You are on page 1of 6

Rangkuman ini dibuat berdasarkan teks Pidato Pengukuhan Guru Besar, Prof. Dr. Drs.

Aceng Ruhendi Syaifullah, M.Hum., 8 Juni 2021, dalam bidang ilmu linguistik forensik,
pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia. Topik yang
dibawakan oleh Prof. Aceng Ruhendi berjudul “Sumbangsih Linguistik Forensik dalam
Mengawal Demokratisasi di Ruang Virtual”. Pada awalnya, tahun 1900-an, Prof. Aceng
Ruhendi adalah seorang akademis dan jurnalis di lingkungan kepolisian. Pada saat itu beliau
sering diminta menjadi saksi ahli bahasa dalam kasus-kasus penggunaan bahasa yang
berdampak hukum. Terdapat total 173 kasus yang telah ditangani oleh Prof.Aceng Ruhendi
dari rentang tahun 1990 hingga 2020. Mulai dari kasus penghinaan dan pencemaran nama
baik, ITE, ujaran kebencian, SARA, pemalsuan dokumen, penipuan, ancaman tindak
kekerasan/pembunuhan, sengketa warisan, sengketa perusahaan, sengketa jabatan, makar, dan
perselingkuhan.

Perjalanan Pendidikan Prof. Aceng Ruhendi


Saat menempuh kuliah S2 Program Linguistik di Universitas Indonesia, Prof. Aceng
Ruhendi berguru dengan seorang pelopor kajian Pragmatik di Indonesia, Prof. Asim
Gunarwan (alm). Dari situ beliau mengetahui bahwa kajian Pragmatik dapat digunakan untuk
mengkaji makna bahasa dan sejauh mana faktor konteks mempengaruhi pemaknaan tindak
berbahasa. Selain itu, kajian pragmatik juga dapat mengidentifikasi relasi jarak antara penutur
dan petutur. Apakah dekat (akrab) atau jauh (asing), setara atau senjang, dominan-dominan,
atau dominan-determinan (Yule 1996; Gunarwan 2007). Pada beberapa kasus penggunaan
bahasa, baik lisan maupun tulis, yang berlangsung di ruang konvensional dapat diteliti
dengan analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik. Konteks penggunaan bahasa dapat
ditelusuri dengan melakukan kajian pada dokumen, observasi dan investigasi terhadap
aspek-aspek suprasegmental, seperti nada, irama, intonasi, dan tekanan. Namun berbeda jika
penggunaan bahasa berlangsung di ruang virtual. Analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik
tidak cukup untuk mengungkapkan maksud atau tujuan di balik tuturan seseorang. Dari situ,
Prof. Aceng Ruhendi mengasah pengetahuannya mengenai linguistik forensik berbasis
pragmatik yang beraroma semiotik dalam bingkai wacana interaktif yang dimediasi
komputer.
Proses pengasahan dilakukan pada saat Prof. Aceng Ruhendi menempuh Program S3
Studi Linguistik, di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2008. Pada saat
itu beliau tertarik melakukan penelitian mengenai relasi perkembangan kajian bahasa lintas
disiplin dalam konteks demokratisasi di Indonesia pasca reformasi. Beliau juga penasaran
mengenai konteks media dan konteks situasi komunikasi dalam wacana interaktif di ruang
virtual yang dapat mendorong terjadinya demokratisasi di Internet.

Pemaknaan Terorisme
Permulaan abad 21 ditandai dengan munculnya fenomena politik dunia. Menurut
Chomsky (2005:8), fenomena politik berkaitan dengan berakhirnya Perang Dingin (akhir
abad 20), yang kemudian memunculkan perang baru, perang melawan terorisme (war on
terrorism). Aitchison (2003) dan Adi (2010), berpendapat bahwa pemaknaan atas ‘terorisme’
sudah mengalami kebaruan pada awal abad 21, setelah terjadinya peristiwa terorisme 11
September 2001 di Amerika Serikat, runtuhnya gedung WTC dan Pentagon akibat serangan
teroris.
Kebaruan pemaknaan atas terorisme terdapat dalam Time Line of Terrorist yang
disusun oleh US Department of Defense (2002:VI). Dalam dokumen Gedung Putih itu
dijelaskan bahwa dalam rentang waktu yang mencakup tahun 1960-1969, 1970-1979, 1980-
1989, 1990-1999, dan 2001-2006, terdapat pergeseran kecenderungan pemaknaan atas
peristiwa terorisme. Misalnya, sebelum era 2001-2006, hampir semua kejadian yang
diidentifikasi sebagai kegiatan teroris tidak berkaitan dengan Islam maupun Timur Tengah.
Namun pada era 2001-2006 tercatat bahwa hampir semua aksi terorisme diidentifikasi
sebagai terkait dengan Islam dan atau Timur Tengah. Sejak saat itu, Chomsky (2005)
berpendapat, terorisme yang dulunya menjadi masalah atau persoalan parsial, masing-masing
negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut keterlibatan semua negara.

Gejala Post Truth


Merujuk pada Adi (2010:27), propaganda war on terrorism dapat dimaknai sebagai
“proses sekuritisasi”. Artinya, aktor sekuritisasi (securitizing actor) melakukan speech act
untuk mengarahkan opini publik agar memandang suatu konflik sebagai ancaman terhadap
keamanan. Menurut Adi, cara pandang terhadap security tersebut menjadi ciri khas dari
tradisi konstruktivisme. Dalam tradisi konstruktivisme, wacana tidak dipahami sebagai
sesuatu yang given, melainkan constructed. Prof. Aceng Ruhendi menemukan bahwa
fenomena konstruktivisme menyebabkan gejala post truth secara global. Kata ‘Post Truth’
mengacu pada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali (ruangguru,
2020).
Frasa post truth mengalami puncak pada tahun 2016. Bahkan post truth menjadi word
of the year di kamus Oxford. Oxford mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta
tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan
emosi dan keyakinan personal (ruangguru, 2020). Menurut Paul Joseph Goebbels (2018),
“kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang
diceritakan ribuan kali akan menjelma sebagai kebenaran”.

Indonesia Pascareformasi
Gunawan (2019: 27) mengemukakan dalam konteks Indonesia pascareformasi
kecenderungan hegemoni pemaknaan atas realitas oleh pihak yang lebih dominan semakin
menguat. Para konglomerat mendikte negara dan media, terhadap pihak yang kurang
dominan, dalam hal ini publik. Terutama dalam pemberitaan tentang peristiwa terorisme,
radikalisme dan kejahatan terhadap prinsip-prinsip berdemokrasi dalam Pileg dan Pilpres.
Menurutnya, paling tidak terdapat tiga konstruksi pemberitaan yang menunjukkan
kecenderungan terjadinya hegemoni pemaknaan dalam media arus utama (baik cetak,
elektronik, maupun virtual).
1. Konstruksi pertama, pengabaian terhadap asas kepatutan dan relevansi.
2. Konstruksi kedua, media menempatkan dirinya bukan lagi sebagai pelapor, melainkan
telah bergerak jauh hingga menjadi interogator, bahkan inquisitor
3. Konstruksi ketiga, masih berkaitan dengan konstruksi nomor dua, media cenderung
gegabah dan sepihak dalam hal akurasi dan kualitas informasi, hanya mengandalkan
informasi dari lembaga-lembaga resmi, seperti kepangan pemerintahan, lingkaran
istana, dan kepolisian serta pihak-pihak lain yang merupakan representasi pihak yang
berkuasa.

Transformasi Struktural
Pada tataran teoritis, telah berkembang berbagai asumsi berkaitan dengan
kecenderungan dominasi dan hegemoni pemaknaan itu. Contohnya, Foucault (1982),
mengemukakan bahwa melalui wacana, seseorang atau sekelompok orang, dapat
merealisasikan kuasa, yang digunakan untuk “mengalahkan” pihak lain. Atas dasar
asumsinya itulah, kemudian ia menggagas konsep wacana sebagai refleksi relasi kuasa dalam
konteks sosial, yang pada perkembangannya memunculkan perspektif fungsional dalam
analisis bahasa dan paradigma analisis wacana kritis yang, antara lain, dikembangkan oleh
van Dijk (1993, 2008, 2009) dan Fairclough (1995, 2001). Sejak itu, konteks situasi interaktif
dalam struktur wacana telah menjadi fokus kajian wacana yang menunjuk pada adanya relasi
kuasa. Namun demikian, struktur wacana yang berupa relasi kuasa itu bukan sesuatu yang
tetap, melainkan sesuatu yang dapat bertransformasi secara dinamis (Fairclough 2001; Hoed
2014).
Dalam konteks transformasi struktural tersebut, Hoed (2014: 278) menjelaskan bahwa
dalam demokrasi saat ini memberikan kesempatan besar bagi publik untuk mengubah
struktur. Upaya mengembangkan proses demokratisasi dalam kehidupan sosial politik
memerlukan perubahan mentalitas, dari “top down” menjadi “dialog”. Reformasi 1998 dan
proses demokratisasi melahirkan berbagai metode interaktif dan partisipatoris yang
bermanfaat. Komunikasi terbuka dan langsung melalui media massa dan dunia maya
elektronik banyak dilakukan, meskipun memiliki risiko.

Proses Demokratisasi Melalui Teknologi


Sebuah survei yang diselenggarakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII, 2018) mengungkapkan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2017
mencapai 88 juta orang atau 30,23 persen dari total populasi. Tahun 2020, angka itu
diprediksi naik sekitar 30 persen menjadi 120 juta pengguna, dan diperkirakan akan terus
bertambah menjadi 60 persen total populasi pada tahun 2024. Internet tampaknya telah
menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri, menggali informasi, bahkan
memobilisasi massa.
Fenomena demokratisasi yang dimediasi oleh internet serta peran media sosial yang
mempengaruhi proses berdemokrasi itu menjadi bukti lain semakin meluasnya proses
demokratisasi melalui teknologi dan media internet. Dalam konteks Indonesia
pascareformasi, Lim (2005), melihat berkelindannya proses demokratisasi di Indonesia
dengan meluasnya penggunaan teknologi dan media internet. Ia mengungkapkan bagaimana
para aktivis politik reformasi 1998 menggunakan internet sebagai fasilitas dalam
mengembangkan jaringan perjuangannya, baik dalam skala nasional maupun global. Dalam
kasus mutakhir, peristiwa politik Pemilu dan Pilpres 2014 dan 2019 ditandai dengan
kehadiran para buzzer dan influencer yang terlembagakan secara apik dan dibayar secara
profesional (Kompas.com, 23 September 2019).

Kajian Wacana di Media Siber


Di tengah proses demokratisasi, kajian tentang relasi bahasa, media, dan teknologi
komunikasi serta dampak potensialnya telah menjadi kajian lintas disiplin yang menarik
perhatian para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Lebih khusus, dalam kaitannya dengan kajian
wacana di media siber, Lewis (2003: 96) menyebut penggunaan bahasa di internet sebagai
pertanda lahirnya “new genre” dalam kajian wacana. Sementara van Dijk (2009: 121),
menyebutnya sebagai fenomena meningkatnya “budaya partisipatif”. Kemudian, Herring
(2011: 6) merumuskannya sebagai the state of the art dalam kajian wacana sepanjang dekade
terakhir ini.

Bahasa Sebagai Kajian Lintas Disiplin


Perkembangan ilmu bahasa tampak mengarah pada upaya pemenuhan prasyarat
agenda lintas disiplin. Perkembangan postmodernisme dan post-strukturalisme dalam filsafat
kontemporer di akhir abad ke-20 mendorong terjadinya pergeseran cara pandang terhadap
bahasa. Bahasa tidak lagi dipandang sebagai alat komunikasi atau sistem kode saja. Bahasa
menjadi suatu realitas simbolik majemuk yang menunjuk pada kegiatan sosial yang terikat,
dikonstruksi, dan direkonstruksi dalam konteks tertentu (Foucault, 1982; Halliday, 1994).
Sejak itu, kajian bahasa cenderung berkembang ke arah lintas disiplin. Perkembangan itu
berlangsung baik di tataran teoritis dan metodologis maupun di tataran objek kajian.

Optimisme vs Skeptis
Di tengah optimisme atas kehadiran teknologi internet sebagai media yang
memfasilitasi terjadinya proses demokratisasi, sebagian kalangan menunjukkan sikap
skeptiknya dengan mengungkapkan kecemasannya bahwa “konfrontasi, misinformasi, dan
penghinaan merupakan sesuatu yang mengkarakter dalam kebanyakan forum publik di
Internet” (Dahlberg 2006: 28). Dalam konteks ini, semakin populernya penggunaan
representasi multimodal yang berupa meme di berbagai media sosial yang dapat membuat
heboh publik dan dalam beberapa kasus sempat diperkarakan sebagai “penggunaan bahasa
yang berdampak hukum”.
Terlepas dari pro-kontra terhadap opini publik di ruang virtual sebagai wujud
representasi demokratisasi yang multimodal (yang mungkin berisiko berdampak hukum),
kalangan optimis menolak mitologi populer yang menyatakan bahwa internet akan
memperburuk masa depan bahasa. Seperti yang dilansir beberapa kalangan bahwa
“technospeak akan berkuasa, standar akan hidang, dan kreativitas akan berkurang
sebagaimana globalisasi memaksakan keseragaman”. Namun, Crystal (2006: 3)
mengungkapkan “internet telah lama ada, kini cukup bagi kita untuk ‘mengambil pandangan’
tentang cara di mana ia sedang dibentuk oleh dan membentuk bahasa”. Dengan demikian,
internet, dalam perspektif yang utopis dianggap memiliki dampak positif terhadap partisipasi
politik, masyarakat sipil dan demokrasi (Lim 2005).

Kajian Linguistik Forensik


Dahlberg (2006) menyatakan bahwa pemicu utama terjadinya transformasi
demokratisasi komunikasi di internet adalah berlangsungnya desentralisasi komunikasi di
dunia maya yang menyediakan situs wacana interaktif secara daring yang lebih rasional
kritis, yang relatif otonom dari pengaruh negara dan kepentingan ekonomi. Wawasan ke
masalah tersebut, melalui kajian analisis linguistik forensik, dicoba dihampiri dengan
bertumpu pada empat kerangka teori
1) Teori semiosis (Pierce, dikembangkan oleh Hoed (2014))
Digunakan untuk menelusuri dan memperlihatkan proses semiosis yang terjadi
dalam wacana interaktif di Internet. Menelusuri dinamika pemaknaan yang
terjadi antara representamen dan interpretan dalam kaitannya dengan objek.
2) Model organon Buhler versi Renkema (2004)
Digunakan untuk memperlihatkan proses kewacanaan sebagai tindakan
komunikasi yang berlangsung dalam wacana interaktif di media siber yang
melibatkan Object and state affairs, symptom, dan signal (Renkema, 2004).
3) Teori wacana dalam perspektif Foucault (1981)
Digunakan sebagai kerangka teori dalam praktik analisis linguistik forensik
untuk menjelaskan bagaimana relasi kuasa yang berlangsung dalam interaksi
antara penanggap dan media dan relasi antar penanggap.
4) Pendekatan analisis wacana yang dimediasi komputer (computer mediated
discourse analysis) dari Herring (2011).
Digunakan untuk menggambarkan konteks media dan konteks situasi
komunikasi yang terjadi di ruang virtual media siber. Secara spesifik, Herring
merumuskan konsep wacana interaktif di internet sebagai peristiwa
komunikasi yang berlangsung melalui media komputer dan saluran internet,
disebut sebagai Computer-Mediated Discourse (CMD).
Dengan menggunakan kerangka teori diatas, tanda dan makna wacana interaktif di
Internet yang terjadi pada konteks media dan konteks situasi komunikasi yang spesifik
ditelusuri dan diperlihatkan sebagai indikator-indikator terjadinya proses demokratisasi. Arus
informasi dan representasi simbolik tanda-tanda verbal, kiranya cukup ampuh untuk
kemudian dibentuk menjadi semacam konseptualisasi tentang relasi kuasa (power relation)
dalam bingkai pertarungan kekuasaan. Dengan demikian, di tengah perdebatan pro-kontra,
ungkapan optimisme, dan harapan yang cenderung utopis dan kecemasan yang cenderung
distopis, tampaknya secara global (dalam batas-batas tertentu) internet telah menjadi
“lokomotif” proses demokratisasi.
Persoalannya, dalam perspektif kajian analisis linguistik forensik untuk kepentingan
penelusuran penggunaan bahasa berdampak hukum, memunculkan pertanyaan krusial:
Sejauh mana fenomena demokratisasi itu dapat ditelusuri dan diperlihatkan melalui
indikator-indikator tanda-tanda verbal dalam proses pemaknaan dan proses kewacanaan di
Internet, sehingga di satu sisi dapat meredam berbagai tuntutan risiko hukum dan
kecenderungan kriminalisasi oleh pihak yang berkuasa yang memang dijamin oleh konstitusi.
Sementaras di sisi lain, tetap dapat merawat dan menumbuhkembangkan atmosfer
demokratisasi secara lebih rasional, santun, dan bermartabat.

Kesimpulan
Berdasarkan temuan-temuan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan
bahwa ruang virtual media siber di internet dapat dirumuskan sebagai forum demokratisasi
jika melihat kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat dan kesetaraan relasi kuat
dapat berlangsung dengan “ramah” dan “leluasa bagi pengguna internet. Keramahan ini
tampak pada konteks media siber sebagai arena yang terbuka bagi siapa saja untuk memaknai
realitas yang dikonstruksi oleh media. Sedangkan keleluasaan tampak pada konteks situasi
komunikasi yang bebas kapan saja untuk melakukan tanggapan terhadap teks berita.

You might also like