You are on page 1of 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis


Kajian teoritis adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, defenisi, atau proposisi yang disusun secara sistematik. Kajian teori
merupakan salah satu hal penting di dalam sebuah penelitian. Sebab, hal tersebut
menjadi sebuah landasan atau dasar dari sebuah penelitian.

2.1.1 Hakikat Belajar


Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan
kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh
siswa sebagai anak didik. Belajar merupakan proses dari perkembangan hidup
manusia. Dengan belajar manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif
individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup
tidak lain adalah hasil dari belajar. Kita pun hidup menurut hidup dan bekerja
menurut apa yang telah kita pelajari (Arfani, 2016).
Belajar pada hakikatnya merupakan aktivitas yang utama dalam serangkaian
proses pendidikan di sekolah. Hal ini dapat dipahami karena berhasil atau tidaknya
tujuan pendidikan adalah dominan bergantung pada bagaimana proses belajar
mengajar itu berlangsung (Arfani, 2018). Oleh karena itu, proses belajar selalu
menjadi sorotan utama, khususnya bagi para ahli pendidikan. Namun pada
hakikatnya, belajar secara luas tidak hanya diartikan sebagai proses yang berlangsung
di sekolah antara pendidik dan peserta didik, melainkan segala sesuatu dalam
kehidupan ini yang dapat membuat seseorang yang dahulunya tidak tahu menjadi
tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan sebagainya.
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan
dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit
(tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut
individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah kognitif, afektif dan

13
psikomotorik. Setiap perilaku belajar ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik
antara lain (Arfani, 2016):
a. Belajar menyebabkan perubahan yang disadari dan disengaja (intensional);
b. Perubahan yang berkesinambungan (continue);
c. Belajar hanya terjadi dari pengalaman yang bersifat individual atau
menghasilkan perubahan yang fungsional;
d. Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan ke arah yang ingin dicapai atau
perubahan yang bersifat positif;
e. Belajar menghasilkan perubahan yang bersifat aktif;
f. Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh;
g. Belajar menghasilkan perubahan yang bersifat permanen;
h. Belajar menghasilkan perubahan yang bertujuan dan terarah;
i. Belajar adalah proses interaksi dan belajar berlangsung dari yang paling
sederhana sampai pada yang kompleks

Dalam Pane dan Dasopang (2017) bahwa tokoh psikologi belajar memiliki
persepsi dan penekanan tersendiri tentang hakikat belajar dan proses ke arah
perubahan sebagai hasil belajar. Berikut ini adalah beberapa kelompok teori yang
memberikan pandangan khusus tentang belajar:
a. Behaviorisme, teori ini meyakini bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh
kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang memberikan pengalaman
tertentu kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dilihat, yaitu
tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran
karena tidak dapat dilihat.
b. Kognitivisme, merupakan salah satu teori belajar yang dalam berbagai
pembahasan juga sering disebut model kognitif. Menurut teori belajar ini
tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya tentang
situasi yang berhubungan dengan tujuan. Oleh karena itu, teori ini memandang
bahwa belajar itu sebagai perubahan persepsi dan pemahaman.

14
c. Teori Belajar Psikologi Sosial, menurut teori ini proses belajar bukanlah proses
yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi harus melalui interaksi.
d. Teori Belajar Gagne, yaitu teori belajar yang merupakan perpaduan antara
behaviorisme dan kognitivisme. Belajar merupakan sesuatu yang terjadi secara
alamiah, akan tetapi hanya terjadi dengan kondisi tertantu. Yaitu kondisi
internal yang merupakan kesiapan peserta didik dan sesuatu yang telah
dipelajari, kemudian kondisi eksternal yang merupakan situasi belajar yang
secara sengaja diatur oleh pendidik dengan tujuan memperlancar proses
belajar.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut mungkin timbul kesan bahwa pasti
telah terjadi belajar bila ternyata telah terjadi suatu perubahan. Benarlah yang
mengatakan bahwa belajar menghasilkan perubahan. Namun pernyataan ini tidak
dapat dibalik, seolah-olah setiap perubahan pada diri seseorang merupakan hasil dari
suatu proses belajar. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik
sifat maupun jenisnya. Oleh karena itu, tidak setiap perubahan dalam diri
seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Perubahan tingkah laku
seseorang yang berada dalam keadaan mabuk, perubahan yang terjadi dalam aspek-
aspek kematangan, pertumbuhan dan perkembangan tidak termasuk perubahan dalam
pengertian belajar.
2.1.2 Hakikat Belajar Matematika
Kamus besar Bahasa Indonesia, matematika adalah ilmu tentang bilangan-
bilangan, hubungan antar bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan. Sementara manfaat mempunyai pendapat
bahwa matematika pada hakikatnya adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dari
sebuah proses peradaban manusia yang sangat panjang di bumi ini. Manfaat
menambahkan matematika adalah pengetahuan yang disusun secara konsisten
berdasarkan logika deduktif. Dari pendapat Manfaat dapat disimpulkan bahwa
matematika merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang disusun secara
konsisten dan diaplikasikan secara logis dan terarah (Vandini, 2015).
Susanto dalam (Rahmah, 2018) menyebutkan bahwa terdapat lima komponen

15
dalam belajar matematika yaitu;
a. Bertanya, Proses belajar mengajar matematika harus dimulai dengan sebuah
pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa akan suatu
fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, guru menyampaikan
pertanyaan inti yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa diarahkan untuk
mampu mengevaluasi, mensintesis dan menganalisis jawaban dari pertanyaan
yang tidak dapat ditemukan di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau
dikonstruksi.
b. Keaktifan Siswa, Keaktifan siswa merupakan kegiatan yang harus diwujudkan
dalam belajar mengajar matematika, guru berperan sebagai fasilitator
mengarahkan siswa agar aktif dan telibat langsung dalam kegiatan belajar
mengajar, serta dilatih untuk mampu menciptakan suatu gagasan atau produk
yang menjadi indikator pemahaman konsep siswa melakukan sebuah
investigasi.
c. Kerja Sama, Kegiatan belajar mengajar matematika membutuh peer tutoring
dalam kegiatan diskusi kelompok. Siswa diharuskan mampu
mengkomunikasikan berbagai gagasan ataupun solusi dari permasalahan yang
diberikan oleh pendidik melalui kerja sama tim, peserta didik bukan sedang
berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul
dalamberbagai bentuk dan mungkin saja semua jawaban benar.
d. Unjuk Kerja, Dalam menjawab permasalahan yang diberikan oleh pendidik,
peserta didik akan membuat solusi yang digambarkan melalui
pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk-
bentuk solusi tersebut dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan,
dan lain-lain. Melalui presentasi ini pendidik melakukan evaluasi.
e. Sumber yang Bervariasi, Belajar matematika membutuhkan banyak sumber
dan referensi agar pemahaman konsep peserta didik menjadi kuat, sumber bisa
berupa buku text, video pembelajaran, poster, wawancara dengan ahli dan
lain-lain.

16
Matematika sekolah berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung,
mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan
dlam kehidupan sehari-hari diantaranya melalui materi pengukuran dan geometri,
aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan
mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa melalui model matematika yang dapat
berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik, atau tabel (Rahmah,
2018).
2.1.3 Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)
a. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Joyce dalam (Trianto, 2011) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
marencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk
menemukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-
buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Adapun Soekamto dkk
menegmukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “ Kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang sistematis dalamm mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merenacanakan aktivitas belajar mengajar.” Dengan demikian, akitivitas
pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara
sistematis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan
Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru
untuk mengajar.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di
kelas.
4. Memiliki bagian-baguian model yang dinamakan : (a) urutan langkah-
langkah pembelajaran (syntax); (b) adanya prinsip-prinsip reaksi; (c) sistem

17
sosial; (d) sistem pendukung.
5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran
6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model
pembelajaran yang dipilih.
Model pembelajaran berdasarkan teori belajar, meliputi model interaksi
sosial, model pemrosesan informasi, model personal, dan model pembelajaran
modifikasi tingkah laku (behavioral) (Nurdyansyah & Fahyuni, 2016).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah
sebuah rancangan pola, konseptual yang tersusun secara sistematis untuk
menggambarkan sebuah prosedur yang berfungsi sebagai pedoman perencanaan
pembelajaran bagi guru untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
b. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Kontekstual memiliki keterkaitan dengan hubungan, konteks, suasana
atau keadaan, sehingga pembelajaran kontekstual dapat diartikan sebagai suatu
pembelajaran yang menghubungkan pencapaian pengetahuan melalui suatu
proses yang mengaitkan pengetahuan tersebut dengan situasi atau keadaan yang
sebenarnya maupun pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Dari definisi
ini dapat dinyatakan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran
yang dikaitkan dengan pengetahuan siswa dalam situasi nyata sehari-hari yang
telah mereka miliki. Departement of Mathematics Education University of
Georgia mengemukakan sejumlah definisi tentang Contextual Teaching and
Learning (CTL), diantaranya disebutkan bahwa Contextual Teaching and
Learning (CTL) menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa dari sekolah
dengan kegunaan praktis di masyarakat. Pembelajaran kontekstual lebih
mengaitkan terhadap adanya hubungan antara materi yang dipelajari siswa
dengan kegunaan praktis dalam kehidupan seharihari. Kesadaran terhadap
adanya kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari akan meningkatkan
minat siswa dalam belajar matematika dan mengurangi kebosanan siswa saat
mempelajari konsep matematika (Tambunan,2019)

18
Model pembelajaran kontekstual (Contekstual Teaching And Learning)
merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa
untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari. Adapun pengertian Contextual Teaching and
Learning (CTL) menurut Elaine B. Johnson dalam (Nurdyansyah & Fahyuni,
2016) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang
merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dan
menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa.
Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam
memompa kemampuan diri tanpa merugi menetapkan dan mengaitkan dengan
dunia nyata.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses
pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa memahami makna
materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-
hari (konteks Pribadi, Sosial dan Kultural), sehingga siswa memiliki
pengetahuan / keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya (Hasibuan, 2014). Senada dengan itu,
sumiati dan Asra dalam (Ismulyati et al., 2015) mengemukakan “pembelajaran
kontekstual merupakan upaya guru untuk membantu siswa memahami relevansi
materi pembelajaran yang dipelajarinya, yakni dengan melakukan suatu
pendekatan yang memberikan kepada siswa untuk mengaplikasikan apa yang
dipelajarinya dikelas.”
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontesktual (Contextual Teaching and learning) adalah sebuah rancangan
pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat memahami makna dari materi
pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan model
pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat memahami makna dari materi
pelajaran, hal ini sejalan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Ausubel

19
mengenai belajar bermakana. Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan
kedalam dua dimensi, dimensi pertama yaitu berhubungan dengan cara
informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan
atau penemuan, dimensi kedua yaitu menyangkut cara bagaimana siswa dapat
meningkatkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, struktur
kognitif ialah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
oleh siswa (Sugiarti & Handayani, 2017).
Teori belajar Ausubel tidak terlepas dari belajar bermakna dengan
komponen didalamnya belajar penerimaan dan belajar penemuan. Penemuan
dalam arti mengaharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau
seluruh materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini siswa dapat mengaitkan
dengan kehidupan nyata untuk menemukan pembelajaran yang sedang
dipelajarinya. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan model
pembelajaran dimana siswa dituntut untuk mengaitkan materi yang dipelajari
dengan kehidupan sehari-hari sehingga apa yang didapat tidak hanya dari guru
tetapi berdasarkan pengalaman atau keadaan yang ada disekitar. Dalam hal ini
teori belajar Ausubel sangat sesuai diterapkan dengan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL)yang mempunyai komponen
didalamnya yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar,
pemodelan, refkeksi, penilaian nyata.
Adanya model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
diharapkan aktivitas pembelajaranbenar-benar merupakan kegiatan yang
bertujuan yang tertata secara sistmematis, sehingga dapat memberi
pengalaman belajar yang handal kepada para anak- anak. Pengalaman
belajar adalah berbagai kegiatan yang dialami siswa sebagaiusaha guru
membelajarkan siswa. Contextual Teaching and Learning (CTL) dirancang
mengikuti minat anak. Proses penemuan informasi melalui menganalisis
data, menyimpulkan adalah pertimbangan yang lebih penting dari pada
belajar mengenai fakta. Penekanannya pada proses, jadi anak anak belajar
sejumlah konsep dalam konteks yang sangat bermakna (Eliza, 2013).

20
c. Komponen-komponen Contextual Teaching and Learning (CTL)
Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) memliki
tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat
belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarya. Sebuah kelas dikatakan
menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalm pembelajarannya. model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Ketujuh
komponen-komponen model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) sebagai berikut (Trianto, 2011):
1. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
Sumantri mengatakan “Konstruktivisme yakni mengembangkan pemikiran
siswa akan lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri,
dan mengonstruksi sendiri pengetahuan atau keterampilan barunya. Asumsi
di atas yang kemudian melandasi Contextual Teaching and Learning (CTL).
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada dasarnya
mendorong agar siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses
pengamatan dan pengalaman. Sebab pengetahuan hanya akan fungsional
manakala dibangun oleh individu. Pengetahuan yang hanya akan diberikan
tidak akan bermakna. Atas dasar asumsi yang mendasar itulah, maka
penerapan asas kontruktivisme dalam pembelajaran melalui Contextual
Teaching and Learning (CTL), siswa didorong untuk mampu
mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual
melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa
pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang
diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta

21
tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. Sanjaya mengatakan “ Inquiri
artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan
melalui proses berpikir secara sistematis”. Dengan demikian dalam proses
perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus
dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa
dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
3. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikat nya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap
individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan
seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL), guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan
tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat
membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang
dipelajarinya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Comunity)
Dalam kelas Contextual Teaching and Learning (CTL), penerapan
asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran
melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang
anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan
belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
5. Pemodelan (modeling)
Asas modeling dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh
yang dapat di tiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh
bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara
melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh
bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana
cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana

22
cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
6. Refleksi ( Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah
dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-
kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilauluinya. Melalui
refleksi, pengalaman belajar akan dimasukkan kedalam struktur kognitif
siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan yang
dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa akan memperbarui
pengetahuan yang telah dibentuknya atau menambah khazanah
pengetahuannya.
7. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)
Dalam Contextual Teaching and Learning (CTL), keberhasilan
pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan
intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu,
penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar
seperti hasil tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata.
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentan perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
d. Karakteristik Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning
(CTL)
Karkteristik model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) diantaranya adalah (Fiteriani & Solekha, 2016) :
1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran
yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan
nyata.
2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan
tugas yang bermakna (Meaningful Learning).
3. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna
kepada siswa (Learning Doing).
4. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdisikusi, saling

23
mengoreksi antar antarteman (learning in group).
5. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa
kebersamaan, bekerja sama, dan saling memahami antar satu dengan yang
lain secara mendalam (Learning to know each other).
6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan
mementingkan kerja sama ( learning ask, to inquiry, to work together)
7. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as
an enjoy activity).
8. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru.
9. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
e. Prinsip Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)
Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut Ditjen
Dikdasmen Depdiknas 2002, dalam (Hasibuan, 2014) menyebutkan bahwa
kurikulum dan pembelajaran kontekstual perlu didasarkan pada prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Keterkaitan, relevansi (relation). Proses belajar hendaknya ada keterkaitan
dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri
siswa.
2. Pengalaman langsung (experiencing). Pengalaman langsung dapat diperoleh
melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventory, investigasi,
penelitian dan sebagainya. Experiencing dipandang sebagai jantung
pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran akan berlangsung cepat jika
siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan
sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain
secara aktif.
3. Aplikasi (applying). Menerapkan fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang
dipelajari dalam kelas dengan guru, antara siswa dengan narasumber,
memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi

24
pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual.
4. Alih pengetahuan (transferring). Pembelajaran kontekstual menekankan
pada kemampuan siswa untuk mentransfer situasi dan konteks yang lain
merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih dari pada sekedar hafal.
5. Kerja sama (cooperating). Kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran,
mengajukan dan menjawab pertanyaan, komunikasi interaktif antar sesama
siswa, antara siswa.
6. Pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang telah dimiliki pada situasi
lain.
f. Kekurangan Dan Kelebihan Model Pembelajaran Contextual Teaching
And Learning (CTL)
Berikut adalah kekurangan dan kelebihan model pembelajaran
Contextual Teaching And Learning (CTL) (Latipah & Afriansyah, 2018) :
1. Kelebihan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL):
a. penggunaan konteks membuat siswa menjadi lebih aktif dalam
pembelajaran;
b. siswa yang biasanya tidak menyukai pembelajaran Matematika dan
lebih memilih mengobrol atau menggambar, bila disajikan dengan
adanya konteks dalam pembelajaran, siswa tersebut menjadi ikut serta
dalam pembelajaran;
c. siswa yang tidak menyukai belajar berkelompok, menjadi bersemangat
belajar berkelompok; dan
d. siswa menjadi lebih mandiri dalam membuat catatan dikarenakan siswa
tersebut bisa menyimpulkan dan menemukan konsep sendiri selama
proses pembelajaran.
2. Kekurangan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL):
a. karena kemampuan yang digunakan adalah kemampuan koneksi
matematis, peneliti kesulitan dalam mencari soal soal yang
berhubungan dengan Contextual Teaching and Learning (CTL);

25
b. Siswa yang tidak memperhatikan tidak dapat mengikuti dan
menemukan konsep dikarenakan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL):dapat menemukan konsep apabila sesuai
dengan langkahlangkah; dan
c. soal-soal koneksi matematis siswa yang dihubungkan dengan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL):membuat
siswa merasa bingung.
g. Pola Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL
guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti dibawah ini:
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran
AKTIFITAS GURU
Pendahuluan Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta
manfaat dari proses
pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan
dipelajari.
Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:memperkenalkan
contoh daun, bunga.
Anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok .Tiap kelompok
ditugaskan untuk melakukan observasi misalnya kelompok 1
dan 2 melakukan observasi ke taman bunga, perubahan pada
warna mulai dari daun, bunga kelompok 3 dan 4 melakukan
observasi ke kebun
Melalui observasi anak-anak ditugaskan untuk menceritakan
kembali apa yang diamati
Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus
dikerjakan oleh setiap siswa.
Kegiatan Inti Anak melakukan observasi ke taman sesuai dengan pembagian
tugas kelompok
Diskusi bersama hal-hal yang mereka temukan di taman sesuai

26
dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya
Siswa melaporkan hasil pengamatan mengenai warna daun,
perubahan warna daun, bunga
Penutup menyimpulkan basil observasi sekitar bunga, daun, bentuk daun,
perubahan warna sesuai dengan indikator basil belajar yang
harus dicapai
membuat gambar, menciplak bentuk bentuk daun, kelopak
bunga dsbnya. tentang pengalaman belajar mereka dengan tema"
taman bunga"..
Sumber (Latipah & Afriansyah, 2018)

Secara garis besar langkah – langkah penerapan model Contextual


Teaching and Learning (CTL) dalam kelas sebagai berikut (Trianto,2011) :
(1) Guru mengarahkan siswa agar siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan kemampuannya,
(2) Guru memotivasi siswa agar menemukan sendiri pengetahuan dan
keterampilannya yang akan dipelajari,
(3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal
yang belum dipahami oleh siswa dalam pembelajaran,
(4) Guru membentuk kelompok belajar yang anggotanya heterogen,
(5) Guru memberikan model sebagai media pembelajaran,
(6) Guru membimbing siswa untuk melakukan refleksi terhadap pembelajaran
yang telah dilakukan,
(7) Guru melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui
hasil belajar masingmasing siswa

2.1.4 Model Pembelajaran Konvensional


a. Pengertian Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran Konvensional didalamnya meliputi berbagai metode
yang berpusat pada guru. Metode-metode tersebut meliputi ceramah, tanya
jawab, dan diskusi. Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara

27
lisan dan baik bila pengunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung
alat dan media serta memperhatikan batasbatas kemungkinan penggunannya.
Metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering digunakan oleh
setiap guru atau instruktur. Guru biasanya belum merasa puas sedangkan dalam
proses pengelolaan pembelajaran tidak melakukan ceramah. Demikian juga
dengan siswa, mereka akan belajar sedangkan ada guru yang memberikan materi
pelajaran melalui ceramah, sehingga ada guru yang berceramah berarti ada
proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak ada belajar (Wulandari & Daryati,
2019).
Pembelajaran konvensional lebih menitik beratkan pada komunikasi satu
arah, yaitu guru sebagai satu-satunya yang memberikan pelajaran dan siswa
hanya mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Dalam
pembelajaran konvensional siswa dikelas tidak aktif dalam pembelajarannya
karena tidak ada kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Gantini (dalam
Delisda & Sofyan, 2014) mengemukakan, pada pembelajaran konvensional
“Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis sehingga sebagian besar dari siswa
tidak mampu menghubungkan antara yang mereka pelajari dengan bagaimana
pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan”.
Gambaran sepintas mengenai pembelajaran biasa diawali oleh guru
memberikan informasi, kemudian menerangkan suatu konsep, siswa bertanya,
guru memeriksa apakah siswa sudah mengerti atau belum, memberikan contoh
soal aplikasi konsep, selanjutnya meminta siswa untuk mengerjakan di papan
tulis. Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model
transfer pengetahuan .Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan dan
mentransfer pengetahuan atau informasi kepada siswa, sedangkan peran para
siswa adalah menerima, menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang
sesuai dengan informasi yang diberikan (Wulandari & Daryati, 2019).

b. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional

28
Berikut ini adalah kekurangan dan kelebihan model pembelajaran
konvensional (Delisda & Sofyan, 2014):
Kelebihan Pembelajaran Konvensional
1. Dapat menampung murid banyak, tiap murid mempunyai
2. kesempatan yang sama untuk mendengarkan, dan karenanya biaya yang
diperlukan menjadi relatif murah.
3. Konsep yang disajikan secara hirarkiakan memberikan fasilitas belajar
kepada siswa.
4. Guru dapat memberikan tekanan hal-hal yang penting sehingga waktu
dan energi dapat digunakan sebaik mungkin.
5. Materi ajar dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena guru tidak
harus menyesuaikan dengan kecepatan belajar karena pembelajaran
dapat dilaksanakan dengan metode ceramah

Kekurangan Pembelajaran Konvensional


1. Proses pembelajaran berjalan membosankan para murid menjadi pasif,
dan tidak berkesempatan untuk menempuh sendiri konsep yang
diajarkan.
2. Murid hanya aktif dalam membuat catatan.
3. Kepadata konsep-konsep yang diberikandapat berakibat murid tidak
mampu menguasai bahan yang diajarkan.
4. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ceramah lebih cepat
terlupakan.

c. Langkah-langkah Model Pembelajaran Konvensional


Langkah-langkah model pembelajaran Konvensional (Wulandari &
Daryati, 2019):
1. Menyampaikan tujuan. Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut.
2. Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi kepada siswa secara
tahap demi tahap dengan metode ceramah.

29
3. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Guru mengecek
keberhasilan siswa dan memberikan umpan balik.
4. Memberikan kesempatan latihan lanjutan. Guru memberikan tugas
tambahan untuk dikerjakan di rumah.

2.1.5 Kemampuan Penalaran Matematis Siswa


a. Pengertian Kemampuan Penalaran Matematis Siswa
Istilah penalaran merupakan terjemahan dari kata reasoning yang artinya
jalan pikiran seseorang. Penalaran adalah suatu cara berpikir yang
menghubungkan antara dua hal atau lebih berdasarkan sifat dan aturan tertentu
yang telah diakui kebenarannya dengan menggunakan langkah-langkah
pembuktian hingga mencapai suatu kesimpulan. Penalaran memiliki pengertian
yang berbeda-beda seperti yang dikemukaan oleh para ahli dalam (Sumartini,
2015) penalaran adalah: “bentuk khusus dari berpikir dalam upaya pengambilan
penyimpulan konklusi yang digambarkan premis (Copi, 1979), simpulan
berbagai pengetahuan dan keyakinan mutakhir (Glass dan Holyoak, 1986),
menstransformasikan informasi yang diberikan untuk menelaah konklusi
(Galloti, 1989)”. Menurut Suherman dan Winataputra (1993) penalaran adalah
proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil bernalar, didasarkan pada pengamatan
datadata yang ada sebelumnya dan telah diuji kebenarannya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Shadiq (2004) yang mengemukakan bahwa penalaran adalah
suatu proses atau suatu aktifitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau
membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan
yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.
Curiculum and Evaluation Standards for school Mathematics memberi
tanda-tanda proses penalaran sedang berlangsung, yaitu :
Bila (a) menggunakan coba-ralat dan bekerja mundur menyelesaikan , (b)
membuat dan menguji dugaan, (c) menciptkan argument induktif dan
deduktif, (d) mencari pola untuk membuat perumpamaan, dan (e)
menggunakan penalaran ruuang dan logik. Menurut Principkes and
Standards dalam NCTM, standar penalaran matematika meliputi (a)

30
mengenal penalaran sebagai aspek mendasar dari matematika; (b)
membuat dan menyelidiki dugaan matematik; (c) mengembangkan dan
mengevaluasi argument matematik; (d) memilih dan menggunakan
berbagai tipe penalaran (Septian, 2014).
Sehubungan dengan itu, dorongan dan kesempatan didapat anak di kelas
untuk melakukan penalaran dalam kerangka memecahkan masalah matematik
merupakan fondasi yang diperlukan untuk mencapai stadar penalaran yang
dirumuskan NCTM tersebut.
Secara umum penalaran dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu penalaran
Induktif dan deduktif (Sumartini, 2015) :
1. Penalaran Induktif
Penalaran induktif merupakan suatu kegiatan untuk menarik suatu
kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum
berdasar pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Selama
proses pembelajaran dikelas, penalaran induktif dapat digunakan ketika
siswa mempelajari konsep atau teorema baru.
2. Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif adalah kebenaran suatu konsep atau pernyataan
yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya. Dengan
demikian bisa dipastikan bahwa kaitan antar konsep atau pernyataan dalam
matematika bersifat konsisten.

b. Indikator Kemampuan Penalaran Matematis


Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai indikator penalaran
matematis dalam (Harahap et al., 2020), sebagai berikut :
Indikator kemampuan penalaran matematis menurut wardhani yaitu :
a. Mengajukan dugaan,
b. Melakukan manipulasi matematika,
c. Menyusun bukti terhadap kebenaran solusi,
d. Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan,
e. memeriksa kesahihan suatu argument.

31
Menurut Shadiq indikator-indikator yang menunjukkan kemampuan
penalaran matematis antara lain :
a. Mengajukan dugaan,
b. Melakukan manipulasi matematika,
c. Menarik kesimpulan,
d. Menyusun bukti,
e. Memberi alasan terhadap kebenaran solusi,
f. Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan,
g. Memeriksa kesahihan suatu argumen,
h. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Selain itu dalam (Hidayati & Widodo, 2015) penjelasan teknis Peraturan
Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November
2004 tentang rapor diuraikan bahwa indikator siswa yang memiliki kemampuan
dalam penalaran matematika adalah:
a. Menyajikan pernyataan secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.
b. Melakukan manipulasi matematika, siswa mengatur atau mengerjakan soal
dengan cara yang pandai sehingga tercapai tujuan yang dikehendaki.
c. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti
terhadap kebenaran solusi, siswa dapat menarik kesimpulan yang logis
dengan memberikan alasan pada langkah penyelesaiannya.
d. Menarik kesimpulan dari pernyataan, siswa dapat menyajikan pernyataan
matematika baik secara lisan, tertulis, gambar dan diagram.
e. Memeriksa kesahihan suatu argument, siswa memeriksa kebenaran dari
suatu pendapat.
f. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat
generalisasi, siswa dapat menggunakan pola-pola yang diketahui kemudian
menghubungkannya untuk menganalisa situasi matematik yang terjadi.

32
Berdasarkan beberapa pendapat diatas mengenai indikator-indikator
penalaran matematis siswa, peneliti merangkum indikator-indikator penalaran
matematis siswa yaitu :
1. Mengajukan dugaan..
2. Melakukan manipulasi matematika
3. Menyusun dugaan dan solusi terhadap kebenaran
4. Menarik kesimpulan dari pernyataan.

2.1.6 Operasi Aljabar


Bentuk aljabar adalah istilah yang mungkin sering kalian dengar di Sekolah
Dasar. Bentuk 2x, 3x + 2, 2a 2, dan lainnya disebut bentuk aljabar. Dalam aljabar
ada beberapa istilah yang perlu kalian ketahui. Pada bentuk 2x, angka 2 dan x
disebut faktor. Pada bentuk 3x + 2, x disebut variabel atau peubah, 3 disebut
koefisien, dan 2 disebut konstanta. Variabel atau peubah biasanya berupa huruf
pada bentuk aljabar. Koefisien adalah bilangan di depan peubah (variabel), dan
konstanta adalah bilangan tanpa peubah (variabel) dan nilai konstanta adalah tetap.
Bentuk 2x dan 3x + 2 dinamakan suku. Suku-suku pada bentuk aljabar ada yang
sejenis dan ada yang tidak sejenis.
Seperti halnya bila ngan matematis, aljabar juga bisa dioperasikan. Operasi
pada bentuk aljabar meliputi:
a. Penjumlahan dan pengurangan suku-suku
Untuk dapat melakukan penjumlahan dan pengurangan pada suatu bentuk
aljabar, maka suku-sukunya harus mempunyai bentuk yang sejenis. Jika suku-suu
bentuk aljabar tersebut tidak sejenis, maka suku-suku tersebut tidak dapt di
jumlahkan atau di kurangkan. 
Contoh 1:
Tentukan hasil penjumlahan dari 5p + 4q + 8 dan 7p + 9q – 10
Jawab:
Suku yang sejenis adalah : 5p dengan 7p, 4q dengan 9q dan 8 dengan -10
Maka: (5p + 4q +8) + (7p + 9q – 10) = 5p + 4q + 8 + 7p + 9q -10
= 5p + 7p + 4q + 9q + 8 – 10
= 12p + 13q – 2

33
b. Perkalian
Perlu diingat kembali bahwa pada perkalian bilangan bulat berlaku sifat
distributif perkalian terhadap penjumlahan, yaitu a × (b + c) = (a × b) + (a × c)
dan sifat distributif perkalian terhadap pengurangan, yaitu a × (b – c) = (a × b) –
(a × c), untuk setiap bilangan bulat a, b, dan c. Sifat ini juga berlaku pada
perkalian bentuk aljabar.
1. Perkalian antara konstanta dengan bentuk aljabar
Perkalian suatu bilangan konstanta k dengan bentuk aljabar suku satu dan
suku dua dinyatakan sebagai berikut.
k(ax) = kax
k(ax + b) = kax + kb
2. Perkalian antara dua bentuk aljabar
Sebagaimana perkalian suatu konstanta dengan bentuk aljabar, untuk
menentukan hasil kali antara dua bentuk aljabar kita dapat memanfaatkan sifat
distributive perkalian terhadap penjumlahan dan sifat distributif perkalian
terhadap pengurangan.Selain dengan cara tersebut, untuk menentukan hasil
kali antara dua bentuk aljabar, dapat menggunakan cara sebagai berikut.
Perhatikan perkalian antara bentuk aljabar suku dua dengan suku dua berikut.
(ax+b)(cx+d) = ax × cx + ax × d + b × cx + b × d

        = acx2 + (ad +bc)x + bd


c. Pembagian Bentuk Aljabar Operasi hitung dalam pembagian bentuk
aljabar, yaitu sama halnya dengan pembagian bentuk bilangan bulat. Dalam
bentuk bilangan bulat , untuk menyelesaikan suatu permasalahan
pembagian bentuk aljbar maka langkah pertama harus mengetahui faktor
persekutuan dari bentuk aljabar tersebut.
Contoh Soal
24 x 2y + 12 xy 2: 4xy
Jawab:

34
2. Cara 1
24 x 2y + 12 xy 2 / 4xy = 24 x 2y / 4xy + 12 xy 2 / 4xy
= 6x + 3y
Cara 2
24 x 2y + 12 xy 2: 4xy >> faktor persekutuannya adalah 4xy
24 x 2y + 12 xy 2: 4xy = 4xy ( 6x + 3y ) / 4xy
= 4xy ( 6x + 3y ) / 4xy
= 6x + 3y
2.2 Penelitian Yang Relevan
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mardiati dan Rani (2018) yang
di publis di junal Mathematic Paedagogic, mengkaji tentang kemampuan
penalaran matematis siswa mengungkapkan bahwa model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) sangat berpengaruh terhadap
kemampuan penalaran matematika siswa. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-
rata posttests hasil tes kemampuan penalaran matematika siswa yang telah
diajarkan dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah sebesar 61,844 dan nilai rata-rata posttests yang telah
diajarkan dengan model pembelajaran konvensional dengan metode
ekspositori adalah 61,187 sehingga didapatkan bahwa model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki pengaruh sebesar 70,56
%. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika
dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
berpengaruh terhadap kemampuan penalaran matematika siswa
2. Hasil penelitian Mauke, dkk (2013) yang dipublis di jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran IPA Indonesia, Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
terdapat perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah siswa yang mengikuti pembelajaran model
Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan MPK (F = 40,792; p <
0,05). (2) terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang belajar
menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan MPK

35
(F=36,053 ; p < 0,05), (3) terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa
yang belajar menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL)
dengan MPK (F= 62,706 ; p < 0,05), uji Scheffe menunjukkan bahwa model
Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari MPK.
3. Hasil penelitian Jafar Sidiq Wahid (2017) yang di publis di webside UIN
Raden Intan, Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1)
terdapat pengaruh antara siswa yang memperoleh model Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan Contextual Teaching and Learning
(CTL) berbasis lesson study terhadap kemampuan pemahaman konsep
matematis peserta didik, (2) terdapat pengaruh kemampuan awal matematis
tinggi, sedang, dan rendah terhadap kemampuan pemahaman konsep
matematis siswa (3) tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dan
faktor kemampuan awal matematis siswa terhadap kemampuan pemahaman
konsep matematis.

2.3. Kerangka Konseptual


Kemampuan penalaran merupakan sebuah syarat dalam tercapainya tujuan
pembelajaran Matematika. Kemampuan penalaran Matematis yaitu kemampuan
untuk berpikir atau pemahaman mengenai permasalahan matematis secara logis
untuk memperoleh penyelesaian, menjelaskan atau memberikan alasan atas
penyelesaian kemudian menarik kesimpulannya. Pada kenyataannya masih banyak
siswa yang kurang menguasi kemampuan tersebut dan sulit menerapkannya dalam
pembeajaran.
Hal ini dikarenakan pada saat proses pembelajaran berlangsung, siswa hanya
dijadikan objek pembelajaran yang pasif. Siswa jarang diminta berpikir terhadap
ide-ide matematikanya sehingga siswa sangat sulit memberikan penjelasan yang
tepat, jelas, dan logis atas jawabannya. Siswa juga tidak dibiasakan untuk
memecahkan permasalahan matematika yang membutuhkan rencana, strategi, dan
mengeksplorasi kemampuan generalisasi dalam penyelesaian masalahnya. Proses
pembelajaran yang tidak tepat di kelas memberikan dampak terhadap lemahnya

36
kemampuan Penalaran matematika siswa. Salah satu untuk mengatasi kurangnya
kemampuan penalaran matematis siswa tersebut adalah dengan cara menerapkan
model Pembelajaran Contextual Taching and Learning (CTL).
Pada penelitian ini akan diambil dua kelas yang mana ada kelas kontrol dan
kelas eksperimen. Dimana di kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran tentang
materi operasi aljabar dengan menggunakan model pembelajaran yang ada
disekolah tersebut yaitu model pembelajaran konvensional. Sedangkan dikelas
eksperimen akan dilakukan pembelajaran tentang materi operasi aljabar dengan
menggunakan model pembelajaran Contextual Taching and Learning (CTL).
Setelah itu akan dilakukan post test kemampuan penalaran matematis siswa di
kedua kelas yang diteliti, hasil dari post test tersebut akan dianalisa oleh peneliti
sehingga mencapai kesimpulan yang menunjukkan adanya pengaruh dari model
pembelajaran Contextual Taching and Learning (CTL) terhadap kemampuan
penalaran matematis siswa.

OPERASI ALJABAR

KELAS EKSPERIMEN KELAS KONTROL

Pembelajaran Dengan Pembelajaran Dengan


Menggunakan Model Menggunakan Model
Pembelajaran Contextual Taching Pembelajaran Konvensional
And Learning ()

POST TEST

ANALISA

KESIMPULAN

Bagan 2.1 Kerangka Konseptual

37
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penelitian yang relevan dan kerangka pikir yanng telah dibuat
sebelumnya, peneliti mengaju kan hipotesis yang nantinya akan diuji kebenarannya:

H₀ : Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran Contextual Teaching and


Learning (CTL) tehadap kemampuan penalaran matematis siswa

Hₐ : Terdapat pengaruh model pembelajaran Contextual Teaching and Learning


(CTL) tehadap kemampuan penalaran matematis siswa.

38

You might also like