You are on page 1of 4

Pengajaran Berbasis Sastra

Sat, 30 Dec 2006 01:42:17 -0800


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/122006/27/0901.htm
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH
KURIKULUM didesain sebagai pedoman atau garis besar bagi guru untuk
membelajarkan siswa. Kurikulum seyogianya peka terhadap tantangan zaman agar siswa
mampu menari mengikuti irama musik zaman. Sebagai perbandingan, peluncuran Sputnik
oleh Uni Soviet pada tahun 1957 dianggap sebuah ancaman bagi AS. Maka kurikulum di
review untuk mengimbangi kemajuan teknologi Uni Soviet. Sekolah-sekolah menekankan
matematika, sains, bahasa asing, dan mata-mata pelajaran yang terkait dengan pertahanan.
Sesuai dengan filsafat yang dianut Dewey (1859-1952), sekolah mesti mencetak
siswa sebagai warga negara yang demokratik, berpikir bebas dan cerdas. Progresivisme
sebagaimana dikembangkan oleh Dewey menghormati perorangan, sains, dan menerima
perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini mendorong sekolah untuk
mengembangkaan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa.
Bagi Dewey, ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan baru.
Pendidikan dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan
problem, ia mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1)
Sadari problem yang ada; (2) Definisikan peroblem itu; (3) Ajukan sejumlah hipotesis
untuk memecahkannya; (4) Uji telik konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat
pengalaman silam; (5) Alami; dan (6) Uji coba solusi yang paling memungkinkan.
Para pendidik pengikut aliran Dewey sangat menentang praktik sekolah
tradisional, khususnya dalam lima hal: (1) guru yang otoriter, (2) metode yang terlampau
mengandalkan buku teks, (3) pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, (4) filsafat
empat tembok, yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan (5) hukuman
badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
Bila pada era tahun 1960-an AS mendapat ancaman dari Uni Soviet, adakah
ancaman yang kurang lebih sama bagi Indonesia sekarang ini? Mestinya ada, namun
mungkin mayoritas bangsa Indonesia tidak menyadari esensi-dan sesungguhnya
ancaman--yang dikatakan Huntington lewat bukunya The Clash of Civilization and the
Remaking of World Order (1997) bahwa kultur Eropa akan menjadi kultur universal di
muka bumi.
Dengan melihat tantangan global, khususnya imperialisme kultural sebagaimana
dibentangkan oleh Huntington, kurikulum bahasa Indonesia, khususnya, mesti didesain
untuk menjawab tantangan imperialisme kultural tersebut. Guru bahasa seyogianya tampil
di lini terdepan sebagai pendekar kebudayaan. Mereka ditantang untuk memiliki
kompetensi profesional.
Peran guru bahasa dalam pendidikan sangat mendasar dengan melihat tiga
prinsip yaitu: (1) bahasa adalah media pembelajaran segala mata pelajaran di sekolah, (2)
bahasa adalah alat berpikir, dan (3) bahasa adalah alat komunikasi. Bukankah pendidikan
diniati untuk meningkatkan kualitas berpikir, dan untuk menyiapkan siswa agar mampu
bersosialisasi dan berkomunikasi secara fungsional dalam lingkungannya? Penguasaan
bahasa, dengan demikian, merupakan dasar bagi pendidikan sebagai proses maupun
pendidikan sebagai hasil.
Sekadar perbandingan, mereka yang memilih profesi guru bahasa (Inggris) di AS
adalah mereka yang gila baca dan gila tulis. Lewat pendidikan guru, mereka dibekali
pemahaman bagaimana berbagai kelompok siswa belajar baca-tulis dan metodologi

1
pengajarannya. Dengan kata lain, guru bahasa seyogianya memiliki kompetensi
profesional di atas rata-rata. Mereka harus mampu menulis.
Mengapa sastra?
Ada sejumlah alasan di balik pengajaran bahasa berbasis sastra sebagai berikut. Pertama,
secara psikologis manusia memiliki kecenderungan (hanifa) untuk menyukai realita dan
fiksi. Kita hidup dalam keduanya. Sastra memberikan kesempatan yang tak terbatas untuk
menghubungkan bahasa dan pengalaman siswa.
Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan
pengalaman dan masalah pribadi dan lewat sastra pembaca belajar bagaimana orang lain
menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang
seyogianya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan.
Keempat, berbeda dengan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara,
membaca, menulis), sastra dalam dirinya ada isi, yakni nilai-nilai dan interpretasi
kehidupan. Sastra jauh lebih mantap daripada buku teks untuk mengembangkan
keterampilan berbahasa karena, antara lain, dalam sastra fokus utama pada makna bukan
pada keterampilan berbahasa atau kosakata yang cenderung terisolasi dan tidak
konstekstual.
Kelima, melalui sastra siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan
bahasa yang mengkoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan
pengalaman personal dan kolektif. Dengan kata lain, siswa diterjunkan langsung ke dalam
dunia nyata lewat rekayasa imajiner.
Keenam, pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan naratif
atau narrative intelligence, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan
memproduksi narasi. Sastra menawarkan ragam struktur cerita, tema, dan gaya penulisan
dari para penulis. Dengan narasi dimaksudkan sejumlah teks seperti fiksi, biografi,
autobiografi, memoar, dan esai historis atau materi faktual lainnya.
Ketujuh, beberapa penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
pengajaran tata bahasa, pengajaran sastra lebih berkontribusi terhadap kemampuan
menulis. Dengan membaca sastra, siswa dengan sendirinya-tanpa disadari--akan mengenal
tata bahasa. Selain itu, apresiasi terhadap berbagai karya sastra meninggalkan pada benak
siswa model-model karya sastra yang dapat dijadikan contoh dalam mengarang. Siswa
belajar mengarang lewat praktik mengarang. Kegiatan saling baca (peer editing) dan
menulis sejumlah draf karangan (multiple drafting) sangat diperlukan untuk meningkatkan
kualitas karangan dan untuk membangun paguyuban pembaca-penulis.
Dengan alasan-alasan di atas, guru sesungguhnya dapat menggunakan karya
sastra sebagai basis bagi pengajaran bahasa. Berikut ini dijelaskan sejumlah konsep,
teknik, dan kegiatan belajar-mengajar yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum
Bahasa Indonesia dari SD sampai SMA.
Pertama, tema atau topik dipilih oleh guru dan siswa. Sebuah tema sastra akan
bermakna manakala tema itu dipilih bersama-sama. Setelah beberapa tema diselesaikan,
akan diketahui adanya minat khusus siswa yang bisa dijadikan tema studi mandiri
(independent reading) atas bimbingan guru. Pembelajaran literasi seyogianya menjunjung
kepemilikan (ownership) pada pihak siswa atas seleksi dan panduan guru.
Kedua, diskusi berbasis topik. Diskusi sastra dimaksudkan untuk membiasakan
siswa melakukan sintesis ihwal materi sastra dan membuka wawasan untuk bacaan
selanjutnya, mungkin dengan melakukan penelitian di perpustakaan. Setelah beberapa
diskusi kecil, siswa dibiasakan melakukan diskusi besar (diskusi kelas).
Ketiga, pengalaman sastra. Ini merupakan inti dari pendekatan sastra. Guru
membaca beberapa pilihan karya sastra dan menghubungkannya dengan bacaan-bacaan
2
lainnya-misalnya pelajaran IPA atau agama--yang terkait dengan tema tertentu. Respons
siswa terhadap sastra dapat berupa respons kognitif atau afektif. Membaca nyaring karya
sastra, khususnya pada kelas-kelas rendah, dapat dilakukan untuk berbagi pengalaman
sastra ini.
Keempat, eksplorasi individual terhadap sastra. Siswa dibiasakan melakukan
eksplorasi sastra secara mandiri, misalnya dengan berkunjung ke perpustakaan. Setiap
siswa memiliki koleksi pilihannya untuk dipajangkan di kelas. Siswa disarankan untuk
saling berbagi informasi ihwal koleksi ini. Koleksi ini membentuk portofolio kelas.
Kelima, memahami perbedaan sudut pandang. Sebagai gambaran kehidupan
masyarakat, karya sastra sering kali menggambarkan sudut pandang, nilai-nilai sosial yang
berbeda, bahkan bertentantangan satu sama lain. Hal demikian itu seyogianya
diakomodasi dalam pengajaran sastra, sehingga siswa sudah terbiasa dengan perbedaan
pendapat.
Keenam, memahami konvensi penulisan. Lewat karya sastra siswa mesti dilatih
terbiasa dengan konvensi penulisan untuk memahami pesan bahasa tulis. Hal-hal seperti
penulisan cetak miring, cetak tebal, garis bawah, garis miring, penggunaan tanda baca dan
huruf besar seyogianya diajarkan sejak SD.
Ketujuh, penggunaan seni kreatif dan ekspresif. Sastra membangkitkan imajinasi
yang dapat disalurkan lewat seni. Siswa dilatih terbiasa mendengar dan memproduksi
bahasa kreatif dan ekspresif. Siswa yang mendapat kesulitan berekspresi kreatif lewat
tulisan mungkin dapat melakukannya lewat media lain seperti seni rupa, seni pertunjukan,
tarian, dan lain sebagainya.
Kedelapan, penggunaan media. Penggunaan media seperti film, gambar, slide,
dan sebagainya dapat mengembangkan topik bahasan. Siswa seyogianya didorong untuk
mengeksplorasi berbagai media untuk mengapresiasi dan berekspresi diri secara
perorangan atau kolektif.
Kesembilan, berkisah (story telling). Keterampilan berkisah, khususnya buat
anak, sangat diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi siswa. Ini bukanlah sesuatu yang
mewah, tetapi sering kali diabaikan padahal penting dilakukan. Dalam program
pengajaran sastra, guru bisa saja melatih siswa berkisah ihwal fiksi yang sudah dibaca di
kelas atau bahkan melombakannya pada tingkat kelas atau bahkan sekolah.
Pengajaran bahasa Indonesia berbasis sastra bukan tanpa tantangan. Dalam
kurikulum sekolah selama ini, sastra sering terpinggirkan oleh linguistik, karena dalam
pengamatan saya kini lebih banyak guru yang menguasai linguistik daripada guru yang
menguasai sastra.
Realisasi pendekatan ini mesti berpedoman pada empat hal, sebagai berikut.
Pertama, ada keseimbangan dalam kategori materi sastra, sehingga hampir semua genre
sastra terwakili, misalnya komedi, epik, lirik, legenda, dan fabel, dan sebagainya. Kedua,
kurikulum sastra tidak boleh dibatasi pada tradisi etnis atau aliran tertentu saja. Karya
sastra daerah, nasional, bahkan asing seyogianya terwakili asalkan karya-karya itu cocok
untuk usia siswa.
Ketiga, keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan dan minat kelompok di satu
pihak dan individu siswa pada piak lain. Guru harus peka terhadap berbagai faktor seperti
usia, pengalaman, perkembangan akademik, cara belajar, dan lingkungan sosial siswa.
Keempat, keseimbangan dalam hal kualitas karya sastra. Pada tahap awal bisa jadi siswa
dibiarkan membaca apa saja yang disukainya, tetapi lambat laun mereka mesti
diperkenalkan kepada karya sastra yang berkualitas, yakni yang memenuhi empat kriteria
yang relatif universal, yaitu adanya (1) kebenaran, (2) kejujuran, (3) keindahan, dan (4)
keabadian.***
3
Penulis, dosen di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

You might also like