Professional Documents
Culture Documents
Wanita 24 Tahun G1p0a0 Uk 26-27 Minggu Dengan Atrioventricular Node Reentrant Tachycardia
Wanita 24 Tahun G1p0a0 Uk 26-27 Minggu Dengan Atrioventricular Node Reentrant Tachycardia
Diajukan Kepada:
dr. Stefan Hendyanto Sp. JP
Disusun Oleh:
dr. William Gani
RS DIRGAHAYU SAMARINDA
MARET
2022
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Rawasari No. 5
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 16 Februari 2022
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Berdebar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Dirgahayu dengan keluhan dada berdebar
sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan berdebar disertai
dengan rasa seperti tertekan, tidak menjalar ke tangan kiri maupun ke
rahang. Keluhan tidak makin parah jika beraktivitas. Pasien mengaku
keluhan membaik dengan istirahat. Awalnya pasien mengaku pada saat
kontrol dengan dokter Sp. OG 5 hari yang lalu, pasien diberitahu nadi
pasien 130x/menit, tetapi pasien merasa baik-baik saja. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat tremenza sekitar 5 hari SMRS karena keluhan pilek.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat jatuh : (-)
Riwayat kejang : (-)
Riwayat stroke : (-)
Riwayat jantung : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa dalam keluarga disangkal.
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes
5. Riwayat Personal Sosial
Merokok (-), alkohol (-).
C. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Compos Mentis
b) Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Laju Napas : 24 x/menit
Detak Jantung : 228 x/menit
Suhu : 36.5oC
Saturasi O2 : 98 % Pulse
c) Keadaan Sistemik
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : JVP 5+2 cm H2O
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tak kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra.
Batas kiri : ICS V 1 cm medial linea
midclavicula sinistra
Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : denyut jantung regular cepat, S1-S2 intensitas
normal, bunyi jantung tambahan tidak ditemukan,
gallop (-), murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-),
ronki basah kasar (-/-).
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, teraba janin tunggal intrauterine, presentasi
kepala, punggung kanan, TFU 26 cm
Extremitas
- - - -
- - - -
b) Laboratorium
Hematologi
MCH 28 26-34
P-LCR 22 17.9-43.7
Kimia Klinik
SGOT 24 0-35
SGPT 45 ↑ 0-41
Na 144 135-155
K 3.9 3.6-5.5
Cl 102 95-108
E. Diagnosis Kerja
G1P0A0 usia kehamilan 26-27 minggu dengan atrioventricular node reentry
tachycardia
F. Penatalaksanaan
- Rawat inap ICU
- Digoxin IV 0.5 cc diencerkan hingga 10 cc, bolus perlahan
- Ranitidin IV 1 ampul/12 jam
- Raber dengan Sp. OG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
C. Klasifikasi
D. Patofisiologi
3. Sinus tachycardia
Sinus tachycardia adalah keadaan dimana nodus SA melepaskan
impuls dengan kecepatan ≥100x/menit (biasanya sekitar 100-180x/menit)
dengan gelombang P dan kompleks QRS yang normal. Keadaan ini
biasanya disebabkan karena adanya peningkatan simpatis dan penurunan
tonus vagal. Sinus takikarida merupakan respons fisiologis normal pada
saat berolahraga. Keadaan ini juga dapat terjadi karena peningkatan
stimulasi simpatis terhadap kondisi patologis, termasuk diantaranya
demam, hipoksemia, hipertiroid, hipovolemia dan anemia. Pada keadaan
dimana terdapat sakit yang mendasari, sinus takikardi biasanya merupakan
penanda dari keparahan proses patologis primer[3].
4. Atrial flutter
Atrial flutter merupakan keadaan dimana didapatkan aktivitas atrial
yang cepat dan regular, mencapai 180-350x/menit. Kebanyakan dari
impuls tersebut akan sampai ke nodus AV pada periode refrakter, sehingga
tidak akan diteruskan ke ventrikel. Atrial flutter dengan kecepatan
≤100x/menit biasanya tidak menunjukkan gejala.
Atrial flutter disebabkan oleh adanya reentry pada sirkuit yang
besar. Umumnya, sirkuit ini berada pada jaringan atrium disekitar cincin
katup trikuspid. Gelombang depolarisasi ini akan berjalan melalui septum
interatrial, berjalan menuju atap dan kemudian turun melalui dinding
atrium kanan menuju pada bagian dasar dari atrium kanan diantara cincin
katup trikuspid dan vena cava inferior. Karena sebagian besar dari atrium
akan terdepolarisasi selama siklus tersebut, gelombang P akan menunjukan
gambaran sawtooth. Sirkuit ini juga dapat terbentuk pada bagian atrium
lain, biasanya berada pada daerah yang pernah mengalami perlukaan, baik
dari penyakit, operasi jantung maupun prosedur ablasi[3].
Gambar 2.5 EKG pada atrial flutter. Panah biru menunjukan sawtooth
appearance[3].
5. Atrial fibrillation
Atrial fibrillation adalah keadaan dimana terdapat ritme yang kacau
dengan kecepatan atrium yang sangat cepat (350-600x/menit), sehingga
gelombang P tidak tampak pada pemeriksaan EKG. Pada keadaan ini akan
ditemukan ritme jantung yang irregularly irregular. Ritme ventrikular
pada keadaan ini berkisar antara 140-160x/menit. Sama seperti atrial
flutter, AF dengan kecepatan ≤100x/menit biasanya tidak menunjukkan
gejala.
Atrial fibrillation disebabkan karena adanya wandering reentrant
circuits multiple didalam atrium, dan pada beberapa pasien, ritme dari
jantung akan btertukar secara bergantian berulang kali antara fibrillation
dan flutter. Atrial fibrillation berhubungan dengan pembesaran atrium,
sehingga, keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan dan
pembesaran atrium (gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner,
penyakit paru-paru) akan meningkatkan risiko terjadinya AF.
Tirotoksikosis dan konsumsi alkohol juga dapat mencetuskan AF pada
beberapa individu[3].
Gambar 2.6 EKG pada atrial fibrillation[3].
E. Manifestasi Klinis
Tingkat keparahan gejala bervariasi dan bergantung pada usia pada saat
sserangan pertama, detak jantung, durasi takikardia, penyakit jantung yang
mendasari, dan persepsi individu. Individu dengan onset pada usia remaja atau
lebih muda memiliki risiko lebih kecil untuk menderita AT atau AF
dikemudian hari. SVT yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan
kardiomiopati, iskemi miokard dan gagal jantung pada individu yang memiliki
penyakit jantung koroner atau disfungsi miokard sehingga diagnosis awal dan
manajemen penting untuk segera dilakukan[3–5].
PSVT ditandai dengan onset dan terminasi gejala yang tiba tiba. PSVT
dapat menyebabkan gangguan pada kualitas hidup pasien, bergantung pada
frekuensi munculnya serangan, durasi dan apakah gejala muncul pada saat
beraktivitas ataukah saat beristirahat. Manifestasi klinis yang dijumpai antara
lain palpitasi, nyeri dada, sinkop. PSVT sering salah terdiagnosa sebagai panik
maupun kecemasan, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan
psikologis. [2,3,5].
Pada pemeriksaan fisik, takikardia mungkin hanya merupakan gejala
yang ditemukan. Pada beberapa kasus PSVT dapat ditemukan peningkatan
jugular venous pressure (JVP) yang juga dikenal sebagai frog’s sign/shirt
flapping. Frog’s sign terjadi ketika atrium berkontraksi saat katup trikuspid
tertutup, sehingga darah akan mengalir secara retrograde kedalam sistem
vena[2,4].
F. Diagnosis
G. Manajemen
Manajemen awal pada pasien SVT umumnya berupa pendekatan non-
medikamentosa. Jika dengan pendekatan non-medikamentosa masih belum
didapatkan perbaikan dapat digunakan obat-obatan secara intravena maupun
dengan kardioversi. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,
kardioversi merupakan terapi lini pertama[4].
Adenosin merupakan obat lini pertama pada SVT. Dosis rata-rata yang
digunakan untuk terminasi SVT adalah 6 mg. untuk mencapai koreksi ritme
yang efisien, injeksi dilakukan secara bolus cepat diikuti flush cairan saline.
Vena besar yang berada ditengah (contoh: antecubital) cenderung akan
menghantarkan obat lebih efektif ke jantung. Peningkatan dosis dilakukan
secara perlahan, dimulai dari 6 mg pada orang dewasa, diikuti oleh 12 mg.
Dosis 18 mg dapat dipertimbangkan. Waktu paruh adenosin sangat pendek,
dan efek pada organ dapat dicapai dalam 20-30 detik, sehingga pemberian
adenosin tambahan dapat diberikan 1 menit sejak bolus pertama. Pemberian
adenosin dapat menyebabkan peningkatan ventilasi transien, kemerahan pada
wajah, nyeri dada, depresi nodus SA[4].
Pada pasien simptomatis dengan onset yang baru saja muncul, terapi
paling cepat adalah kardioversi
Atrial flutter bisa diterminasi dengan rapid atrial stimulation (burst
pacing) menggunakan pacemaker permanen maupun sementara
Pada pasien yang tidak membutuhkan kardioversi segera dapat diberikan
terapi farmakologis. Pertama, turunkan kecepatan ventrikel dengan
menggunakan obat yang meningkatkan blok nodus AV: beta blockers,
CCB non-dihidropyridine atau digoksin. Saat kecepatan sudah turun,
dapat diberikan obat antiaritmia untuk mengembalikan ritme sinus
menggunakan antiartimia yang memperlambat konduksi atau
memperpanjang periode refrakter dari mikoard atrium (antiaritmia kelas
IC atau III). Jika terapi farmakologis gagal, dapat dilakukan kardioversi.
Jika terapi untuk keadaan kronis dibutuhkan untuk mencegah rekurensi,
abalasi kateter sering merupakan terapi yang lebih baik dibandingkan
dengan terapi farmakologis[3].
Pada AF, terapi antiaritmia mirip dengan terapi atrial flutter. AF dapat
diberikan beta blockers dan CCB untuk meningkatkan blok pada nodus AV
sehingga dapat mengurangi kecepatan ventrikular. Digitalis kurang efektif
dalam rate control, tetapi dapat digunakan pada pasien yang memiliki
gangguan fungsi kontraksi ventrikular. Pada pasien yang tetap simptomatis
meskipun dengan teerapi rate control yang adekuat, sering dilakukan upaya
untuk mengembalikan menjadi ritme sinus. AF yang sudah ada sejak 48 jam
berisiko muncul formasi thrombus atrial, sehingga antikoagulan dapat
diberikan selama minimal 3 minggu sebelum kardioversi untuk mengurangi
risiko tromboemboli. Pada pasien dengan AF asimptomatis, pengobatan rate
control dan antikoagulan sudah lebih dari cukup, sehingga pasien tidak perlu
dilakukan kardioversi. Terapi non-farmakologis lainnya yang dapat dilakukan
antara lain bedah maze procedure, percutaneous catheter ablation, left atrial
appendage ligation/occlusion.[3]
4. Aepc CC, Diller G, Grace A, Germany KK, David P, United L, et al. 2019
ESC Guidelines for the management of patients with supraventricular
tachycardia The Task Force for the management of patients with
supraventricu- lar tachycardia of the European Society of Cardiology ( ESC
). 2020;655–720.