You are on page 1of 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Gambaran Umum Penyakit


Gagal ginjal terbagi menjadi dua macam yaitu gagal ginjal akut (GGA)
dan gagal ginjal kronik (GGK). Gagal ginjal akut terjadi karena penurunan fungsi
ginjal secara mendadak yang terlihat pada penurunan GFR serta terganggunya
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme
(Sunita,2004). Sedangkan gagal ginjal kronik merupakan suatu sindroma klinis
yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif dan cukup lanjut. Gagal ginjal kronis antara lain disebabkan oleh faktor
glomerulonefritis (radang ginjal menahun), batu ginjal dan batu saluran kemih
yang kurang mendapat perhatian, obat-obatan modern ataupun tradisional yang
dimakan dalam jangka waktu lama, hipertensi, diabetes, narkoba, serta penyakit
ginjal genetik, dimana gejala dan tanda-tanda GGK disesuaikan dengan
gangguan sistem yang timbul (Anonymous, 2006).
Pasien menderita gagal ginjal dikarenakan pasien suka mengkonsumsi
obat-obatan jika merasa pusing atau kurang enak badan. Selain itu pola makan
pasien juga tidak seimbang, pasien suka megkonsumsi buah durian, makanan
bersantan, daging, ikan asin, telur. Karena terlalu banyak mengkonsumsi obat-
obatan maka lama-kelamaan menyebabkan adanya endapan pada ginjal yang
secara bertahap dapat memperberat fungsi ginjal. Pasien mengalami bengkak
pada kaki sejak 2 minggu sebelum MRS dan mual dan muntah (+) tetapi
sekarang keluhan tersebut tidak ada. Selain itu keluhan-keluhan seperti ini
sebelumnya tidak ada. Panas (-), Nyeri punggung (-), BAK seperti biasa. Pasien
tidak memiliki riwayat hipertensi, sedangkan riwayat DM tidak diketahui.

1.2. Identitas Pasien


Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 35 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Brigjend Katamso 5A/23 Malang
Kelas : III
Ruang Perawatan : 28
Tanggal MRS : 10 November 2008
No. Register : 828527
Diagnosa Masuk : CKD (Cronic Kidney Disease)
Diet Rumah Sakit : Diet Rendah Protein < 0.8 g/kgBB/hr 1700 kal
1.3. Data Subyektif
1.3.1. Data Riwayat Nutrisi
1.3.1.1. Dahulu
- Lauk nabati yang sering dikonsumsi oleh pasien adalah tahu dan tempe
- Lauk hewani yang sering dikonsumsi oleh pasien adalah telur, ayam, ikan
asin, daging sapi.
- Sering mengkonsumsi buah durian
- Pasien sering mengkonsumsi obat-obatan jika terasa pusing atu kurang
enak badan
- Pasien makan nasi >3x/hari.
- Pasien sering mengkonsumsi makanan bersantan
- Pasien sering mengkonsumsi sayur dan buah
1.3.1.2. Sekarang
Diet yang diberikan kepadapasien pada saat pemgamatan adalah diet rendah
protein < 0.8 g/kgBB/hr 1700 kal.
Tabel 1. Hasil Recall Asupan Makan Pasien Selama 24 jam
Energi dan Zat Asupan dari makanan Kebutuhan Tk. kons
Gizi (%)
Energi 1539.05 kkal 1810.91 kal 84.98
Protein 47.45 g 35.6 g 133.2
Lemak 26.7 g 40.2 g 66.41
Karbohidrat 271 g 326 g 83.12
1.3.2. Pola Makan
Pola makan pasien dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 2. Pola Makan Pasien
Pola Makan ( Beri Tanda  pada Jawaban yang Benar)
Frekuensi Frekuensi
Bahan Makanan Bahan Makanan
TP J S TP J S
Nasi √ Sayuran Buah √
Nasi Jagung √ Sayuran Daun √
Kentang √ Pisang √
Roti √ Pepaya √
Mie √ Santan kental/encer √
Umbi-umbian √ Minyak √
Sagu √ Susu √
Tempe √ Teh manis/ tawar √
Tahu √ Kopi manis/ tawar √
Daging sapi/ √ Sirup √
Ayam √ Soft Drink √
Ikan √ Sambal √
Telur Ayam Ras √

Keterangan:
TP : Tidak Pernah
J : Jarang (1-2 kali/ minggu)
S : Sering ( Lebih dari 2 kali/minggu)

1.3.3. Data Penyakit yang Diderita


1.3.3.1. Dahulu
Pasien sebelum MRS tidak pernah menderita penyakit apapun seperti DM,
Hipertensi dll.
1.3.3.2. Sekarang
- Pasien mengeluh badan terasa lemas
- Pasien merasa sesak
- Kaki pasien membengkak
- Pasien didiagnosa menderita CKD (Cronic Kidney Disease)
1.3.4. Data Obyektif
1.3.4.1. Data Antropometri
Umur = 35 th
TB = 145 cm
BBI = (TB-100) x 90%
= (145-100) x 90%
= 40.5 kg
IMT = BB
TB2
= 40kg
(1.45)2m
= 19.04 kg/m2
Status gizi berdasarkan IMT adalah baik
Sumber : (WHO-NCHS, 1983)

1.3.4.2. Data Fisik/Klinis


Tabel 3. Data Fisik dan Klinis Pasien Pada Sebelum Pengamatan
Pemeriksaan 10-11-2008
KU / KES Lemah/CM
TD mmHg 130/80
Nadi (x/mnt) 80
RR ((x/mnt) 18
1.3.4.3. Data Laboratorium
Tabel 4. Data Laboratorium Pasien Sebelum Pengamatan
Data Lab Nilai Normal 10-11-2008

1. Darah lengkap
Leukosit 3500-10 rb /µl 10.100/µl ↑
Hb 11-16,5 g/dl 7.2 g/dl ↓
Trombosit 150 rb - 390rb /µl
Hematokrit 35.0-50.0 % 20.6 % ↓
LED < 15 mm
2. Kimia Darah
Ureum 20-40 mg/dl 218.9 mg/dl ↑
Creatinin 0,7-1,5 mg/dl 9.82 mg/dl ↑
GDS < 200 mg/dl
SGOT 11-41 U/L
SGPT 10-41 U/L
Albumin 3.5-5.5 g/dl 3.18 g/dl ↓
Kolesterol total 130-220 mg/dl
HDL > 50 mg/dl
LDL <102 mg/dl
Trigliserida 34-143 mg/dl
3. Blood Gas Analisa
PH 7.35-7.45
PCO2 35-45 mmHg
PO2 80-100 mmHg
HCO3 21-28 mmol/l
O2 Saturasi arterial > 95%
Base excess -3 – +3 mmol/l
4. Elektrolit
Na 135 mmol/l
K 136-145 mmol/l
Cl 3,5-5 mmol/l 44 mmol/l
Ca 98-106 mmol/l
7.6-11.0 mg/dl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronis


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
yang cukup berat secara berlahan-lahan (menahun) yang disebabkan oleh
berbagai penyakit ginjal (Sunita, 2004). Sedangkan menurut Brunner dan
Suddarth, gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Lain halnya menurut
Andry Hartono, 1991 gagal ginjal kronis adalah salah satu kelainan ginjal yang
ditandai dengan penurunan laju penyaringan glomerulus (GFR).

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis dibedakan menjadi empat, hal ini didasarkan pada
tahapan atau fase kerusakan ginjal seperti yang tercantum dalam tabel 1 :
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Berdasarkan Kliren Kreatinin
Klasifikasi Kliren Kreatinin ml/menit
Kekurangan cadangan ginjal 75-100
Insufisiensi ginjal 25-75
Gagal ginjal kronis <25
Gagal ginjal terminal <5
Sumber : R. P. Sidabutar, 1992
Sedangkan klasifikasi gagal ginjal berdasarkan penurunan Glomerulus Filtration
Rate(GFR) seperti yang tercantum dalam tabel 2 :
Tabel 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Berdasarkan GFR
Klasifikasi GFR (%)
Penurunan cadangan ginjal Turun 50 %
Insufisiensi ginjal Turun 20-35%
Gagal ginjal Turun <20%
Gagal ginjal akhir Turun<5%
Sumber : Elizabeth, 2001

2.1.3 Etiologi
Etiologi memegang peranan penting dalam memperkirakan perjalanan
klinis GGK dan terhadap penanggulangannya. Di samping itu penyebab primer
GGK juga akan mempengaruhi manifestasi klinis GGK yang sangat membantu
diagnosa (Soeparman, 1994). Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urine dan adanya hipertensi. Pasien yang mengskresikan secara
signifikan sejumlah protein mengalami peningkatan tekanan darah cenderung
akan cepat memburuk daripada mereka yang tidak mengalami kondisi ini
(Brunner dan Suddarth, 2002).
Berbagai contoh dapat dikemukakan, misalnya riwayat batu
menyebabkan penyakit ginjal obstruksi, edema mengarah ke penyakit ginjal
glomerular, gout menyebabkan nefroti gout, diabetes mellitus menyebabkan
nefroti DM, selain itu adanya penyakit ginjal dalam keluarga mengarahkan
dugaan kepada penyakit ginjal genetik (Soeparman, 1994). Penyebab lain ialah
nefrosklerosis dan penyakit-penyakit tubulointerstitial. Uremia adalah sindroma
klinis yang ditemukan pada GGK akibat dari retensi urea darah dan hasil-hasil
akhir metabolisme lainnya yang normal diekskresi dalam urin. Penyakit GGK
pasti progresif disertai dengan malnutrisi berat, gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein serta gangguan penggunaan energi (Soemilah,
2000).
Agus Krisno Budianto, menyatakan bahwa penyebab utama gagal ginjal
kronis seperti yang tercantum dari tabel 3 :
Tabel 3. Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Jenis penyakit Presentase
Diabetes Mellitus 29,9
Hipertensi 26
Glumerulonefritis 14.4
Penyakit Cystic kedney 3,6
Penyakit selain urologik 6
Selain yang tidak dapat 5,8
diidentifikasi
Sebab yang tidak diketahui 7,6
Penyebab kegagalan 3,6
Sumber : Agus, 2002
Hipertensi juga merupakan penyebab utama terjadinya penyakit GGK.
Menurut Soeparman (1994) seseorang yang menderita gagal ginjal kronis yang
disertai penyakit hipertensi, akan menyebabkan berkurangnya aliran darah,
akibatnya ginjal mengeluarkan enzim renin. Renin ini akan mengubah
angiotensin menjadi bentuk aktif angiotensin. Sedangkan dalam kelenjar
andrenal mengeluarkan aldosteron. Aldosteron sendiri akan mempengaruhi
ginjal untuk menahan natrium dan air, dengan demikian dapat mengakibatkan
tekanan darah semakin meningkat.

2.1.4 Gejala Fisik Klinis


Pada awal terjadinya CRF biasanya tanpa gejala, atau hanya
menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak khas seperti sakit kepala, lelah,
letargi, nafsu makan menurun, muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai
keadaan seperti tampak pucat, lemah, hipertensi. Keadaan tersebut dapat
berlangsung menahun, dan perburukan terus berlangsung secara sembunyi,
dimana gejala akan bermunculan setelah memasuki gagal ginjal terminal.
Uremia adalah sindrom toksik yang disebabkan oleh kerusakan
glomerulus yang berat, yang disertai dengan gangguan fungsi tubulus dan
fungsi endokrin ginjal. Manifestasi klinis uremia dari segi laboratoris didapatkan
berat jenis urin yang encer, albuminuria, hematuria, leukosituria, anemia, BUN,
kreatinin, asam urat meningkat, hiperkalsemia dan hiperfosfatemia (Yogiantoro,
1998).
Pasien CRF juga menderita azotemia yang ditandai dengan peningkatan
kadar ureum. Azotemia dapat mengakibatkan gangguan Gastrointestinal (mual,
tidak nafsu makan, kembung), ini terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal untuk
mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh dan terjadi penumpukan, terutama
pada sisa katabolisme protein (Sidabutar,1992)
Gejala klinis CRF merupakan manifestasi :
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit
2. Menumpuknya toksin uremia yang mengakibatkan koma
(gangguan kesadaran)
3. Gangguan fungsi hormon yaitu berkurangnya eritropoitin dan
vitamin D3 (1,25 dihidroksi vitamin D3)
4. Gangguan respon dari (end organ) terhadap hormon
pertumbuhan
(Noer, 2003)
Mekanisme terjadinya anemia pada pasien CRF adalah dikarenakan
berkurangnya pembentukan sel darah merah (SDM). Penurunan pembentukan
SDM ini diakibatkan defisiensi pembentukan eritropoitin oleh ginjal. Juga
terdapat bukti bahwa racun uremik dapat menginaktifkan eritropoitin atau
menekan respon sumsum tulang terhadap erotropoitin. Faktor kedua yang ikut
berperan pada anemia adalah masa hidup SDM pada pasien CRF hanya sekitar
separuh dari masa hidup SDM normal, disamping itu kehilangan darah melalui
saluran cerna juga dapat menyebabkan anemia. Penyebab lain yang juga
penting adalah defisiensi besi dan asam folat (Sylvia, 2006).
Gejala-gejala yang juga menunjukkan adanya factor predisposisi
perkembangan infeksi pielonefritis yakni adanya batu. Obstuksi aliran urine yang
terletak didaerah proksimal dari daerah vesika urinaria dapat mengakibatkan
penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter. Hal ini dapat
menyebabkan atrofi hebat pada parenkim ginjal (Silvia, 2006). Pada penyakit
CRF, Sepsis juga bisa terjadi akibat beberapa macam infeksi saluran kemih
yang akan memperburuk faal ginjal (Soeparman, 2001).
Nyeri ulu hati, mual dan muntah merupakan gejala yang juga diderita
pasien selama ini, hal ini diakibatkan oleh adanya pembesaran hati yang
merupakan gejala adanya CRF yang berhubungan dengan absorpsi makanan
dan cairan (Marilynn, 2000).
Menurut Silvia A. Price (2006), Gejala Nokturia (berkemih dimalam hari)
juga dialami oleh penderita CRF. Gejala ini merupakan gejala pengeluaran urin
waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau pasien
terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Nokturia disebabkan
oleh hilangnya pola pemekatan urin, kadang-kadang dapat terjadi juga respon
terhadap kegelisahan atau minum cairan yang berlebihan. Gejala lain yang
diderita adalah anoreksia, menurut Sidabutar (1992), anoreksia terjadi akibat
adanya gangguan metabolisme protein di dalam usus, seperti amonia dan metal
guanidine, serta sembabnya mukosa usus.

2.1.5 Masalah- Masalah Khusus pada CRF


1. Cairan dan Natrium
Kekurangan air (dehidrasi) dan kekurangan garam (penurunan volume
cairan ekstraseluler) adalah dua kelainan utama dan sering terjadi pada CRF.
Kelainan air bersifat reversible dan apabila koreksi tidak segera dilaksanakan
akan menjadi tahap pertama dari rangkaian kelainan yang akan menurunkan
faal ginjal. Hidrasi dapat dipertahankan dengan pemberian 3 liter air, sehingga
urin yang terbentuk sekitar 2-2.5 liter. Dengan demikian keperluan cairan
sebagai pelarut dapat dipenuhi, karena ginjal memproduksi urin yang
isoosmotik.
Selain itu, ureum diekskresikan secara maksimal bila volume urin
sebanyak 2880 ml/24 jam. Pasien sering mengurangi minum untuk mencegah
nokturi, sehingga timbul dehidrasi pada waktu malam. Keperluan akan air harus
diterangkan dengan jelas. Rasa haus saja tidak cukup sebagai patokan adanya
dehidrasi dan sebaliknya jika terjadi kelebihan cairan akan menyebabkan
munculnya gejala hiponatremi.
Natrium perlu dibatasi karena natrium dipertahankan dalam tubuh
walaupun faal ginjal sudah menurun. Pembatasan penting bila terjadi hipertensi,
udema, dan air bendungan paru. Hati-hati terhadap sumber natrium yang
tersembunyi seperti yang terdapat dalam obat, misalnya preparat penisilin.
Parameter yang digunakan untuk menilai kecukupan natrium adalah berat
badan, kadar Na urin dan serum dan Laju Filtrasi Glomerulus (LGF). Pada
dengan kerusakan tubulointersisial maka dapat terjadi kehilangan natrium yang
banyak. Pemberian natrium harus dengan mempertimbangkan keadaan pasien.
Natrium harus diberikan dalam jumlah maksimal yang dapat diterima, dengan
tujuan mempertahankan volume cairan ekstraseluler.
2. Kalium
Kalium tak selalu meningkat pada CRF. Bila terjadi hiperkalemi maka
biasanya berkaitan dengan oliguri, keadaan katabolik, obat-obat yang
mengandung spironolakton, kekurangan natrium dan hiperkalemi spontan (pada
pasien DM). Hiperkalemi dapat menimbulkan kegawatan jantung (AV-blok).
Pembatasan kalium makanan, polisteren sulfonat dan sorbitol, furosemid dosis
tinggi (100-500 mg) serta 9-fluorohidrokortison digunakan untuk menurunkan
kadar kalium. Pengobatan yang lebih definitif adalah dialisis.
3. Protein
Gejala uremia akan hilang bila protein dibatasi, asalkan keperluan energi
dapat dicukupi dengan baik. Diet rendah protein dianggap akan mengurangi
akumulasi hasil akhir metabolisme protein, yakni ureum dan toksin uremia yang
lain. Selain itu, diet tinggi protein dapat meningkatkan beban kerja glomerulus.
Pada penderita CRF dengan hemodialisa diberikan protein tinggi karena untuk
menggantikan kehilangan protein selama dialisat dan untuk menjaga
keseimbangan nitrogen.
4. Anemia
Anemia pada CRF sebabnya multifaktorial. Kehilangan darah dari
Gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek, kadar eritropoetin yang rendah
serta adanya faktor penghambat eritropoesis memegang peranan dalam
terjadinya anemia. Selama pasien asimptomatik tidak perlu diterapi.
5. Asidosis Metabolik
Diet rendah protein akan mengurangi produksi asam. Natrium bikarbonat
hanya diberikan bila ada asidosis. Timbulnya tetani (penurunan serum natrium)
dan kelebihan cairan adalah efek samping pemberian natrium bikarbonat. Diet
rendah natrium dan furosemid diberikan jika terjadi hipertensi atau udem.
6. Kalsium dan Fosfor
Terdapat tiga mekanisme yang saling berkaitan, yaitu :
- Hipokalsemia dengan hiperparatiroid sekunder.
- Retensi fosfor oleh ginjal dan hipofosfatemia.
- Gangguan pembentukan 1.25-dihidroksikalsiferol, metabolit aktif
vitamin D.1.25-dihidroksikalsiferol dapat diberikan (0.25-0.5 mikrogram)
apabila didapat kadar plasma kalsium yang rendah dengan nilai
albumin serum yang normal agar absorbsi kalsium dari usus
meningkat. Kadar fosfat harus diturunkan dahulu untuk mencegah
kalsifikasi jaringan. Nilai fosfat pada CRF ditekan oleh hormon
paratiroid, jadi pada CRF terjadi hiperparatiroidisme. Agar gejala ini
tidak muncul maka kadar fosfat harus cepat diturunkan dengan
pengikatan oleh aluminium hidroksida, mencegah pemberian produk
susu dan diet rendah protein.
7. Hiperlipidemia
Pengobatan dengan diet pada hiperlipidemia dapat mempengaruhi gizi
penderita. Selain itu pengaruhnya terhadap terjadinya aterosklerosis jangka
panjang belum jelas. Pada CRF klofibrat dapat menyebabkan efek toksik pada
otot rangka dan otot jantung, karena akumulasi asam klofibrenik.
8. Hiperuricemia
Penelitian jangka panjang terhadap pasien CRF dengan kadar asam urat
sampai 10 mg/dl tidak menunjukkan proses percepatan kemunduran faal ginjal.
Allupurinol sebaliknya diberikan (100-300 mg), apabila kadar asam urat > 10
mg/dl atau bila terdapat riwayat gout. (Lestiani L, 2000).
2.1.6 Diagnosis
Dalam menetapkan diagnosa, ada atau tidaknya gagal ginjal kronik, tidak
semua faal ginjal yang perlu diuji. Yang lazim di uji adalah laju filtrasi
glomerulus. Pemeriksaan glomerulus yang mendekati laju filtrasi glomerulus
adalah pemeriksaan TKK. TKK merupakan pemeriksaan kreatinin serum,
kreatinin urine 24 jam (beberapa jam yang lalu dikalikan untuk mendapatkan
nilai 24 jam). Pemeriksaan kretinin serum sangat memadai untuk menilai faal
glomerulus. Kretinin diproduksi di otot dan dikeluarkan melalui ginjal. Bila ada
peninggian kreatinin dalam serum berarti faal pengeluaran di glomerulus
berkurang. Hanya bila ada penyakit otot dan hipermetabolisme, kretinin
meninggi karena produknya berlebihan. Nilai kliren kreatinin atau CCT (Clirent
Creatinin Test) dapat diperoleh dari data pemeriksaan kreatinin serum dan
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

KK = (40-U) x BB
KS x 72
Keterangan :
KK : Kliren Kreatinin dalam ml/ menit
U : Umur dalam tahun
BB : Berat badan dalam kg
KS : Kreatinin serum dalam mg (Sidabutar, 2001).

Pemeriksaan ureum darah atau nitrogen urea darah dapat juga dipakai
sebagai tes penguji faal glomerulus, tetapi harus diingat beberapa hal yaitu :
pengolahan ureum dalam ginjal dipengaruhi tubulus, produksi ureum
dipengaruhi faal hati, absorbsi protein dari makanan di usus, ataupun dari darah
yang mungkin ada diusus karena perdarahan kecil. Pemeriksaan nitrogen urea
darah malah sering dipakai untuk menilai hubungan faal ginjal dengan diit yang
diberikan pada penderita. Pemeriksaan lain yang umumnya dianggap
menunjang kemungkinan adanya GGK adalah laju endap darah meninggi,
anemi normositer normokrom, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme
karbohidrat, hipertrigeseridemia (Sidabutar,2001).
Disamping diagnosis gagal ginjal kronik secara faal dengan tingkatannya,
dalam rangka diagnosis juga ditinjau dari faktor penyebab dan faktor
pemburuknya. Kedua hal ini disamping perlu untuk kelengkapan diagnosis, juga
berguna untuk pengobatan. Adapun Faktor-faktor yang memperburuk GGK
karena dapt diperbaiki yaitu: infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
hipertensi, gangguan perfusi atau aliran darah, gangguan elektrolit, dan
pemakaian obat-obat nefrotoksik (Soeparman, 1994).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penanggulangan CRF harus berprinsip penanggulangan masalah
seutuhnya dan sekali-kali tidak boleh mengobati nilai-nilai kimiawi saja.
Penetapan waktu untuk merencanakan dan memulai pengobatan pengganti
(dialysis atau transplantasi) harus atas pertimbangan keseluruhan.Bila faal ginjal
yang sisa diukur dengan TKK sudah lebih kecil dari 5 ml/menit maka biasanya
dibutuhkan terapi pengganti untuk menolong penderita, seperti yang terdapat
pada tabel berikut :

Tabel 4. Alternatif Terapi Penganti pada Gagal Ginjal Kronik


Terapi pengganti Jenis Terapi Pengganti
Dialisis Hemodialisis di RS
Hemodialisis di Rumah
Hemodialisis di Unit Satelit
Dialisis Peritoneal Intermiten
Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan

Transplantasi Transplantasi Ginjal Donor Hidup


Transplantasi Ginjal Donor Jenazah

1. Hemodialisa
Hilangnya fungsi ginjal yang berat, baik secara akut maupun kronis,
membahayakan nyawa penderita dan membutuhkan pembersihan prosuk
buangan yang toksik serta pengembalian volume dan komposisi cairan tubuh
kea rah normal. Hal ini dapat dicapai dengan dialisis menggunakan ginjal
buatan. Pada beberapa jenis gagal ginjal akut tertentu, ginjal buatan dapat
digunakan untuk membantu pasien melewati masa krisis sampai fungsi ginjal
kembali normal. Jika hilangnya fungsi ginjal bersifat irreversible, perlu dilakukan
dialisis terus-menerus untuk mempertahankan hidup. Prinsip dasar dialysis
adalah mengalirkan darah melalui saluran darah kecil yang dilapisi oleh
membrane tipis. Pada sisi lain dari membrane tipis ini terdapat cairan dialisa
dimana zat-zat yang tidak diinginkan dalam darah masuk kedalamnya melalui
difusi (Guyton dan Hall, 1997).
Konsentrasi ion-ion dan zat lain dalam cairan dialisa tidak sama dengan
konsentrasi pada plasma normal atau pada plasma uremik. Malahan, mereka
disesuaikan sampai kadar yang dibutuhkan untuk menimbulkan gerakana air
dan zat terlarut yang sesuai melalui membrane selama dialysis. Dalam cairan
dialisa tidak ada fosfat, ureum, urat, sulfat, atau kreatinin; namun, zat-zat
tersebut ada dalam konsentrasi tinggi pada darah uremik. Karenanya, bila
pasien uremia menjalani dialysis, zat-zat ini akan hilang dalam jumlah besar ke
dalam cairan dialisa.
Kebanyakan ginjal buatan dapat membersihkan ureum plasma dengan
kecepatan 100-225 ml/menit, yang menunjukkan bahwa sedikitnya untuk
ekskresi ureum, ginjal buatan dapat berfungsi dua kali lebih cepat dari pada dua
ginjal normal dengan bersihan ureum hanya 70 mi/menit.
Ginjal buatan hanya dapat dipakai 4-6 jam per hari, tiga kali seminggu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ginjal buatan masih sangat terbatas
untuk bersihan ureum plasma. Selain itu, ada fungsi ginjal yang tidak dapt
digantikan seperti fungsi reabsorbsi dan sekresi eritropoetin yang berperan
dalam pembentukan sel darah merah. (Guyton dan Hall, 1997).
Komplikasi akut hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan
intracranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialysis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisa dilakukan
2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter
dialysis lain ada juga dialysis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama
dialysis 4 jam (Rahardjo, dkk dalam Slamet Suyono,dkk, 2001).
2. Terapi Nutrisi

a. Diet Rendah Protein


1. Tujuan :
- Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal
- Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia)
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
- Mencegah atau mengurangi progresivitas gagal ginjal, dengan
memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus.
2. Prinsip :
- Cukup Energi
- Rendah Protein
- Cukup Lemak
- Cukup vitamin dan mineral
- Rendah Cairan

3. Syarat :
- Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB
- Protein diberikan 0,6-0,75g/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi (mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan
tubuh)
- Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan energi total.
Diutamakan lemak tidak jenuh ganda
- Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energi total dikurangi
kebutuhan protein dan lemak
- Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, asites,
oliguria, atau anuri. Banyaknya natrium yang diberikan antara 1-3g
- Kalium dibatasi (40-70mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium
darah > 5,5mEq), Oliguria, atau anuria
- Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500ml)
- Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam
folat, vitamin C, dan vitamin D
Pemberian protein rendah dengan nilai biologis tinggi bagi penderita CRF
sangat penting, hal ini dikarenakan dengan mengkonsumsi protein biologis tinggi
maka keseimbangan nitrogen dapat tercapai dan pada akhirnya dapat
meredakan sebagian gejala keracunan uremik, sedangkan pada penggunaan
protein biologis rendah akan menghasilkan lebih banyak asam amino-asam
amino bebas yang tidak dapat digunakan dan akan diubah menjadi amonia yang
selanjutnya akan diubah menjadi ureum dalam hati. Mutu protein dapat
ditingkatkan dengan memberikan asam amino essensial murni, karena
beberapa asam amino esensial mempunyai fungsi tertentu, seperti pada asam
amino metionin mampu berguna dalam proses sintesis kolin dan kreatinin
(Almatsier, 2003). Disamping itu, pemakaian asam amino esensial murni
diharapkan mampu memperbaiki metabolisme intraseluler asam amino didalam
jaringan dan otot yang mengalami gangguan pada CRF. Contoh dari asam
amino murni adalah keto asam amino (L-Arginin, L-leusin, L-Isoleusin dll).

Tabel 5. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan


Bahan Dianjurkan Tidak Dianjurkan/ dibatasi
Makanan
Sumber Nasi, bihun, jagung, kentang, -
Karbohidrat makaroni, mie, tepung-tepungan,
singkong, ubi, selai, madu, permen

Sumber Telur, daging, ikan, ayam, susu Kacang- kacangan dan hasil
Protein olahannya seperti tempe dan
tahu
Sumber Minyak jagung, minyak kacang Kelapa, santan, minyak
lemak tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, margarin, mentega
kedelei, margarin dan mentega biasa dan lemak hewan
Sumber rendah garam
vitamin dan Sayuran dan buah tinggi
mineral Semua sayuran dan buah, kecuali kalium pada pasien dengan
pasien dengan hiperkalemia hiperkalemia
dianjurkan yang mengandung
kalium rendah / sedang
Keterangan :
Pada pasien yang tidak mengalami dialisis, protein yang diberikan 50% protein
nabati dan sisa protein hewani. Kacang-kacangan tidak dianjurkan pada Diet
Rendah Protein <40g,
(Almatsier, 2004)

Menurut, Andry Hartono (1990), asupan kalori yang cukup tinggi yang
dihasilkan dari sumber karbohidrat dan lemak merupakan hal yang penting bagi
penderita uremik dengan pembatasan masukan protein yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Soeparman (2001), bahwa kebutuhan kalori harus terpenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Disamping itu menurut Silvia A. Price (2006), pasien cenderung
mengurangi asupan protein tanpa disadarinya, karena perkembangan azotemia
menyebabkan hilangnya nafsu makan terhadap makanan yang mengandung
protein. Pada pasien CRF, asupan protein sangat mempengaruhi keadaan
umum pasien, karena adanya hubungan yang erat antara asupan protein
dengan system pengeluarannya melalui ginjal seperti yang dikemukakan oleh
Sidabutar (1992), pengaturan asupan protein memegang peranan utama dalam
penanggulangan gizi/nutrisi penderita CRF, karena gejala-gejala sindrom uremik
terutama disebabkan menumpuknya sisa-sisa katabolisme protein tubuh.Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mary (1997), bahwa pemberian energi
yang cukup penting untuk mencegah katabolisme, karena ini tidak saja
mengurangi kemampuan jaringan, tapi juga pengeluaran nitrogen yang harus
dikeluarkan oleh ginjal.
Pada pasien CRF resiko terjadinya malnutrisi sangat besar sekali seperti
yang diungkapkan oleh R.P. Sidabutar, dari hasil penelitian terhadap status gizi
penderita CRF tanpa Hemodialisis menunjukkan bahwa dengan pengukuran
antropometri 42,9% penderita berstatus gizi baik, 50% penderita berada dalam
status gizi kurang dan 7,1% berstatus gizi buruk. Demikian juga pada penelitian
yang dilakukan pada tahun 1991 di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo
(RSCM) terhadap 14 penderita CRF menunjukkan bahwa 50% penderita berada
dalam kedaan gizi kurang (malnutrisi).
Patogenesis terjadinya malnutrisi pada pasien CRF bersifat multifaktoral.
Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet protein yang rendah,
proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot
dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang
meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain (Noer,
2003).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Monitoring dan Evaluasi Konsumsi Energi dan Zat Gizi

4.1.1 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat gizi

Dalam pengamatan (studi kasus) dimulai pada hari Selasa, tanggal 10


November 2008 sampai dengan tanggal 13 November 2008. Asupan makanan pasien
berasal dari makanan yang diberikan oleh rumah sakit. Adapun bentuk makanan yang
diberikan dari Rumah sakit adalah bentuk lunak berupa bubur dengan prinsip diet RP
0.8 gr 1700 kal. Jumlah asupan makanan pasien didapatkan dengan cara pengamatan
langsung sisa makanan di dalam plato dibandingkan dengan kebutuhan, dan dengan
cara recall makanan. Dari hasil pengamatan dan recall makan tersebut selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan food processor. Asupan kemudian dibandingkan
dengan kebutuhan pasien sehari untuk mengetahui tingkat konsumsi makanannya,
serta menentukan persentase sisa makanan pasien dari jumlah makanan yang
disajikan .
Penentuan tingkat konsumsi energi dan zat gizi (protein, lemak, karbohidrat)
didasarkan pada kriteria Departemen Kesehatan RI (1990), yaitu sebagai berikut :

Di atas normal : ≥ 120 %


Normal : 90 – 119 %
Defisit Tingkat Ringan : 80 – 89 %
Defisit Tingkat Sedang : 70 – 79 %
Defisit Tingkat Berat : < 69 %
Tabel 8. Hasil Recall 24 jam dan Pengamatan Asupan
Makanan Pasien
Energi RDA 10-11-2008 11-11-2008 12-11-2008 13-11-2008
dan Intake % Intake % Intake % Intake %
Zat
Gizi
Energi 1810. 1539.05 84.98 1162.1 64.17 1216.25 67.16 1242.98 68.63
(kkal) 91
Protein 35.8 47.45 132.54 37.3 78.60 39.38 110 39.85 111.31
(g)
Lemak 40.2 26.7 66.41 18.9 47.01 24.4 60.69 18.3 45.52
(g)
KH (g) 326 271 83.12 207 76.38 210 77.49 224 82.65

Asupan makanan pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
pemulihan kondisi tubuh dan penyembuhan penyakit sebagai salah satu indikator
dalam menentukan keberhasilan dalam diet yang diberikan. Asupan makanan ini
dipengaruhi oleh antara lain: nafsu makan, kondisi pasien, penampilan makanan,
psikologis, rasa makanan dan lainnya. Selama pengamatan, asupan makanan
penderita yang diberikan Rumah Sakit tidak dapat dihabiskan karena pasien takut
merasakan sesak jika makan terlalu banyak, akan tetapi pad hari terakhir pengamatan,
pasien diberi proten oleh Rumah Sakit sehingga asupan makannya meningkat. Secara
umum pemberian diet RP 0.8 gr 1700 kal membantu pasien dalam memperoleh energi
dan zat gizi yang tinggi guna menunjang proses penyembuhan.

4.1.2 Intake Energi


Kebutuhan energi pasien perhari adalah sebesar 1810.91 kal dengan
mempertimbangkan faktor aktivitas dan faktor stress. Perhitungan ini dihitung dengan
menggunakan rumus Harris Benedict.
Asupan energi pasien selama 3 hari pengamatan ditambah hasil recall 24 jam
disajikan pada Grafik 1. Berikut ini

Grafik 1. Intake Energi Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Selama pengamatan nafsu makan pasien baik, Pada wal pengamatan intake
energi pasien telah memnuhi kebutuhan tetapi pada hari selanjutnya mengalami
penurunan karena adanya pembatasan makanan yang dikonsumsi oleh RS. Oleh RS
makanan pasien dibatasi karena porsi yang diberikan kepada pasien terlalu besar
sehingga ada pengurangan porsi makanan. Hal ini menyebabkan intake energi pasien
mengalami penurunan. Intake energi pada pada hari pertama pengamatan sebesar
1162.1 kkal. Intake pasien pada hari ke 2 intake energi pasien mengalami sedikit
peningkatan yaitu sebesar 1216.25 kkal dan pada hari ke 3 meningkat menjadi
1242.98 kkal Akan tetapi peningkatan ini belum sesuai dengan kebutuhan energinya.
Hal ini dikarenakan adanya pengurangan porsi makanan yang diberikan kepada pasien
oleh pihak RS.
4.1.3 Intake Protein
Kebutuhan protein pasien per hari adalah sebesar 0.8 g/BBI/hari. Hasil ini
didasarkan pada kebutuhan protein pasien dengan diagnosa adanya gangguan pada
fungsi ginjal.

Asupan protein pasien selama 3 hari disajikan pada Grafik.2. Berikut ini

Grafik 2. Intake Protein Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan

Dari hasil pengamatan asupan makan pasien, intake protein melebihi kebutuhan
protein pasien. Hal ini dikarenakan pasien mengkonsumsi makanan sumber protein
lebih banyak dibandingkan dengan makanan yang lain meskipun telah diberikan diet
rendah protein. Makanan yang menyumbang energy banyak untuk protein adalah nasi
dan lauk hewani seperti telur dan daging. Pada hari pertama pengamatan intake
protein pasien sebesar 37.3 gr setelah itu pada hari ke 2 dan ke 3 intake protein pasien
meningkat lagi menjadi 39.38 gr dan 39.85 gr.

4.1.4 Intake Lemak


Kebutuhan lemak pasien per hari adalah sebesar 40.2 g, hasil ini didasarkan
pada kebutuhan lemak orang dewasa. Sehingga kebutuhan lemak adalah 20 % dari
total kebutuhan energi, lemak digunakan sebagai sumber energi tubuh dan mencegah
katabolisme protein.

Asupan lemak pasien selama 3 hari disajikan pada Grafik.3. Berikut ini

Grafik 3. Intake Lemak Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Pada awal pengamatan didapatkan intake lemak pasien sebesar adalah 26.7 g.
Asupan lemak yang rendah ini dikarenakan menu yang disajikan hanya sedikit yang
menggunakan santan. Pada pengamatan hari ke 1 intake lemak menurun lagi menjadi
18.9 g, hal ini dikarenakan adanya pengurangan porsi makanan pasien sehingga
asupan makanan pasien juga mengalami penurunan. Intake lemak pasien pada hari ke
2pengamatan meningkat menjadi 24.4 g hal ini dikarenakan pada hari tersebut
terdapat menu yang mengandung santan sehingga menambah intake lemak meskipun
belum memenuhi kebutuhan. pada pengamatan hari ke 3 intake lemak pasien
menurun lagi menjadi 18.3 g. hal ini dikarenakan pada hari tersebut tidak ada menu
yang menggunakan santan dan digoreng sehingga intake lemak pasien rendah.
4.1.5 Intake Karbohidrat

Kebutuhan karbohidrat perhari adalah sebesar 326 g yang didasarkan pada


kebutuhan karbohidrat pasien sebagai sumber energi utama, dengan komposisi 72.14
% dari total kebutuhan energi yang merupakan sisa dari kebutuhan protein dan lemak.
Monitoring terhadap intake karbohidrat ini sangat penting, bukan hanya dari jumlahnya
saja, akan tetapi dari jenisnya juga harus diperhatikan.

Asupan Karbohidrat disajikan pada Grafik.4. Berikut ini

Grafik 4. Intake Karbohidrat Pasien Hasil Recall dan Selama 3 Hari Pengamatan
Hasil recall makan selama 24 jam pra pengamatan, intake karbohidrat hanya
mencapai 271 g. Pada saat pengamatan hari pertama, intake karbohidrat menurun
menjadi 207 g. hal ini dikarenakan pada hari pertama ada pengurangan porsi makanan
untuk pasien sehingga intake karbohidrat pasien menurun. Pada hari ke 2 dan hari ke
3 pengamatan intake karbohidrat pasien meningkat lagi menjadi 210 gr dan 224 gr. Hal
ini dikarenakan meskipun ada pengurangan makanan untuk pasien akan tetapi pasien
mengkosumsi makanan sumber karbohidrat berupa sayur dan nasi lebih banyak
disbanding hari pertama sehingga intake karbohidrat pasien meningkat.

4.2 Monitoring dan Evaluasi Keadaan Fisik/Klinis


Pemeriksaan fisik-klinis pasien meliputi Keadaan umum, Tekanan darah, nadi,
respiratory rate (RR), suhu tubuh dan adanya sariawan. Keadaan fisik/klinis pasien dari
hari ke hari relatif sama, karena pasien dalam kondisi yang sama. Hasil pemeriksaan
Fisik/klinis dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Fisik/Klinis


Pemeriksaan 10-11-2008 11-11-2008 12-11-2008 13-11-2008
KU / KES cukup / CM cukup / CM Lemah / CM Lemah/ CM
TD mmHg 130/80 130/80 110/70 110/70
Nadi (x/mnt) 80 80 85 88
RR ((x/mnt) 18 20 20 20

4.3 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Antropometri


Selama pengamatan antropometri pasien tetap seperti pada hari pertama
pengamatan. Hal ini diakrenakan pasien mengalami oedema sehingga tidak bias
ditimbang. Untuk tinggi badannya diukur dengan menggunakan mikrotoa karena
pasien masih bias berjalan dan berdiri tegak. Jadi pemeriksaan antropometri
berdasakan LILA dan tinggi badan pasien.

4.4 Monitoring dan Evaluasi Pemeriksaan Laboratorium


Perubahan pemeriksaan laboratorium terjadi pada tanggal 10 November 2008,
sampai dengan 13 November 2008. Nilai laboratorium dapat dilihat pada Tabel 10
berikut ini
Data Lab Nilai Normal 10-11-2008 12-11-2008 13-11-2008

1. Darah lengkap
Leukosit 3500-10 rb /µl 10.100/µl ↑
Hb 11-16,5 g/dl 7.2 g/dl ↓ 7.9 g/dl ↓ 7.27 g/dl ↓
Trombosit 150 rb - 390rb /µl
Hematokrit 35.0-50.0 % 20.6 % ↓
LED < 15 mm
5. Kimia Darah
Ureum 20-40 mg/dl 218.9 mg/dl ↑ 233.5 mg/dl ↑
Creatinin 0,7-1,5 mg/dl 9.82 mg/dl ↑ 9.83 mg/dl ↑
GDS < 200 mg/dl
SGOT 11-41 U/L
SGPT 10-41 U/L
Albumin 3.5-5.5 g/dl 3.18 g/dl ↓
Kolesterol total 130-220 mg/dl
HDL > 50 mg/dl 37 mg/dl ↓
LDL <102 mg/dl
Trigliserida 34-143 mg/dl
6. Blood Gas Analisa
PH 7.35-7.45 7.27 ↓
PCO2 35-45 mmHg 21.1 mmHg ↓
PO2 80-100 mmHg 127.0 mmHg↑
HCO3 21-29 mmol/l 12.2 mmol/l ↑
O2 Saturasi arterial > 95%
Base excess -3 – +3 mmol/l -15.5 mmol/l ↓
7. Elektrolit
Na 136-145 mmol/l 135 mmol/l ↓
K 3,5-5 mmol/l
Cl 98-106 mmol/l 44 mmol/l ↓
Ca 7.6-11.0 mg/dl

Pemeriksaan laboratorium yang perlu diperhatikan adalah mengenai


pemeriksaan ureum, creatinin, Hb serta tanda-tanda lain yang mempengaruhi fungsi
ginjal dan oedema seperti pemeriksaan elektrolit, HDL, LDL, kolesterol total. Karena
pemeriksaan tersebut sebagai eveluasi terhadap terapi dan perkembangan pasien
secara umum. Disamping itu pemeriksaan elektrolit juga penting untuk melihat apakah
elektrolit masih berada dalam batas normal atau tidak.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Diagnosis penyakit pasien adalah CKD (Cronic Kidney Disease) dengan
status gizi baik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan Antropometri,
fisik/klinis dan laboratorium.
2. Sedangkan permasalahan gizi yang terjadi pada pasien adalah
a. Penurunan nilai lab Natrium dihubungkan dengan adanya timbunan
cairan di dalam pembuluh darah karena berkurangnya fungsi ginjal
dibuktikan dengan adanya oedema pada kaki.
b. Perubahan nilai lab dihubungkan dengan adanya gangguan fungsi ginjal
dibuktikan dengan Ureum ↑, Creatinine ↑, albumin ↓, Hb ↓
c. Kurangnya pengetahuan tentang makanan dan zat gizi dihubungkan
dengan kurangnya informasi tentang makanan dan zat gizi
dibuktikan dengan sering mengkonsumsi ikan asin, makanan bersantan
dan obat-obatan bebas
3. Pemberian edukasi melalui penyuluhan / konsultasi gizi dan pendekatan
serta memberikan motivasi kepada pasien dan keluarganya agar patuh
terhadap diet yang diberikan dan mengkonsumsi makanan yang diajurkan dan
tidak mengkonsumsi makanan yang dilarang.

B. Saran
1. Rumah sakit memberikan makanan dalam porsi yang sesuai dengan kebutuhan
pasien yang sebenarnya sehingga pasien tidak perlu menyisakan makanan
yang disajikan oleh rumah sakit.
2. Sebaiknya NCP (Nutrition care prosess) di masukkan dalam Rekam Medis,
sehingga dapat diketahui perkembangan nutrisi pasien selama dirawat dirumah
sakit.

You might also like