You are on page 1of 18

MAKALAH

WALIMAH

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat dan Mawaris

Dosen Pengampu: Ainun Yudhistira, M. HI

Disusun oleh:

Kelompok 4

1. Merlinda Faradila (203111177)


2. Halimah Nur Baiti (203111181)
3. Nisa Nur Zakiyah (203111182)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan yang Maha Esa, yang
telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat waktu tanpa kurang suatu apapun. Kemudian sholawat serta salam penulis
haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, dan semoga kita semua mendapatkan
syafaatnya kelak di hari akhir.

Penulisan Makalah yang berjudul “Walimah” bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqh Munakahat dan Mawaris. Alhamdulillah, selama proses penyusunan makalah,
penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis
berterima kasih kepada:

1. Bapak Ainun Yudhistira, M. HI selaku dosen mata kuliah Fiqh Munakahat dan Mawaris.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan menyediakan fasilitas untuk
pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman di kelas 4 F yang telah memberikan dukungan berupa semangat.

Dengan demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, besar harapan penulis agar pembaca berkenan dapat memberikan
umpan balik yang berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pembaca. Aamiin.

Ngawi, 2 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAAN JUDUL........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .......... ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI......................... ............................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......... ............................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ..... ............................................................................................. 4
C. Tujuan Pembahasan... ............................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Walimah......................................................................................... 5
B. Dasar Hukum Walimah........................................................................................... 6
C. Tata Cara Pelaksanaan Walimah ............................................................................ 6
D. Hukum Menghadiri Undangan Walimah ................................................................ 14
E. Hikmah Melaksanakan Walimah ............................................................................ 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............... ............................................................................................. 17
B. Saran ......................... ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........... ............................................................................................. 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia pada umumnya diciptakan Allah secara berpasang pasangan,
melalui pernikahan inilah seorang pria akan menjadi pasangan hidup seorang wanita
yang dicintainya sebagai imamnya. Begitu juga sebaliknya seorang wanita akan menikah
Dengan pria yang dicintainya. Sebelum memasuki pernikahan, baik pria ataupun wanita
biasanya menjalani berbagai macam tahap hubungan, seperti berta‟aruf. Kemudian
mereka akan memasuki tahap yang lebih serius dan lebih sakral yaitu tunangan, lamaran,
ijab qobul hingga perayaan perkawinan yang biasa disebut walimatul „ursy.
Pernikahan adalah momen yang sangat membahagiakan dalam kehidupan
seorang maka dianjurkan untuk mengumumkan perkawinan itu kepada khalayak, salah
satunya melalui Walimah (pesta pernikahan) untuk membagi kebahagiaan itu kepada
orang lain seperti dengan para tetangga, kerabat, teman ataupun bagi mereka yang
kurang mampu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari walimah?
2. Bagaimana dasar hukum walimah?
3. Bagaimana tata cara pelaksanaan walimah?
4. Bagaimana hukum menghadiri undangan walimah?
5. Apa saja hikmah melaksanakan walimah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari walimah
2. Untuk mengetahui dasar hukum walimah
3. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan walimah
4. Untuk mengetahui hukum menghadiri undangan walimah
5. Untuk mengetahui hikmah melaksanakan walimah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Walimah
Walimah berasal dari bahasa arab (‫َح‬ٞ‫ )اى٘ى‬yang artinya adalah Al-Jam‟u yaitu
berkumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat, dan
para tetangga. Walimah juga berasal dari bahasa arab (ٌ‫ )اى٘ى‬yang artinya adalah makanan
pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta
perkawinan, atau juga bisa diartikan sebagai makanan untuk para tamu undangan atau
yang lainnya.
Ibnu Katsir, mengemukakan bahwa walimah, adalah:
ً‫ اىطؼا‬ٛ‫صْغ اىز‬ٝ ‫ػْذاىؼشػ‬
“Yaitu makanan yang dibuat untuk pesta perkawinan”
Walimatul 'ursy adalah makanan yang dihidangkan berkaitan dengan
berlangsungnya akad nikah. Mayoritas ulama menganggapnya sebagai Sunnah Muakkad
(perbuatan yang sangat dianjurkan) berdasarkan sabda Nabi Saw: “selenggarakanlah
walimah walau (hanya) dengan seekor domba)” (HR. Muslim).
Dalam kamus hukum, walimatul 'ursy adalah makanan pesta pengantin atau
setiap makanan untuk undangan dan lain sebagainya. Sedangkan definisi dari
kebanyakan ulama, walimatul 'ursy adalah pesta pernikahan dalam rangka mensyukuri
nikmat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan
makanan.
B. Dasar hukum walimah
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum mengadakan walimah pernikahan
adalah wajib, sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukumnya adalah
sunnah mu‟akkad.
Agama Islam mengajarkan bahwa perkawinan merupakan peristiwa yang harus
disambut dengan rasa syukur dan gembira. Walimah dalam islam tergolong perbuatan
yang mustahab (dianjurkan).
Sebagian ulama Syafiyah berpendapat bahwa hukum walimah itu wajib. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa Rasulullah SAW. selalu mengadakan walimah pada
setiap pernikahan beliau, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dan baik dalam

5
keadaan mukim atau sedang dalam perjalanan. Belum lagi ditambah dengan sabda
Rasulullah SAW. kepada Abdurrahman bin Auf:
ٌ‫ج تشا ٗىٌ أٗى‬
“Adakanlah walimah walau hanya dengan memotong seekor kambing” (HR. Bukhari).
Hal yang sama juga pernah dilontarkan Rasulullah SAW. kepada Ali bin Thalib
ketika melamar putri beliau SAW, Fathimah binti Muhammad SAW:
ّٔ‫َح ٍِ تذىيؼشٗط ال إ‬ٞ‫ٗى‬
“Harus ada walimah untuk pengantin” (HR. Ahmad)
Kemudian ulama yang lainnya sepakat bahwa mengadakan walimatul „ursy
hukumnya adalah Sunnah muakkad. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah
Saw. sebagai berikut:
ِ‫قاه اّظ ػ‬: ٌ‫ (ص)هللا سع٘ه ٍااٗى‬ٚ‫ ػي‬ٜ‫ ّغا ٍِ ء ش‬،ٔ‫ ىٌ اٗ ٍا ئ‬ٚ‫ْة ػي‬ٝ‫ اىثخش سٗآ)تشاج اٗىٌ ص‬ٙ ٌ‫ٓ( ٍٗغي‬
“Dari Anas, ia berkata “Rasulullah Saw. belum pernah mengadakan walimah untuk
istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau mengadakan
walimah untuknya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim).
)‫ٖح (سٗآ احَذ‬ٞ‫ فا طَح قاه سع٘ه هللا (ص) أّ ال تذىيؼش ط ٍِ ٗى‬ٚ‫ػِ تشدجقاه ىَا خطة ػي‬
“Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah Saw. bersabda,
“sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya”. (HR. Ahmad).
ّٔ‫ اٗىٌ (ص)هللا سع٘ه ا‬ٚ‫ِ تَذ ئٔ ّغا تؼض ػي‬ٝ ٍِ ‫ش‬ٞ‫ سٗآ)شؼ‬ٙ‫ٓ( اىثخش‬
“Rasulullah Saw. mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud
gandum.” (HR. Bukhari).
Beberapa hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh
diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi
SAW. Bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau melebihkan
salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit
atau lapang.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka jumhur ulama‟ sepakat bahwa
mengadakan walimatul „ursy itu hukumnya sunnah mu‟akkad, bukan kategori perintah
wajib, karena kandungan makna yang terpenting dari walimatul „ursy adalah
memberikan hidangan makanan kepada masyarakat sebagai wujud kebahagiaan atas
terlaksananya sebuah pernikahan, dan walimatul „ursy ini tidak berbeda jauh dengan
pesta-pesta lainnya.
C. Tata cara pelaksanaan walimah

6
Dalam pelaksanaan walimatul „ursy, ada beberapa cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu
sebagai berikut:
1. Hendaknya mengadakan walimahnya semampunya dan tidak berlebihan sehingga
memberatkan diri.
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk
mengadakan walimatul 'ursy, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk
maksimum dari walimatul 'ursy. Hal ini memberi isyarat bahwa walimatul „ursy itu
diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang melaksanakan pernikahannya,
agar dalam pelaksanaan walimatul „ursy tidak ada pemborosan, kemubadziran, lebih-
lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri. Sebagai perbandingan
dikemukakan beberapa bentuk walimatul „ursy yang diadakan di zaman Rasulullah.
Seperti yang telah disebutkan dalam hadits berikut, yang artinya:
ِ‫ ج اٍشا صافد اّٖا ئشح ػا ػ‬ٚ‫ ُ سجو اى‬ٛ‫األّصاس‬. ‫ فقاه‬ٜ‫ (ص) اىْث‬. ‫ا‬ٝ ‫ٍِ ٍؼنٌ ُ ما ٍا ئشح ػا‬
،ٖ٘‫ؼجثٌٖ األّصاس فئُ ى‬ٝ ٖ٘‫ سٗآ)اىي‬ٛ‫ٓ(احَذ ٗ اىثخاس‬
“Dari 'Aisyah, setelah seorang mempelai perempuan dibawa ke rumah
mempelai laki-laki dari golongan Anshar, maka Nabi Saw. bersabda “Ya „Aisyah,
tidak adakah kamu mempunyai permainan, maka sesungguhnya orang Anshar
tertarik pada permainan.” (HR. Bukhari dan Ahmad).

2. Mengundang keluarga, tetangga dan sahabat yang dikenal untuk menghubungkan tali
silaturahmi. Diutamakan mengundang orang-orang yang baik dan shalih.
Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang
beriman. Dan janganlah memakan hidanganmu kecuali orang yang bertakwa.” (Adu
Dawud, At-Tirmidzi).
3. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya dan melupakan orang miskin, karena
itu termasuk perbuatan yang dibenci.
Rasulullah bersabda, “makanan paling buruk ialah makanan yang disuguhkan
saat walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya dan melupakan kaum
miskin.” (Shahih Bukhari dan Muslim).
4. Dilarang mengisi walimah dengan kegiatan dan acara-acara yang mengundang
maksiat dan melanggar perintah Allah.
5. Wajib menghadiri walimah bagi yang diundang jika tidak ada halangan (udzur
syar‟i).
6. Memisahkan tempat untuk undangan laki-laki dan undangan perempuan.

7
7. Tidak memamerkan pemberian kepada calon istri.
8. Memakai pakaian pesta yang membuka aurat, atau pakaian yang berlebihan, baik
pengantin maupun undangan.
Pandangan Manhaj Salaf tentang proses dan tata cara pelaksanaan walimatul
„ursy yang menyimpang dari ajaran agama Islam di zaman modern adalah sebagai
berikut:
1. Seputar pelaksanaan walimatul „ursy
Para imam mazhab dalam hal ini berbeda pendapat, antara setelah kedua
pengantin berhubungan intim atau sebelumnya, Malikyyah dan Hanafiyyah
memandang bahwa waktu diadakannya walimah adalah sebelum atau sesudahnya,
sebagian Malikiyyah menganjurkan untuk diadakan sebelum berhubungan, dengan
tujuan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan kedua
mempelai, dan Maliki memandang agar dilaksanakan setelahnya. Dan boleh
dilaksanakan berulang-ulang apabila pemilik hajat, mempunyai banyak tamu
undangan. Adapun Hanabilah, memandang waktu walimah itu sangat panjang,
semenjak dimulainya pernikahan hingga usainya, tanpa adanya ketetapan, dan tidak
ada larangan sesuai dengan adat yang berjalan. Dalam syariat Islam, walimah itu
hanya berjalan selama dua hari sedangkan hari yang ketiga itu adalah makruh.

‫َح‬ٞ‫ً٘ أٗه اى٘ى‬ٝ ،‫ِ حق‬ٝ‫ ٗاىثا‬،‫اء ٗاىثاىث ٍؼشٗف‬ٝ‫شَٕا ٍاجح ٗاتِ أت٘داٗد سٗآ) ٗعَؼح س‬ٞ‫ٓ(ٗغ‬

Walimah pada hari pertama itu benar, pada hari kedua dikenal dan pada hari ketiga
adalah riya‟ dan sum‟ah. (H.R Abu Dawud).
Dalam kaitannya dengan waktu penyelenggaraan walimah, Syafi‟iyyah
memandang bahwa waktunya sangatlah panjang, bisa diadakan ketika akad
pernikahan dilaksanakan dan juga setelah kedua mempelai melakukan hubungan
intim. Namun, beliau berpendapat bahwa lebih utama apabila dilaksanakan setelah
suami istiri berhubungan intim. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim yang artinya bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak mengadakan
kegiatan Walimah atas istri-istrinya kecuali setelah melakukan hubungan.
Berdasarkan waktu pelaksanaan walimah, terdapat perbedaan pandangan
keempat mazhab, namun penulis memandang bahwa waktu pelaksanaan yang paling
utama adalah pada hari pertama akad pernikahan, sesuai dengan hadis Nabi SAW.

8
Selain itu, bahwa waktu tersebut merupakan, waktu dimana kedua mempelai berada
pada puncak kebahagiaannya.
Walimatul „ursy dilaksanakan atau diadakan ketika acara akad nikah
berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau
sesudahnya. Walimatul „ursy juga bisa diadakan menurut adat dan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
Beberapa ulama berpendapat bahwa walimatul „ursy sunnahnya dilaksanakan
selama tiga hari. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa walimatul „ursy dilaksanakan
selama tujuh hari. Namun yang terjadi pada masyarakat pada umumnya, walimatul
„ursy dilaksanakan satu sampai dua hari saja.
- Wanita bermake-up (tabarruj)
Bagi pengantin wanita dan tamu undangan wanita dilarang berlebih-lebihan
dalam memakai make-up karena make-up (tabarruj) adalah mengungkapkan atau
menunjukkan kecantikan wajah. Al-Bukhari pernah berkata, “tabarruj adalah
seorang wanita yang memperlihatkan kecantikan wajahnya.” Untuk menjaga
kehormatan, seorang wanita yang telah berakal lagi baligh hendaklah ia
menghindarkan dirinya dari make-up (tabarruj).
- Nyanyian dan hiburan dalam walimatul „ursy
Hiburan tersebut maksudnya adalah pada batasan-batasan yang Islami, akan
tetapi, bila mengeksploitasi kekejian yang mengandung birahi dalam hiburan dan
nyanyiannya maka haram hukumnya.
Menurut Malikiyah, hukum alat-alat musik seperti seruling dan terompet
adalah dimakruhkan jika tidak terlalu berlebihan sehingga dapat melupakan
segalanya. Jika terlalu berlebihan maka diharamkan, seperti alat-alat musik yang
lainnya, alat-alat music yang berdawai, nyanyian yang berisi kata-kata kotor, atau
mabuk-mabukan.
Alat musik rebana tidak dimakruhkan jika tidak ada rumbe-rumbenya
(sehingga menimbulkan bunyi lain), jika tidak demikian maka diharamkan.
Gendang besar yang tertutup kedua sisinya juga dimakruhkan.
Izz bin Abdul Salam bekata, adapun kecapi dan alat-alat lainnya berdawai,
seperti gitar dan cempelung, maka pendapat yang mashur dari empat madzhab
ialah memainkan dan mendengarkannya hukumnya ialah haram. Pendapat yang
paling benar ialah hal tersebut termasuk dosa-dosa kecil. Sebagian dari kalangan
sahabat, tabi‟in dan para imam mujtahid membolehkan hal itu.

9
Imam Ghazali mengatakan didalam kitabnya Al Ihya dalil teks dan qiyas
semuanya menunjukkan akan kebolehan mendengar dan alat musik seperti stik,
gendang, rebana dan lain-lain. Tidak ada yang dikecualikan dari hal itu melainkan
nyanyian yang membuat lupa, alat music yang berdawai serta seruling yang telah
diharamkan syariat, bukan karena hal itu enak didengar. Sebab kalau
pengharamannya karena enak didengar, pastilah hukumnya akan diqiyaskan
kepada hal-hal yang enak menurut manusia.
Adapun tarian para ahli fiqh berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa
itu hukumnya makhruh dan ada pendapat boleh. Sebagian lainnya berpendapat
bahwa harus dibedakan antara orang-orang yang berprofesi sebagai penari dengan
yang lainnya. Menari boleh dilakukan bagi orang-orang yang berprofesi penari dan
makruh bagi orang-orang selain mereka. Izz bin Abdus Salam berkata, pendapat ini
yang dapat diterima, mayoritas para fuqaha yang membolehkan mendengarkan
music berpendapat demikian.
- Bercampurnya wanita dan pria (ikhtilath)
Biasanya, dalam sebuah resepsi pernikahan yang baik, menata komposisi
antara undangan laki-laki dan perempuan dengan cara tidak mencampurnya.
Hal ini untuk menghindari “zina mata” dan “zina hati”. Islam sangat preventif
sekali dalam menanggapi zina. Islam tidak saja melarang perbuatan zina,
melainkan juga melarang segala perbuatan yang mendekati zina, diantaranya
menyuruh laki-laki menundukkan pandangan terhadap wanita:
ُ َ‫َحْ ف‬َٝٗ ٌْ ِٕ ‫اس‬
ٌْ ُٖ ‫ظ ْ٘ا فُ ُش ْٗ َج‬ ِ ‫ص‬َ ‫َغُض ُّْ٘ا ٍِ ِْ ا َ ْت‬ٝ ٍَِِِْْٞ ْ‫قُ ْو ِىّ ْي َُؤ‬
Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka
menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya. (QS. An- Nur:
30).
Maksud dari ayat diatas, kita harus bisa membatasi pandangan kepada lawan
jenis yang bukan mahromnya sehingga gejolak nafsu seks dapat kita redam dan
kita kendalikan. Berdasarkan pemahaman diatas, perilaku zina dalam pandangan
Islam tidak terbatas pada terjadinya persetubuhan antara laki-laki dan wanita yang
bukan istrinya. Akan tetapi pandangan mata terhadap lawan jenis yang bukan
mahromnya pun termasuk perbuatan zina: Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya
adalah melihat (yang bukan mahromnya). (HR. Bukhari).
Hendaknya tempat untuk tamu undangan dipisah antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pandangan terpelihara, mengingatketika

10
menghadiri pesta semacam ini biasanya tamu undangan berdandannya beda dan tak
jarang pula yang melebihi pengantinnya.
- Standing party (makan sambil berdiri)
Menyuguhkan makanan sambil berdiri dan tidak menyediakan tempat duduk
untuk makan dilarang oleh Islam. Alasannya, ajaran Islam mempunyai tata cara
yang sopan, yaitu bila mana seseorang makan atau minum haruslah duduk dengan
baik.
- Hanya mengundang orang-orang kaya saja
Rasululah Saw. bersabda:
ِ‫ ػ‬ٚ‫شج ات‬ٝ‫قاه (ص) هللا سعي٘ اُ ٕش‬: ‫َح اى٘ ً اىطَا شش‬ٞ‫َْؼٖا ى‬ٝ ٍِ ‫ٖا‬ٖٞ‫أذ‬ٝ ‫ذ‬ٝٗ ٚ‫ٖا ػ‬ٞ‫أتا ٍِ اى‬ٝ ‫ٍِٗ ٕا‬
ٌ‫جة ى‬ٝ ‫ فقذ ػ٘ج اىذ‬ٚ‫ٓ(ٍغيٌ سٗآ) ٗسع٘ىٔ هللا ػص‬
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “makanan yang
paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau
datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang
kepadanya (kaya). Barangsiapa tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya
ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR. Muslim).
2. Seputar biaya Walimatul „ursy
Biaya pernikahan yang tidak boleh dan menyimpang dengan ajaran Islam
adalah apabila pernikahan tersebut dilangsungkan secara berlebih-lebihan, bermegah-
megahan, serta memaksakan diri dengan berhutang kepada orang lain dan saling
membangga-banggakan diri atas pernikahan yang mewah tersebut.
Bentuk penyimpangan seputar biaya walimatul „ursy adalah sebagai berikut:
- Tradisi berlebih-lebihan ini bukan tradisi umat Islam bahkan tradisi ini diambil
dari umat Nasrani pada tata cara pernikahan mereka. Dan merupakan halyang
telah maklum bahwa tidak diperkenankan menyerupai orang-orang kafir
berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk darinya.” (HR. Abu Daud).
- Mubazir dan sikap berlebih-lebihan dalam menyiapkan tradisi ini
jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah agama yang pertengahan,
tidik berlebihan dan tidak pula dikurangkan. Tidak memaksakan sesuatu yang
tidak kita mampu, dan tidak melarang selama kita masih mampu selama masih
dalam batas kewajaran. Allah SWT berfirman:
َِْٞ‫ ُِحةُّ ْاى َُغ ِْش ِف‬ٝ ‫َّٗ ُميُ ْ٘ا َٗا ْش َشت ُْ٘ا َٗ َال ذُغ ِْشفُ ْ٘ ۚا أَِّّٗ َال‬
“makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak

11
menyukai orang yang berlebihan“ (Al-A‟raf: 31)
Hal ini memberi isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan
kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, agar dalam pelaksaan
walimah tidak ada pemborosan, kemubaziran, berlebih-lebihan serta menimbulkan
sifat angkuh dan membanggakan diri.
3. Seputar tamu undangan
Adab bagi tamu undangan adalah sebagai berikut:
- Menghadiri undangan walimah apabila dia diundang. Rasul bersabda:
َ ‫َأْذِ َٖا‬ٞ‫فَ ْي‬
َ ‫ أ َ َحذ ُ ُم ٌْ د ُ ِػ‬ٚ‫ ََ ِح إى‬ٞ‫اى٘ ِى‬
‫ إِرَا‬ٜ
“Apabila kalian diundang pada acara walimah, maka datangilah.” (HR. Bukhari
Muslim).
Namun jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk hadir (misal yang
mengundang berlainan provinsi yang untuk kesana butuh waktu dan biaya yang
tidak sedikit, atau kita sedang sakit), maka ucapan dan doa melalui telepon dan
sms atau media lain diperkenankan. Memenuhi undangan walimah hukumnya
wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam:
َ ، ْ‫ ُِجة‬ٞ‫ ٍُ ْف ِط ًشا َماَُ فَئ ِ ُْ فَ ْي‬،ٌْ ‫ُط ِؼ‬
َ ‫ أ َ َحذُ ُم ٌْ دُ ِػ‬َٚ‫ط َؼاً ِإى‬
‫ ِإرَا‬ٜ ْ ٞ‫صائِ ًَا َماَُ َٗ ِإ ُْ فَ ْي‬ َ ُٞ‫ فَ ْي‬ِْٜ‫َ ْؼ‬ٝ ‫اىذُّ َػا َء‬
َ ،ّ‫ص ِو‬
“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu.
Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang
berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan (orang yang mengundangnya).” (HR.
Muslim).
- Berpakaian rapi dan sopan serta tetap menutup aurat bagi wanita dan tidak
berlebih-lebihan dalam berhias.
- Tidak mengajak orang yang tidak diundang oleh tuan rumah. Namun bagi mereka
yang tidak diundang diperbolehkan meminta ikut kepada yang diundang tersebut,
selama diperkirakan bahwa tuan rumah akan mengijinkannya.
- Tidak sekedar untuk memuaskan nafsu perut, tetapi harus diniati untuk mengikuti
perintah syari‟at, menghormati saudaranya, menyenangkan hatinya,
mengunjunginya dan menjaga dirinya dari timbulnya buruk sangka jika dia tidak
memenuhi undangan itu.
- Meninggalkan acara walimah sesegera mungkin jika terdapat kemaksiatan disana.
Hendaknya kita menghindari terjadinya acara minum-minuman keras dan judi,
karena jelas dilarang oleh agama Islam, seperti dalam ayat berikut:

12
‫ُّ َٖا‬َٝ‫ا‬ٰٝٓ َِْٝ‫غ ُِش ْاىخ ََْ ُش اَِّّ ََا ا ٍَُْ ْٰٓ٘ا اىَّ ِز‬ْٞ ََ ‫صابُ َٗ ْاى‬ َّ ‫ذ ُ ْف ِي ُح َُْ٘ ىَ َؼيَّ ُن ٌْ فَاجْ رَِْث ُُْ٘ٓ اى‬
َ ّْ َ‫ْط ِِ َػ ََ ِو ِ ٍّ ِْ ِسجْ ظ َٗ ْاالَ ْص َال ًُ َٗ ْاال‬ٞ‫ش‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya minum khamr (arak),
berjudi, berkorban untuk berhala (sesajen) dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji, termasuk pekerjaan syaitan. Karena itu tinggalkan
agar kamu beruntung. (QS: Al-Maidah: 90).
- Mendoakan yang punya hajat (tuan rumah).
Doa yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
ٌُٖ ّ‫ اَىي‬،ٌْ ُٖ َ‫ ا ْغ ِف ْشى‬،ٌْ ُٖ َْ ‫اس َح‬ ِ ‫ ََا ىَ ُٖ ٌْ َٗ َت‬ْٞ ‫َسصَ ْقر َ ُٖ ٌْ ِف‬
ْ َٗ ‫اس ْك‬
“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang
Engkau karuniakan kepada mereka”
Dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
ٌُٖ ّ‫اس ْك اَىي‬
ِ َ‫ ََا ىَ ُٖ ٌْ ت‬ْٞ ِ‫ ف‬،ٌْ ُٖ َ ‫ َسصَ ْقر‬،ٌْ ُٖ َ‫اس َح َْ ُٖ ٌْ َٗا ْغ ِف ْشى‬
ْ َٗ
“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka,
ampunilah mereka dan sayangilah mereka.”
Atau dengan lafadz:
ْ َ‫ ٍَ ِْ أ‬،ْٜ ََِْ َ‫طؼ‬
ٌَّ ُٖ ّ‫ط ِؼ ٌْ اَىي‬ ْ َ‫ق أ‬
ِ ‫ ٍَ ِْ َٗأ َ ْع‬ْٜ ِّ‫عقَا‬
َ
“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan
berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku”
- Mendoakan kepada kedua mempelai dengan doa.
Doa yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
َ َ‫اسكَ ىَلَ هللاُ ت‬
َ‫اسك‬ َ َ‫ْلَ َٗت‬َٞ‫ َْ ُن ََا َٗ َج ََ َغ َػي‬ْٞ َ‫ ت‬ِٚ‫ْش ف‬ٞ‫َخ‬
“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga
Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan”
Dan tidak diperbolehkan mengucapkan doa “Birrafa‟ wal banin”, Ucapan
semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak tersebut, dilarang dalamIslam.
Hal ini sesuai dengan hadits: Dari Al-Hasan bahwa Aqil bin Abi Talib kawin
dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan
ucapan jahiliyah: “Bir rafa‟ wal banin”. Aqil bin Abi Talib mencegah, katanya:
“Jangan mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya”. Para tamu
bertanya: “Lalu, apa yang harus kami ucapkan ya Aba Zaid?” Aqil menjelaskan,
ucapkanlah: “Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan
melimpahkan atas kalian keberkahan”. Demikian ucapan yang diperintahkan
Rasul. (H.R An-Nasai, Ibnu Majah, dll).
4. Seputar Adab busana dan Tata Rias pengantin

13
- Menutup aurat.
- Tidak berpakaian dan berhias berlebih-lebihan.
- Mempelai pria tidak menggunakan sutera.
- Mempelai wanita tidak menyambung rambut.
- Mempelai wanita tidak menipiskan alis.
- Tidak mengikir gigi bagi mempelai wanita.
D. Hukum menghadiri undangan walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, serta menggembirakan orang yang
mengundang, maka orang yang diundang walimatul „ursy wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimatul „ursy apabila :
1. Tidak ada udzur Syar‟i.
2. Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar.
3. Tidak membedakan kaya dan miskin.
Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimatul „ursy adalah hadits Nabi
Saw. sebagai berikut:
ِ‫ ػ‬ٚ‫شج ات‬ٝ‫ هللا ه سع٘ اُ ٕش‬ٚ‫ٔ هللا صي‬ٞ‫ قاه ٗعيٌ ػي‬: ٍِٗ ‫ فقذ ػ٘ج اىذ ذشك‬ٚ‫ٗسع٘ىٔ هللا ػص‬
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Barangsiapa tidak
menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya”.
(HR. Bukhari)
‫ إرا‬ٜ‫ مٌ احذ داػ‬ٚ‫حة اى‬ٞ‫في‬. ُ‫ إ‬،ٌ‫ سٗآ) ذشك شاء شاءطؼ‬ٙ‫ٓ( ٗاحَذ اتخش‬
“Jika salah seorang diantaramu diundang makan, hendaklah diijabah (dikabulkan,
jikaia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki tinggalkanlah.” (HR. Bukhari dan
Ahmad).
ْٔ‫ه قا (ص) هللا سع٘ه أّ ٗػ‬: ‫د‬ٞ‫ ى٘دػ‬ٚ‫ جثد ال مشاع اى‬ٛ‫ ٗى٘إذ‬ٜ‫ اىثخش سٗآ) ىقثيد رساع اى‬ٙ(ٓ
“Nabi Saw. bersabda “andaikata aku diundang untuk makan kambing, niscaya aku
datangi, dan andaikata aku dihadiahi kaki depan kambing, niscaya aku terima.”
(HR.Bukhari).
Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka
tidak wajib mendatangi, tidak juga sunnah. Misalnya, orang yang mengundang berkata,
“Wahai orang banyak! Datangilah setiap orang yang kau temui.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
‫اّظ قاه‬: ‫ ذضٗج‬ٚ‫ فصْؼد ٕئ تا خو فذ (ص) اىْث‬ٍٚ‫ٌ اً ا‬ٞ‫غا عي‬ٞ‫ىد فقا ذ٘س فجؼيرٔ ح‬: ‫ا‬ٝ ٜ‫ تٔ ٕةء ار اخ‬ٚ‫اى‬
‫فقاه تٔ ٕثد فز (ص) هللا سع٘ه‬: ٔ‫ضؼ‬: ٌ‫ه قا ث‬: ‫د ٍِٗ ٗفالّا فالّا ادع‬ٞ‫د ٍِ ٗ عٌ ٍِ ػ٘خ فذ ىق‬ٞ‫سٗآ) ءىق‬
ٌ‫ٓ (ٍغي‬

14
“Anas berkata, “Nabi Saw. menikah lalu masuk bersama istrinya. Kemudian ibuku,
Ummu Sulaim membuat membuat kue, lalu menempatkannya pada bejana. Lalu ia
berkata, “wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah Saw. lalu aku bawa kepada
beliau. Maka, sabdanya “letakkanlah.” Kemudian, sabdanya lagi.” Undanglah si Anu
dan si Anu, dan orang-orang yang kau temui.” Lalu, saya mengundang orang-
orang yang disebutkan dan saya temui.” (HR. Muslim).
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan adalah wajib
kifayah. Namun, ada juga ulama yang mengatakan bahwa hukumnya adalah Sunnah,
akan tetapi dalam hal ini pendapat yang pertamalah yang lebih jelas.
Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah
sunnah muakkad. Sebagian golongan Syafi‟i berpendapat wajib. Namun, Ibnu Hazm
menyangkal bahwa pendapat ini dari Jumhur Sahabat dan Tabi‟in, karena hadits-hadits
diatas memberikan pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan
mempelai maupun undangan walinya.
Dalam “Fathul Bari” Al-Hafidh berkata “undangan itu wajib didatangi, apabila
memenuhi syarat sebagai berikut:”
- Pengundangnya mukallaf, merdeka, dan berakal sehat.
- Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang yang kaya saja, sedangkan
orang yang miskin tidak.
- Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi dan dihormati.
- Pengundangnya beragama Islam (pendapat yang lebih sah).
- Mengunjungi di hari yang pertama (andaikan walimah diadakan untuk beberapa hari)
- Belum didahului oleh orang lain. Kalau ada undangan lain maka undangan
yang pertama harus didahulukan.
- Tidak diselenggarakan kemungkaran dan hal-hal lain yang menghalangi
kehadirannya.
- Yang diundang tidak ada udzur syarak.
Baghawi berkata: “Undangan yang ada udzur, atau tempatnya jauh sehingga
memberatkan, maka boleh tidak usah hadir.”
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, apabila walimatul „ursy dalam pesta pernikahan
hanya mengundang orang-orang kaya saja, maka hukumnya adalah makruh. Nabi Saw.
bersabda:
ِ‫ ػ‬ٚ‫شج ات‬ٝ‫قاه (ص) سع٘ه اُ ٕش‬: ً‫َح اى٘ ششاىطؼا‬ٞ‫َْؼٖا ى‬ٝ ٍِ ‫ٖا‬ٖٞ‫أذ‬ٝ ‫ذ‬ٝٗ ٚ‫ٖا ػ‬ٞ‫أتإا ٍِ اى‬ٝ ٍِٗ ٌ‫جة ى‬ٝ
‫ فقذ ػ٘ج اىذ‬ٚ‫ٓ( ٍغيٌ سٗآ) ىٔ ٗسع٘ هللا ػص‬

15
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “makanan yang
paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau
datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang
kepadanya (kaya). Barangsiapa tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia
telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
ُ‫شج اتا ا‬ٝ‫ قاه ٕش‬: ‫َح اى٘ طؼٌ اىطؼاً شش‬ٞ‫ ى‬ٚ‫ذػ‬ٝ ‫ا اال ىٖا‬ْٞ‫رشك ء غ‬ٝٗ ‫ سٗآ) اىفقشء‬ٙ‫ٓ( اىثخش‬
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, “sejelek-jelek makanan ialah makanan
walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan
orang-orang miskin.” (HR. Bukhari)
E. Hikmah melaksanakan Walimah
Walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa hikmah, yaitu:
1) Merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
2) Sebagai tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3) Sebagai tanda resminya adanya akad nikah.
4) Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri.
5) Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah.
6) Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa mempelai pria dan wanita telah sah
atau resmi menjadi pasangan suami istri, sehingga masyarakat tidak akan curiga
terhadap perilaku yang diperbuat oleh kedua mempelai.
7) Dapat melaksanakan perintah Rasulullah Saw. yang menganjurkan kaum muslimin
untuk melaksanakan walimatul „ursy, meskipun hanya dengan acara yang sederhana
seperti menyembelih seekor kambing.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Walimah berasal dari bahasa arab (ٌ‫ )اى٘ى‬yang artinya adalah makanan pengantin,
maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan, atau
juga bisa diartikan sebagai makanan untuk para tamu undangan atau yang lainnya.
Jumhur ulama‟ sepakat bahwa mengadakan walimatul „ursy itu hukumnya
sunnah mu‟akkad, bukan kategori perintah wajib, karena kandungan makna yang
terpenting dari walimatul „ursy adalah memberikan hidangan makanan kepada
masyarakat sebagai wujud kebahagiaan atas terlaksananya sebuah pernikahan, dan
walimatul „ursy ini tidak berbeda jauh dengan pesta-pesta lainnya.
Tata cara pelaksanaan walimah, yaitu mengadakan walimah dengan semampunya
dan tidak berlebihan, mengundang keluarga, tetangga dan sahabat yang dikenal untuk
menghubungkan tali silaturahmi, tidak hanya mengundang orang kaya, namun juga
orang miskin, dilarang mengisi walimah dengan kegiatan dan acara-acara yang
mengundang maksiat dan melanggar perintah Allah, wajib menghadiri walimah bagi
yang diundang jika tidak ada halangan, memisahkan tempat untuk undangan laki-laki
dan perempuan, dan tidak memamerkan pemberian kepada calon istri, memakai pakaian
pesta yang membuka aurat
Dalam hukum menghadiri undangan walimah, para ulama berbeda pendapat
mengenai hukumnya. Ada ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri walimah
adalah wajib kifayah. Dan ada juga ulama yang mengatakan bahwa hukumnya adalah
Sunnah. Namun, dalam hal ini pendapat yang pertamalah yang lebih jelas. Kemudian
hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah sunnah
muakkad. Sebagian golongan Syafi‟i berpendapat wajib. Namun, jika undangan itu
bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu, maka tidak wajib mendatangi,
dan tidak juga sunnah.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca yang berupa
wawasan pengetahuan terkait dengan “Walimah”. Dalam hal ini, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk proses
penyempurnaan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Muhammad bin „Iwad Al Jaziri, Fiqhul „Am, Al Fiqh „ala Mazhab al
arba‟ah, Juz 5, Beirut: Darul Kutub „Ilmiyyah, 2003.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Group, 2006), 157.
Azhar Basyir, Ahmad. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih praktis 2. Banadung: Karisma
Hatta, Ahmad dkk. 2013. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim. Jakarta: Maghfirah
Pustaka
Mubarok, Mufti. 2008. Ensiklopedi Walimah. Surabaya: PT. Java Pustaka Media Utama
Mustofa Al Khin, Mustofa al Bugho, Aliy as Syarbiji, Fiqih Syafi‟I, Fiqih Manhaj „ala
Mazhab al Imam As syafi‟I, Jilid 4, Damaskus: Darul Qolam, 1992.
Sabiq, Sayyid. 1993. Fikih Sunnah. Bandung: PT. Al Ma‟arif
Syariffudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana
Tihami. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wahbah Al-Zuhaili. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani
Slamet Abidin et all, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 156.

18

You might also like