You are on page 1of 11
Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda (Zaenal Arifin) BENANG PENGIKAT WACANA BAHASA SUNDA Zaenal Arifin Pusat Bahasa Jakarta Jalan Daksinapati 4 Rawamangun, Jakarta ABSTRACT The study is about discourse relators in Sundanese. The data of Sundanese ex- pressions will be analyzed using formal discourse analysis, focussing on cohesion. The result shows that there are two kinds of discourse relators in Sundanese which are gram- ‘matically and lexically characterized. The grammatically characterized discourse rela- tors are reference, substitution, ellipsis, and conjunctive relation. The latter comprises, several types and sub-types. Meanwhile, the lexically characterized discourse relators consist of six kinds: repetition, synonym, antonym, hyponym, meronym, and collocation. This latter kind also includes several types and sub-types, The typically unique dis- course relators in Sundanese are cataphoraic pronoun of intra-phrase, inter-sentence, and inter-paragraph, The inter-paragraph cataphoraic pronoun can be used if there is not a new topic between the reference and the referred pronoun, In Sundanese, in order to restate something previously stated, we can use the repetition of the same form or the replacement with co-referential form followed by demonstratives ieu ‘this’, eta ‘that close’, and itu ‘that far’. Moreover, the referential statement or replacement can be followed by the definite demonstratives teh ‘that’ and tea ‘that’. Key words: discourse relators, grammatical, and lexical cohesive device 1, Pendahuluan Di dunia linguistik Barat analisis wacana mulai berkembang sejak diper- kenalkannya makalah yang berjudul Dis- course Analysis oleh Harris pada talun 1952 (Bright 1992: 357; Oetomo 1992: 6; Marcellino 1992: 1). Dalam makalahnya Harris mulai mencari kaidah bahasa yang menjelaskan bagaimana kalimat dalam satu teks dihubungkan oleh semacam tatabahasa yang diperluas, seperti pengacuan anaforis dan kataforis, substitusi, elipsis, hubungan konjungtif, serta hubungan leksikal (Malmkjaer 1991; 100; Octomo 1992: 6). Di Indonesia analisis terhadap tataran pa- Jing besar dalam hierarki kebahasaan itu baru benar-benar berkembang pada tahun 1970-an (Kridalaksan 1978: 34; Oetomo 1992: 1), Analisis wacana (discourse analy- sis) adalah analisis bahasa dalam peng- gunaan (the analysis of language in use) (Brown dan Yule 1987; 1). Sejalan dengan itu, Halliday dan Hassan (1979; 236) dan 1989: 10) mengatakan bahwa analisis wacana, yang disebutnya analisis teks, adalah analisis bahasa dalam pemakaian yang merupakan unit semantis, dan bukan unit struktural atau gramatikal, seperti Klausa dan kalimat. 123 Kaylan Linguistik dan Sastra, Vol. 17, No. 33, 2005: 123-133 Menurut Grice (1975: 45-46), dalam komunikasi verbal, baik yang monolog maupun yang dialog, salah satu syarat penting yang harus diperhatikan adalah kesinambungan proposisi yang diajukan. Kesinambungan itu kadang-kadang mem- punyai monifestasi fonetis yang eksplisit, tetapi kadang-kadang juga hanya terwujud- kan dalam suatu implikatur yang sifatnya tidak langsung atau hanya tersirat (cf. Dardjowidjojo 1986: 93). Teori Grice ten- tang conversational implicature secara mendasar berasal dari prinsip umum per- cakapan, yang disebut cooperative prin- ciple, yang intinya make your contribution such as is re- quired, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged (Grice 1975: 45). Widdowson (1979: 24-29) me- nyatakan bahwa analisis wacana adalah analisis terhadap teks yang mempunyai per- pautan (kohesi) yang terlihat pada per- mukaan (lahir) dan kepaduan (Koherensi), yang berlaku antara tindak wicara yang mendasarinya (batin) (Lihat Moeliono dkk., 1988: 343), Widdowson membuat perang- kat konsep berpasangan yang mendasari kobesi dan koherensi tersebut, yang disebut- nya (a) kategori linguistis dan (b) kategori Komunikatif atau fungsional sebagai berikut. Communicative Categories appropriacy Linguistic Categories... correctness .. usage . signification sentence.. utterance proposition illocutionary act cohesion AS coherence linguistic skills. communicative abilities (Widdowson 1979: 1—69) Dengan latar pokok bahasan yang diuraikan tadi, telaah ini akan mencoba “menerabas” benang pengikat wacana (selanjutnya disingkat BPW) bahasa Sunda, khususnya BPW gramatikal dan BPW Ieksikal. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi lagi suatu “kubangan” dalam Jinguistik Sunda, yang hanya berputar-putar pada masalah fonologi, morfologi, dan sintaksis. Halim (1984: 70) dan Dardjo- widjojo (1986: 93) membagi wacana menjadi tiga macam, yaitu (1) wacana monolog, (2) wacana dialog, dan (3) wacana polilog. Wacana monolog dapat berupa pidato, khotbah, berita di radio dan televisi, dan cerita anak kepada orang tuanya. Menurut Dardjowidjojo (1986: 93), dalam monolog si pembicara atau penulis tidak perlu memperhatikan tanggapan verbal yang dinyatakan oleh lawan bicara atau pembacanya, Wacana dialog melibatkan dua orang pembicara. Sebuah dialog diciri- kan oleh adanya informasi timbal balik di antara penutur dan pendengar (Halim (1984: 70), atau seorang pembicara harus menyimak ‘tanggapan verbal lawan bicaranya sehingga keterkaitan kalimat dengan apa yang dinama- kan adjacency pair ‘pasangan berdampingan’ (Sacks dan Schegloff, 1974) betul-betul diperhatikan (Dardjowidjojo 1986: 93). Se- ‘mentara itu, wacana polilog memungkinkan ‘erjadinya suatu pertukaran informasitiga jalur atau lebih (Halim, 1984: 70). Dengan mempertimbangkan uraian tadi, BPW bahasa Sunda yang merupakan pokok bahasan dan bahan kajian ihwalnya_ dalam penelitian ini adalah BPW gramatikal dan BPW leksikal dalam wacana monolog, dialog, dan polilog. 124 Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda Zaenal Arifn) Penelitian ini bertujuan memerikan (deskripsi) dan menjelaskan (eksplanasi) BPW bahasa Sunda yang sampai saat ini masih dirasakan rumpang dalam khazanah linguistik Sunda. Ihwal BPW yang akan dideskripsi dan dieksplanasi di sini adalah (@)_jenis BPW gramatikal: referensi, sub- stitusi, elipsis, dan relasi konjungtif” (b) jenis BPW leksikal: perulangan, sino- nimi, antonimi, hiponimi, meronimi, dan kolokasi. Selain mendeskripsikan dan meng- eksplanasikan jenis BPW, penelitian ini juga melihat sifat relasi BPW tersebut, yang meliputi (a) pertalian bentuk (relatedness ofform),(b) pertalian referensi (relatedness of reference), dan (¢) persangkutan makna (Semantic connection) (Halliday dan Hassan 1979: 303-304). ‘Sampai saat ini, sepengetahuan pe- nulis, benang pengikat wacana (selanjutnya disingkat BPW) bahasa Sunda belum dides- kkripsikan oleh para linguis, baik linguis yang berasal dari Jawa Barat sendiri, mau- pun linguis yang berasal dari daerah lain. Bahkan, menurut Moeliono (1989), selain benang pengikat wacana, segi bahasa Sunda yang menarik masih banyak yang belum diteliti, dan memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh, Sementara itu, da-lam bahasa Indonesia pembicaraan benang pengikat wacana sudah lebih maju walau- pun kata Tallei (1988: 20), studi tentang wa- cana di Indonesia masih dalam tahap dini, Teori Halliday dan Hasan di dalam buku mereka Cohesion in English (1979) dan di dalam Language, Context, and Text (1989) merupakan landasan teori yang diutamakan, Saya berpendapat bahwa teori kedua penulis tersebut dapat mengungkap dapat mengungkap alat kohesi (benang pengikat) yang formal dalam bahasa Inggris ‘dengan lengkap, dan hal yang relevan dapat diaplikasikan ke dalam bahasa Sunda, Seperti juga dikatakan oleh Brown dan Yule (1987: 190), alat kohesi yang diungkap dalam buku Cohesion in English tersebut tergolong the most comprehensive treatment ofthe subject and has become the standard text in this area, atau menurut Malmkjaer (1991: 463), the major work on cohesion in English, atau analisis kohesi mereka tergolong sistematis (Syukur 1992: 190). Hal yang belum dibicarakan dalam buku pertama (1979) dijelaskan dalam buku kedua (1989). Misalnya, dalam buku kedua (1989) itu mereka telah memperluas pandangan tentang adanya keharmonisan antara perpautan (kohesi) dan kepaduan (Koherensi) dalam suatu wacana yang disebabkan oleh kemeroniman, Pendapat linguis lain yang berkaitan dengan pokok bahasan itu, seperti pendapat Halim (1984), Coulthard (1977, 1992), Kridaalaksana (1978, 1990), Widdowson (1979), Grimes (1980), de Beaugrande (1981), Kaswanti Purwo (1984), Van Dijk (1985), Dardjowidjojo (1986), Samsuri (1987), Moeliono et al, (1988), dan Bright (1992) sangat membantu dalam upaya menyingkap BPW bahasa Sunda ini. De- ngan demikian, landasan teoretis dalam penelitian ini merupakan ramuan selektif dari pendapat para linguis. Pokok-pokok teori yang digunakan adalah sebagai beri- kut. Dalam suatu teks terdapat tekstur, yaitu hubungan semantis antara setiap pesan dalam suatu teks, Tekstur tercipta oleh adanya hubungan kohesif antarkalimat di dalam teks. Karena hubungan kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat diiden- tifikasi sesuai dengan hubungannya dengan unsur yang lain. Sifat tekstur berkaitan dengan pemahaman pendengar/pembaca tentang pertalian makna (semantic coher- ence) (Halliday dan Hasan 1979: 2 dan 1989: 70). Untuk memperjelas konsep itu, Halliday dan Hasan (1989: 70—71) memberikan dua buah contoh (a) dan (b) berikut. 125 Kajian Linguisik dan Sastra, Vol. 17, No. 33, 2005: 123-133 (@) Once upona time there was a little girl and she went out for a walk and she saw a lovely little teddybear and so she took it home and when she got home she washed it. (b) He got up on the buffalo Thave booked a seat Ihave put it away in the cupboard Thave not eaten it. Contoh (a) memiliki kesinam- bungan, sedangkan contoh (b) tidak memi- liki kesinambungan. Kesinambungan mak- na pada (a) itulah yang membentuk tekstur, Sebaliknya, karena contoh (b) tidak mem- punyai kesinambungan, rentetan kalimat tersebut tidak memiliki tekstur. Dalam contoh (a) pronomina per- sona ketiga tunggal, she, dalam setiap keha- dirannya mengacu ke a little girl; pro-no- mina itmengacu ke a lovely little teddybear; Dengan demikian, she berkoreferensi de- ngan a little girl, dan it berkoreferensi dengan a lovely little teddybear. Sebalik- nya, dalam contoh (b), pronomina if tidak berkoreferensi dengan bagian mana pun (ihat Tou 1992: 99). Menurut Halliday dan Hasan (1989: 5), kedua konsep teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang sama. Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya; teks yang ‘menyertai teks lain itu disebut konteks. Menu- rutkedua penulis itu, pengertian mengenai hal ‘yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi terma- suk pula kejadian-kejadian yang nirkata (non- verbal) lainnya keseluruhan lingkungan teks itu, Mengenai hal itu, para linguis membeda- kan koteks dan konteks. Konteks adalah lingkungan kebahasaan, sedangkan ling- ‘kungan luar bahasa, seperti lingkungan situasi tempat teks itu terbentuk, disebut koteks (Kridalaksana 1978: 37; Lyons 1979: 572; Palmer 1989: 49; Hurford 1984: 68-69). Halliday dan Hasan (1989: 10) ‘mengatakan bahwa meskipun teks yang di- tuliskan tampak seakan-akan terdiri atas kata dan kalimat, sesungguhnya teks itu ter- iri atas makna-makna (cf. Tou 1992: 14). Karena sifatnya sebagai satuan makna, teks harus dipandang dari dua sudut secara bersamaan, baik sebagai hasil atau produk ‘maupun sebagai proses (Halliday dan Hasan 1989: 10). Teks merupakan produk dalam arti bahwa teks itu merupakan keluaran (output), sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu dan dapat dituangkan dengan pe- ristilahan yang sistematik. Teks merupakan proses dalam arti bahwa teks merupakan proses pemilihan makna yang terus- menerus, suatu perubahan melalui jaringan makna, dengan setiap perangkat pilihan yang membentuk suatu lingkungan bagi pperangkat yang lebih lanjut (hat Tou 1992: 14). ‘Terdapat_sedikit perbedaan pema- aman di antara para linguis dalam mem- berikan padanan dalam dalam bahasa Indo- nesia bagi konsep kohesi dan koherensi. Tallei (1988), misalnya, memadankan kohesi dengan keterpaduan dan koherensi dengan keruntutan, Baryadi (1990) me- ‘madankan kohesi dengan kestuan dan kohe- rensi dengan kepaduan, Di dalam artikel ini akan digunakan istilah kohesi, yang me- ngacu ke perpautan bentuk, dan istilah koherensi, yang mengacu ke kepaduan ‘makna (lihat Moeliono ef al. 1988: 34). Halliday dan Hasan (1979: 4-8 dan 1989: 48, 73) menyebut kohesi sebagai sa- ‘tuan semantis yang direalisasikan ke dalam tiga strata sistem bahasa, yaitu (1) makna (meaning) sebagai sistem semantis, (2) bentuk (wording) sebagai sistem leksi- kogramatikal, dan (3) bunyi dan tulisan (sounding/writing) sebagai sistem fono- logis dan morfologis. Hal tersebut berarti bahwa kohesi suatu wacana yang berupa 126 Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda (Zaenal Arifin) pertalian unit semantis diwujudkan menjadi bentuk (gramatikal dan leksikal), dan selan- jutnya diwujudkan menjadi suatu ekspresi dalam bentuk bunyi atau tulisan (ef. Baryadi 1990: 41). Halliday dan Hasan memeberikan contoh pertalian semantis antara dua ka- limat berikut, yang direalisasikan dalam bentuk gramatikal, yaitu referensi, Wash and core six cooking apples. Put them into fireproof dish. Pronomina them dalam teks itu mengacu ke six cooking apples secara anaforis dan menciptakan kedua kalimat itu kohesif sehingga keduanya membentuk suatu teks. Beberapa linguis lain juga mem- bedakan satuan sintaksis dan satuan seman- tis dalam sebuah wacana, yang masing- masing disebut perpautan (kohesi) dan kepaduan (Koherensi). Kohesi hanya ber- kaitan dengan bentuk, sedangkan yang berkaitan dengan makna disebutnya kohe- rensi (Dardjowidjojo 1986; Mocliono dkk, 1988; Robins 1988, 1992). Para linguis membedakan kohesi dan koherensi Karena dalam suatu wacana terdapat relasi antarkalimat dalam kondisi dan konteks tertentu tanpa adanya peranan formatif unsur kohesi sebagai alat pemadu, atau kohesinya nirkata (nonverbal), tetapi relasi yang demikian tetap runtut. Relasi semacam itu terjadi karena adanya aspek- aspek semantis yang mempertalikan konstituen-konstituen yang direlasikan. Samsuri (1987/1988: 45) mengatakan bahwa mendapatkan keruntunan tentulah tidak didasarkan memadu pemarkah keter- paduan, tetapi jauh lebih banyak dengan merasakan keruntutan makna kalimat- kalimat itu dalam urutannya, dan tidak semata-mata menemukan pemarkah keter- paduan, Stubbs (1983: .....) menggunakan konsep kohesi, tetapi terbatas pada hubu- ngan kalimat dengan kalimat dalam segi formalnya. Untuk segi makna hubungan kalimat, Stubbs menggunakan konsep koherensi. Robins (992: 351) berpendapat sama dengan Stubbs, yaitu keruntutan wacana tidak selalu ditandai dengan yang eksplisit, tetapi ada unsur konteks ekstralinguistis. Beliau membuat contoh berikut. I think it's going to snow tonight, althougt we're well into late April: bother this weather, Ihave just hedded out the dahlias. Dalam wacana pendek tersebut, menurut Robins (1992: 35), sekurang- kurangnya terdapat dua buah asumsi. Yang pertama adalah anggapan bahwa pada waktu-waktu begini biasanya sudah tidak turun salju. Anggapan kedua adalah bahwa semua orang tahu bahwa bunga dahlia akan rusak oleh cuaca dingin. Halliday dan Hasan (1979: 295— 296) menyebutkan bahwa tekstur yang keruntutannya dengan menggunakan alat kohesi formal disebut sebagai tekstur yang sustnannya ketat dan sarat (tight texture). Sebaliknya, tekstur yang keruntutannya tanpa menggunakan alat kohesi formal disebut sebagai tekstur yang susunannya longgar atau bebas (lose texture). Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada pemakaian BPW gramatikal, yang berupa referensi, sub- stitusi, elipsis, relasi konjungtif, serta BPW leksikal, yang berupa perulangen, sinonimi, antonimi, hiponimi, meronimi, dan kolo- kasi, Pembatasan itu dilakukan karena hal tersebut memiliki seluk-beluk yang kom- pleks, dan memerlukan penanganan khu- sus. Alasan yang lain adalah agar penelitian ini lebih terfokus. 127 Kajian Linguistk dan Sasira, Vol. 17, No. 33, 2005: 123-133 Metode penelitian merupakan pro- sedur kerja yang ditempuh, yang meliputi pengumpulan data, penentuan korpus data, dan analisis data. Pengumpulan data dila- kukan dengan pengartuan data dari cerita pendek bahasa Sunda yang tertulis. Cerita pendek yang tertulis dipilih karena dalam wacana cerita pendek yang tertulis terekam pula wacana lisan (Alwi 1992: 25), yaitu melalui percakapan para tokoh cerita yang ditampilkan pada karya sastra yang ber- sangkutan, Cerita pendek yang dipilih sebagai sumber data adalah Sawidak Carita Pendek ‘Enam Puluh Cerita Pendek’ karya Abdullah Mustappa dkk. (1982) dan dari majalah Sunda Mangle 1990—1992). Dari sejumlah cerita pendek ter- sebut terkumpul korpus data sebanyak 1.451 buah, yang terdiri atas wacana mono- log 887 buah, wacana dialog 535 buah, dan wacana polilog 29 buah. Selain itu, data di- peroleh dari informan yang memenuhi persyaratan, baik segi usia, kesehatan jasmani dan rohani, maupun pendidikan. Dalam analisis data dilakukan pemi- Jahan data atas wacana monolog, dialog, dan polilog. Selanjutnya, dilakukan penentuan BPW gramatikal dan leksikal, serta penen- tuan sifat relasinya masing-masing dengan ‘memperhatikan hubungannya dengan unsur lingual yang lain dan unsur ekstralingual wacana tersebut, Dalam hal-hal tertentu pengujian data menggunakan teknik substitusi, teknik penambahan, dan teknik parafrasa (lihat Sudaryanto 1988: 33). 3. Hasil dan Pembahasan Dari korpus data diperoleh invensi (temmuan) BPW bahasa Sunda sebagai berikut, BPW gramatikal terdiri atas (1) referensi, (2) substitusi, (3) elipsis, dan (4) relasi Konjungtif. Setiap BPW tersebut ‘mempunyai sifatrelasinya masing-masing, baik pertalian bentuk, pertalian referensi, maupun persangkutan makna. Setiap kate gori terbagi menjadi beberapa subkategori dan sub-subkategori. Referensi terdiri atas dua macam, yai- tureferensi cksoforis dan referensi endoforis, ‘Yang tergolong referensi eksoforis adalah manusia, hewan, alam sekitar pada umum- ‘nya, atau suatu kegiatan, Adapun yang terma- suk referensi endoforis adalah pronomina, baik pronomina persona, pronomina demon- stratif, maupun pronomina komparatif. Ber- dasarkan arah acuannya, referensi endoforis terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) refe- rensi anaforis dan (2) referensi kataforis. BPW leksikal terdiriatas (1) reiterasi (reiteration) atau perulangan, (2) kesino- niman, (3) keantoniman, (4) kehiponiman, (5) kemeroniman, dan (6) kolokasi. Setiap Kohesi tersebut memiliki sifat relasinya masing-masing, baik pertalian bentuk, pertalian referensi, maupun persangkutan makna. Setiap kategori BPW tersebut dirinei lagi menjadi beberapa macam kategori dan sub-subkategori. Seperti sudah diuraikan pada bagian awa, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, wacana dialog, dan wacana monolog. Pada bagian di bawah ini ditam- pilkan dua contoh analisis wacana secara komprehensif, yaitu analisis wacana mono- Jog dan wacana dialog. 3.1 Wacana Monolog (®) Tujuh taun ka kang, kuring ge di SMA keneh. (b) Harita teh alam mimiti rame barudak karanceuh marake calana nu nyararepet siga potongan calana upas taun dua puluh, (c) Barudak awewena atuh geus resep mimiti nembong-nembongkeun ba- gian-bagian badan nu matak uruy lalaki. (A) Rokna cukup ngabunian 128 Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda (Zaenal Aria) ‘uur; tapi di lubur blusna bangunna teh dijarieunna oge tina sacewir lala- ‘makan wae. (e) Tew dileungeunan, arta memang matak uruy. (f) Maneh- na oge kaasup mojang nu dangdanna sok kitu, ditambah kuku raranggoas, buuk galing renyek pesenan ti kapsalon. (g) Tapi memang geulis. (h) Kulitna koneng tur beresih, leunge- unna jeung bitisna ngareusi. (i) Najan biwirna beureum ku pulas, tapi mutuh ‘matak kayungyun, (@ ‘Tujuh tahun yang lalu, saya juga masih di SMA. (b) Saat itu alam mulai ramai, anak-anak terpengaruh mema- kai celana yang sempit, seperti po- tongan celana upas tahun dua puluh, (©) Anak perempuan sudah mulai se- nang memperlihatkan bagian-bagian badan yang mengakibatkan laki-laki terangsang. (4) Roknya cukup menu- tup lutut, tetapi di atas blusnya seperti terbuat dari selembar kain saja. (e) Ti- dak memakai tangan serta memang membuat laki-laki tergiur.(f) Dia juga termasuk gadis yang pakaiannya seperti itu, ditambah kuku panjang, rambut keriting kecil buatan salon. (g) Tapi memang cantik, (h) Kulitnya ku- ning dan bersih, tangan dan betisnya berisi. (i) Walaupun bibir merah oleh lipstik, sungguh sangat menyenang- kan, Kata harita ‘saat itw’ pada (b) menyulih fujuh taun ka tukang ‘tujuh tahun ‘yang lalu’ pada (a) secara anaforis. Pemar- keh tentu teh ‘itu’ pada (b) menegaskan harita ‘saat itu’ pada kalimat yang sama. Barudak awewe ‘anak-anak perempuan’ pada (c) merupakan hiponim dati barudak ‘anak-anak’ pada (b). Kategori fatis atuh ‘juga’ menghubungkan (c) dan (b). Prono- mina enklitik—na ‘-nya’ pada rokna ‘roknya (@ mengacu ke barudak awewe ‘anak-anak perempuan’ pada (c) secara anaforis. Kon- jungsi tapi ‘tetapi? pada (4) memperten- tangkan klausa pertama dan kedua pada (d). Enklitik -na *-nya’ pada blusna ‘blusnya’ pada (4) mengacu ke barudak awewe ‘anak- anak perempuan’ pada (c) secara anaforis. Unsur zero (clipsis) @ pada (c) mengacu ke blusna ‘blusnya’ pada (d); bentuk noneliptiknya blusna teu dileungeunan “blusnya tidak memakai tangan’, Manehna *(@ia’ pada (f) mengacu secara kataforis ke bebene ‘pacar’ pada teks berikutnya (antarparagraf). Hal tersebut memperkuat pendapat tentang adanya referensi kataforis antarparagraf. Konjungsi oge ‘juga’ meng- +hubungkan klausa pertama dan kedua pada (d). Demonstrativa jauh kitu ‘begitu’ mengacu ke kalimat (c), (d), dan (e). Kon- jungsi tapi ‘tetapi’ menghu-bungkan kkalimat (g) dan (). Di situ enklitik -na ‘= nya’ mengacu ke manehna ‘(d)ia’, seperti sudah disinggung, mengacu ke anteseden- nya, bebene ‘pacar’, pada teks berikutnya secara kataforis. Demikian pula, -na ‘-nya’ pada kulitna ‘kulitnya’, Jeungeunna ‘tangannya’, dan bitisna ‘betisnya’ (h) mengacu ke manehna *(d)ia’ pada (g). Konjungsi korelatif najan ...,tapi .. ‘walaupun ..., tetapi ... pada (i) memper- tentangkan kedua klausa pada kalimat tersebut. 3.2 Wacana Dialog (@) Heuleut sabulan titas ka dinya harita, malah tulisan kuring ngeunaan manehna oge geus dibaraca kawasna, kurunyung aya semah ka imah, ngahaj henteu ka kantor hoyong ngobrol laluasa. (b) “Katarik ku seratan Ayi, Akang teh, perkawis Aja tea.” (©) “Salajengna?” 129 Kajian Linguitik dan Sast Vol. 17, No. 33, 2005: 123-133 (@) “Leres eta teh, nya?” (e) “Sumuhun saleresna alamatna.” ( “Numawi Akang teh ngaraos hawatos.” (g) “Nulun bae atuh, tiasa masihan jalan, rupina?” (h) “Hoyong ngiring ngusahakeun bae, ‘mung upami tiasa atanapi keresa mah Akang hoyong dijajapkeun,” omong Ki Semah daria naker. (i) Kuring can ngajawab. () “Hawatos Akang teh!” pokna malikan deui omongan nu tadi. (k) “Nuhun pisan abdi ge, eta pisan nu diharep ku abdi numawi abdi nyerat eta masalah dina mas media teh.” sy tah iew (a) ‘Selang sebulan setelah ke sana ketika itu, malahan tulisan saya tentang dia juga sudah mereka baca rupanya, da- tanglah tamu ke rumah, sengaja tidak ke kantor, mau mengobrol leluasa.’ (b) ‘Abang ini tertarik oleh tulisan Adik, tentang Aja.’ (© ‘Selanjutnya?” (@ ‘Betulkah itu?” (e) ‘Memang itu betul, ini alamat rumahnya.” (© ‘Abang ini mrasa kasihan.’ (g) ‘Terima kasih, rupanya dapat membe- tikan jalan.” (h) ‘Ingin ikut mengusahakan saja, tetapi kalau bisa atau jika bersedia, Abang minta diantar, kata tamu dengan bersemangat.’ (‘Saya tidak menjawab.’ @) ‘Abang ini kasihan,’ katanya mengu- angi lagi perkataan tadi.” (&) ‘Terma kasih sekali saya juga, itulah yang saya harapkan.” Unsur zero (elipsis) @ pada klausa pertama dalam kalimat (a) mengacu ke anteseden kuring ‘saya’ pada klausa kedua dalam kalimat yang sama secara kataforis, Bentuk noneliptiknya adalah ti tas ka dinya uring harita ‘dati sesudah saya ke sana’. Demonstrativa dinya ‘sana’ pada (a) ‘mengacu secara anaforis ke tempat Bah Aja pada klausa sebelumnya. Konjungsi mala- han ‘babkan’ menghubungkaan klausa pertama dan kedua pada (c). Pronomina manehna ‘(A) ia’ pada (a) mengacu secara anaforis ke Bah Aja pada teks sebelumnya. Nomina seratan ‘tulisan’ pada (b) bersinonim dengan tulisan ‘tulisan’ pada (a). Nomina 4yi ‘Adik’ berantonim dengan Akang ‘Abang’ pada (b) dan mengacu ke ‘uring ‘saya’ dan semah ‘tamu’, Pemarkah tentu feh pada (b) menekankan Akang “Abang’ secara anaforis. Aja pada (b) meru- pakan perulangan Aja pada teks sebelum- nya, Pemarkah tentu fea ‘itu’ menekankan Aja pada (b). Demonstrativa efa ‘itu’ pada (@ mengacu ke tulisan ngeunaan manehna “tulisan tentang dia’ (Aja) pada (a) secara anaforis. Pemarkah fentu eh ‘itu’ pada (d) menegaskan efa ‘itu’ pada kalimat yang sama, Unsur zero @ pada (e) merupakan elipsis dari tulisan ngeunaan manehna ‘tulisan tentang dia’ pada (a). Kategori fatis tah ‘nah’ memulai Klausa kedua pada (¢). Demonstrativa jew ‘ini’ menekankan alamatna ‘alamatnya’ pada (c) secara kataforis. Unsur zero @ pada (g) merupakan clipsis dari Akang ‘Abang’, yang bentuk noneliptiknya adalah Akang tiasa masihan jalan ‘Abang bisa memberikan jalan’. Pronomina -na ‘-nya’ pada alamatna ‘alamatnya’ pada (e) mengacu secara anaforis ke Aja pada (b). Akang pada (f) merupakan pengulangan Akang pada (b). Pemarkah tentu feh menekankan Akang pada (f). Kategori fatis atuh pada (g) manandakan ketakterdugaan bahwa Akang dapat memberikan jalan. Unsur zero @ pada (g) merupakan elipsis dari Akang pada (f) secara anaforis, Konjungsi mung ‘tetapi’ pada (h) mempertentangkan dua klausa pada 130 Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda (Zaenal Arif) (h). Kategori fatis mah mempertentangkan upami tiasa atanapi kersa ‘kalau bisa atau mau’ dengan ungkapan kebalikannya. Ki semah ‘tamu’ pada (h) perulangan semah pada (a). Hawatos ‘kasihan’ pada (j) merupakan perulangan hawatos ‘kasihan’ pada (f), teh pada (j) pemarkah tentu Akang pada (f). Pronomina efa ‘itu’ pada (k) mengacu ke hawatos, hoyong ngiring ‘ngusahakeun ‘kasihan, ingin ikut mengu- sahakan’ pada (f) dan (h). Konjungsi mumawi “karena’ pada (k) menghubungkan Klausa ‘kedua dan ketiga pada (k). Masalah pada (&) merupakan substitusi perkawis Abah Aja pada (b). Pemarkah tentu teh pemarkah tentu mass media pada (k). 4. Simpulan BPW bahasa Sunda yang ditemukan dalam korpus data adalah sebagai berikut. BPW bahasa Sunda yang sifatnya grama- tikal terdiri atas empat macam, yaitu refe- rensi, substitusi, elipsis, dan relasi kon- jungtif, yang terdiri pula atas beberapa tipe ddan subtipe. Adapun BPW secara leksikal terdiri atas enam macam, yaitu perulangan, sinonimi, antonimi, hiponimi, meronimi, dan kolokasi yang terdiri pula atas beberapa tipe dan subtipe. BPW bahasa Sunda yang dianggap Khas adalah pronomina yang kataforis intrafrasa, antarkalimat, dan antarparagraf. Pronomina kataforis antarparagraf dapat digunakan jika antara pengacu dan yang diacu tidak terdapat topik baru. Dalam bahasa Sunda untuk menyebut ulang se- suatu yang sudah disebutkan dapat di- gunakan pengulangan unsur yang sama atau penyulihan dengan unsur yang koreferensial dengan diikuti demonstrativa iew ‘ini’, eta “itu dekat’, dan itu ‘itu jauh’, Selain itu, penyebutan ulang atau penyulihan kore- ferensial dapat diikuti pemarkah takrif teh dan tea. Demonstrativa ieu, efa, dan itu memiliki ketertentuan jarak, sedangkan pe- markah takrif teh dan fea tidak memiliki ketertentuan jarak tersebut, tetapi dapat ‘mengacu ke semua anteseden, baik laki-laki ‘maupun perempuan, baik tunggal maupun taktunggal, ataupun anteseden yang dekat, semijauh, atau jauh. Pemarkah takrif eh dan tea bersifat atributif dan berfungsi menutup konstruksi frasa. Kalau frasa atau kali- ‘matnya panjang, pemarkah takrif feh dan tea mundur ke bagian paling akhir. Jika kedua pemarkah takrif itu digunakan se- kaligus dalam frasa atau kalimat, pemarkah takrif tea cenderung mendahului teh. Jadi, teh-lah yang selalu menjadi paling akhir dalam suatu frasa. Namun, dalam frasa verba yang mengandung kecap anteuran ‘kata antarverba’, pemarkah takrif teh terletak di tengah frasa. Tea dan efa dapat mengikuti kata tanya, seperti naon fea, naon eta, tetapi teh tidak bisa mengikuti kata tanya Pertanyaan *naon teh? tidak gramatikal. Berdasarkan konteksnya, secara intuitif tea merupakan pelemahan dari eta. Lagi pula, karena secara semantis makna kedua bentuk itu mirip, diduga bahwa fea merupakan ubahan atau metatesis dari efa, Pemarkah takrif teh yang berubah menjadi sofeh berkaitan dengan informasi Jama, dan berkaitan dengan kalimat selan- jutnya secara bertentangan. Terdapat juga pemarkah takrif feh yang bisa melesapkan pelaku. 131 Kajlan Linguistik dan Sastra, Vol. 17, No. 33, 2005: 123-133 _————————————— DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1993. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Baryadi, I. Praptomo, 1990. “Teori Kohesi M.A.K. Halliday dan Rugaiya Hasan dan Penerapannya untuk Analisis Wacana Bahasa Indonesia”. Dalam Gatra No. 10/ 11/12. Yogyakarta: IKIP Sanata Darma. Basiroh, Umi. 1992. “Telaah Baru dalam Tata Hubungan Leksikal: Kehiponiman dan Kemeroniman”. Jakarta: Tesis Magister Universitas Indonesia. Bright, William. 1992. International Encyclopedia of Linguistics. Oxford-New York: ‘Oxford-New York University Press. Brown, Gillian dan George Yule. 1987. Discourse Analysis. Cambridge-Melbourne: Cam- bridge University Press. Coulthard, Malcolm. 1977. An Introduction to Discourse Analysisis. London: Longman. 1992. Edvance in Spoken Discourse Analysis. London: Longman. Dardjowidjojo, Soenjono. 1986. “Benang Pengikat Wacana”. Makalah dalam Pertemuan Imiah Regional Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI, Jakarta. De Beaugrande, Robert dan Wolfgang Dressler. 1981. Introduction to Text Linguistics. London: Longman. Djajasudarma, Fatimah dan Idat Abdulwabid, 1980. Tata Bahasa Sunda Bandung: Ramat Cijulang. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam Cole P. dan J. Morgan (Ed). Syntax and Semantic, Vol. 3: Speech Acts. New York: Academic Press. Grimes, Joseph E. 1980. The Thread of Discourse. The Hague Paris: Mouton. Halim, Amran. 1984, Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia (Terjemahan Tony Rachmadi). Jakarta: Djambatan, Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Kridalaksana, Harimurti, 1988. Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Cetakan II. Jakarta:Gramedia. Lyons, John. 1979 Semantics 2. Cambridge: Cambridge University Press. Lyons, John, 1996. Linguistic Semantics. Edisi Il Language, Meaning and Context. Cambridge: Cambridge University Press. 132 Benang Pengikat Wacana Bahasa Sunda (Zaenal Arif) Malmkjaer, Kirsten and James M. Anderson. 1991. The Linguistics Encyclopedia, Lon- don and New York: Routledge Language Reference. Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa, Jakarta: Gramedia. Quirk, Randolph, Sydney Greenbaum, Geofitey Leech, dan Jan Svartvik. 1985. A Com- prehensive Grammar of the English Language. London and New York: 133

You might also like