You are on page 1of 3

1.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR

Ilmu tafsir memiliki tahap-tahap yang dilalui, sejak pertumbuhan, pengkodifikasian


sampainmasa kita sekarang ini, yang dapat saya ringkaskan ke dalam tahap-tahap sebagai
berikut :

A. Tahap pertama (masa sahabat dan tabi’in)


Al-qur’an al-Karim turun kepada rasulullah saw. Pada malam al-Qadar bulan
Ramadhan. Lalu cahaya hidayah menyinari seluruh manusia, gemerlapnya hidayah
menerangi alam, al-Qur’an turun terus menerus, Rasul menerima dan membacakannya
kepada para sahabat juga mengkajinya di kalangan mereka. Setiap kali muncul
permasalahan hukum, mereka segera mempelajarinnya, atau permasalah akidah dan
syariah, mereka segera memahaminya. Rasulullah saw. Menjelaskan apa saja yang mereka
butuhkan. Karena beliau adalah penyampai dari Tuhannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Maidah:
67). Beliaulah yang mendapatkan tugas menjelaskannya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
telah kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. al-Nahl:
44.
B. Tahap kedua

Tahap ini dimulai pada akhir masa Bani Umayyah dan awal masa Bani Abbasiyyah,
ketika dimulainya pembukuan terhadap berbagai macam ilmu. Permulaan tafsir adalah
bersama pembukuan hadist, ketika tafsir dimasukkan ke dalam salah satu bab dalam buku-
buku hadist. Yang dikodifikasikan saat itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan
dengan sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Di dalam al-
kutub al-sittab banyak ditemukan bukti mengenai hal ini.

Sampai saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir al-Qur’an baik secara
keseluruhan maupun sabagaiannya. Usaha-usaha untuk menafsirkan al-Qur’an tidak lebih
dari penghimpunan sabda Rasul, pendapat sahabat dan tabi’in tentang tafsir. Yang mula-
mula menulis tentang hal itu adalah Yazid ibn Harun al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn
al-Hajjaj (w. 198 H), Waki’ ibn al-Jarrah (197 H), Ruh ibn Ubadah al-Bashri (w. 205 H),
Abdurrazzaq ibn Humam (211 H), Abd ibn Humaid (w. 249 H) dan lain-lain.
C. Tahap ketiga

Pada tahap ini, muncul banyak kita tafsir dengan berbagai ragamnya. Mula-mula
tafsir tidak bergerak dari jenis tafsir bil ma’tsur. Namun sanad-sanad mulai terbuang agar
ringkas, dan dikodifikasikan pula riwayat-riwayat dari ulama salaf tanpa menisbatkan
kepada orang yang mengatakannya. Ini jelas lubang yang menjaga masukmya pemalsuan
dan menerobosnya isra’iliyyat ke dalam kitab-kitab tafsir. Sehingga yang shahih berbaur
dengan yang dla’if, yang kuat berbaur dengan yang lemah , yang berkaitan ditinggalkannya
banyak riwayat sehingga nilai kitab-kitab itu menjadi kecil.

2. METODE TAFSIR
Secara umum ada dua metode tafsir dalam islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan kedua
tafsir bir ra’yi :
1. Tafsir bir riwayah
Tafsir yang memahami kandungan ayat al-Qur’an lebih menitikberatkan pada ayat al-
Qur’an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis
dan jarang sekali pengarang tafsir tersebut menaruh pemikirannya.

2. Tafsir bir ra’yi


Tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan peda
pemahaman akal (ra’yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai
ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal.

You might also like