"Aku nggak suka kamu dekat sama dia langit. Dia itu nggak pantas buat kamu." Tutur bella
meninggikan suaranya.

"Emang kamu siapa? Tuhan? Seenaknya ngomong kayak gitu. Hanya tuhan yang boleh
memantaskan. Kita sebagai manusia tinggal menjalankan saja." jelas langit. Gadis itu bergeming.
Air mata yang sejak tadi terbendung kini luruh membasahi pipi. Rasanya sangat sakit
mendengarkan perkataan dari orang yang kita sukai.

"Aku kasih tahu ya bel. Kamu itu perempuan. Kamu nggak cocok jadi preman." Ujar langit lalu
meninggalkan perempuan itu.

Detik ini hidupnya hancur. Seharusnya ia tidak melakukan hal bodoh seperti itu. Ia terlalu
dibutakan oleh cinta.

END

You might also like