Professional Documents
Culture Documents
PDF Profil Pengusaha Muda Sukses - Compress
PDF Profil Pengusaha Muda Sukses - Compress
Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi
Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri
2007. Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha
sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi
mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel.
Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan
tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.
Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri
merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta.
Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar
di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari,
perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer
yang memiliki latar belakang pendidikan formal. Pada tahun pertama, Kedai Digital telah
berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta.
Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan
outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar. Hingga akhir tahun silam, Kedai
Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang
menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya.
Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising
seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen,
Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba. Menurut Nur Alfa Agustina,
Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda
Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif
karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah
Yogyakarta.
Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga
pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak
mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship,
lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial. Soal yang
terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut
memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital.
Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka
terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mer eka juga harus menjadi owner,”
katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan. Sumber:
http://www.purdiechandra.net.
Meski hanya lulusan sekolah menengah atas, Arifdiarto Ambar Wirawan (35) atau yang akrab
disapa Kelik berhasil menjadi pengusaha sukses. Usaha geplak dan peyek tumpuk yang sudah
digelutinya selama 10 tahun ini mampu meraih omzet hingga Rp 60 juta per bulan.
Dengan margin 30 persen, Kelik bisa menyisakan keuntungan sekitar Rp 18 juta per bulan. Nilai
yang luar biasa bagi pengusaha di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Meski sudah sukses,
ia belum merasa puas. Penambahan cabang gerai baru di kota lain menjadi
obsesinya ke depan.
Kelik membuka usaha geplak dan peyek tumpuk bersama istrinya, Sri Kasih (32), di Jalan Wahid
Hasyim, Bantul. Toko berukuran 5 x 8 meter itu berdampingan dengan rumah tempat tinggalnya
sekaligus lokasi produksi. Dulu, toko itu hanya berupa bangunan bambu, tetapi kini sudah
berkembang menjadi bangunan permanen dengan desain lebih menarik.
Dalam sehari, Kelik membutuhkan sekitar 2,5 kuintal gula pasir untuk membuat geplak. Untuk
peyek tumpuk, ia butuh sekitar 50 kilogram kacang dan 25 kilogram tepung beras per hari.
Untuk membantunya berproduksi, ia mempekerjakan 20 tenaga kerja.
Apa istimewanya geplak buatan Kelik. Menurut dia, ia hanya menggunakan gula asli tanpa
pemanis sehingga rasa manisnya lebih mantap. Tak heran jika geplak yang dijual seharga Rp
16.000 per kilogram itu laris manis. ”Kalau bentuknya hampir sama produk milik
orang lain, tetapi dari segi rasa, konsumen bisa membedakannya,” katanya.
Untuk membuat geplak, ia memakai kelapa, gula, dan aroma sesuai selera. Proses pembuatan
geplak diawali dengan pemarutan kelapa lalu santannya ditempatkan di kuali dan dicampur
dengan gula kemudian diaduk. Setelah dinaikkan ke tungku sekitar 4 jam, lalu diturunkan dan
diberi aroma, olahan itu kemudian dibentuk dan diangin-anginkan selama 10 menit.
Menurut Kelik, produknya yang dinilai istimewa adalah peyek tumpuk. Sesuai dengan namanya,
peyek tersebut dibuat dengan cara menyusun sehingga membentuk rangkaian peyek. Berbeda
dengan peyek pipih yang dimasak dengan satu kali penggorengan, peyek tumpuk digoreng
selama tiga kali.
Pertama, penggorengan dimaksudkan untuk membuat susunan peyek. Setelah terbentuk susunan,
peyek dipindahkan ke penggorengan kedua. Pada penggorengan pertama, nyala api harus kuat
agar efek panasnya tinggi. Tujuannya supaya kacangnya bisa lekas matang. Di penggorengan
kedua, nyala api justru lebih kecil karena tujuannya supaya peyek secara keseluruhan bisa
matang. ”Kalau apinya terlalu besar, bisa gosong,” ujar bapak tiga anak ini.
ini.
”Untuk membuat peyek dan geplak, dalam sehari saya butuh sekitar 750 butir kelapa. Kalau
tempurungnya tidak saya manfaatkan kan sayang. Hitung-hitung, ongkos produksi bisa ditekan,
katanya.
apalagi harga gas dan minyak tanah sudah sangat mahal,” katanya.
Ide pembuatan peyek tumpuk sebenarnya berasal dari mertuanya yang kebetulan bernama Mbok
Tumpuk. Sebagai menantu, Kelik berhasil meningkatkan usaha mertuanya dengan tetap
mempertahankan nama Mbok Tumpuk sebagai identitas produknya.
Selain konsiste
konsistensi
nsi, lanjut Kelik , faktor kejujuran juga memegang peranan
penting. Kepada pembeli, ia selalu menginformasikan soal masa kedaluwarsa produknya.
Kalau waktunya tinggal sedikit, ia menyarankan pembeli tidak mengambilnya, apalagi jika
peyek atau geplak tersebut akan dibawa ke luar kota.
Kelik hanya menjual geplak dan peyeknya di toko sendiri . Ia sengaja tidak
menitipkannya ke toko-toko
kualitas tidak bisa terkontrol.lain meski
”Bisa sajabanyak
di toko permintaan.
lain produk Ia khawatir
kami dijual bila dititipkan,
sangat harga dan
mahal. Mereka
juga bisa saja menjual
menjual produk kedaluwarsa
kedaluwarsa.. Kalau sudah begitu,
begitu, citra kami pasti hanc ur,”
hancur,”
katanya.
Ia berharap bisa membuka gerai sendiri di kota-kota besar. Dengan pengendalian sendiri, ia
yakin usahanya bisa maju karena semuanya lebih terkontrol. Sampai sekarang saja, Kelik
bersama istri masih terlibat langsung dalam proses peracikan bumbu.
”Jangan terlalu percaya dengan karyawan. Semuanya harus kami monitor selama
kami masih sanggup,” ujarnya. Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com
http://bisniskeuangan.kompas.com