You are on page 1of 9

DOI: https://doi.org/10.24843/JH.2020.v24.i04.

p016 p-ISSN: 2528-5076, e-ISSN: 2302-920X


Terakreditasi Sinta-4, SK No: 23/E/KPT/2019 Humanis
Vol 24.4 Nopember 2020: 464-472

Tanggung Jawab Sejarah dan Kebudayaan di Balik


Pelarangan Buku di Indonesia

Anak Agung Ayu Rai Wahyuni


Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Ajungayu29@gmail.com
Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia

Abstract
Book prohibition in Indonesia has been going on since the first President of the Republic of
Indonesia, Soekarno. This prohibition continued in greater quality and quantity during the reign
of the second President of the Republic of Indonesia, Soeharto. In the reform era, when freedom
of expression found its space, book prohibition continued. This article examines the historical
and cultural responsibility behind book banning. How about the prohibition of books in the
Soekarno, Suharto era, and the reform era. What are the pros and cons that occur, as well as
what solutions satisfy various parties. The method used is the library method, by reading,
inputting data, and studying based on library data. This article explains that the author of the
book must be responsible for the content of his writing. Themes such as the Movement of the
PKI are sensitive themes, therefore writers must have historical and cultural awareness.
Likewise, the government is expected to be able to review a book, and not to unilaterally freeze
or ban it. Bringing a book into the realm of law is supported by the necessary evidence, so that
all parties get justice based on the law, history and culture of the nation for the unity of the
Republic of Indonesia based on the pillars of development and survival as a nation.

Keywords: Book prohibition, history, culture, pillars of development.

Abstrak
Pelarangan buku di Indonesia sudah berlangsung sejak kekuasaan Presiden RI pertama,
Soekarno. Pelarangan ini berlangsung terus dalam kualitas dan kuantitas yang lebih besar pada
masa kekuasaan Presiden RI kedua, Soeharto. Pada era reformasi, ketika kebebasan epskresi
menemukan ruangnya, pelarangan buku tetap terjadi. Artikel ini membahas tanggung jawab
sejarah dan kebudayaan di balik pelarangan buku. Bagaimana pelarangan buku pada era
Soekarno, Soeharto, dan era reformasi. Bagaimana pro-kontra yang terjadi, serta bagaimana
solusi yang memuaskan berbagai pihak. Metode yang digunakan adalah metode pustaka, dengan
membaca, menginput data, dan mengkaji berdasarkan data pustaka. Artikel ini menjelaskan
bahwa penulis buku mesti bertanggung jawab terhadap kandungan tulisannya. Tema-tema
seperti G-30-S PKI adalah tema yang sensitif karenanya penulis wajib memiliki kesadaran
sejarah dan budaya. Demikian pula pihak pemerintan diharapkan dapat mengkaji sebuah buku,
dan tidak melakukan pembekuan atau pelarangan secara sepihak. Membawa sebuah buku ke
dalam ranah hukum didukung pembuktian yang diperlukan, agar semua pihak mendapatkan
keadilan berdasarkan hukum, sejarah, dan kebudayaan bangsa demi persatuan NKRI
berdasarkan pilar-pilar pembangunan dan keberlangsungan hidup sebagai sebuah bangsa.

Kata kunci: Pelarangan buku, sejarah, kebudayaan, pilar pembangunan.

PENDAHULUAN pembangunan? Pertanyaan ini menarik untuk


Mengapa buku diarang beredar dalam dijelaskan. “Jika kita mengatakan bahwa
sebuah negara yang mengedepankan Indonesia adalah negara yang demokratis,
demokrasi sebagai salah satu pilar maka harus ada jaminan terhadap freedom of

464
Info Article
Received : 6th Oktober 2020
Accepted : 10th November 2020
Published : 30th November 2020
465 | Anak Agung Ayu Rai Wahyuni Vol 24.4 Nopember 2020

expression, freedom of speech, dan freedom dekade terakhir. Pelarangan ini juga bentuk
of the press. Dalam perspekti yang lebih kesewenang-wenangan dalam membatasi
umum, jenis jaminan tersebut dibutuhkan kebebasan berpikir dan berpendapat di
sebagai hak dasar sosial dan politik warga negara demokrasi. Pemberedelan buku ibarat
negara. Tanpa adanya jaminan tersebut, tak sebuah “aborsi” yang membunuh generasi
akan ada demokrasi” (Siregar, 2011:xiii). yang akan dilahirkan. Alih-alih
Jaminan terhadap freedom of mengantisipasi ancaman polemik dan
expression, freedom of speech, dan freedom ketertiban umum, pelarangan buku oleh
of the press berkaitan dengan ekspresi, negara mengindikasikan paranoia penguasa
berbicara atau mewartakan, dan ekspresi. atas ancaman terhadap kekuasaan yang
Kebebasan ekspresi dijamin undang-undang sedang berjalan (Yusuf, dkk. 2011:3).
karenanya upaya untuk membatasinya Pandangan kritis di atas
dengan berbagai argumentasi mestinya mengindikasikan bahwa pro-kontra
berhadapan juga dengan undang-undang. mengenai pelarangan buku adalah hal yang
Sama halnya dengan kebebasan berbicara, serius tentang sejarah, regulasi, kebijakan
mewartakan, atau menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan publikasi dan buku.
melalui penerbitan buku serta bentuk Di samping itu kritisi terhadap kesewenang-
publikasi lainnya, dilindungi undang-undang. wenangan, pembatasan kebebasan berpikir,
Apabila menimbulkan persoalan -misalnya ancaman kekuasaan, dan hal-hal lain dapat
publikasi buku dilarang- undang-undang pula melahirkan kontradiksi-kontradiksi dalam
yang menyelesaikannya Setiap warga negara masyarakat. Tulisan ini akan menjelaskan
memiliki hak untuk berbicara dibarengi beberapa catatan di balik pelarangan buku di
dengan tanggung jawab terhadap apa yang Indonesia, dengan dua rumusan masalah
disuarakannya. yang berkaitan dengan: 1) bagaimanakah
Pelarangan buku di Indonesia sudah latar belakang sejarah pelarangan buku; 2)
terjadi sejak masa kolonial, dilanjutkan pada bagaimanakah tanggung jawab kebudayaan
masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, tentang pelarangan buku. Metode yang
dan juga masa reformasi. Pada umumnya digunakan adalah metode pustaka dengan
pelarangan buku dilakukan secara sepihak mengandalkan studi pustaka sebagai sumber
oleh pihak penguasa, tanpa memberi data utama.
kesempatan kepada penulis dan para ahli
terkait untuk melakukan pembelaan terhadap METODE
kebebasan ekspresinya. Tanggung jawab Metode yang dilakukan adalah dengan
penulis buku dalam hal ini dikekang mengumpulkan segala bentuk dokumen
langsung dalam bentuk pelarangan. Hal ini melalui studi pstaka, dengan mengumpulkan
menyebabkan protes terhadap pelarangan referensi yangberhubungan dengan
buku tetap terjadi. pelarangan buku di Indonesia. Data diperoleh
Meskipun „protes‟ terhadap pelarangan melalui review kepustakaan dan laporan
buku tetap dilancarkan, kenyataannya catatan penelitian.
tentang pihak yang pro (pelarang) tetap Metodologi yang digunakan dijadikan
melakukan pelarangan berdasarkan UU No. sebagai alat pengamat sehingga tanggung
4/PNPS/1963. Argumentasinya jelas, yaitu jawab sejarah dan kebudayaan dibalik
buku-buku yang dilarang beredar karena pelarangan buku di Indonesia dapat
dianggap mengganggu ketertiban umum dan terungkap secara kritis dan objektif dan dapat
bertentangan dengan UUD 1945 dan mengungkap aspek secara kronologis
Pancasila. Akan tetapi pada sisi lain pihak (Sartono, 2016). Sehubungan dengan hal
yang kontra terhadap pelarangan itu memiliki tersebut sangat dibutuhkan alat-alat analisis,
sikap yang menegaskan bahwa pelarangan konseptual, dan teoritis yang dicantumkan
adalah paradoks bagi kebebasan bermedia dan metodologi yang digunakan
sebagaimana disebutkan berikut ini. (Kuntowijoyo, 2003). Pendekatan yang
Pelarangan buku adalah paradoks bagi digunakan adalah pendekatan structural,
kebebasan bermedia yang telah dirasakan yang akan mengungkap konteks situasi yang
bangsa Indonesia selama lebih dari satu terjadi, yang bersama yntuk mengungkapkan
Tanggung Jawab Sejarah dan Kebudayaan di Balik Pelarangan Buku di Indonesia | 466

permasalahan mengenai kondisi apa saja dipandang berseberangan dengan visi, misi,
yang mendukung latar belakang sejarah dan tujuan politik penguasa.
pelarangan buku dan tanggung jawab Untuk memahaminya dengan lebih
kebudayaan tentang pelarangan buku. mudah dan terstruktur, pelarangan buku
dapat dicermati dengan memperhatikan
KERANGKA TEORI sejarah, tokoh, dan peristiwa secara periodik
yaitu: era demokrasi terpimpin, era orde
Teori Hegemoni baru, dan era reformasi.
Hegemoni menurut Gromsci, adalah
hegemoni dengan kepemimpinan intelektual Pelarangan Buku Pada Era Demokrasi
dan moral yang bernuansa positif. Gagasan Terpimpin
Hegemoni Gramsci mengandung isu-isu Pada 14 - 17 Maret 2010
pokok dalam studi kultural seperti diselenggarakan Pameran Pelarangan Buku
pluralisme, multikultural, dan budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini,
marginal. Hegemoni adalah sebagai suatu Jakarta Pusat. Pameran diselenggarakan atas
dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas kerja sama Lembaga Studi dan Advokasi
kelas sosial lainnya melalui pengaruh Masyarakat (ELSAM), Institut Sejarah Sosial
intelektual dan moral yang dibantu dominasi Indonesia (ISSI), dan Grafisosial Indonesia.
atau penindasan. Perjalanan panjang pelarangan buku di
Intelektual dalam Hegemoni Gramsci Indonesia diuraikan secara apik dalam tiga
dipahami sebagai suatu strata sosial yang buah infografis. Untuk mendramatisir
menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi suasana, dibuatlah replika penjara dengan
organisasional dalam pengertian luas. Jadi jeruji berwarna hitam. Di dalamnya, terdapat
intelektual bisa mencakup bidang ratusan judul buku, berserta sejumlah cover-
kebudayaan atau administrasi politik. nya, yang dilarang sejak tahun 1959
(https:news.detik.com/berita). Pameran
HASIL DAN PEMBAHASAN tersebut direfleksikan sejarah panjang
Pelarangan buku di Indonesia masih pelarangan buku yang disahkan melalui
terjadi pada era reformasi. Ketika pandangan berbagai regulasi sebagaimana tercatat
tentang kebebasan berpikir dan berekspresi berikut ini.
mencapai puncaknya setelah era orde baru 1. No 23/perpu/1959 memberi wewenang
runtuh (ditandai dengan lengsernya Presiden militer melarang buku dan menutup
RI ke-2 Soeharto dari tahta kekuasaan setelah percetakan. Berdasarkan Perpu ini buku
32 tahun menjadi presiden). Catatan ini berjudul Hoakiau di Indonesia dilarang
menjelaskan bahwa sejarah tidak berakhir beredar. Pramoedya Ananta Toer
begitu saja, ada jejak-jejak yang tidak mudah penulisnya dipenjarakan selama satu
dihapuskan, dan mengikuti alur perjalanan tahun. Tiga buku kumpulan puisi juga
sebuah bangsa besar, Indonesia. Dalam dilarang beredar pada waktu itu. Salah
sejarahnya Indonesia pernah mengalami satu buku kumpulan puisi karya Sabar
paceklik buku (book starvation) (1970). Anantaguna yang berjudul Yang
UNESCO (1973) mencatat tidak ada satupun Bertanahair tapi Tak Bertanah, sementara
judul buku yang terbit dan dijual di pasaran. dua lainnya karya Agam Wispi yang
Hal ini merupakan akibat dari pencabutan berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan
subsidi kertas oleh pemerintah sejak tahun Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961).
1965. Penerbitan buku kembali terjadi Pamflet Demokrasi Kita karya
setelah pemerintah Orde Baru membuat Mohammad Hatta juga tidak lolos dari
proyek buku inpres pembrangusan
(https:news.detik.com/berita). Jumlah buku (https:news.detik.com/berita).
yang beredar meningkat dan penerbit pun Sebelumnya (Sepanjang 1957), penguasa
bergerak kembali. Hal ini ternyata tidak melarang penerbitan dari 33 penerbitan
"menghentikan" langkah-langkah pemerintah dan menutup tiga kantor berita – termasuk
untuk melakukan pelarangan buku, terutama di antaranya Kantor Berita Antara.
buku-buku yang isinya maupun penulisnya
467 | Anak Agung Ayu Rai Wahyuni Vol 24.4 Nopember 2020

2. Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 berfungsi meneliti isi sebuah buku dan
memberi kewenangan penuh pada memberi rekomendasi langsung kepada
Kejaksaan Agung untuk melarang Jaksa Agung. Melalui SK No. Kep-114/
peredaran barang-barang cetakan yang JA/ 10/ 1989, clearing house secara resmi
dianggap dapat mengganggu ketertiban bekerja di bawah Jaksa Agung. Clearing
umum. Berdasarkan perpres ini Presiden I house terdiri atas 19 anggota yaitu JAM
RI Soekarno melarang pendukung Intel dan Subdirektorat bidang
Manifesto Kebudayaan (MK). Sastrawan pengawasan media massa, Bakorstanas,
yang tergabung dalam MK dipersempit Bakin, Bais, ABRI (kemudian menjadi
ruang gerak publikasi karya-karyanya. BIA), Departemen Penerangan,
Selanjutnya pada masa Presiden II RI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Soeharto (sekitar 1966) Lembaga serta Departemen Agama.
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan 70-an 4. Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan
judul buku karya para senimannya Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang
dilarang. larangan mempergunakan buku-buku
pelajaran yang penulisnya berasal dari
Buku-buku yang dilarang beredar pada ormas tertentu.
waktu itu antara lain: 5. Selain Departemen P&K, Menteri
1. Hoakiau di Indonesia oleh Pramoedya Perdagangan dan Koperasi juga
Ananta Toer mengeluarkan Keputusan Menteri no.
2. Yang Bertanah Air tapi Tak Bertanah oleh 286/ KP/ XII/ 78 yang diturunkan dalam
Sabar Antaguna Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan
3. Demokrasi Kita oleh Mohammad Hatta Luar Negeri No. 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79
4. Matinya Seorang Petani oleh Agam Wispi melarang impor, perdagangan, dan
5. Yang Tak Terbungkamkan (tanpa pengedaran segala jenis barang cetakan
keterangan penulis) (Yusuf, dkk, dalam huruf/ aksara dan bahasa Cina.
2011:191).
Buku-buku yang dilarang beredar pada
Pelarangan Buku Pada Era Orde Baru masa Orde Baru mencatat sejarah kelam
Sejarah orde baru ditandai dengan tentang argumentasi maupun jumlah buku
peristiwa "Gerakan 30 September" yang yang dilarang beredar. Buku (novel) karya
dikenal dengan singkatan G30S. Sebuah Pramoedia Ananta Toer yang terbanyak (12
gerakan yang menjadi salah satu "titik hitam" buku) bahkan penulisnya pun terpenjara
dari ujian terberat dalam sejarah perjalanan akibat buku-buku (novel) yang ditulisnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan catatan Yusuf dkk (2011)
(NKRI). Peristiwa ini berlanjut pada jumlah buku yang dilarang beredar adalah
penumpasan lembaga-lembaga yang sebagai berikut.
dicurigai berafiliasi pada PKI serta segala hal Pelarangan oleh Pembantu Menteri P.D.
yang berkaitan dengannya. Stereotipe PKI Dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol
selanjutnya menjadi momok yang (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo pada
menakutkan bagi siapapun yang "terkategori" 30 November 1965: 238 judul. Pelarangan
"melawan" pemerintah. Pada masa inilah oleh Kejaksaan Agung 1969 berjudul Funk
lahir: and Wagnalls Standard Reference
1. Komando Pemulihan Keamanan dan Encyclopedi. Selanjutnya hampir setiap
ketertiban (Kopkamtib) – tepatnya tahun sejak 1969 sampai 1997 terjadi
dibentuk pada 10 Oktober 1965 yang pelarangan antara lain Era Baru, Pemimpin
bertugas memulihkan keamanan dan Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde
ketertiban. Baru oleh Soebadio Sastrosatomo.
2. Tap MPR XXV/ MPRS/ 1966 yang Pelarangan terbanyak yang dilakukan
membubarkan PKI dan melarang ajaran- Kejaksaan Agung terjadi pada tahun 1985
ajaran Marxisme-Leninisme/ Komunisme. yaitu 29 judul antara lain: Akhlaq Oilitik
3. Oktober 1989 Kejaksaan Agung Orde Baru di Mata Umat dan Sorotan Al-
membentuk Clearing House yang Qur'an oeh A.M. Fatwa, Indonesia di
Tanggung Jawab Sejarah dan Kebudayaan di Balik Pelarangan Buku di Indonesia | 468

Persimpangan Jalan oleh M. Natsir, dan tahun atau lebih tanpa menimbulkan gejolak
Dialog Tertulis Islam Kristen oleh Hamran sama sekali.
Ambrie (Yusuf, dkk, 2011: 191-204). (https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pe
laranganbuku). Pelarangan buku pada era
Pelarangan Buku Pada Era Reformasi reformasi adalah sebuah tamparan keras
Setelah 32 tahun ruang gerak demokrasi terhadap demokrasi. Buku yang berhubungan
di"kekang" dengan berbagai kebijakaan dan dengan kebebasan ekspresi, dan tanggung
kekuasaan orde baru, gerakan reformasi jawab dan kecerdesan penulis dan pembaca,
secara berani mengembalikan demokrasi kembali dilarang. Hal ini jelas bertentangan
pada posisinya. Kemerdekaan berkumpul dan dengan karakter bangsa dan masyarakat
berpendapat menemukan ruang yang ditandai Indonesia yang pluralistik dan multikultural
dengan upaya menggarisbawahi kembali sebagaimana dijelaskan dalam kutipan
UUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, berikut ini.
DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Indonesia sekarang adalah negara
Agung untuk melarang peredaran barang demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang
cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 menjadi mercusuar bagi toleransi dan
tentang Kejaksaan RI. pluralisme di Asia. Penelitian atas pelarangan
Kenyataannya pelarangan buku terjadi buku ini ditujukan untuk memberikan
lagi. Tahun 2006 Kejaksaan Agung kembali kontribusi konstruktif bagi pemeliharaan
melarang peredaran buku berdasarkan UU demokrasi di Indonesia, yang oleh dunia
No. 4/PNPS/1963, yang dilahirkan pada dapat dijadikan sebagai penanda (trademark)
masa demokrasi terpimpin era Presiden I RI, masyarakat Indonesia yang pluralistik
Soekarno. Buku-buku yang dilarang serta (Schweisshelm, 2011:xx).
penjelasannya dijelaskan berikut. 13 buku Pandangan di atas menegaskan bahwa
teks sejarah untuk SLTP dan SLA yang pemeliharaan demokrasi adalah tanggung
mengacu pada Kurikulum 2004. jawab setiap warga negara Indonesia.
Kejaksaan Agung berdalih buku-buku Tanggung jawab tersebut adalah upaya untuk
tersebut memutar balik sejarah karena tidak menegakkan hakekat kemanusiaan dalam
mencantumkan kata ‟PKI‟ dibelakang „G-30- negara demokrasi. Sebagaimana dijelaskan
S‟ dan tidak memasukkan Peristiwa Madiun Schweisshelm, (2011:xxi), bahwa isu
1948. Kejaksaan Tinggi Pangkal Pinang pelarangan buku sangat menyentuh
bahkan memperluas pelarangan hingga pengalaman sejarah di Jerman sampai era
mencakup 54 judul buku sejarah. NAZI berkuasa; sebagaimana juga
Tidak hanya pelarangan yang dilakukan pengalaman sejarah Indonesia sejak masih
kejaksaan, tetapi juga pemusnahan dengan sebagai negara jajahan (Belanda dan Jepang),
cara membakar buku-buku teks yang disita. sampai saat ini.
Pada akhir 2009 Kejaksaan Agung Tanggung Jawab Sejarah dan
melarang lima buku, diantaranya karya John Kebudayaan Terhadap Pelarangan Buku di
Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan Indonesia Tahun 2011 Pemantau Regulasi
30 September dan Kudeta Suharto dan Regulator Media (PR2Media) dan
(ISSI & Hasta Mitra, 2008) serta karya Yayasan Friedrich Elbert atau Friedrich
Rhoma Dwi Yulianti dan Muhiddin M Elbert Stiftung (FES) melakukan penelitian
Dahlan, Lekra tak Membakar Buku: Suara dan penerbitan laporan penelitian tentang
Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat pelarangan buku. Hasilnya diterbitkan oleh
1950-1965(Yogyakarata: Merakesumba, PR2Media berjudul Pelarangan Buku di
2008). Indonesia: Sebuah paradoks Demokrasi dan
Buku-buku itu dilarang karena dianggap Kebebasan Berekspresi (Edisi revisi) (2011).
„dapat mengganggu ketertiban umum'. Hasil penelitian tersebut merupakan refleksi
Kejaksaan Agung memonopoili definisi atas masyarakat pembaca buku tentang sejarah
„ketertiban umum‟ dan tidak merasa perlu dan budaya pelarangan buku di Indonesia
membuktikan bahwa peredaran buku itu sebagai bagian dari sejarah pelarangan buku
memang meresahkan masyarakat. Padahal bahkan Penghancuran Buku dari Masa ke
buku-buku itu telah beredar selama satu Masa (Baez, 2013) pada tingkat dunia.
469 | Anak Agung Ayu Rai Wahyuni Vol 24.4 Nopember 2020

Regulasi yang cenderung dipakai oleh Rosa; 2) Suara Gereja Bagi Umat Tertindas:
Kejaksaan Agung untuk membenarkan Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air
pelarangan buku di Indonesia adalah Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus
Undang-Undang no.4/PNPS/1963 tentang Diakhiri karya Socratez Sofian Yoman; 3)
pengamanan barang-barang cetakan yang Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap
isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Lembar Kebudayaan Pikiran Rakyat 1950 –
Uji materi UU No. 4/PNPS/1963 ini 1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan
dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Muhidin M. Dahlan; 4) Enam Jalan Menuju
masa kepemimpinan Mahfud MD Tuhan karya Darmawan; 5) Mengungkap
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut. Misteri Keberagaman Beragama karya
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Sahrudin Ahmad (Yusuf, dkk: 2011: 1).
MD mengatakan undang-undang No.4 PNPS Mengapa buku-buku dilarang? Mengapa pro-
tahun 1963 yang digunakan Kejaksaan kontra tentang buku tetap terjadi? Hamdan
Agung untuk melakukan pelarangan dan Zoelva salah satu hakim konstitusi pada masa
penyitaan buku sangat bertentangan dengan kepemimpinan Mahfud MD adalah satu-
konstitusi Indonesia. Menurut Mahfud, ini satunya hakim dari sembilan hakim yang
karena setiap orang berhak untuk mendukung pelarangan buku oleh Kejaksaan
berkomunikasi, menyimpan dan menyatakan Agung.
fikirannya melalui pembuatan buku. “Apalagi dalam konteks masyarakat
Kejaksaan Agung harus melalui proses Indonesia yang sangat plural, ancaman atas
peradilan terlebih dahulu apabila ingin keamanan dan ketertiban umum yang
melakukan pelarangan buku yang dinilainya ditimbulkan oleh suku, ras dan agama masih
mengganggu ketertiban umum. Jika ingin menjadi persoalan yang belum dapat diatasi
melakukan penyitaan buku maka kepolisian dengan baik,” kata Hamdan Zoelva.
maupun Kejaksaan Agung harus meminta (https://www.voaindonesia.com/104876414/
ijin kepada ketua Pengadilan Negeri 84830).
setempat yang kemudian dilanjutkan dengan Pro-kontra pelarangan buku memang
proses penyidikan, penuntutan dan perlu diatasi dengan putusan pengadilan.
penyidangan yang sesuai dengan undang- Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung
undang yang ada Amir Yanto menegaskan bahwa sesuai
(https://www.voaindonesia.com/a/104876414 dengan peraturan perundangan, kejaksaan
/84830). hanya memiliki wewenang untuk meneliti
apakah sebuah buku dikategorikan sebagai
Sementara itu ditegaskan juga oleh Siregar buku terlarang atau tidak. "Melalui salah satu
bahwa bila kita memang memilih demokrasi putusan MK, pelarangan (buku) itu harus
sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara melalui putusan pengadilan. Kejaksaaan
sebagaimana dinyatakan oleh UUD 1946 dan hanya meneliti isinya.
UU Pers No. 4/1999. maka UU No. (http://nasional.kompas.com/read/2016/05/18
4/PNPS/1963 harus dinyatakan tidak berlaku ). Keputusan ini menjelaskan bahwa
dan pelarangan buku harus dicabut (Siregar, pelarangan buku dilakukan melalui prosedur
2011:xvii). Pelarangan buku dipandang dan keputusan hukum yang didukung
sebagai ekspresi dari banyak argumentasi undang-undang.
yang pro maupun yang kontra. Pihak yang Pertanyaan tentang mengapa buku
kontra mengatakan bahwa pelarangan buku dilarang beredar hendaknya dicermati dalam
menunjukkan upaya memandulkan cara kaitannya dengan sejarah, pendidikan, dan
berpikir, ketakutan penguasa, pemaknaan kebudayaan. Dari sidut sejarah misalnya,
tunggal, serta pembodohan massal karena tokoh peristiwa dan waktu menjadi salah satu
daya kritis masyarakat dibatasi (Yusuf, kunci jawaban yang patt dikaji ulang. Sejarah
2011:v-vi). Sebagaimana dijelaskan Yusuf, mencatat pula bahwa satu tema yang menjadi
pada masa reformasi buku-buku yang pernah persoalan serta pro kontra sepanjang sejarah
dilarang beredar antara lain sebagai berikut: (sejak 1965) sampai saat ini adalah tema
1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 seputar G30S PKI. Tema ini sangat sensitif,
September dan Kudeta Suharto karya John karenanya pelarangan buku yang berkaitan
Tanggung Jawab Sejarah dan Kebudayaan di Balik Pelarangan Buku di Indonesia | 470

dengannya masih terjadi dan menimbulkan negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan
pro-kontra. Kajian tentangnya wajib pelanggaran HAM berat lainnya sebagai
dilakukan untuk menjembatani pro-kontra bagian dari upaya kita belajar dan
tersebut. Memori dan sejarah G30S PKI memperkaya khasanah pengetahuan
masih berakar kuat, demikian pula fenomena kesejarahan; 5) mendorong pemerintah, baik
yang "berusaha menghadirkan kembali isu- pusat dan daerah, menciptakan iklim
isu G30S PKI ke dalam wacana politik. Ada perbukuan yang sehat, kompetitif, dan
kecenderungan sesama WNI saling memberi perlindungan pada kerja penerbitan,
menghakimi, mengkafirkan, menuduh, dan diskusi buku, dan gerakan literasi yang
menjerumuskan memalui benturan inovatif sebagaimana diamanatkan
kepentingan politik serta isu sara yang preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan
memecah belah. Bhineka Tunggal Ika, kehidupan bangsa; 6) asas, kerja umum, dan
pancasila, NKRI di"racuni" dengan kegiatan harian ekosistem perbukuan
pemaksaan ideologi yang primordial dan membutuhkan aturan main yang jelas dan
memecah belah. Fenomena ini perlu mengikat semua ekosistem yang bernaung di
diuraikan dan dikritisi berdasarkan karakter dalamnya. Oleh karena itu, mendesak
budaya yang bersatu pilar-pilarnya: Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok
pancasila, bhineka tunggal ika, UUD 45, dan segera mengesahkan UU Sistem
NKRI. Dengan demikian buku-buku yang Perbukuan Nasional yang demokratis; 7)
dicurigai memperlemah kekuatan NKRI mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
"perlu dilarang" melalui proses hukum yang sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku
berlaku di Indonesia. Kejaksaan atau pihak yang menjadi mitra pemerintah dan sudah
mana pun tidak dapat bertindak secara berpengalaman dalam sejarah panjang
sepihak untuk melarang buku-buku tertentu, perbukuan nasional senantiasa mengambil
akan tetapi melalui mekanisme hukum. peran yang signifikan dan aktif-responsif
Menyikapi pelarangan buku, Masyarakat untuk membangun komunikasi yang sehat
Literasi Yogyakarta (MLY) Adhe Ma'ruf dari dengan elemen-elemen masyarakat yang
Masyarakat Literasi Yogyakarta plural
(Yogyakarta, Selasa (17/06/2016). Tujuh (http://regional.kompas.com/read/2016/05/18
maklumat Masyarakat Literasi Yogyakarta /06410121).
dibacakan di Kantor Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta oleh Muhidin M Dukungan terhadap KLY ditunjukkan
Dahlan, pegiat literasi di Indonesia. Isi pula oleh Sineas dan pengiat seni Garin
maklumat itu yakni: Nugroho, Guntur Narwaya (Advokad), Faruk
HT (Akedemisi dan Budayawan), Hamzal
1) kebebasan berserikat, berkumpul, dan Wahyudin (Direktur LBH Yogya) dan
mengeluarkan pendapat di hadapan orang Muhidin M Dahlan (penulis dan penggiat
banyak lewat berbagai media adalah amanat literasi)yang hadir pada momen penyampaian
reformasi dan konstitusi yang mesti dijaga sikap KLY. Sikap Kelompok Literasi
serta dirawat bersama dalam kerangka Yogyakarta (KLY) tersebut
kebhinnekaan sebagai bangsa; 2) setiap menggarisbawahi lagi pentingnya proses
perselisihan pendapat atas pikiran yang hukum -sebagai sebuah sikap budaya- untuk
berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan menentukan sebuah buku dilarang beredar.
dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan
untuk memperkaya khasanah pengetahuan SIMPULAN
dan keilmuan; 3) segala bentuk pelarangan Pelarangan buku di NKRI sudah terjadi
atas penerbitan buku dan produk-produk akal sejak masa demokrasi terpimpin atau era
budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang orde lama di bawah kekuasaan Presiden
berwewenang atas seizin pengadilan Soekarno. Pada masa ini sedikitnya ada 5
sebagaimana diatur oleh hukum perundangan (lima) buku yang dilarang beredar. Pada era
yang berlaku; 4) mendesak kepada lembaga kekuasaan Presiden Soeharto. Pelarangan
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) buku terjadi dalam jumlah besar dengan
untuk membuka secara bebas arsip-arsip peran utama Kementerian Pendidikan dan
471 | Anak Agung Ayu Rai Wahyuni Vol 24.4 Nopember 2020

Kebudayaan juga Kejaksaan Agung. Sejak berlaku dan pelarangan buku harus dicabut
1969 sampai 1997, hampir setiap tahun (Siregar, 2011:xvii).
Kejaksaan Agung mengeluarkan keputusan - Pelarangan buku dipandang sebagai
tanpa melalui proses pengadilan- melarang ekspresi dari banyak argumentasi yang pro
buku tertentu. Pada era reformasi pelarangan maupun yang kontra. Pelarangan buku
buku masih terjadi. Bahkan sampai tahun menunjukkan upaya memandulkan cara
2009/2010 beberapa buku yang berkaitan berpikir, ketakutan penguasa, pemaknaan
dengan tema tertentu dilarang beredar. tunggal, serta pembodohan massal karena
Pro - kontra tentang pelarangan buku daya kritis masyarakat dibatasi (Yusuf,
sampai pada uji material di Mahkamah 2011:v-vi). Pernyataan ini sangat keras
Konstitusi. Regulasi yang cenderung dipakai mengkitisi pelarangan buku yang dilakukan
oleh Kejaksaan Agung untuk membenarkan pemerintah. Karenanya, pelarangan buku
pelarangan buku di Indonesia adalah sepantasnya didasari tanggung jawab sejarah
Undang-Undang no.4/PNPS/1963 tentang dan kebudayaan Indonesia sebagai jembatan.
pengamanan barang-barang cetakan yang Pihak pemerintah sebaiknya melakukan
isinya dapat mengganggu ketertiban umum. upaya-upaya hukum yang demokratis dan
Uji materi UU No. 4/PNPS/1963 dilakukan transparan untuk menentukan pelarangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam masa Pihak penulis, penerbit, dan masyarakat
kepemimpinan Mahfud MD. Keputusannya pembaca perlu terbuka untuk bertanggung
adalah Kejaksaan Agung harus melalui jawab terhadap buku yang ditulis dan dibaca.
proses peradilan terlebih dahulu apabila ingin Dengan demikian pelarangan buku adalah
melakukan pelarangan buku yang dinilainya satu keputusan yang memiliki kedudukan
mengganggu ketertiban umum. hukum yang jelas dan dapat
Tahun 2011 Pemantau Regulasi dan dipertanggungjawabkan.
Regulator Media (PR2Media) dan Yayasan
Friedrich Elbert atau Friedrich Elbert REFERENSI
Stiftung (FES) melakukan penelitian dan
penerbitan laporan penelitian tentang Dariyanto, Erwin, Beleid Pembredelan
pelarangan buku. Hasilnya diterbitkan oleh Warisan Kolonial, Koran Tempo,
PR2Media berjudul Pelarangan Buku di Edisi No. 3055 Tahun IX, 3 Januari
Indonesia: Sebuah paradoks Demokrasi dan 2010.
Kebebasan Berekspresi (Edisi revisi) (2011).
Hasil penelitian tersebut merupakan refleksi Dariyanto, Erwin, Lima Yang Dilarang,
masyarakat pembaca buku tentang sejarah Koran Tempo, Edisi No. 3055 Tahun
dan budaya pelarangan buku di Indonesia IX, 3 Januari 2010.
sebagai bagian dari sejarah pelarangan buku
bahkan Penghancuran Buku dari Masa ke Dariyanto, Erwin dan Ika Ningtyas, Mengapa
Masa (Baez, 2013) pada tingkat dunia. Masih Memberangus Buku, Koran
Pernyataan sikap Masyarakat Literasi Tempo, Edisi No. 3055 Tahun IX, 3
Yogyakarta (MLY) tentang pelarangan buku, Januari 2010.
juga menunjukkan bahwa jika ingin
melakukan pelarangan buku -dalam bentuk Manggiasih, Bunga, dkk, Penerbit Buku
dan isi apapun- maka kepolisian maupun Ancam Somasi Kejaksaan, Koran
Kejaksaan Agung harus meminta ijin kepada Tempo, Edisi No. 3048 Tahun IX, 26
ketua Pengadilan Negeri setempat yang Desember 2009.
kemudian dilanjutkan dengan proses
penyidikan, penuntutan dan penyidangan Kartodirjo, Sartono. 2016. Pendekatan Ilmu
yang sesuai dengan undang-undang yang Sosial dalam Metodologi Sejarah.
berlaku. Bila kita memang memilih Yogyakarta : Ombak.
demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan
bernegara sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah
UUD 1946 dan UU Pers No. 4/1999, maka Edisi Kedua. Yogyakarta : Tiara
UU No. 4/PNPS/1963 harus dinyatakan tidak Wacana.
Tanggung Jawab Sejarah dan Kebudayaan di Balik Pelarangan Buku di Indonesia | 472

Sari, Dianing dan Anton Septian, Pelarangan


Buku oleh Kejaksaan Dikecam, Koran
Tempo, Edisi No. 3047 Tahun IX, 24
Desember 2009.

Septian, Anton, Dwi Riyanto Agustiar, dkk,


Kejaksaan Akan Sita Buku yang
Dilarang, Koran Tempo, Edisi No. 3051
Tahun IX, 29 Desember 2009.

Stinati, Domonic. 2010. Popular Culture


Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer. Yogyakarta : Ar-Ruzz
Medua.

Awaluddin, Yusuf. dkk. 2011. Pelarangan


Buku di Indonesia Sebuah Paradoks
Demokrasi dan Kebebasan
Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media
dan FES.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori


dan Praktek (terj. Noerhadi dan
Sihabul Millah) Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Schweisshelm, Erwin. 2011. “Menolak


Pelarangan Buku: Menjaga Pluralisme
dan Demokrasi” dalam Pelarangan
Buku di Indonesia Sebuah Paradoks
Demokrasi dan Kebebasan
Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media
dan FES.

https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pel
aranganbuku

https://www.voaindonesia.com/a/104876414/
84830

https://www.voaindonesia.com/104876414/8
4830

http://nasional.kompas.com/read/2016/05/18)

You might also like