Tugas Aspek Hukum Cyber Notary

You might also like

You are on page 1of 16

ASPEK HUKUM CYBER NOTARY

PENYELENGGARAAN KONSEP CYBER NOTARY DALAM PRAKTEK


KENOTARIATAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan Indonesia di era globalisasi ditandai dengan era teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace, virtual world) melalui
jaringan internet, komunikasi dengan media elektronik tanpa kertas. Seseorang akan
memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan tempat dan
waktu melalui media elektronik. Perkembangan TIK tersebut menempatkan Indonesia
sebagai bagian masyarakat TIK dunia. Masyarakat Indonesia yakin bahwa TIK berperan
untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan hukum, ekonomi, sosial dan budaya.
Seiring menyebarnya TIK yang demikian pesat menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi
lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru, penggunaan dan pemanfaatan TIK harus
terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan
kesatuan nasional demi kepentingan nasional. TIK berperan penting dalam perdagangan
dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Untuk mengimbangi dinamika perkembangan TIK, pemerintah mendukung
pengembangan TIK melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga
pemanfaatan TIK dilakukan secara aman untuk mencegah penyalah gunaannya dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Untuk itu,
pemerintah mengeluarkan political will di bidang TIK dalam bentuk peraturan
perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Perubahan UUJN).
Pasal 4 UU ITE menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1) mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2) mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

1
3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4) membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;
5) memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.”
Sebagaimana diuraikan tersebut diatas maka peran Notaris sebagai pejabat umum
yang memberikan pelayanan publik dipersilakan untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan TIK seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab serta memanfaatkan TIK serta transaksi elektronik guna
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Demikianlah dengan
mengadopsi konsep cyber notary yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan publik.1
Pelayanan Notaris dibidang penggunaan dan pemanfaatan TIK dituangkan melalui
kewenangannya sebagai seorang pejabat negara dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang
menentukan bahwa Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang
dilakukan secara elektronik (cybernotary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek
pesawat terbang.”
Perkembangan yang terjadi dalam profesi seorang Notaris merupakan wujud dari
adanya konsep cybernotary di Indonesia, namun konsep tersebut hingga saat ini masih
menjadi suatu perdebatan atau belum dirasakan sebagai suatu kebutuhan walaupun
dibidang tehnologi memungkinkan peranan notaris secara online tetapi secara hukum
masih belum dapat dilaksanakan.
Sistem hukum yang dianut oleh suatu negara sangat mempengaruhi keberadaan
pengertian fungsi dan kewenangan dari notaris itu sendiri. Indonesia sendiri menganut
sistem hukum Civil Law yang memiliki asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo,
dimana dalam asas ini menyatakan bahwa notaris harus bekerja secara tradisional
merupakan suatu kewajiban formil yang lahir dari asas tersebut. Kewajiban itu berupa
kewajiban bahwa notaris itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap

1
Benny, 2014, Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014, Tesis, Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, hal. 1-3.

2
pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh notaris itu sendiri dan para penghadap masing-
masing langsung ditempat dibacakannya akta itu oleh Notaris.2
Dalam prakteknya konsep cybernotary ini memunculkan banyak problematika yang
bertentangan dengan asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo dan berdampak pada
kekuatan pembuktian produk hukum yang dihasilkan oleh seorang notaris di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka dapat ditarik dua rumusan
masalah yang akan akan dibahas yakni sebagai berikut :
1. Bagaiamana konsep cyber notary dalam praktek kenotariatan di Indonesia ?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian akta notaris dalam konsep cyber notary ?

2
Wijaya, A. W., (2018). Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta dalam Bentuk Elektronik.Viva Justicia
UGM https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-dasar-cyber-notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-
elektronik/ 2(4), hal. 393, diakses 12 Januari 2022.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Cyber Notary Dalam Praktek Kenotariatan Di Indonesia


Sesungguhnya pemakaian istilah cyber notary di Negara Indonesia sebagai Negara yang
mewarisi konsep tradisi Eropa Kontinental dinilai kurang tepat. Berdasarkan literatur yang
menjelaskan sejarahnya, istilah cyber notary dan electronic notary seakan terlahir dari dua
konsep yang berbeda, yakni istilah “e-notary” yang dipopulerkan oleh ahli hukum dari
Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental. Sementara untuk konsep “cyber notary”
dipopulerkan oleh ahli hukum yang mewarisi tradisi Common Law.3 Dengan demikian
pemakaian istilah electronic notary atau e-notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi
tradisi Eropa Kontinental dirasakan lebih tepat. Secara sederhana, cyber notary dapat
diartikan sebagai pelaksanaan tugas atau kewenangan jabatan Notaris secara elektronik atau
dengan memanfaatkan teknologi informasi. Istilah cyber notary juga sering digunakan untuk
merujuk pada kewenangan Notaris yang diaplikasikan dalam transaksi elektronik.
Cyber notary adalah konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi dalam menjalankan
tugas-tugas dan kewenangan notaris. Digitalisasi dokumen merupakan tantangan bagi notaris,
terutama berkaitan dengan otentikasi dan legalisasi dokumen. manfaat dari cyber notary
adalah mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan sehingga jarak
bukan menjadi masalah lagi. Pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun
Singapura, dapat mengikuti RUPS dengan menggunakan media telekonferensi dengan
pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh notaris di Indonesia.

Edmon Makarim, 2013, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic
Notary, Rajawali Pers, ed. ke-2, Jakarta, hal. 133.

4
Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham
yang berada di luar negeri tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS dan hak suaranya
tetap dihitung dalam quorum kehadiran. Konsep mengenai pelaksanaan RUPS secara
telekonferensi sudah diatur dalam pasal 77 ayat (1) UUPT, yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi,
atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling
melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.4
Berkenaan dengan pelaksanaan cyber notary tersebut, pada awalnya ketentuan mengenai
pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan dapat masuk ke dalam salah satu Pasal
pada perubahan UUJN. Namun hal tersebut tidak bisa terpenuhi. UUJN No. 30 tahun 2004
tidak mengatur mengenai cyber notary. UUJN No. 2 tahun 2014 menyebutkan mengenai
cyber notary, namun tidak memberikan definisi yang normatif. Walaupun begitu, Pasal 15
ayat (3) perubahan UUJN mengatur bahwa notaris juga mempunyai kewenangan lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3),
kewenangan lain yang dimaksudkan tersebut adalah juga termasuk kewenangan
mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik atau cyber notary. Sesungguhnya
kewenangan ini tidak terlalu tepat apabila dirujuk sebagai sertifikasi, karena makna yang
dituju sebenarnya adalah bertujuan untuk menguatkan atau penguatan dari konsep cyber
notary tersebut, sehingga bisa dianggap sah secara hukum (legal). Salah satu bentuk
penguatan atau legalisasi secara elektronik ini adalah dalam bentuk time stamp, atau
mengesahkan terjadinya suatu transaksi pada waktu tertentu yang dilaksanakan antara para
pihak. Bentuk legalisasi secara konvensional diantaranya adalah pengesahan tanda tangan
dalam suatu dokumen, yang juga diatur sebagai salah satu kewenangan notaris berdasarkan
UUJN.
Dalam hal konsep cyber notary yang oleh sebagian ahli hukum dikembangkan dengan
pemanfaatan media elektronik secara telekonferensi, ternyata sebagaimana dikemukakan
Edmon Makarim, selama ini ada sedikit kesalah pahaman terhadap penafsiran frasa dari
“dihadapan” sesuai dengan Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan dengan cyber notary.
Yang mengidentikkan dengan pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal
tidak. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 UUJN merumuskan Akta Notaris
adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan Undang-Undang ini. Selanjutnya, pasal 16 ayat (1) huruf i merumuskan,
‘Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan
4
Niniek Suparni, 2009, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

5
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit d (dua) orang saksi dan ditandatangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris’. Prinsip kerja cyber notary tidak jauh
berbeda dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para
notarisnya. Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing
komputer, setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik
di kantor notaris. Jadi aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi
para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya menggunakan webcam,
negara lain juga belum menggunakan metode itu.5
Bilamana dicermati hubungannya berdasarkan analisa uraian-uraian sebelumnya, serta
dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 15 ayat 3 Perubahan UUJN yang berfungsi sebagai
tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang – undangan atas norma tertentu dalam batang
tubuh Perubahan UUJN, maka ditarik kesimpulan bahwa konsep cyber notary yang telah
diakomodir adalah dalam hal kewenangan dalam mencetak dan melegalisasi surat dan/ atau
mencetak sertifikat yang dicetak melalui sistem Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum secara online (Ditjen AHU online).
Keberhasilan penggunaan dan pemanfaatan TIK dengan penerapan konsep cyber notary
dalam Ditjen AHU online, telah mendorong para notaris untuk menggunakan dan
memanfaatkan TIK, sistem ini merupakan sistem administrasi badan hukum (SABH) yang
telah mengalami beberapa kali pengembangan, terakhir dilakukan pengembangan yang
revolusioner dalam hal efisiensi waktu, yakni dengan waktu pelayanan yang dahulunya
memakan waktu dalam hitungan hari sekarang dapat dilakukan dalam hitungan menit.
Melalui Ditjen AHU online proses birokrasi diperpendek dengan tidak diperlukan lagi
pertemuan antara penyedia jasa dan pemakai jasa sehingga peluang terjadinya korupsi, kolusi
dan nepotisme dapat dihindarkan. Yang mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat
dalam membangun good governance menuju clean government dengan mengutamakan
pelayanan yang profesional, cepat, tepat, efisien, murah dan bebas punggutan liar. Kemudian
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi para Notaris dalam memberikan kepastian waktu
penyelesaian pelayanan terhadap masyarakat, dengan demikian berdampak pada
berkembangnya perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Namun jika melihat dari keberadaan Notaris di Indonesia yang masih tradisional karena
adanya penerapan asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo, dimana dalam asas ini
menyatakan bahwa notaris harus bekerja secara tradisional merupakan suatu kewajiban
5
Ibid, hal. 135.

6
formil yang lahir dari asas tersebut, konsep cyber notary belum bisa dapat diterapkan di
Indonesia, sebab pada kewenangan yang telah dijelaskan diatas hanya sebatas penggunaan
dan pemanfaatan TIK dengan penerapan konsep cyber notary dalam Ditjen AHU online.
Perbedaan konsep cyber notary antara Common Law dan Civil Law terutama di
Indonesia berimplikasi terhadap kekuatan pembuktian daripada akte tersebut. Notaris di
Indonesia bertanggung jawab legalitas dokumen yang diberikan stempel olehnya, sedangkan
notary public yang dianut oleh negara Common Law tidak bertanggung jawab terhadap
legalitas terhadap dokumen yang distempel olehnya. Disini sangat jelas menunjukkan bahwa
dengan adanya asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo ini memiliki arti dan manfaat
yang mendalam bagi para pihak yang mengadakan perjanjian yang dituangkan dalam bentuk
komparisi sehingga terpenuhilah prinsip kepastian hukum di negara Indonesia.
Sehingga dari penjelasan tersebut diatas pada prinsipnya ada perbedaan konsep notaris
menurut sistem hukum Common Law dan Civil Law.
Berikut merupakan perbedaan Notaris Common Law dan Notaris Civil Law :
Pembanding Common Law Civil Law
Nama Jabatan Public Notary atau Notaris Notaris
Publik
Kewenangan Di beberapa Negara Menyusun, memastikan
Common Law, Notaris legalitas dan kepastian
adalah Praktisi yang instrument dan keaslian
berkualifikasi dan tanda tangan yang disajikan
berpengalaman, terlatih kepada mereka,
dalam penyusunan dan menyediakan juga fungsi
pelaksanaan dokumen fidusia public. Memberikan
hukum. Di Negara-negara legal advice kepada para
common law lainnya, notaris pihak dengan adil.
adalah pelayan public yang
ditunjuk oleh badan
pemerintah untuk
menyaksikan
penandatanganan dokumen
penting (seperti akta dan
hipotek) dan mengelola

7
sumpah.
Syarat Tidak selalu dibutuhkan Dilakukan oleh ahli hukum
pendidikan khusus tambahan serta harus mengikuti
atau magang pendidikan khusus, ujian,
dan magang
Kekuatan Pembuktian Sistem hukumnya tidak Akta notaris mempunyai
memberikan banyak kekuatan bukti formil,
perhatian terhadap tulisan materiil bahkan dalam
sebagai alat bukti. Jadi, tidak perbuatan hukum tertentu
dikenal perbedaan seperti juga mempunyai kekuatan
akta autentik dengan akta eksekutorial.
dibawah tangan

2.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Dalam Konsep Cyber Notary


Keberadaan profesi notaris harus didasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Didalam peraturan Jabatan Notaris terkandung unsur-unsur yang meliputi norma
atau kaidah dan object yang diatur. Norma atau kaidah yang mengatur jabatan notaris
tertuang di dalam UUJN No. 2 Tahun 2014, sedangkan object yang diatur dalam UUJN
adalah jabatan notaris. Jabatan notaris dikonsepkan sebagai pekerjaan atau kewenangan yang
diberikan oleh hukum kepada notaris. 6
Kewenangan notaris, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan notary authority,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan de notaris autoriteit merupakan kekuasaan
yang diberikan undang-undang kepada notaris untuk membuat akta autentik dan kekuasaan
lainnya. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan dari notaris untuk melaksanakan
jabatannya. Kewenangan notaris dibagi menjadi dua macam, yaitu: 7
a. Kewenangan membuat akta autentik, dan
b. Kewenangan lainnya
Kewenangan lainnya merupakan kekuasaan yang telah ditentukan oleh undang-undang
jabatan notaris dan undang-undang lainnya. Maksud dari kewenangan ini antara lain
kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),
membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.

6
HS, H.S, 2018, Peraturan Jabatan Notaris, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 7.
7
Ibid.

8
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
menyatakan bahwa: “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini.” Mengenai bentuk dari akta notaris seperti yang telah dinyatakan
tersebut diatas, dijelaskan lebih detail pada Pasal 38 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014,
yaitu: Setiap akta terdiri atas: Awal akta atau kepala akta, Badan akta, Akhir atau penutup
akta.
Adanya perbedaan sistem hukum antara Coomon Law dan Civil Law menimbulkan
perbedaan teori mengenai keauntetikan dari produk yang dihasilkan oleh seorang notaris,
yaitu (i) teori tentang keauntetikan secara teknis dan (ii)teori keauntetikan secara hukum.
Secara teknis, sesungguhnya keauntetikan suatu informasi elektronik ditentukan oleh
akuntabilitas atau sejauh mana reliabilitas terhadap sistem elektronik itu sendiri. 8 Hal ini
sesuai dengan konsep dari sistem hukum Common Law. Sementara itu, secara hukum,
keauntetikan pada umumnya dipahami hanya jika terhadap suatu proses penciptaan informasi
dilakukan dengan prosedur yang ketat. Hal ini sejalan dengan konsep dari sistem hukum Civil
Law.9
Pasal 1869 KUHPerdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan
karena: 1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau
2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan; atau
3. Cacat dalam bentuknya.
Akta notaris dapat menjadi akta otentik apabila memenuhi persyaratan perundang-
undangan terutama Pasal 1868 KUHPerdata. Berdasarkan pengertian akta otentik pada Pasal
1868 KUHPerdata, maka ada 3 (tiga) syarat akta otentik, yaitu:
1. Akta harus dibuat dalam bentuk dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.
3. Pejabat harus memiliki wewenang untuk membuat akta itu.
Menurut Retnowulan Sutantio,10 akta autentik dipahami mempunyai tiga aspek, yakni: (1)
kekuatan pembuktian formil, karena membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut, (2) kekuatan pembuktian materiil karena

8
Edmon Makarim edisi ke tiga, op cit hal. 21.
9
Ibid, hal. 22.
10
Retowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Bandung,
Mandar Maju, 1997, hal. 76-68

9
membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa tersebut dalam akta telah
terjadi; dan (3) kekuatan pembuktian ke luar yang mengikat, karena keberlakuannya juga
mengikat kepada pihak ketiga di luar para pihak. Hal yang tidak jauh berbeda juga diutarakan
oleh GHS Lumban Tobing, bahwa akta autentik mempunyai tiga kekuatan pembuktian, (1)
kekuatan pembuktian lahiriah, karena akta itu sendiri mampu membuktikan sendiri
keabsahannya; (2) kekuatan pembuktian formal karena akta tersebut dijamin kebenaran
formalnya oleh pejabat sebagaimana telah diuraikan dalam akta, dan (3) kekuatan
pembuktian material karena akta tersebut memuat substansi/isi yang lengkap dan dianggap
kebenaran (kepastian sebagai yang sebenarnya) untuk diberlakukan kepada setiap orang atau
pihak ketiga.
Kewenangan notaris dalam membuat akta otentik, jika dihubungkan dengan konsep
cyber notary seperti tidak ada peluang bagi terciptanya akta elektronik yang sejajar
kedudukannya dengan akta otentik menurut Emma Nurita, karena sejak lahirnya UU No. 30
Tahun 2004, belum ada peraturan perundang-undangan diatas tahun tersebut yang bisa
menjadi rujukan atau Yurisprudensi dari Mahkamah Agung yang dapat memberi peluang
bagi kewenangan notaris dalam pembuatan akta elektronik yang bernilai otentik. 11
Untuk
melengkapi kewenangan tersebut, dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008, pada pasal 5
menentukan bahwa:
(1). Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah.
(2). Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
di maksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia.
(3). Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4). Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
akta Notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (4) UU ITE tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
UU ITE membatasi dalam hal dokumen elektronik tidak berlaku terhadap dokumen atau Akta
Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT),
11
R.A. Emma Nurita, Pemahaman Awal Dalam konsep Pemikiran, Bandung, Refika Aditaman, 2012, h. 6-7.

10
artinya Akta Notaris yang dibuat secara elektronik tidak memperoleh kekuatan hukum
sebagai bukti yang sah menurut ketentuan UU ITE. Dengan pembatasan makna dari
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) UU
ITE tersebut, maka Akta autentik yang dibuat secara elektronik oleh Notaris dianggap tidak
dapat menjadi alat bukti yang sah sehingga keautentikan dari Akta yang dibuat oleh Notaris
tidak terpenuhi.
Menurut Edmond Makarim, ahli hukum dengan berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata
dan Pasal 164 Hukum Acara Perdata (Herziene Indonesisch Reglement/HIR) akan
menyatakan bahwa yang lebih autentik adalah akta notaris karena diakui oleh hukum sebagai
akta autentik, ketimbang informasi elektronik yang masih dapat diragukan secara hukum. 12

Pada dasarnya hukum Acara Perdata membedakan bukti tulisan sebagai surat (yang bertanda
tangan) dan akta (yang terdapat tanda tangan) baik yang dibuat oleh para pihak sebagai akta
bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum (akta autentik). 13
Eddy O.S. Hiariej juga berpendapat bahwa, akta notaris terhadap pemberlakuan cyber
notary tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik. Hingga
saat ini akta notaris terhadap pemberlakuan cyber notary hanya dianggap sebagai akta di
bawah tangan yang disamakan dengan dokumen, surat, sertifikasi elektronik. Namun
kekuatan mensertifikasi tersebut tidaklah sama dengan suatu akta otentik yang tetap
berpegang pada ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.14
Dalam hal pembuktian dalam persidangan, ketentuan dalam Pasal 23 ayat 3 Keputusan
Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 yang
menentukan bahwa salinan putusan/penetapan secara elektronik tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti yang sah. Mengutip dari pendapat Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H.,
M.H selaku Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA bahwa Keputusan Direktur
Jenderal Badan Peradilan Umum tersebut berarti Peradilan Umum khususnya tetap wajib
mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat dipergunakan sebagai alat
bukti. Sesuai dengan maksud Penjelasan Pasal 6 UU ITE maka, “Keaslian putusan dalam
bentuk dokumen elektronik dengan putusan asli yang ditandatangani oleh majelis hakim tidak
perlu dibandingkan karena dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan
salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya

12

Edmond Makarim, S.Kom., op cit, h. 27.


13
Ibid, h. 28
14
Eddy O.S. Hiariej. 2014. “Telaah Kritis Konsep Cyber Notary dalam Sudut Pandang Hukum Pembuktian”.
Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional “Membangun Hukum Kenotariatan Di Indonesia”. Yogyakarta.

11
beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat
dibedakan lagi dari salinannya.” 15
Hal ini semakin mempertegas bahwa dalam perspektif
legalitasnya status kedudukan akta elektronik yang dibuat oleh notaris bukan sebagai akta
otentik melainkan menjadi akta dibawah tangan.
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan akta notaris terhadap pemberlakuan cyber
notary dimana akta notaris berbentuk elektronik (akta elektronik), maka kekuatan akta notaris
tersebut tidak memiliki pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik, hal tersebut karena
akta notaris terhadap pemberlakuan cyber notary dimana akta notaris berbentuk elektronik
(akta elektronik) tersebut tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, selain itu UUJN-P
dan UU ITE juga belum mengakomodirnya.

15

Mahkamah Agung Republik Indonesia https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-


elektronik-di-persidangan-perdata (Diakses 12 Desember 2021)

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Berkenaan dengan pelaksanaan cyber notary di Indonesia, pada awalnya
ketentuan mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan
dapat masuk ke dalam salah satu Pasal pada perubahan UUJN. Namun hal
tersebut tidak bisa terpenuhi. UUJN No. 30 tahun 2004 tidak mengatur
mengenai cyber notary. UUJN No. 2 tahun 2014 menyebutkan mengenai
cyber notary, namun tidak memberikan definisi yang normatif. Walaupun
begitu, Pasal 15 ayat (3) perubahan UUJN mengatur bahwa notaris juga
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), kewenangan lain yang
dimaksudkan tersebut adalah juga termasuk kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik atau cyber notary.
Perbedaan konsep cyber notary antara Common Law dan Civil Law terutama
di Indonesia berimplikasi terhadap kekuatan pembuktian daripada akte
tersebut.
Dengan adanya asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo ini memiliki arti
dan manfaat yang mendalam bagi para pihak yang mengadakan perjanjian
yang dituangkan dalam bentuk komparisi sehingga terpenuhilah prinsip
kepastian hukum di negara Indonesia.
Sehingga pada prinsipnya ada perbedaan konsep notaris menurut sistem
hukum Common Law dan Civil Law.

2. Jabatan notaris dikonsepkan sebagai pekerjaan atau kewenangan yang


diberikan oleh hukum kepada notaris. Kewenangan notaris dibagi menjadi dua
macam, yaitu kewenangan membuat akta autentik, dan kewenangan lainnya.
Kewenangan lainnya merupakan kekuasaan yang telah ditentukan oleh
undang-undang jabatan notaris. Maksud dari kewenangan ini antara lain

13
kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber
notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Kewenangan
notaris dalam membuat akta otentik, jika dihubungkan dengan konsep cyber
notary seperti tidak ada peluang bagi terciptanya akta elektronik yang sejajar
kedudukannya dengan akta otentik. Pasal 5 ayat (4) menunnjukkan bahwa
pembuatan akta secara elektronik belum bisa diterapkan dalam prakteknya
karena kekuatan pembuktiannya setara dengan akta dibawah tangan, hal ini
disebabkan belum adanya pengaturan yang jelas perihal adanya akta notaris
secara elektronik selain itu unsur keotentikan sebuah akta secara elektronik
belum terpenuhi dalam ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, namun pada pasal
tersebut diatas memberikan peluang akan terwujudnya konsep cyber notary.
Hal ini semakin mempertegas bahwa dalam perspektif legalitasnya status
kedudukan akta elektronik yang dibuat oleh notaris bukan sebagai akta otentik
melainkan menjadi akta dibawah tangan.

3.2 Saran
Perlu dilakukan perubahan (revisi) terhadap UUJN dan UU ITE, dan melakukan harmonisasi
hukum antara berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, sehingga terjadi
sinkronisasi hukum antara undang-undang yang ada, yang mengatur tentang otensitas dari
akta autentik dan kekuatan akata elektronik dalam pembuktian yang selama ini menjadi
kendala dalam pembuatan akta secara elektronik oleh notaris.

14
Daftar Pustaka
Buku
Edmon Makarim, 2013, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang
Cybernotary atau Electronic Notary, Rajawali Pers, ed. ke-2, Jakarta.

Niniek Suparni, 2009, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar


Grafika, Jakarta.
HS, H.S, 2018, Peraturan Jabatan Notaris, Sinar Grafika, Jakarta.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung.
RA. Emma Nurita, 2012, Cyber Notary Pemahaman Awal Dalam Konsep Pemikiran, Refika
Aditama, Bandung.
Tesis

Benny, 2014, Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014, Tesis, Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Jurnal
Eddy O.S. Hiariej. 2014. “Telaah Kritis Konsep Cyber Notary dalam Sudut Pandang Hukum
Pembuktian”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional “Membangun Hukum
Kenotariatan Di Indonesia”. Yogyakarta.
Wijaya, A. W., (2018). Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta dalam Bentuk
Elektronik.Viva Justicia UGM https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/konsep-
dasar-cyber-notary-keabsahan-akta-dalam-bentuk-elektronik/ 2(4), 393.
Internet

Mahkamah Agung Republik Indonesia


https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-elektronik-di-
persidangan-perdata.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

16

You might also like