Professional Documents
Culture Documents
Ringkasan Pidato Pengukuhan Guru Besar - Linguistik Forensik
Ringkasan Pidato Pengukuhan Guru Besar - Linguistik Forensik
Aceng Ruhendi Syaifullah, M.Hum., 8 Juni 2021, dalam bidang ilmu linguistik forensik,
pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia. Topik yang
dibawakan oleh Prof. Aceng Ruhendi berjudul “Sumbangsih Linguistik Forensik dalam
Mengawal Demokratisasi di Ruang Virtual”. Pada awalnya, tahun 1900-an, Prof. Aceng
Ruhendi adalah seorang akademis dan jurnalis di lingkungan kepolisian. Pada saat itu beliau
sering diminta menjadi saksi ahli bahasa dalam kasus-kasus penggunaan bahasa yang
berdampak hukum. Terdapat total 173 kasus yang telah ditangani oleh Prof.Aceng Ruhendi
dari rentang tahun 1990 hingga 2020. Mulai dari kasus penghinaan dan pencemaran nama
baik, ITE, ujaran kebencian, SARA, pemalsuan dokumen, penipuan, ancaman tindak
kekerasan/pembunuhan, sengketa warisan, sengketa perusahaan, sengketa jabatan, makar, dan
perselingkuhan.
Pemaknaan Terorisme
Permulaan abad 21 ditandai dengan munculnya fenomena politik dunia. Menurut
Chomsky (2005:8), fenomena politik berkaitan dengan berakhirnya Perang Dingin (akhir
abad 20), yang kemudian memunculkan perang baru, perang melawan terorisme (war on
terrorism). Aitchison (2003) dan Adi (2010), berpendapat bahwa pemaknaan atas ‘terorisme’
sudah mengalami kebaruan pada awal abad 21, setelah terjadinya peristiwa terorisme 11
September 2001 di Amerika Serikat, runtuhnya gedung WTC dan Pentagon akibat serangan
teroris.
Kebaruan pemaknaan atas terorisme terdapat dalam Time Line of Terrorist yang
disusun oleh US Department of Defense (2002:VI). Dalam dokumen Gedung Putih itu
dijelaskan bahwa dalam rentang waktu yang mencakup tahun 1960-1969, 1970-1979, 1980-
1989, 1990-1999, dan 2001-2006, terdapat pergeseran kecenderungan pemaknaan atas
peristiwa terorisme. Misalnya, sebelum era 2001-2006, hampir semua kejadian yang
diidentifikasi sebagai kegiatan teroris tidak berkaitan dengan Islam maupun Timur Tengah.
Namun pada era 2001-2006 tercatat bahwa hampir semua aksi terorisme diidentifikasi
sebagai terkait dengan Islam dan atau Timur Tengah. Sejak saat itu, Chomsky (2005)
berpendapat, terorisme yang dulunya menjadi masalah atau persoalan parsial, masing-masing
negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut keterlibatan semua negara.
Indonesia Pascareformasi
Gunawan (2019: 27) mengemukakan dalam konteks Indonesia pascareformasi
kecenderungan hegemoni pemaknaan atas realitas oleh pihak yang lebih dominan semakin
menguat. Para konglomerat mendikte negara dan media, terhadap pihak yang kurang
dominan, dalam hal ini publik. Terutama dalam pemberitaan tentang peristiwa terorisme,
radikalisme dan kejahatan terhadap prinsip-prinsip berdemokrasi dalam Pileg dan Pilpres.
Menurutnya, paling tidak terdapat tiga konstruksi pemberitaan yang menunjukkan
kecenderungan terjadinya hegemoni pemaknaan dalam media arus utama (baik cetak,
elektronik, maupun virtual).
1. Konstruksi pertama, pengabaian terhadap asas kepatutan dan relevansi.
2. Konstruksi kedua, media menempatkan dirinya bukan lagi sebagai pelapor, melainkan
telah bergerak jauh hingga menjadi interogator, bahkan inquisitor
3. Konstruksi ketiga, masih berkaitan dengan konstruksi nomor dua, media cenderung
gegabah dan sepihak dalam hal akurasi dan kualitas informasi, hanya mengandalkan
informasi dari lembaga-lembaga resmi, seperti kepangan pemerintahan, lingkaran
istana, dan kepolisian serta pihak-pihak lain yang merupakan representasi pihak yang
berkuasa.
Transformasi Struktural
Pada tataran teoritis, telah berkembang berbagai asumsi berkaitan dengan
kecenderungan dominasi dan hegemoni pemaknaan itu. Contohnya, Foucault (1982),
mengemukakan bahwa melalui wacana, seseorang atau sekelompok orang, dapat
merealisasikan kuasa, yang digunakan untuk “mengalahkan” pihak lain. Atas dasar
asumsinya itulah, kemudian ia menggagas konsep wacana sebagai refleksi relasi kuasa dalam
konteks sosial, yang pada perkembangannya memunculkan perspektif fungsional dalam
analisis bahasa dan paradigma analisis wacana kritis yang, antara lain, dikembangkan oleh
van Dijk (1993, 2008, 2009) dan Fairclough (1995, 2001). Sejak itu, konteks situasi interaktif
dalam struktur wacana telah menjadi fokus kajian wacana yang menunjuk pada adanya relasi
kuasa. Namun demikian, struktur wacana yang berupa relasi kuasa itu bukan sesuatu yang
tetap, melainkan sesuatu yang dapat bertransformasi secara dinamis (Fairclough 2001; Hoed
2014).
Dalam konteks transformasi struktural tersebut, Hoed (2014: 278) menjelaskan bahwa
dalam demokrasi saat ini memberikan kesempatan besar bagi publik untuk mengubah
struktur. Upaya mengembangkan proses demokratisasi dalam kehidupan sosial politik
memerlukan perubahan mentalitas, dari “top down” menjadi “dialog”. Reformasi 1998 dan
proses demokratisasi melahirkan berbagai metode interaktif dan partisipatoris yang
bermanfaat. Komunikasi terbuka dan langsung melalui media massa dan dunia maya
elektronik banyak dilakukan, meskipun memiliki risiko.
Optimisme vs Skeptis
Di tengah optimisme atas kehadiran teknologi internet sebagai media yang
memfasilitasi terjadinya proses demokratisasi, sebagian kalangan menunjukkan sikap
skeptiknya dengan mengungkapkan kecemasannya bahwa “konfrontasi, misinformasi, dan
penghinaan merupakan sesuatu yang mengkarakter dalam kebanyakan forum publik di
Internet” (Dahlberg 2006: 28). Dalam konteks ini, semakin populernya penggunaan
representasi multimodal yang berupa meme di berbagai media sosial yang dapat membuat
heboh publik dan dalam beberapa kasus sempat diperkarakan sebagai “penggunaan bahasa
yang berdampak hukum”.
Terlepas dari pro-kontra terhadap opini publik di ruang virtual sebagai wujud
representasi demokratisasi yang multimodal (yang mungkin berisiko berdampak hukum),
kalangan optimis menolak mitologi populer yang menyatakan bahwa internet akan
memperburuk masa depan bahasa. Seperti yang dilansir beberapa kalangan bahwa
“technospeak akan berkuasa, standar akan hidang, dan kreativitas akan berkurang
sebagaimana globalisasi memaksakan keseragaman”. Namun, Crystal (2006: 3)
mengungkapkan “internet telah lama ada, kini cukup bagi kita untuk ‘mengambil pandangan’
tentang cara di mana ia sedang dibentuk oleh dan membentuk bahasa”. Dengan demikian,
internet, dalam perspektif yang utopis dianggap memiliki dampak positif terhadap partisipasi
politik, masyarakat sipil dan demokrasi (Lim 2005).
Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan
bahwa ruang virtual media siber di internet dapat dirumuskan sebagai forum demokratisasi
jika melihat kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat dan kesetaraan relasi kuat
dapat berlangsung dengan “ramah” dan “leluasa bagi pengguna internet. Keramahan ini
tampak pada konteks media siber sebagai arena yang terbuka bagi siapa saja untuk memaknai
realitas yang dikonstruksi oleh media. Sedangkan keleluasaan tampak pada konteks situasi
komunikasi yang bebas kapan saja untuk melakukan tanggapan terhadap teks berita.