You are on page 1of 31

LAPORAN KASUS

WANITA 24 TAHUN G1P0A0 UK 26-27 MINGGU DENGAN


ATRIOVENTRICULAR NODE REENTRANT TACHYCARDIA

Diajukan Kepada:
dr. Stefan Hendyanto Sp. JP

Disusun Oleh:
dr. William Gani

PROGRAM DOKTER INTERNSIP BATCH IV TAHUN 2021

PERIODE NOVEMBER 2021 – NOVEMBER 2022

RS DIRGAHAYU SAMARINDA

MARET

2022
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Rawasari No. 5
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 16 Februari 2022

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Berdebar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Dirgahayu dengan keluhan dada berdebar
sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan berdebar disertai
dengan rasa seperti tertekan, tidak menjalar ke tangan kiri maupun ke
rahang. Keluhan tidak makin parah jika beraktivitas. Pasien mengaku
keluhan membaik dengan istirahat. Awalnya pasien mengaku pada saat
kontrol dengan dokter Sp. OG 5 hari yang lalu, pasien diberitahu nadi
pasien 130x/menit, tetapi pasien merasa baik-baik saja. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat tremenza sekitar 5 hari SMRS karena keluhan pilek.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat jatuh : (-)
 Riwayat kejang : (-)
 Riwayat stroke : (-)
 Riwayat jantung : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa dalam keluarga disangkal.
 Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes
5. Riwayat Personal Sosial
Merokok (-), alkohol (-).

C. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Compos Mentis
b) Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Laju Napas : 24 x/menit
Detak Jantung : 228 x/menit
Suhu : 36.5oC
Saturasi O2 : 98 % Pulse
c) Keadaan Sistemik
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : JVP 5+2 cm H2O
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tak kuat angkat
Perkusi :
 Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra.
 Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea
midclavicula sinistra
 Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : denyut jantung regular cepat, S1-S2 intensitas
normal, bunyi jantung tambahan tidak ditemukan,
gallop (-), murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-),
ronki basah kasar (-/-).
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, teraba janin tunggal intrauterine, presentasi
kepala, punggung kanan, TFU 26 cm
Extremitas

- - - -

- - - -

Edema Akral dingin


D. Pemeriksaan Penunjang
a) EKG

Kesan : Irama junctional, 197x/menit, reguler, normoaxis, tidak


ditemukan hipertrofi, tidak ada tanda iskemia
Kesimpulan: AVNRT

b) Laboratorium

Hematologi

Parameter Hasil Rujukan

Hemoglobin 12.3 13.3-16.6

Hematokrit 35.5 ↓ 37-54

Eritrosit 4.4 3.69-5.46

Lekosit 16.700 ↑ 4000-10000

Segmen 73.3 ↑ 39.8-70.5

Limfosit 17.6 ↓ 23.1-49.9

Monosit 9.1 4.3-10

Trombosit 273 150000-400000

MCV 80.7 80-100

MCH 28 26-34

MCHC 34.6 32-36

PDW 15.6 9.6-15.2

MPV 8.1 6.5-12

P-LCR 22 17.9-43.7

PCT 0.221 0.2-0.4

RDW-CV 14.8 12.2-14.8


RDW-SD 43.8 41,.2-53.6

Kimia Klinik

Ureum 28.2 16-55

Kreatinin 0.37 ↓ 0.7-1.3

SGOT 24 0-35

SGPT 45 ↑ 0-41

Na 144 135-155

K 3.9 3.6-5.5

Cl 102 95-108

E. Diagnosis Kerja
G1P0A0 usia kehamilan 26-27 minggu dengan atrioventricular node reentry
tachycardia

F. Penatalaksanaan
- Rawat inap ICU
- Digoxin IV 0.5 cc diencerkan hingga 10 cc, bolus perlahan
- Ranitidin IV 1 ampul/12 jam
- Raber dengan Sp. OG
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Supraventricular tachycardia (SVT) adalah istilah umum yang


digunakan untuk menjelaskan takikardia (>100 x/menit) dengan kompleks
QRS sempit (<120 milisekon) yang dicurigai berasal dari atau jaringan atrium
hingga nodus atrioventrikuler [1,2]. SVT melingkupi:
 Atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
 Atrioventricular reentrant tachycardia (AVRT)
 Atrial tachycardia (AT) baik fokal maupun multifokal
 Sinus tachycardia
 Atrial flutter
 Atrial fibrillation
Paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) merupakan salah satu
subset dari SVT yang ditandai dengan onset dan terminasi yang tiba tiba,
termasuk didalamnya antara lain AVNRT, AVRT, dan AT[1,2].

Gambar 2.1 EKG Paroxysmal supraventricular tachycardia yang disebabkan


oleh AV nodal reentry[3].
B. Epidemiologi

Prevalensi SVT pada populasi umum mencapai 2.25/1000 orang dan


insidensi 35/100000 orang per tahun[4]. Wanita memiliki risiko menderita
PSVT dua kali lebih besar daripada pria. Kebanyakan wanita dengan SVT
biasanya berusia 15-50 tahun, hal ini diduga disebabkan karena efek
progesteron terhadap miokardium. Wanita lebih cenderung menderita AVNRT
dibandingkan pria, sedangkan pria lebih sering menderita AVRT. [2,5].
Individu yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko lima kali lebih
besar menderita PSVT dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda.
Populasi paruh baya dan lebih tua lebih sering menderita AVNRT, sedangkan
pada remaja dan dewasa muda, prevalensi antara AVNRT dan AVRT sama
banyaknya[2,4].

C. Klasifikasi

Terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan PSVT[2]:


1. Berdasarkan tempat terjadinya:
a. Impuls tidak menggunakan atrioventricular junction (AVJ) sebagai
bagian dari sirkuit (atrial fibrillation, AT, atrial flutter, multifocal AT
(MAT))
b. Impuls yang menggunakan AVJ sebagai bagian dari sirkuit (AVNRT,
AVRT, junctional tachycardia)
2. Berdasarkan RP interval (RP interval adalah interval antara onset dari QRS
dengan onset dari gelombang P yang dapat dilihat):
a. Takikardia tanpa interval RP
Pada SVT jenis ini tidak gelombang P tidak dapat dilihat. Ritme
dalam kategori ini antara lain AVNRT dan AT.
b. Takikardia dengan interval RP sangat pendek
Pada SVT jenis ini, interval RP ≤ interval PR, dan interval PR <
90 ms. Ritme dalam kategori ini antara lain typical AVNRT dan AT.
c. Takikardia dengan interval RP pendek
Pada SVT jenis ini, interval RP ≤ interval PR, dan interval PR >
90 ms. Ritme dalam kategori ini antara lain orthodromic AVRT,
atypical AVNRT dan AT
d. Takikardia dengan interval RP panjang
Pada SVT jenis ini, interval RP ≥ interval PR, dan interval PR <
90 ms. Ritme dalam kategori ini antara lain sinus takikardia, AT,
permanent junctional reciprocating tachycardia dan atypical
AVNRT.

D. Patofisiologi

1. Paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT)


PSVT ditandai dengan adanya:
 Onset dan terminasi yang mendadak
 Kecepatan atrium antara 140-250 x/menit
 Kompleks QRS sempit[3]
PSVT paling sering terjadi karena adanya reentry yang melibatkan
nodus AV, atrium atau jalur tambahan antar atrium dan ventrikel.
Peningkatan otomatisasi dan triggered activity di atrium atau nodus AV
lebih jarang dijumpai[3]. Yang termasuk didalam PSVT antara lain:

a. Atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT)


AVNRT merupakan jenis PSVT yang paling sering dijumpai.
AVNRT paling sering dijumpai pada wanita yang berada dalam dekade
keempat dan kelima kehidupan[2].
Pada orang normal, nodus AV merupakan struktur berlobulus
yang terdiri dari badan utama dan beberapa ekstensi yang berbentuk
seperti jari ke atrium. Pada beberapa orang, struktur ekstensi tersebut
memiliki waktu konduksi yang berbeda, yaitu ekstensi dengan jalur
konduksi lambat (slow pathway) dan ekstensi dengan jalur konduksi
cepat (fast pathway). Ekstensi dengan jalur konduksi lambat memiliki
waktu konduksi yang lebih lambat, tetapi memiliki periode refrakter
yang relatif lebih singkat, sedangkan ekstensi dengan jalur konduksi
cepat memiliki waktu konduksi yang lebih cepat, tetapi memiliki
periode refrakter yang lebih panjang. Normalnya, stimulus yang
sampai pada nodus AV akan melewati kedua jalur tersebut, tetapi
impuls yang melewati jalur konduksi cepat akan mencapai berkas His
terlebih dahulu. Pada saat impuls yang melewati jalur lambat mencapai
berkas His, impuls tersebut akan menemui jaringan yang berada pada
periode refrakter dan akhirnya impuls tersebut akan mati. Sehingga,
pada kondisi normal, hanya impuls yang melewati jalur konduksi cepat
yang akan sampai ke ventrikel[2,3].
Pada kondisi patologis, seperti misalnya muncul atrial premature
beat (APB) secara spontan, impuls yang dihasilkan tidak akan bisa
melewati jalur konduksi cepat karena periode refrakter yang relatif
lebih panjang , tetapi impuls tersebut bsia melewati jalur konduksi
lambat. Pada saat impuls yang melewati jalur konduksi lambat sampai
ke badan utama dari nodus AV, bagian distal dari jalur konduksi cepat
sudah melewati fase refrakter, sehingga impuls juga akan
ditransmisikan secara retrograde menuju atria melalui jalur konduksi
cepat. Pada saat impuls tersebut mencapai atria, impuls kemudian akan
masuk kembali ke jalur konduksi lambat, menyebabkan terbentuknya
reentrant loop. Keadaan ini disebut typical AVNRT[2,3].
EKG pada typical AVNRT akan menunjukkan takikardia dengan
ukuran kompleks QRS normal. Gelombang P mungkin akan tidak
terlihat dikarenakan depolarisasi dari atrium akan terjadi bersamaan
dengan depolarisasi ventrikel. Jika gelombang P tampak, maka
gelombang tersebut biasanya akan tumpang tindih dengan bagian akhir
kompleks QRS dan inversi pada lead II, III dan aVF[2,3].
Pada atypical AVNRT terjadi hal yang sebaliknya. Premature
ventricular depolarization akan mengaktivasi jalur konduksi lambat
secara retrograde dan akan turun kembali ke ventrikel melalui jalur
konduksi cepat. Atypical AVNRT terjadi pada sekitar 10% penderita
AVNRT[2,3].
EKG pada atypical AVNRT akan menunjukan gelombang P dan
kompleks QRS yang terpisah. Gelombang P akan tampak negatif pada
lead II, II dan aVF. Gelombang P juga akan memiliki lebar yang lebih
sempit. Interval RP, yang menunjukan konduksi retrograde dari
stimulus melalui jalur konduksi lambat, akan memanjang,
menyebabkan takikardia dengan interval RP panjang.

Gambar 2.2 EKG AVNRT[3].

b. Atrioventricular reentrant tachycardia (AVRT)


AVRT merupakan PSVT tersering kedua dalam praktik sehari-
hari, biasanya dijumpai pada populasi yang lebih muda[1,2]. Pada
prinsipnya, AVRT serupa dengan AVNRT, tetapi alih-alih disebabkan
karena adanya perbedaan kecepatan konduksi antara struktur ekstensi
dari nodus AV, AVRT disebabkan oleh adanya jalur tambahan
(accessory pathway). Diperkirakan 1 dari 1500 orang memiliki jalur
tambahan ini[3].
Jalur tambahan ini memungkinkan impuls berjalan dari atrium
ke ventrikel (anterograde), dari ventrikel ke atrium (retrograde) dan
kedua arah sekaligus. Tergantung dari karakterisitk jalur tambahan
seseorang, dapat muncul salah satu dari: ventricular preexcitation
syndrome atau PSVT yang disebabkan karena concealed accessory
pathway.
Gambar 2.3 EKG pada sindrom Wolff-Parkinson-White. Panah biru
menunjukan preeksitasi ventrikel/gelombang delta[3].

Pada pasien dengan ventricular preexcitation (Sindrom Wolf-


Parkinson-White[WPW]), impuls dari atrium bisa berjalan menuju
ventrikel melalui nodus AV dan jalur konduksi tambahan. Karena
konduksi melalui jalur konduksi tambahan berjalan lebih cepat,
ventrikel akan terstimulasi lebih dulu. Pada ritme sinus, aktivasi dini
dari ventrikel akan memunculkan gambaran khas: pemendekan PR
interval (<0.12 detik), kompleks QRS melandai (disebabkan karena
stimulasi ventrikel melalui jalur tambahan berjalan lambat karena tidak
melewati sistem His-Purkinje) dan kompleks QRS melebar
(disebabkan karena campuran antara eksitasi jalur tambahan dan sistem
His-Purkinje normal)[1,3].
Pasien dengan sindrom WPW berisiko mengalami PSVT karena
jalur tambahan tersebut ‘menyediakan’ jalur yang berpotensi
memunculkan sirkuit reentrant. PSVT yang sering dijumpai pada
pasien ini adalah AVRT ortodromik. Pada keadaan ini impuls akan
berjalan secara anterograde melewati nodus AV menuju ke ventrikel,
dan kemudian akan berjalan kembali secara retrograde melewati jalur
tambahan ke atrium[1,3].
Pada kurang dari 10% populasi dengan AVRT, reentrant
arrythmia berjalan secara terbalik. Impuls akan berjalan secara
anterograde melalui jalur tambahan dan secara retrograde naik ke
nodus AV. Keadaan ini disebut antidromic AVRT. EKG pada keadaan
ini akan menunjukan kompleks QRS lebar, karena ventrikel teraktivasi
oleh konduksi anterograde melalui jalur tambahan. EKG pada keadaan
ini sulit dibeadakan dengan VT[2,3].

Gambar 2.4 A. Ritme sinus normal B. AVRT ortodromik C. AVRT


antidromik[3].

PSVT yang disebabkan karena sindrom WPW tidak sering


dijumpai. Hampir 30% dari kasus PSVT berhubungan dengan adanya
concealed pathway. Concealed pathway adalah jalur konduksi yang
hanya mampu menghantarkan konduksi retrograde dan tidak
mengganggu konduksi listrik normal, sehingga tidak terdeteksi oleh
EKG pada kondisi normal (ritme sinus)[1,3]. Pada kondisi tertentu,
concealed pathway ini dapat menyebabkan terbentuknya sirkuit
reentran dan menyebabkan AVRT
2. Atrial tachycardia (AT)
Atrial tachycardia merupakan jenis PSVT yang paling jarang,
ditemukan pada sekitar 10% dari seluruh penderita PSVT. Sesuai
namanya, AT berasal dari atrium. Ada dua jenis AT yang bisa
menyebabkan SVT, yaitu[2]:
a. Unifocal atrial tachycardia
Pada AT unifokal, impuls berasal dari satu sumber di dalam
atrium. AT unifokal dapat disebabkan oleh peningkatan otomatisitas
pada daerah di atrium maupun reentry. Daerah di atrium yang sering
mengalami gangguan pada atrium kanan adalah di sepanjang crista
terminalis dan pada atrium kiri berada pada ostium dari vena pulmoner.
AT yang muncul karena reentry biasanya paroksismal dan didasari
oleh adanya kelainan jantung. Kebalikannya, pada AT yang muncul
karena peningkatan otomatisitas akan muncul terus menerus dan bisa
terjadi pada keadaan dimana tidak terdapat kelainan pada jantung[2,3,5].
Pada pemeriksaan EKG akan tampak sinus takikardia, disertai
dengan gelombang P yang diikuti kompleks QRS. Morfologi
gelombang P yang muncul akan berbeda dengan gelombang P normal,
bergantung dari lokasi dimana impuls tersebut muncul[2,3].

b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)


Pada MAT, terdapat banyak fokus didalam atrium yang
mencetuskan impuls. Keadaan ini umumnya terjadi pada penderita
penyakit paru yang parah dan hipoksemia. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan EKG. Penegakkan diagnosis EKG
membutuhkan ≥3 gelombang P dengan morfologi yang berbeda,
disertai dengan denyut jantung ≥ 100x/menit. Wandering atrial
pacemaker memiliki gambaran serupa, tetapi dengan denyut jantung
≤100x/menit. Garis isoelektris antara gelombang P dapat digunakan
untuk membedakan dengan AF[2,3].
Gambar 2.4 Gambaran EKG multifocal atrial tachycardia

3. Sinus tachycardia
Sinus tachycardia adalah keadaan dimana nodus SA melepaskan
impuls dengan kecepatan ≥100x/menit (biasanya sekitar 100-180x/menit)
dengan gelombang P dan kompleks QRS yang normal. Keadaan ini
biasanya disebabkan karena adanya peningkatan simpatis dan penurunan
tonus vagal. Sinus takikarida merupakan respons fisiologis normal pada
saat berolahraga. Keadaan ini juga dapat terjadi karena peningkatan
stimulasi simpatis terhadap kondisi patologis, termasuk diantaranya
demam, hipoksemia, hipertiroid, hipovolemia dan anemia. Pada keadaan
dimana terdapat sakit yang mendasari, sinus takikardi biasanya merupakan
penanda dari keparahan proses patologis primer[3].
4. Atrial flutter
Atrial flutter merupakan keadaan dimana didapatkan aktivitas atrial
yang cepat dan regular, mencapai 180-350x/menit. Kebanyakan dari
impuls tersebut akan sampai ke nodus AV pada periode refrakter, sehingga
tidak akan diteruskan ke ventrikel. Atrial flutter dengan kecepatan
≤100x/menit biasanya tidak menunjukkan gejala.
Atrial flutter disebabkan oleh adanya reentry pada sirkuit yang
besar. Umumnya, sirkuit ini berada pada jaringan atrium disekitar cincin
katup trikuspid. Gelombang depolarisasi ini akan berjalan melalui septum
interatrial, berjalan menuju atap dan kemudian turun melalui dinding
atrium kanan menuju pada bagian dasar dari atrium kanan diantara cincin
katup trikuspid dan vena cava inferior. Karena sebagian besar dari atrium
akan terdepolarisasi selama siklus tersebut, gelombang P akan menunjukan
gambaran sawtooth. Sirkuit ini juga dapat terbentuk pada bagian atrium
lain, biasanya berada pada daerah yang pernah mengalami perlukaan, baik
dari penyakit, operasi jantung maupun prosedur ablasi[3].
Gambar 2.5 EKG pada atrial flutter. Panah biru menunjukan sawtooth
appearance[3].

5. Atrial fibrillation
Atrial fibrillation adalah keadaan dimana terdapat ritme yang kacau
dengan kecepatan atrium yang sangat cepat (350-600x/menit), sehingga
gelombang P tidak tampak pada pemeriksaan EKG. Pada keadaan ini akan
ditemukan ritme jantung yang irregularly irregular. Ritme ventrikular
pada keadaan ini berkisar antara 140-160x/menit. Sama seperti atrial
flutter, AF dengan kecepatan ≤100x/menit biasanya tidak menunjukkan
gejala.
Atrial fibrillation disebabkan karena adanya wandering reentrant
circuits multiple didalam atrium, dan pada beberapa pasien, ritme dari
jantung akan btertukar secara bergantian berulang kali antara fibrillation
dan flutter. Atrial fibrillation berhubungan dengan pembesaran atrium,
sehingga, keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan dan
pembesaran atrium (gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner,
penyakit paru-paru) akan meningkatkan risiko terjadinya AF.
Tirotoksikosis dan konsumsi alkohol juga dapat mencetuskan AF pada
beberapa individu[3].
Gambar 2.6 EKG pada atrial fibrillation[3].

E. Manifestasi Klinis

SVT dapat dicetuskan oleh faktor-faktor antara lain konsumsi kafein,


alkohol, membungkuk, gerakan secara tiba-tiba, stres, aktivitas fisik dan
kelelahan. Perasaan berdebar di leher atau kepala merupakan gejala SVT yang
paling sering ditemui. Keluhan ini juga dapat disertai dengan rasa tidak
nyaman di dada, sesak nafas, cemas, pusing, presinkop dan sinkop. Presinkop
dan sinkop lebih sering ditemukan pada pasien berusia tua[4,5].

Tingkat keparahan gejala bervariasi dan bergantung pada usia pada saat
sserangan pertama, detak jantung, durasi takikardia, penyakit jantung yang
mendasari, dan persepsi individu. Individu dengan onset pada usia remaja atau
lebih muda memiliki risiko lebih kecil untuk menderita AT atau AF
dikemudian hari. SVT yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan
kardiomiopati, iskemi miokard dan gagal jantung pada individu yang memiliki
penyakit jantung koroner atau disfungsi miokard sehingga diagnosis awal dan
manajemen penting untuk segera dilakukan[3–5].

PSVT ditandai dengan onset dan terminasi gejala yang tiba tiba. PSVT
dapat menyebabkan gangguan pada kualitas hidup pasien, bergantung pada
frekuensi munculnya serangan, durasi dan apakah gejala muncul pada saat
beraktivitas ataukah saat beristirahat. Manifestasi klinis yang dijumpai antara
lain palpitasi, nyeri dada, sinkop. PSVT sering salah terdiagnosa sebagai panik
maupun kecemasan, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan
psikologis. [2,3,5].
Pada pemeriksaan fisik, takikardia mungkin hanya merupakan gejala
yang ditemukan. Pada beberapa kasus PSVT dapat ditemukan peningkatan
jugular venous pressure (JVP) yang juga dikenal sebagai frog’s sign/shirt
flapping. Frog’s sign terjadi ketika atrium berkontraksi saat katup trikuspid
tertutup, sehingga darah akan mengalir secara retrograde kedalam sistem
vena[2,4].

F. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting dalam penegakan diagnosis.


Riwayat klinis terutama penting pada kasus dimana tidak bisa dilakukan EKG.
Reentrant arrythmia harus dicurigai pada keadaan dimana terdapat onset dan
terminasi yang tiba tiba, sering berhubungan dengan perubahan posisi dan
ketika takikardi dirasakan regular oleh pasien. Gerakan-gerakan yang dapat
menyebabkan terminasi dari aritmia seperti manuver vagal, meminum air es,
respons terhadap obat-obatan penting untuk ditanyakan, terutama ketika EKG
tidak dapat dilakukan[4].

Pada keadaan tidak adanya gangguan struktural pada jantung,


kebanyakan pasien tidak memiliki riwayat dan pemeriksaan fisik yang tidak
khas, sehingga, evaluasi awal perlu dilakukan pemeriksaan EKG 12 lead.
Pemeriksaan EKG penting dilakukan untuk menentukan mekanisme penyebab
dan pemilihan terapi yang sesuai. Jika dicurigai adanya gangguan struktural,
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut seperti echocardiography, elektrolit
darah, TSH serum perlu dilakukan. Continuous ambulatory monitoring
terkadang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi PSVT[1,5].

Idealnya, pemeriksaan EKG dilakukan pada episode takikardia, tetapi


jika tidak, EKG pada keadaan ritme sinus dapat memberikan petunjuk dalam
mendiagnosis SVT. Adanya gelombang preeksitasi sugestif terhadap AVRT.
Tidak adanya gelombang preeksitasi tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis AVRT, karena mungkin terdapat concealed accessory pathway[4].
Komples QRS lebar (>120 ms) dapat disebabkan oleh VT, SVT dengan
dengan BBB aberration atau konduksi antegrade melalui jalur tambahan.
Diagnosis VT yang tepat penting untuk menentukan manajemen pasien,
karena misdiagnosis dan administrasi obat SVT dapat berbahaya pada pasien
dengan VT, sehingga pada keadaan kompleks QRS lebar, diagnosis awal
adalah VT hingga dapat dibuktikan sebaliknya.

Gambar 2.7 Alur diagnosis SVT dengan kompleks QRS sempit

G. Manajemen
Manajemen awal pada pasien SVT umumnya berupa pendekatan non-
medikamentosa. Jika dengan pendekatan non-medikamentosa masih belum
didapatkan perbaikan dapat digunakan obat-obatan secara intravena maupun
dengan kardioversi. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,
kardioversi merupakan terapi lini pertama[4].

Pada pasien dengan hemodinamik stabil, manuver vagal merupakan


terapi lini pertama. Manuver ini dapat digunakan untuk terminasi episode
SVT dengan kompleks QRS sempit. Manuver vagal digunakan untuk
menstimulasi reseptor pada arteri karotis interna. Stimulasi ini akan
menyebabkan pelepasan asetilkolin, yang kemudian akan memperlambat
impuls elektrik melalui nodus AV, sehingga memperlambat denyut jantung.
Efektivitas dari manuver vagal jika dilakukan dengan benar berkisar antara
19-54%. Manuver valsava merupakan salah satu manuver vagal yang paling
efektif pada orang dewasa, dan pada AVRT dibandingkan dengan AVNRT.
Meniup spuit 10cc dengan kekuatan yang cukup untuk menggerakan plunger
dapat digunakan untuk menstandarisasi tindakan[4].

Adenosin merupakan obat lini pertama pada SVT. Dosis rata-rata yang
digunakan untuk terminasi SVT adalah 6 mg. untuk mencapai koreksi ritme
yang efisien, injeksi dilakukan secara bolus cepat diikuti flush cairan saline.
Vena besar yang berada ditengah (contoh: antecubital) cenderung akan
menghantarkan obat lebih efektif ke jantung. Peningkatan dosis dilakukan
secara perlahan, dimulai dari 6 mg pada orang dewasa, diikuti oleh 12 mg.
Dosis 18 mg dapat dipertimbangkan. Waktu paruh adenosin sangat pendek,
dan efek pada organ dapat dicapai dalam 20-30 detik, sehingga pemberian
adenosin tambahan dapat diberikan 1 menit sejak bolus pertama. Pemberian
adenosin dapat menyebabkan peningkatan ventilasi transien, kemerahan pada
wajah, nyeri dada, depresi nodus SA[4].

Calcium channel blockers non-dihidropyridine (verapamil/diltiazem


i.v) dan beta blockers (esmolol dan metoprolol i.v) dapat digunakan, terutama
pada pasien dengan frequent atrial atau ventricular premature beats.
Verapamil (0.075-0.15 mg/kg i.v habis dalam 2 menit) atau diltiazem (0.25
mg/kg habis dalam 2 menit) dapat menterminasi SVT pada 64-98% pasien,
tetapi berhubungan dengan risiko hipotensi. Beta blocker seperti short-acting
esmolol (0.5 mg/kg i.v bolus atau 0.05 - 0.3 mg/kg/min infus) atau
metoprolol (2.5-15 mg i.v, diberikan dalam 2.5 mg bolus), lebih efektif dalam
mengurangi tachycardia rate dibandingkan terminasi[4].

Kebanyakan pasien AVNRT terkadang memiliki episode serangan


yang dapat berhenti dengan manuver vagal sehingga tidak diperlukan
tindakan tambahan. Pada pasien dengan gejala yang sering muncul, terutama
yang menyebabkan pasien harus datang ke unit gawat darurat membutuhkan
pengobatan: beta blockers, CCB atau digoxin yang tidak berhasil dilakukan
terapi farmakologis, dapat dilakukan ablasi kateter dari jalur konduksi lambat
nodus AV[3,4].

Pasien-pasien AVRT harus diterapi lebih hati-hati. Meskipun digitalis,


beta blockers dan CCB tertentu efektif dalam memblok konduksi melalui
nodus AV, merkea tidak memperlambat konduksi dari kebanyakan jalur
konduksi tambahan. Terkadang, obat-obatan tersebut memperpendek periode
refrakter dari jalur konduksi tambahan, sehingga mempercepat konduksi.
Obat-obatan antiaritmia kelas IA dan IC (sodium channel blockers) dan
beberapa antiaritmia kelas III memperlambat konduksi dan memperpanjang
periode refrakter dari jalur konduksi tambahan dan nodus AV, sehingga obat-
obatan ini lebih diutamakan untuk kondisi AVRT. Pasien yang memiliki
WPW dengan aritmia simptomatis sebaiknya dilakukan studi elektrofisiologi
invasif dengan ablasi radiofrekuensi jalur konduksi tambahan[3].

Pada pasien dengan focal atrial tachycardia, keluhan sering


disebabkan karena toksisitas digitalis dan diperparah oleh peningkatan tonus
simpatis. Penatalaksanaan awal berupa koreksi terhadap faktor yang memicu.
Manuver vagal tidak memiliki efek terhadap impuls yang dihasilkan oleh
fokus pacemaker ektopik, tetapi, beta blockers, CCB dan antiaritmia kelas IC,
IA dan III efektif dalam keadaan ini. Ablasi kateter juga merupakan pilihan
bagi pasien simptomatis. Pasien dengan multifocal atrial tachycardia
biasanya merupakan pasien yang sakit kritis, sehingga penatalaksanaan
ditujukan kepada penyakit penyebab. CCB seperti verapamil terkadang
efektif dalam menurunkan kecepatan ventrikel[3].

Pada keadaan sinus takikardi, biasanya disebabkan karena stimulasi


simpatis pada kondisi patologis, sehingga terapi ditujukan kepada penyakit
penyebab[3].

Atrial flutter biasanya ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit


jantung yang mendasari. Pada keadaan atrial flutter, dapat diberikan terapi
antikoagulan. Beberapa pendekatan dalam tatalaksana atrial flutter.

 Pada pasien simptomatis dengan onset yang baru saja muncul, terapi
paling cepat adalah kardioversi
 Atrial flutter bisa diterminasi dengan rapid atrial stimulation (burst
pacing) menggunakan pacemaker permanen maupun sementara
 Pada pasien yang tidak membutuhkan kardioversi segera dapat diberikan
terapi farmakologis. Pertama, turunkan kecepatan ventrikel dengan
menggunakan obat yang meningkatkan blok nodus AV: beta blockers,
CCB non-dihidropyridine atau digoksin. Saat kecepatan sudah turun,
dapat diberikan obat antiaritmia untuk mengembalikan ritme sinus
menggunakan antiartimia yang memperlambat konduksi atau
memperpanjang periode refrakter dari mikoard atrium (antiaritmia kelas
IC atau III). Jika terapi farmakologis gagal, dapat dilakukan kardioversi.
 Jika terapi untuk keadaan kronis dibutuhkan untuk mencegah rekurensi,
abalasi kateter sering merupakan terapi yang lebih baik dibandingkan
dengan terapi farmakologis[3].
Pada AF, terapi antiaritmia mirip dengan terapi atrial flutter. AF dapat
diberikan beta blockers dan CCB untuk meningkatkan blok pada nodus AV
sehingga dapat mengurangi kecepatan ventrikular. Digitalis kurang efektif
dalam rate control, tetapi dapat digunakan pada pasien yang memiliki
gangguan fungsi kontraksi ventrikular. Pada pasien yang tetap simptomatis
meskipun dengan teerapi rate control yang adekuat, sering dilakukan upaya
untuk mengembalikan menjadi ritme sinus. AF yang sudah ada sejak 48 jam
berisiko muncul formasi thrombus atrial, sehingga antikoagulan dapat
diberikan selama minimal 3 minggu sebelum kardioversi untuk mengurangi
risiko tromboemboli. Pada pasien dengan AF asimptomatis, pengobatan rate
control dan antikoagulan sudah lebih dari cukup, sehingga pasien tidak perlu
dilakukan kardioversi. Terapi non-farmakologis lainnya yang dapat dilakukan
antara lain bedah maze procedure, percutaneous catheter ablation, left atrial
appendage ligation/occlusion.[3]

H. Supraventricular Tachycardia Dalam Kehamilan

Perubahan anatomis, hemodinamik dan hormonal pada ibu hamil


menjadikan kehamilan sebagai periode yang berisiko tinggi terhadap
terjadinya aritmia onset baru maupun rekurensi aritmia. Volume intravaskular
maternal meningkat menjadi sekitar 45% selama kehamilan guna
mengkompensasi turunnya resistensi vaskular sistemik yang terjadi karena
pembentukan sirkulasi uteroplasenta. Ekspansi volume ini menyebabkan
peregangan pada atrium dan ventrikular, yang secara bersamaan dengan
peningkatan detak jantung dan kontraktilitas, peningkatan aktivitas simpatis,
dan perubahan pada sensitivitas katekolamin, yang semuanya terjadi secara
fisiologis, menyebabkan keadaan yang arrhythmogenic. Risiko aritmia
meningkat pada trimester ketiga. Faktor risiko maternal antara lain riwayat
aritmia, hamil tua, keturunan Afrika, penyakit jantung kongenital[6].

Atrial fibrillation atau flutter merupakan aritmia yang paling sering


dilaporkan selama kehamilan (AF 31-59/100000 kehamilan). SVT non AF
(AVNRT, AVRT, dan atrial tachycardia) pada kehamilan dilaporkan terjadi
pada 22-33/100000 kehamilan. Meskipun kebanyakan aritmia merupakan
keadaan jinak, mereka dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas ibu
hamil (Odds ratio 13 pada AF dan odds ratio 6 pada SVT)[6].
Semua obat-obatan antiaritmia dapat melewati plasenta, tetapi data
mengenai toksisitas fetal dari obat-obatan tersebut masih belum banyak. Jika
memungkinkan, hindari terapi farmakologis hingga akhir trimester pertama.
Kekhawatiran utama dari penggunaan obat-obatan antiaritmia adalah efek
samping pada fetus. Kehamilan trimester pertama merupakan periode dimana
risiko teratogenic paling besar, sedangkan paparan obat pada trimester
setelahnya dapat menyebabkan efek samping pada pertumbuhan dan
perkembangan fetus, pada kontraktiltias uterus dan peningkatan risiko pro-
arrythmia. Pertimbangan antara risiko-manfaat dari penggunaan-
pemberhentian obat harus dipikirkan, terutama risiko rekurensi SVT dan
gangguan hemodinamik[4,6].

Pengobatan awal harus dilakukan dengan manuver non invasif


(manuver vagal). Jika pengobatan ini gagal, adenosin merupakan obat lini
pertama jika dibutuhkan pada trimester kedua dan ketiga. Tidak terdapat
cukup banyak penelitian mengenai pengobatan SVT pada trimester pertama[4].

Beta blockers dapat menyebabkan bradikardia dan hipoglikemia pada


fetus, dan jika diperlukan, dapat digunakan beta blockers selektif beta-1
karena memiliki efek minimal terhadap relaksasi uterus. Terdapat laporan
yang menyatakan adanya hubungan antara penggunaan beta-adrenergic
blocker pada trimester pertama dengan multicystic renal dysplasia[4].

Penggunaan diltiazem pada studi hewan menunjukan efek teratogenik


dan data pada studi manusia masih sedikit, sehingga tidak dianjurkan dalam
kehamilan. Verapamil lebih aman digunakan dalam kehamilan dan digunakan
sebagai lini kedua pengobatan[4].

Digoxin dapat digunakan untuk mensupresi atau terminasi


AVRT/AVNRT[6].

Kardioversi merupakan pilihan pertama ketika terjadi aritmia yang


disertai dengan hemodinamik yang tidak stabil. Kardioversi aman dalam
semua tahap keahmilan dan tidak mengganggu aliran darah fetal, dan
memiliki risiko rendah mencetuskan aritmia fetal atau menginduksi
persalinan pre-term. Pengawasan denyut jantung janin harus dilakukan
setelah kardioversi[4].

Ablasi kateter harus ditunda hingga memasuki trimester kedua jika


memungkinkan[4].

Pengobatan untuk mencegah SVT sebaiknya dihindari, kecuali jika


menyebabkan gejala yang signifikan ataupun mengganggu hemodinamik[4].

Panduan yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology (ESC)


menggolongkan PSVT, AF dan sindrom WPW kedalam risiko rendah, dan
konsultasi kardiologis merupakan satu-satunya rekomendasi pada keadaan
persalinan. SVT tidak stabil digolongkan sebagai risiko sedang dan
dibutuhkan konsultasi dengan tim multidisiplin khusus, termasuk
arrythmologist.. Telemetri, akses intravena dan cardioverter defibrillator
eksternal harus selalu tersedia selama proses persalinan[6].

Pergeseran cairan secara fisiologis atau komplikasi seperti perdarahan


pasca persalinan pada hari pertama pasca persalinan dapat memicu aritmia
dan bahkan gagal jantung. Pengawasan dengan EKG 3 lead dan tanda vital
harus dilakukan minimal 24-48 jam pasca parsalinan pada wanita dengan
kehamilan risiko sedang-tinggi[6].
Gambar 2. Daftar obat-obatan yang aman digunakan selama kehamilan
dan menyusui[6].
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang perempuan berusia 24 tahun datang ke Pasien datang ke IGD RSU


Dirgahayu dengan keluhan dada berdebar sejak 12 jam sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan berdebar disertai dengan rasa seperti tertekan, tidak menjalar ke
tangan kiri maupun ke rahang. Keluhan tidak makin parah jika beraktivitas. Pasien
mengaku keluhan membaik dengan istirahat. Awalnya pasien mengaku pada saat
kontrol dengan dokter Sp. OG 5 hari yang lalu, pasien diberitahu nadi pasien
130x/menit, tetapi pasien merasa baik-baik saja. Pasien mengaku mengkonsumsi
obat tremenza sekitar 5 hari SMRS karena keluhan pilek.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan hasil sebagai berikut:
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Laju Napas : 24 x/menit
Detak Jantung : 228 x/menit
Suhu : 36.5oC
Saturasi O2 : 98 % Pulse
Pada pemeriksaan fisik jantung didapatkan hasil sebagai berikut:
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tak kuat angkat
Perkusi :
 Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra.
 Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicula
sinistra
 Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : denyut jantung regular cepat, S1-S2 intensitas
normal, bunyi jantung tambahan tidak ditemukan,
gallop (-), murmur (-)

Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan hasil sebagai berikut


Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, teraba janin tunggal intrauterine, presentasi kepala,
punggung kanan, TFU 26 cm

Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EKG dan laboratorium


darah. Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan nrama junctional, laju jantung
197x/menit, reguler, normoaxis, tidak ditemukan hipertrofi, tidak ada tanda
iskemia, sugestif adanya AVNRT. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kesan lekositosis (16.700/uL).

Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas, maka pasien didiagnosis dengan


G1P0A0 usia kehamilan 26-27 minggu dengan supraventricular tachycardia.

Pasien kemudian diberikan tatalaksana berupa digoxin IV 0.5 cc, diencerkan


hingga 10 cc bolus perlahan dan ranitidine IV 1 ampul jam 10.30. Pada
pemeriksaan evaluasi jam 13.30, didapatkan laju nadi pasien 102 x/menit. Pasien
kemudian dirawat di ICU.

Perubahan anatomis, hemodinamik dan hormonal pada ibu hamil


menjadikan kehamilan sebagai periode yang berisiko tinggi terhadap terjadinya
aritmia onset baru maupun rekurensi aritmia. Risiko aritmia meningkat pada
trimester ketiga. Faktor risiko maternal antara lain riwayat aritmia, hamil tua,
keturunan Afrika, penyakit jantung kongenital[6]. SVT non AF (AVNRT, AVRT,
dan atrial tachycardia) pada kehamilan dilaporkan terjadi pada 22-33/100000
kehamilan. SVT pada masa kehamilan dihubungkan dengan peningkatan angka
mortalitas ibu hamil (Odds ratio=6)[1].

Semua obat-obatan antiaritmia dapat melewati plasenta, tetapi data


mengenai toksisitas fetal dari obat-obatan tersebut masih belum banyak. Jika
memungkinkan, hindari terapi farmakologis hingga akhir trimester pertama.
Pengobatan awal harus dilakukan dengan manuver non invasif (manuver vagal).
Jika pengobatan ini gagal, adenosin merupakan obat lini pertama jika dibutuhkan
pada trimester kedua dan ketiga. Tidak terdapat cukup banyak penelitian
mengenai pengobatan SVT pada trimester pertama[4].

Beta blockers dapat menyebabkan bradikardia dan hipoglikemia pada fetus,


dan jika diperlukan, dapat digunakan beta blockers selektif beta-1 karena memiliki
efek minimal terhadap relaksasi uterus. Terdapat laporan yang menyatakan
adanya hubungan antara penggunaan beta-adrenergic blocker pada trimester
pertama dengan multicystic renal dysplasia[4].

Penggunaan diltiazem pada studi hewan menunjukan efek teratogenik dan


data pada studi manusia masih sedikit, sehingga tidak dianjurkan dalam
kehamilan. Verapamil lebih aman digunakan dalam kehamilan dan digunakan
sebagai lini kedua pengobatan[4].

Digoxin dapat digunakan untuk mensupresi atau terminasi


AVRT/AVNRT[6].

Kardioversi merupakan pilihan pertama ketika terjadi aritmia yang disertai


dengan hemodinamik yang tidak stabil. Kardioversi aman dalam semua tahap
keahmilan dan tidak mengganggu aliran darah fetal, dan memiliki risiko rendah
mencetuskan aritmia fetal atau menginduksi persalinan pre-term. Pengawasan
denyut jantung janin harus dilakukan setelah kardioversi[4].

Ablasi kateter harus ditunda hingga memasuki trimester kedua jika


memungkinkan[4].
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Zaiti SS, Magdic KS. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia:


Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Crit Care Nurs Clin North
Am [Internet] 2016;28(3):309–16. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cnc.2016.04.005

2. Mahtani AU, Nair DG. Supraventricular Tachycardia. Med Clin North Am


[Internet] 2019;103(5):863–79. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.mcna.2019.05.007

3. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of


medical students and faculty. Wolters Kluwer; 2015.

4. Aepc CC, Diller G, Grace A, Germany KK, David P, United L, et al. 2019
ESC Guidelines for the management of patients with supraventricular
tachycardia The Task Force for the management of patients with
supraventricu- lar tachycardia of the European Society of Cardiology ( ESC
). 2020;655–720.

5. Medi C, Kalman JM, Freedman SB. Supraventricular tachycardia.


2009;190(5).

6. Ramlakhan KP, Kauling RM, Schenkelaars N, Segers D, Yap S-C, Post


MC, et al. Supraventricular arrhythmia in pregnancy. Heart 2022;heartjnl-
2021-320451.

You might also like