Professional Documents
Culture Documents
Laporan Fix
Laporan Fix
PENDAHULUAN
Keterangan:
TP : Tidak Pernah
J : Jarang (1-2 kali/ minggu)
S : Sering ( Lebih dari 2 kali/minggu)
1. Darah lengkap
Leukosit 3500-10 rb /µl 10.100/µl ↑
Hb 11-16,5 g/dl 7.2 g/dl ↓
Trombosit 150 rb - 390rb /µl
Hematokrit 35.0-50.0 % 20.6 % ↓
LED < 15 mm
2. Kimia Darah
Ureum 20-40 mg/dl 218.9 mg/dl ↑
Creatinin 0,7-1,5 mg/dl 9.82 mg/dl ↑
GDS < 200 mg/dl
SGOT 11-41 U/L
SGPT 10-41 U/L
Albumin 3.5-5.5 g/dl 3.18 g/dl ↓
Kolesterol total 130-220 mg/dl
HDL > 50 mg/dl
LDL <102 mg/dl
Trigliserida 34-143 mg/dl
3. Blood Gas Analisa
PH 7.35-7.45
PCO2 35-45 mmHg
PO2 80-100 mmHg
HCO3 21-28 mmol/l
O2 Saturasi arterial > 95%
Base excess -3 – +3 mmol/l
4. Elektrolit
Na 135 mmol/l
K 136-145 mmol/l
Cl 3,5-5 mmol/l 44 mmol/l
Ca 98-106 mmol/l
7.6-11.0 mg/dl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis dibedakan menjadi empat, hal ini didasarkan pada
tahapan atau fase kerusakan ginjal seperti yang tercantum dalam tabel 1 :
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Berdasarkan Kliren Kreatinin
Klasifikasi Kliren Kreatinin ml/menit
Kekurangan cadangan ginjal 75-100
Insufisiensi ginjal 25-75
Gagal ginjal kronis <25
Gagal ginjal terminal <5
Sumber : R. P. Sidabutar, 1992
Sedangkan klasifikasi gagal ginjal berdasarkan penurunan Glomerulus Filtration
Rate(GFR) seperti yang tercantum dalam tabel 2 :
Tabel 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Berdasarkan GFR
Klasifikasi GFR (%)
Penurunan cadangan ginjal Turun 50 %
Insufisiensi ginjal Turun 20-35%
Gagal ginjal Turun <20%
Gagal ginjal akhir Turun<5%
Sumber : Elizabeth, 2001
2.1.3 Etiologi
Etiologi memegang peranan penting dalam memperkirakan perjalanan
klinis GGK dan terhadap penanggulangannya. Di samping itu penyebab primer
GGK juga akan mempengaruhi manifestasi klinis GGK yang sangat membantu
diagnosa (Soeparman, 1994). Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urine dan adanya hipertensi. Pasien yang mengskresikan secara
signifikan sejumlah protein mengalami peningkatan tekanan darah cenderung
akan cepat memburuk daripada mereka yang tidak mengalami kondisi ini
(Brunner dan Suddarth, 2002).
Berbagai contoh dapat dikemukakan, misalnya riwayat batu
menyebabkan penyakit ginjal obstruksi, edema mengarah ke penyakit ginjal
glomerular, gout menyebabkan nefroti gout, diabetes mellitus menyebabkan
nefroti DM, selain itu adanya penyakit ginjal dalam keluarga mengarahkan
dugaan kepada penyakit ginjal genetik (Soeparman, 1994). Penyebab lain ialah
nefrosklerosis dan penyakit-penyakit tubulointerstitial. Uremia adalah sindroma
klinis yang ditemukan pada GGK akibat dari retensi urea darah dan hasil-hasil
akhir metabolisme lainnya yang normal diekskresi dalam urin. Penyakit GGK
pasti progresif disertai dengan malnutrisi berat, gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein serta gangguan penggunaan energi (Soemilah,
2000).
Agus Krisno Budianto, menyatakan bahwa penyebab utama gagal ginjal
kronis seperti yang tercantum dari tabel 3 :
Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Jenis penyakit Presentase
Diabetes Mellitus 29,9
Hipertensi 26
Glumerulonefritis 14.4
Penyakit Cystic kedney 3,6
Penyakit selain urologik 6
Selain yang tidak dapat 5,8
diidentifikasi
Sebab yang tidak diketahui 7,6
Penyebab kegagalan 3,6
Sumber : Agus, 2002
Hipertensi juga merupakan penyebab utama terjadinya penyakit GGK.
Menurut Soeparman (1994) seseorang yang menderita gagal ginjal kronis yang
disertai penyakit hipertensi, akan menyebabkan berkurangnya aliran darah,
akibatnya ginjal mengeluarkan enzim renin. Renin ini akan mengubah
angiotensin menjadi bentuk aktif angiotensin. Sedangkan dalam kelenjar
andrenal mengeluarkan aldosteron. Aldosteron sendiri akan mempengaruhi
ginjal untuk menahan natrium dan air, dengan demikian dapat mengakibatkan
tekanan darah semakin meningkat.
KK = (40-U) x BB
KS x 72
Keterangan :
KK : Kliren Kreatinin dalam ml/ menit
U : Umur dalam tahun
BB : Berat badan dalam kg
KS : Kreatinin serum dalam mg (Sidabutar, 2001).
Pemeriksaan ureum darah atau nitrogen urea darah dapat juga dipakai
sebagai tes penguji faal glomerulus, tetapi harus diingat beberapa hal yaitu :
pengolahan ureum dalam ginjal dipengaruhi tubulus, produksi ureum
dipengaruhi faal hati, absorbsi protein dari makanan di usus, ataupun dari darah
yang mungkin ada diusus karena perdarahan kecil. Pemeriksaan nitrogen urea
darah malah sering dipakai untuk menilai hubungan faal ginjal dengan diit yang
diberikan pada penderita. Pemeriksaan lain yang umumnya dianggap
menunjang kemungkinan adanya GGK adalah laju endap darah meninggi,
anemi normositer normokrom, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme
karbohidrat, hipertrigeseridemia (Sidabutar,2001).
Disamping diagnosis gagal ginjal kronik secara faal dengan tingkatannya,
dalam rangka diagnosis juga ditinjau dari faktor penyebab dan faktor
pemburuknya. Kedua hal ini disamping perlu untuk kelengkapan diagnosis, juga
berguna untuk pengobatan. Adapun Faktor-faktor yang memperburuk GGK
karena dapt diperbaiki yaitu: infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
hipertensi, gangguan perfusi atau aliran darah, gangguan elektrolit, dan
pemakaian obat-obat nefrotoksik (Soeparman, 1994).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penanggulangan CRF harus berprinsip penanggulangan masalah
seutuhnya dan sekali-kali tidak boleh mengobati nilai-nilai kimiawi saja.
Penetapan waktu untuk merencanakan dan memulai pengobatan pengganti
(dialysis atau transplantasi) harus atas pertimbangan keseluruhan.Bila faal ginjal
yang sisa diukur dengan TKK sudah lebih kecil dari 5 ml/menit maka biasanya
dibutuhkan terapi pengganti untuk menolong penderita, seperti yang terdapat
pada tabel berikut :
1. Hemodialisa
Hilangnya fungsi ginjal yang berat, baik secara akut maupun kronis,
membahayakan nyawa penderita dan membutuhkan pembersihan prosuk
buangan yang toksik serta pengembalian volume dan komposisi cairan tubuh
kea rah normal. Hal ini dapat dicapai dengan dialisis menggunakan ginjal
buatan. Pada beberapa jenis gagal ginjal akut tertentu, ginjal buatan dapat
digunakan untuk membantu pasien melewati masa krisis sampai fungsi ginjal
kembali normal. Jika hilangnya fungsi ginjal bersifat irreversible, perlu dilakukan
dialisis terus-menerus untuk mempertahankan hidup. Prinsip dasar dialysis
adalah mengalirkan darah melalui saluran darah kecil yang dilapisi oleh
membrane tipis. Pada sisi lain dari membrane tipis ini terdapat cairan dialisa
dimana zat-zat yang tidak diinginkan dalam darah masuk kedalamnya melalui
difusi (Guyton dan Hall, 1997).
Konsentrasi ion-ion dan zat lain dalam cairan dialisa tidak sama dengan
konsentrasi pada plasma normal atau pada plasma uremik. Malahan, mereka
disesuaikan sampai kadar yang dibutuhkan untuk menimbulkan gerakana air
dan zat terlarut yang sesuai melalui membrane selama dialysis. Dalam cairan
dialisa tidak ada fosfat, ureum, urat, sulfat, atau kreatinin; namun, zat-zat
tersebut ada dalam konsentrasi tinggi pada darah uremik. Karenanya, bila
pasien uremia menjalani dialysis, zat-zat ini akan hilang dalam jumlah besar ke
dalam cairan dialisa.
Kebanyakan ginjal buatan dapat membersihkan ureum plasma dengan
kecepatan 100-225 ml/menit, yang menunjukkan bahwa sedikitnya untuk
ekskresi ureum, ginjal buatan dapat berfungsi dua kali lebih cepat dari pada dua
ginjal normal dengan bersihan ureum hanya 70 mi/menit.
Ginjal buatan hanya dapat dipakai 4-6 jam per hari, tiga kali seminggu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ginjal buatan masih sangat terbatas
untuk bersihan ureum plasma. Selain itu, ada fungsi ginjal yang tidak dapt
digantikan seperti fungsi reabsorbsi dan sekresi eritropoetin yang berperan
dalam pembentukan sel darah merah. (Guyton dan Hall, 1997).
Komplikasi akut hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan
intracranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialysis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisa dilakukan
2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter
dialysis lain ada juga dialysis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama
dialysis 4 jam (Rahardjo, dkk dalam Slamet Suyono,dkk, 2001).
2. Terapi Nutrisi
3. Syarat :
- Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB
- Protein diberikan 0,6-0,75g/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi (mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan
tubuh)
- Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan energi total.
Diutamakan lemak tidak jenuh ganda
- Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi
kebutuhan protein dan lemak
- Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites,
oliguria, atau anuri. Banyaknya natrium yang diberikan antara 1-3g
- Kalium dibatasi (40-70mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium
darah > 5,5mEq), Oliguria, atau anuria
- Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500ml)
- Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam
folat, vitamin C, dan vitamin D
Pemberian protein rendah dengan nilai biologis tinggi bagi penderita CRF
sangat penting, hal ini dikarenakan dengan mengkonsumsi protein biologis tinggi
maka keseimbangan nitrogen dapat tercapai dan pada akhirnya dapat
meredakan sebagian gejala keracunan uremik, sedangkan pada penggunaan
protein biologis rendah akan menghasilkan lebih banyak asam amino-asam
amino bebas yang tidak dapat digunakan dan akan diubah menjadi amonia yang
selanjutnya akan diubah menjadi ureum dalam hati. Mutu protein dapat
ditingkatkan dengan memberikan asam amino essensial murni, karena
beberapa asam amino esensial mempunyai fungsi tertentu, seperti pada asam
amino metionin mampu berguna dalam proses sintesis kolin dan kreatinin
(Almatsier, 2003). Disamping itu, pemakaian asam amino esensial murni
diharapkan mampu memperbaiki metabolisme intraseluler asam amino didalam
jaringan dan otot yang mengalami gangguan pada CRF. Contoh dari asam
amino murni adalah keto asam amino (L-Arginin, L-leusin, L-Isoleusin dll).
Sumber Telur, daging, ikan, ayam, susu Kacang- kacangan dan hasil
Protein olahannya seperti tempe dan
tahu
Sumber Minyak jagung, minyak kacang Kelapa, santan, minyak
lemak tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, margarin, mentega
kedelei, margarin dan mentega biasa dan lemak hewan
Sumber rendah garam
vitamin dan Sayuran dan buah tinggi
mineral Semua sayuran dan buah, kecuali kalium pada pasien dengan
pasien dengan hiperkalemia hiperkalemia
dianjurkan yang mengandung
kalium rendah / sedang
Keterangan :
Pada pasien yang tidak mengalami dialisis, protein yang diberikan 50% protein
nabati dan sisa protein hewani. Kacang-kacangan tidak dianjurkan pada Diet
Rendah Protein <40g,
(Almatsier, 2004)
Menurut, Andry Hartono (1990), asupan kalori yang cukup tinggi yang
dihasilkan dari sumber karbohidrat dan lemak merupakan hal yang penting bagi
penderita uremik dengan pembatasan masukan protein yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Soeparman (2001), bahwa kebutuhan kalori harus terpenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Disamping itu menurut Silvia A. Price (2006), pasien cenderung
mengurangi asupan protein tanpa disadarinya, karena perkembangan azotemia
menyebabkan hilangnya nafsu makan terhadap makanan yang mengandung
protein. Pada pasien CRF, asupan protein sangat mempengaruhi keadaan
umum pasien, karena adanya hubungan yang erat antara asupan protein
dengan system pengeluarannya melalui ginjal seperti yang dikemukakan oleh
Sidabutar (1992), pengaturan asupan protein memegang peranan utama dalam
penanggulangan gizi/nutrisi penderita CRF, karena gejala-gejala sindrom uremik
terutama disebabkan menumpuknya sisa-sisa katabolisme protein tubuh.Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mary (1997), bahwa pemberian energi
yang cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena ini tidak saja
mengurangi kemampuan jaringan, tapi juga pengeluaran nitrogen yang harus
dikeluarkan oleh ginjal.
Pada pasien CRF resiko terjadinya malnutrisi sangat besar sekali seperti
yang diungkapkan oleh R.P. Sidabutar, dari hasil penelitian terhadap status gizi
penderita CRF tanpa Hemodialisis menunjukkan bahwa dengan pengukuran
antropometri 42,9% penderita berstatus gizi baik, 50% penderita berada dalam
status gizi kurang dan 7,1% berstatus gizi buruk. Demikian juga pada penelitian
yang dilakukan pada tahun 1991 di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo
(RSCM) terhadap 14 penderita CRF menunjukkan bahwa 50% penderita berada
dalam kedaan gizi kurang (malnutrisi).
Patogenesis terjadinya malnutrisi pada pasien CRF bersifat multifaktoral.
Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet protein yang rendah,
proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot
dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang
meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain (Noer,
2003).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asupan makanan pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
pemulihan kondisi tubuh dan penyembuhan penyakit sebagai salah satu indikator
dalam menentukan keberhasilan dalam diet yang diberikan. Asupan makanan ini
dipengaruhi oleh antara lain: nafsu makan, kondisi pasien, penampilan makanan,
psikologis, rasa makanan dan lainnya. Selama pengamatan, asupan makanan
penderita yang diberikan Rumah Sakit tidak dapat dihabiskan karena pasien takut
merasakan sesak jika makan terlalu banyak, akan tetapi pad hari terakhir pengamatan,
pasien diberi proten oleh Rumah Sakit sehingga asupan makannya meningkat. Secara
umum pemberian diet RP 0.8 gr 1700 kal membantu pasien dalam memperoleh energi
dan zat gizi yang tinggi guna menunjang proses penyembuhan.
Grafik 1. Intake Energi Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Selama pengamatan nafsu makan pasien baik, Pada wal pengamatan intake
energi pasien telah memnuhi kebutuhan tetapi pada hari selanjutnya mengalami
penurunan karena adanya pembatasan makanan yang dikonsumsi oleh RS. Oleh RS
makanan pasien dibatasi karena porsi yang diberikan kepada pasien terlalu besar
sehingga ada pengurangan porsi makanan. Hal ini menyebabkan intake energi pasien
mengalami penurunan. Intake energi pada pada hari pertama pengamatan sebesar
1162.1 kkal. Intake pasien pada hari ke 2 intake energi pasien mengalami sedikit
peningkatan yaitu sebesar 1216.25 kkal dan pada hari ke 3 meningkat menjadi
1242.98 kkal Akan tetapi peningkatan ini belum sesuai dengan kebutuhan energinya.
Hal ini dikarenakan adanya pengurangan porsi makanan yang diberikan kepada pasien
oleh pihak RS.
4.1.3 Intake Protein
Kebutuhan protein pasien per hari adalah sebesar 0.8 g/BBI/hari. Hasil ini
didasarkan pada kebutuhan protein pasien dengan diagnosa adanya gangguan pada
fungsi ginjal.
Asupan protein pasien selama 3 hari disajikan pada Grafik.2. Berikut ini
Grafik 2. Intake Protein Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Dari hasil pengamatan asupan makan pasien, intake protein melebihi kebutuhan
protein pasien. Hal ini dikarenakan pasien mengkonsumsi makanan sumber protein
lebih banyak dibandingkan dengan makanan yang lain meskipun telah diberikan diet
rendah protein. Makanan yang menyumbang energy banyak untuk protein adalah nasi
dan lauk hewani seperti telur dan daging. Pada hari pertama pengamatan intake
protein pasien sebesar 37.3 gr setelah itu pada hari ke 2 dan ke 3 intake protein pasien
meningkat lagi menjadi 39.38 gr dan 39.85 gr.
Asupan lemak pasien selama 3 hari disajikan pada Grafik.3. Berikut ini
Grafik 3. Intake Lemak Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Pada awal pengamatan didapatkan intake lemak pasien sebesar adalah 26.7 g.
Asupan lemak yang rendah ini dikarenakan menu yang disajikan hanya sedikit yang
menggunakan santan. Pada pengamatan hari ke 1 intake lemak menurun lagi menjadi
18.9 g, hal ini dikarenakan adanya pengurangan porsi makanan pasien sehingga
asupan makanan pasien juga mengalami penurunan. Intake lemak pasien pada hari ke
2pengamatan meningkat menjadi 24.4 g hal ini dikarenakan pada hari tersebut
terdapat menu yang mengandung santan sehingga menambah intake lemak meskipun
belum memenuhi kebutuhan. pada pengamatan hari ke 3 intake lemak pasien
menurun lagi menjadi 18.3 g. hal ini dikarenakan pada hari tersebut tidak ada menu
yang menggunakan santan dan digoreng sehingga intake lemak pasien rendah.
4.1.5 Intake Karbohidrat
Grafik 4. Intake Karbohidrat Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Hasil recall makan selama 24 jam pra pengamatan, intake karbohidrat hanya
mencapai 271 g. Pada saat pengamatan hari pertama, intake karbohidrat menurun
menjadi 207 g. hal ini dikarenakan pada hari pertama ada pengurangan porsi makanan
untuk pasien sehingga intake karbohidrat pasien menurun. Pada hari ke 2 dan hari ke
3 pengamatan intake karbohidrat pasien meningkat lagi menjadi 210 gr dan 224 gr. Hal
ini dikarenakan meskipun ada pengurangan makanan untuk pasien akan tetapi pasien
mengkosumsi makanan sumber karbohidrat berupa sayur dan nasi lebih banyak
disbanding hari pertama sehingga intake karbohidrat pasien meningkat.
1. Darah lengkap
Leukosit 3500-10 rb /µl 10.100/µl ↑
Hb 11-16,5 g/dl 7.2 g/dl ↓ 7.9 g/dl ↓ 7.27 g/dl ↓
Trombosit 150 rb - 390rb /µl
Hematokrit 35.0-50.0 % 20.6 % ↓
LED < 15 mm
5. Kimia Darah
Ureum 20-40 mg/dl 218.9 mg/dl ↑ 233.5 mg/dl ↑
Creatinin 0,7-1,5 mg/dl 9.82 mg/dl ↑ 9.83 mg/dl ↑
GDS < 200 mg/dl
SGOT 11-41 U/L
SGPT 10-41 U/L
Albumin 3.5-5.5 g/dl 3.18 g/dl ↓
Kolesterol total 130-220 mg/dl
HDL > 50 mg/dl 37 mg/dl ↓
LDL <102 mg/dl
Trigliserida 34-143 mg/dl
6. Blood Gas Analisa
PH 7.35-7.45 7.27 ↓
PCO2 35-45 mmHg 21.1 mmHg ↓
PO2 80-100 mmHg 127.0 mmHg↑
HCO3 21-29 mmol/l 12.2 mmol/l ↑
O2 Saturasi arterial > 95%
Base excess -3 – +3 mmol/l -15.5 mmol/l ↓
7. Elektrolit
Na 136-145 mmol/l 135 mmol/l ↓
K 3,5-5 mmol/l
Cl 98-106 mmol/l 44 mmol/l ↓
Ca 7.6-11.0 mg/dl
A. Kesimpulan
1. Diagnosis penyakit pasien adalah CKD (Cronic Kidney Disease) dengan
status gizi baik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan Antropometri,
fisik/klinis dan laboratorium.
2. Sedangkan permasalahan gizi yang terjadi pada pasien adalah
a. Penurunan nilai lab Natrium dihubungkan dengan adanya timbunan
cairan di dalam pembuluh darah karena berkurangnya fungsi ginjal
dibuktikan dengan adanya oedema pada kaki.
b. Perubahan nilai lab dihubungkan dengan adanya gangguan fungsi ginjal
dibuktikan dengan Ureum ↑, Creatinine ↑, albumin ↓, Hb ↓
c. Kurangnya pengetahuan tentang makanan dan zat gizi dihubungkan
dengan kurangnya informasi tentang makanan dan zat gizi
dibuktikan dengan sering mengkonsumsi ikan asin, makanan bersantan
dan obat-obatan bebas
3. Pemberian edukasi melalui penyuluhan / konsultasi gizi dan pendekatan
serta memberikan motivasi kepada pasien dan keluarganya agar patuh
terhadap diet yang diberikan dan mengkonsumsi makanan yang diajurkan dan
tidak mengkonsumsi makanan yang dilarang.
B. Saran
1. Rumah sakit memberikan makanan dalam porsi yang sesuai dengan kebutuhan
pasien yang sebenarnya sehingga pasien tidak perlu menyisakan makanan
yang disajikan oleh rumah sakit.
2. Sebaiknya NCP (Nutrition care prosess) di masukkan dalam Rekam Medis,
sehingga dapat diketahui perkembangan nutrisi pasien selama dirawat dirumah
sakit.