You are on page 1of 35

ELAYANAN ASEPTIC DISPENSING

Pelayanan dispensing sediaan steril atau yang lebih dikenal dengan aseptic


dispensing adalah penyiapan sediaan obat steril dengan teknik aseptik dan dikerjakan
dalam ruang bersih yang memenuhi syarat

Dari aspek keselamatan pasien (patient safety), dispensing sediaan steril merupakan
pelayanan yang penting untuk dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Umumnya sediaan
steril diberikan secara intrave-na. Kita mengetahui bahwa obat yang diberikan secara
intravena langsung masuk ke sirkulasi darah, sehingga jika ada kesalahan atau
ketidaktepatan dalam penyiapan ataupun dalam pemberian obat tersebut, dapat
berakibat fatal bagi pasien. Selain itu risiko infeksi nosokomial mungkin terjadi akibat
kontaminasi mikroorganisme jika dispensing sediaan steril tersebut dilakukan tanpa
fasilitas yang sesuai standar.

Pelayanan dispensing sediaan steril oleh Instalasi Farmasi dilakukan dengan


mematuhi persyaratan lingkungan dan peralatan berdasarkan US Pharmacopeia
Chapter 797. Petugas di bagian dispensing sediaan steril harus menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) saat meracik sediaan steril. Keterampilan melakukan teknik
aseptik merupakan kemampuan yang wajib dimiliki petugas di bagian dispensing
sediaan steril, karena peralatan sesuai standar sekalipun tidak menjamin obat suntik
yang sedang diracik terhindar dari kontaminasi mikroorganisme. Petugas juga harus
memiliki pengetahuan tentang ketercampuran (kompatibilitas) dan stabilitas obat
suntik. Semua petugas setiap tahun menjalani proses validasi teknik aseptik yang
dimaksudkan untuk menjaga kualitas teknik aseptik.

Terkait standar JCI yang melarang Kalium Klorida (KCl) pekat berada di ruang rawat,
satelit di CMU 2 memproduksi sediaan KCl yang sudah diencerkan yang
disebut Premixed KCl solution. Saat ini disediakan 5 macam: KCl 12,5 meq, KCl 25
meq dan KCl 50 meq, masing-masing di dalam cairan NaCl 0,9% 500 ml, KCl 50
meq dalam NaCl 0,9% 100 ml dan KCl 10 meq dalam KaEn1B 500 ml. Jika
dibutuhkan campuran yang berbeda dari sediaan premixed KCl standar, satelit tetap
melayani permintaan khusus dengan jadwal: pukul 08.00 s/d 19.00 untuk Senin-
Jumat, serta pukul 09.00 s/d 15.00 untuk Sabtu/Minggu/Hari Libur.

Beberapa obat suntik serbuk yang harganya mahal dibuat oleh produsen dalam
kemasan hanya untuk dosis orang dewasa, padahal pasien bayi/anak hanya
membutuhkan dosis yang jauh lebih sedikit. Obat suntik setelah dilarutkan tidak stabil
dalam jangka waktu lama, akibatnya sisa obat harus dibuang dan tentu saja ini berarti
biaya pengobatan menjadi mahal. Pelayanan Pengemasan Kembali (Repacking) Obat
Suntik di Instalasi Farmasi memberikan solusi terhadap masalah ini. Melalui
proses repacking dengan teknik aseptik, obat suntik serbuk dapat dibagi-bagi menjadi
dosis yang lebih kecil se-suai kebutuhan pasien sehingga dapat menghemat biaya
penggunaan obat.

Banyak manfaat yang didapat dengan penyelenggaraan pelayanan dispensing sediaan


steril oleh Instalasi Farmasi, antara lain:
1. Terjaminnya sterilitas obat; karena pencampuran obat dilakukan dengan
teknik aseptik dalam laminar airflow cabinet di ruang bersih yang memenuhi
standar.
2. Meminimalkan kesalahan pengobatan; karena obat dihitung dan
disiapkan secara khusus dan teliti oleh petugas khusus yang terlatih.
3. Terjaminnya kompatibilitas dan stabilitas obat; petugas farmasi memiliki
pengetahuan yang baik dalam hal kompatibiltas dan stabilitas obat, sehingga
kerusakan obat akibat in-kompatibilitas atau instabilitas obat dapat dicegah.
4. Terhindarnya petugas dari keterpaparan zat berbahaya dan juga untuk
mencegah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh obat sitostatika;
karena dispensing obat sitostatika dilakukan dalam Biological Safety
Cabinet (BSC)/ LAF cabinet dengan aliran udara vertical dalam ruang bersih
yang dirancang khusus.
5. Pada pelayanan nutrisi parenteral (TPN) dapat mengurangi akses vena
pasien dibandingkan jika pasien menggunakan sediaan komponen nutrisi
terpisah-pisah, sehingga mengurangi infeksi nosokomial.
6. Meringankan beban kerja perawat; karena obat sudah dalam bentuk
sediaan yang siap untuk diberikan ke pasien, sehingga waktu perawat tidak
lagi tersita untuk melarutkan/mencampur obat. Dengan demikian maka
perawat dapat lebih focus dalam perawatan pasien.
7. Menghemat biaya penggunaan obat; penghematan didapatkan
dari sharing obat/komponen nutrisi parenteral dan dari hasil pengemasan
kembali (repacking).

Dengan demikian, pelayanan dispensing sediaan steril yang dilaksanakan oleh


Instalasi Farmasi selama ini telah memberikan banyak manfaat baik dari segi
keselamatan pasien, petugas dan lingkungan, maupun dari segi finansial berupa
penghematan yang sangat signifikan. 

Aseptik Dipensing
November 27, 2011 by fathelvi

Penyiapan produk dengan prinsip teknik aseptic yang tepat dan berkualitas.
berkualitas artinya tepat dan aman. adanya aseptic dispensing menjamin produk
parentral bebas dari kontaminasi mikroba/ tidak mengandung mikroorganisme.
Teknik aseptic harus MENJAMIN sedian steril farmasi itu : TEPAT& AMAN (bebas
kontaminasi mikroba)

Sterilisasi  suatu keadaan dimana suatu produk/sediaan dirancang aman dan steril,
bebas dari mikroorganisme hidup (artinya semua mikroorganisme hidup itu mati)

Aseptic  suatu proses dimana kontaminasi mikroba dikurangi sampai tingkatan


tertentu
Jenis-jenis sterilisasi :
1. Secara fisika
– Panas kering
 Menggunakan oven, untuk zat-zat yang tidak bisa dengan panas basah. Seperti
minyak-minyakan, serbuk yang tidak mungkin diuapkan, dan lain sebagainya.
Metodenya dengan menghilangkan kelembaban dari mikroorganisme hidup sehingga
organism hidup mengalami kerusakan dan kematian.
Suhunya :
• 170° C (340 F) sampai 1 jam
• 160° C (320 F) sampai 2 jam
• 150° C (300 F) sampai 2,5 jam
• 140° C (285 F) sampai 3 jam
Panas kering juga dilakukan pada alat-alat yang TAHAN PADA SUHU DI ATAS!
Selain oven, juga dengan pemijaran langsung, minyak dan bahan penangas lainnya.

– Panas basah
 Menggunakan autoklaf dengan suhu 121 0 C, tekanan 15 lbs selama 12 menit.
Ini banyak digunakan untuk alat-alat gelas, larutan-larutan,dan banyak dipakai dalam
dunia kesehatan.
Prinsipnya adalah dengan cara mendestruksi mikroorganisme dengan menggunakan
uap jenuh pada tekanan tinggi sehingga protein mikroba terkoagulasi.
Bisa jg dengan pemanasan mengunnakan bakterisid dan perebusan (tapi perebusan
tidak membunuh spora, jd dilakukan dlm keadaan darurat saja)

– UV
 Digunakan untuk steriliasi udara…
Sinar ultraviolet umumnya digunakan untuk membantu mengurangi kontaminasi di
udara dan pemusnahan selama proses di lingkungan. Sinar yang bersifat membunuh
mikroorganisme (germisida) diproduksi oleh lampu kabut merkuri yang dipancarkan
secara eksklusif pada 253,7 nm
Ketika sinar UV melewati bahan, energi bebas ke elektron orbital dalam atom-atom
dan mengubah kereaktivannya. Absorpsi energi ini menyebabkan meningginya
keadaan tertinggi atom-atom dan mengubah kereaktivannya. Ketika eksitasi dan
perubahan aktivitas atom-atom utama terjadi dalam molekul-molekul mikroorganisme
atau metabolit utamnya, organisme itu mati atau tidak dapat berproduksi. Pengaruh
utamanya mungkin pada asam nukleat sel, yang diperhatikan untuk menunjukkan
lapisan absorpsi kuat dalam rentang gelombang UV yang panjang.

2. Kimia
– Gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh
mikroorganisme dan sporanya. Sterilisasi yang digunakan dalam bidang farmasi untuk
mensterilkan bahan-bahan dan menghilangkan dari bahan yang disterilkan pada akhir
jalur sterilisasi, gas ini tidak inert, dan kereaktifannya terhadap bahan yang disterilkan
harus dipertimbangkan misalnya thiamin, riboflavin, dan streptomisin kehilangan
protein ketika disterilkan dengan etilen oksida
Etilen oksida bereaksi sebagai bakterisida dengan alkalis asam amino, hidroksi atau
gugus sulfur dari enzim seluler atau protein. Beberapa lembab dibutuhkan untuk etilen
oksida berpenetrasi dan menghancurkan sel
Gas : etilen oksida, formaldehid, propilen oksida, klorin oksida, beta propiolakton,
metilbromida, kloropikrin
– Cairan kimia : alkohol 70%, fenol 5%.
3. Radiasi
Prinsipnya adalah radiasi menembus dinding sel dengan langsung mengenai DNA
dari inti sel sehingga mikroba mengalami mutasi. Digunakan untuk sterilisasi bahan
atau produk yang peka terhadap panas (termolabil). Ada dua macam radiasi yang
digunakan yakni gelombang elektromagnetik (sinar x, sinar γ) dan arus partikel kecil
(sinar α dan β)

Teknik Aseptik :
Teknik aseptic disiapkan untuk mencegah masuknya mikroorganisme hidup ke dalam
komponen steril.
Standar Aseptik Dispensing :
1. Ruangan steril yang terpisah
2. Laminar air flow atau clean classroom 100
3. System kualitas steril (adanya HEPA filter)
4. Biological Safety Cabinet
5. Adanya program jaminan mutu
Persyaratan untuk proses aseptic :
1. Fasilitas dan ruangan/ lingkungan udara yang bebas dari kontaminasi mikroba
 bebas dari lalu lintas banyak orang
2. adanya tenaga yang terlatih
 memahami konsep teknik aseptic dispensing
 adanya pelatihan iv admixture
 adanya pelatihan penyiapan obat sitostatika
 adanya peltihan penyiapan TPN

ruangan steril :
– service room/ruang pelayanan
– ruang bersih (clean room)
– ruang steril
prosedur ASEPTIS :
– No Touch technic
– Hindari keluar masuknya tangan begitu sering ke LAF
– Hindari batuk selama di LAF
– Hindari tumpahan cairan di LAF

Syarat petugas di ruang steril


– Petugas yang sedang sakit TIDAK BOLEH bekerja di ruang steril
– Petugas harus mengenakan pakaian steril, topi, sarung tangan, masker yang steril
– Setiap kali memasuki ruang steril harus mencuci tangan dengan cairan aseptis

Prinsip pemberian obat parentral :


– Untuk terapi
– Untuk profilaksis
– Untuk diagnosis

Teknik pemberian obat parenteral :


– iv push
– volumetric set
– piggyback system
– syringe pump system

indikasi pemberian secara IV


– untuk menjamin tercapainya konsentrasi obat
– dapat menggantikan sediaan yang tak tersedia secara oral
– dapat digunakan pada pasien yang tidak sadarkan diri atau tidak kooperatif
– dapat memudahkan untuk mengkoreksi/menghitung keseimbangan cairan dan
elektrolit serta nutrisi
– menjamin kepatuhan terapi
– lebih memudahkan memantau efek terapi dan konsentrasi puncak
– untuk mencapai efek biologi yang tidak dapat tercapai dengan pemberian oral

komplikasi pemberian iv :
– thrombosis  terjadinya bekuan darah
– emboli udara  adanya emboli udara bisa sampai ke jantung
– hipersensitifitas
– phlebitis  terjadinya radang di tempat disuntikkannya iv
– adanya over dose obat dan cairan
– adanya sepsis  infeksi sistemik, paling bahaya dan menakutkan! 
tanggung jawab farmasis dalam aseptic dispensing :
1. kebenaran zat-zat yang dikandung dalam suatu sediaan farmasi
2. kemurnian zat
3. kekuatan
4. sterilitas
5. wadah
6. label
7. tepat pasien

konsep pharmaceutical care dalam pelayanan aseptic dispensing :


 perlu banyak keahlian dan kemampuan farmasi, merupakan bagian yang
terintergasi dalam pharmaceutical care, fungsi farmasis terlihat jelas di palayanan AD.
Karena pentingnya (iv adm dan TPN) maka perlu meyakinkan pihak RS untuk
mengadakan layanan ini

Aseptic Dispensing meliputi :


 iv admixture
 penanganan sitostatika
 TPN (total parenteral nutrition)

IV ADMIXTURE

iv admixture adalah : proses pencampuran obat steril ke dalam larutan intravena steril,
menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk pemberian secara intravena
iv admixture : dilakukan dengan teknik aseptic

Tujuan pelayanan iv admixture :


 Untuk menjamin sediaan obat memiliki mutu dan sterilitas terjamin
 Menghemat waktu perawat
 Menunrunkan angka kejadian infeksi nosokomial
 Ketepatan dosis
 Penghematan biaya

Kegiatan iv admixture :
– Melarutkan obat-obat serbuk kering steril
– Menyiapkan suntikan iv dalam 1 vial atau 1 ampul ke dalam syringe ataupun
kantong infuse
– Menyiapkan suntikan iv dalam beberapa vial ataupun beberapa ampul yang sama ke
dalam kantong infuse

Layanan farmasi Iv admixture :
– Obat sitostatika
– Nutrisi parentral
– Antibiotika
– Analgesic
– Anti jamur
– Antivirus
– Dll

Penentuan prioritas terhadap pelayanan iv admixture :


– Pasien-pasien dengan risiko infeksi terbesar
 Immunosupressan
 Transplantasi sum-sum
 Neonatal premature/bayi premature (NICU)
 Pasien ICU/ICCU
 Pasien kanker
 Nutrisi parenteral
– Mengenali obat-obat yang berbahaya terhadap petugas : antiviral, sitosatika

Tipe pelayanan iv admixture :


– Pelayanan luas (semua pelarutan, antibiotika, TPN, sitostatika, ICCU, NICU, ICU)
– Pelayanan khusus (TPN 7hr/minggu dan sitostatika [jam kerja klinik])

Metode pemberian iv admixture :


Infuse berkelanjutan (diberikan dalam waktu lama, kecepatan pemberial sangat
lambat, menghindari efek toksik, volumenya besar, efek terapinya lama, obatnya
stabil)
Infuse intermitten ( menggantikan obat dengan volume besar dengan volume kecil
yang sudah mengandung obat, kira-kira 30 menit)
Penambahan via tube drip (obat dalam syringe dimasukan dalam infuse set, lama
pemberian lebih singkat dibandingkan injeksi bolus ke dalam vena)

Label iv admixture :
– Nama pasien, no MR, no ruangan
– Nama obat dan jumlah yang ditambahkan
– Nama obat dan jumlah larutan obat
– Volume sediaan akhir larutan
– Tanggal dan waktu pemberian
– Kecepatan infuse rata-rata
– Tanggal kadaluarsa
– Petugas yang bertanggungjawab
– Instruksi khusus
Dispensing :
Dokter order utk 24 jam  disiapkan dan harus segera diberikan  jika memang harus
disimpan, maka disimpan dalam lemari es sebaiknya selama 24jam

Jaminan Mutu :
1. Kalibrasi alat
2. Teknik dispensing
3. Label dan pencatatan order obat
4. Pemeriksaan selama transportasi : apakah ada yang pecah, tumpah, label terlepas
5. Penyimpanan : hindari dengan pembekuan, harus diperhatikan
6. Pemeriksaan komponen sebelum dispensing : diperhatikan label, tanggal
kadaluarsa, ada endapan atau tidak, tanggal kadaluarsa

Hal-hal yang harus diperhatikan :


– Dosis lazim obat  sesuaikan dengan kondisi pasien dan usia
– Pelarutan  pelarut yang sesuai dengan kondisi pasien
– Penyimpanan  apakah di lemari es atau tidak
– Kadaluarsa  harus diperhatikan karena ED masing-masing konsentrasi itu beda

Prosedur yang harus dilakukan seorang farmasis dalam penyiapan iv admixture:


1. Cuci tangan sesuai prosedur dengan larutan aseptic
2. Mengenakan pakaian steril, topi, penutup sepatu, masker
3. Lewatkan semua obat dan alat melalui passbox
4. Mengenakan sarung tangan steril
5. Penyiapan alat
– LAF di UV 30 menit
– Siapkan semua obat dan alat yang dibutuhkan, susun dengan rapi di LAF
– Periksa wadah,obat dan pelarut : endapan, warna, kadaluarsa, kebocoran
– Cek obat : dosis, pelarut yang digunakan (jangan gunakan benzyl alcohol untuk
bayi), cek label obatnya, cek juga semua alat apakah sudah benar)
– Swab smua permukaan alat dan LAF dengan alcohol 70 %
6. Pelaksanaan :
– Ambil sejumlah obat yang dibutuhkan dengan teknik aseptic
– Buang udara yang ada dalam spuit
– Lepaskan kap plastic, swab dengan alcohol 70 %, masukan obat ke dalam spuit
dengan perlahan-lahan
– Tutup cap kantong infuse dengan parafilm
– Buang spuit bekas obat
7. Kemasan :
Larutan yang telah selesai diberi label
Dikeluarkan lewat passbox
(untuk kemudian) di recek oleh asst. apt, diberi klip plastic, lalu label luar, dan
dikirim ke ruang rawat)
8. Setelah selesai dikerjakan, swab kembali seluruh permukaan LAF dengan alcohol
70 %
9. LAF di UV 30 menit kembali

Kecepatan Pemberian iv :
 PENTING untuk ditentukan. Karena BAHAYA jika terjadi endapan akibat
pemberian iv yang terlalu cepat!

Ketercampuran/Kompatibility :
 Memahami sifat dasar obatnya gimana, konsentrasi obat, pH larutan obat, suhu,
wadah obat

Risiko Pemberian iv admixture :


– Infeksi akibat kontaminasi
– Adanya pendarahan akibat pencabutan kateter
– Adanya emboli udara yang sampai ke jantung
– Adanya reaksi alergi karena efek obat yang cepat
– Adanya ketidaktercampuran obat karena pencampuran beberapa obat yang
inkompatibilitas
– Pyrogen
– Pecahnya pembuluh darah
– Terlepasnya partikel obat dari wadah ataukaret penutup wadah
– Phlebitis dan iritan vena

Penanganan Sitostatika

Sitostatika  lebih lazim dikenal dengan kemoterapi


Pengobatan kanker :
– Pembedahan
– Kemoterapi
– Radiasi
Kanker dapat disembuhkan atau tidak dapat disembuhkan tergantung penyakit dan
penyebarannya
Kemoterapi : bisa menggunakan 1-2 bahkan 5-6 kombinasi

Obat-bat sitostatika :
– Alam (golongan vinkristin, vinca alkaloid)  diberikan dengan IV, jika dengan IT
dapat kematian, jika dengan IC atau Im dapat menyebabkan iritasi
Vinkristin : Nefrotoksik, kekakuan/kram otot, gangguan gastrointestinal,
trombositopenia, anemia, leucopenia, ocular toksisitas (gangguan kebutaan),
konstipasi, pendarahan, sesak nafas

– Sintetis (alkylating agent, anti metabolit, antibiotika, hormone)


1. Antibiotika
Contohnya : Doxorubicin (sangat irritant!) sehingga menimbulkan sara sakit pada
tempat suntikan. Menyebabkan urine warna orange/merah, hindari kontak dengan
matahari langsung, INTERAKSI DENGAN OBAT-OBAT JANTUNG!
ESO doxorubicin : gangguan jantung, prurutis, hiperpigmentasi, alopecia, eritema,
urtikaria, somatitis. ESO tergantung dari dosis, lama paparan, riwayat penyakit, usia
pasien, terapi yang sedang dijalani
2. Alkylating agent
Contohnya : Cyclophosphamide
ESO : nefrotoksik. Dimetabolisme di HATI. Stabilitas 24 jam.
3. Antimetabolit
Contohnya : Methotrexate
Metabolisme : di hati, dosis tinggi harus dengan anti toksin folinic cid
Stabilitas : 24 jam
4. Hormone
Contohnya : estrogen, progesterone, tamoxifen untuk Ca Payudara, Ca Prostat, Ca
serviks
ESO : osteoporosis, gangguan pertumbuhan

Paparan sitostatika : karena di RS umumnya disiapkan di ruang rawat  beresiko


terekspose sitostatika!
Tereksposenya itu bisa jadi ketika penerimaan, penyimpanan, penyiapan, dispensing
dan pemberian obat
Rute terekspose biasanya :
– Inhalasi
– Injeksi
– Tertelan (melalui makanan)
– Absorbsi (melalui sarung tangan)
– Kontak langsung (dengan ketidaksengajaan)
Akibat dari paparan sitostatika :
1. Efek langsung : toksik pada kulit, toksik pada mata, efek sistemik, reaksi alergi
2. Karsinogenik
3. Spermatoksik
4. Mutagenic
5. Teratogenik
Untuk menghindari bahaya sitostatika ini : harus ada penanganan obat sitostatika
yaitu ;
– Dilakukan diruang terpisah/ ruang khusus
– Dilakukan oleh petugas yang terlatih
– Ada SOP nya

Kebutuhan minimal penanganan sitostatika :


– Menggunakan LAF atau BSC
– LAF dan BSC ditempatkan di ruang cleanroom
– Petugas memakai pakaian pelindung lengkap
– Menggunakan teknik aspetik
– Memiliki SOP
– Memiliki petugas yang terlatih

Penanganan Sitostatika :
– Alat untuk melindungi petugas
– Area penyimpanan
– Alat untuk menyiapkan obat sitostatika
– Petugas yang terlatih
– Penanganan terhadap tumpahan sitostatika  lokalisasi
– Penanganan terhadap limbah  incinerator suhu 10000C
– Transportasi
– Pemeriksaan kesehatan petugas
– Jaminan mutu

Jaminan mutu :
– Monitoring/validasi petugas (seleksi, pendidikan, pelatihan)
– Monitoring lingkungan
– Dokumentasi kecelakaan
– Tes produk akhir
– Sampling
– Jadwal pemeliaharaan

TPN (Total Parenteral Nutrition)


Gizi buruk berperan banget dalam proses penyembuhan, kekebalan, menurunnya
respon kemoterapi, penyembuhan luka yang lama, meningkatnya lama perawatan,
meningkatkan angka kematian

TPN  pemberian nutrisi melalui intravena untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi


pasien yang terkait dengan status kliniknya
Adanya malnutrisi : adanya ketidakseimbangan antara nutrisi karbihidrat, protein,
energi dan nutrisi lainnya yang berpengaruh terhadap respon tubuh, jaringan dan
fungsi tubuh. Penyebabnya adalah kurangnya asupan, meningkatnya kebutuhan
nutrisi, kelainan system pencernaan, gangguan metabolic nutrisi

Kondisi yang membuthkan tambahan nutrisi :


 Pasien kanker, luka bakar, gangguan saluran pencernaan, operasi abdomen, trauma,
gagal hati, gagal ginjal, gagal nafas

Tujuan pemberian TPN :


– Menjaga agar nutrisi pasien tercukupi dalam keadaan sakit
– Menghindari komplikasi
– Meningkatkan kualitas hidup
– Menjaga fungsi organ
– Peningkatkan penyembuhan

Peranan farmasis :
Absolute : penyediaan, penyimpanan, pemberian, quality control, stock
Potential : mengawasi order TPN, konsultan TPN, identifikasi interaksi TPN dengan
obat, identifikaso ESO TPN

Indikasi pemberian TPN :


– Mengalami penurunan BB > 10 %
– Mengalami gangguan fungsi pencernaan
– Tidak ada asupan makanan oral selama 3-5 hari (dengan status gizi buruk)
TPN  sluruhnya diasup melalui parenteral
Partial PN  dgn parentral juga, entral juga, oral juga

Efek samping TPN :


– Infeksi
– Dapat menginduksi kolestasis
– Thrombosis
– Hiperglikemia
– Rasa haus
– Gangguan jantung
– Kejang
– Demam
– Mual
– Gangguan pernafasan
Sumber Nutrisi Parentral :
 Maknonutrien
KH  umunya pake dexstrose (konsentrasi > 12 % harus dikasi secara sentral!)
KH asupan energinya hanya dalam waktu singkat (hati dan glikogen otot) hanya
dalam waktu beberapa jam
Asam amino  protein dan energi, protein di pecah jadi SO4, PO4 dan urea, serta H+
Lemak simpanan yang lebih besar itu di lemak, energinya sampai 9 kcal/g glukosa
Cuma 4 kcal/g
Kebutuhan Energi : tgtg BB, TB, usia, factor aktivitas dan factor stress
NORMALNYA : 35 kcal/kg BB/hari (atau sekitar 1500-2000 kcal/hari)
Kalo udah stress, meningkat sampai 40 kcal/kg BB/hari
Perhitungan kebutuhan energi : pake rumus
 Mikronutrien
Vitamin
Vitamin K ditambahan 1x seminggu
Untuk pemakaian jangka lama, esktra vit B12 dapat diberikan 3 bulan sekali
Mineral/ Trace elemen
Zn, Copper, Selenium, Manganese, iron, iodine
Zn  ditambahkan setiap pemberian TPN
Iron ditambahkan 1x seminggu
Selenium ditambahkan 1x sebulan
Elektrolit dan cairan
Elektrolit dan cairan : ekstra sel (20 % dari BB), intravaskule 3,5 liter
Osmolaritas plasma 290MOsm/kg
Na minimal 70mmol/hari (pada pasien ggn ginjal perlu lebih dari ini)
K=50 mmol/hari
Mg = 4 mmol/hari (butuh lebih banyak pada pasien dgn GIT
PO4 = perlu ditambahkan 4-5 mmol setiap 1000 kcal TPN, jika tidak, akan terjadi
hipoposfatemia selama 7-10 hari

Penyimpanan TPN :
1. Pada suhu 2-6 0C
2. Lemati Es harus rutin dikalibrasi
3. Zat2 yang mengandung lemak, tidak boleh disimpan di suhu ruanga
Konsep Aseptik

TINJAUAN TEORITIS

A.          Konsep Aseptik

1.            Pengertian

Banyak aturan dan prosedur yang ditetapkan sebagai upaya untuk

mengontrol terjadinya infeksi pada luka. Usaha perawat untuk meminimalkan

serangan dan penyebaran infeksi pada luka didasarkan pada prinsip teknik

aseptik. Aseptik berarti tidak adanya pathogen pada penyakit. Teknik aseptik

adalah usaha mempertahankan klien sedapat mungkin bebas dari


mikroorganisme (Crow,2004). Sedangkan menurut Hinchliff (1999) dalam buku

kamus keperawatan, teknik aseptik adalah metode penjagaan yang digunakan

dalam setiap tindakan yang membawa resiko masuknya mikroorganisme

kedalam tubuh pasien.

2.            Jenis teknik aseptik dalam praktek keperawatan

Ada 2 jenis teknik aseptik yang diterapkan dalam praktek keperawatan

yaitu Aseptik  medis dan Aseptik

Bedah :                                                                       

a.            Aseptik medis.
Aseptik medis adalah teknik atau prosedur yang dilakukan untuk

mengurangi jumlah mikroorganisme disuatu obyek, serta menurunkan

kemungkinan penyebaran dari mikroorganisme tersebut. Aseptik medis dikenal

juga sebagai teknik bersih. Mencuci tangan, mengganti lien ditempat tidur dan

menggunakan cangkir untuk obat merupakan contoh Aseptik Medis. Salah satu

contoh prinsip  aseptik medis yang sering dilakukan dilingkungan masyarakat

adalah mencuci tangan sebelum menghidangkan makanan. Sangat penting untuk

diterapkan saat kita merawat individu yang rentang terhadap infeksi, misalnya

karena penyakitnya, pembedahan, atau karena immunosupresi. Karena selama

proses perawatan, perawat melakukan kontak dengan banyak pasien di rumah

sakit, maka perawat harus menyadari dan mengetahui akan prinsip-prinsip

medical asepsis sebagai upaya untuk menghindari transfer kuman dari pasien ke

perawat, dari perawat ke klien, dari perawat ke perawat lain atau petugas

kesehatan lain, atau dari satu klien ke klien lainnya. Suatu obyek dikatakan

terkontaminasi bila obyek tersebut menjadi tidak steril atau tidak bersih. Dalam

medical asepsis suatu area atau obyek dikatakan terkontaminasi jika terdapat

atau obyek dicurigai mengandung kuman pathogen, misalnya bedpan yang telah

dipakai, lantai, dan kassa basah yang telah dipakai. Mata rantai infeksi yang
paling mudah untuk diputus adalah cara penularan. Dalam lingkungan

perawatan kesehatan, mencuci tangan adalah merupakan teknik dasar yang

paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi

nosokomial. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama

seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas

dibawah air mengalir. (Larson, 2002). Oleh karena itu, mencuci tangan menjadi

metode pencegahan dan pengendalian yang paling penting.

Tujuan mencuci tangan adalah menurunkan Bioburden (jumlah

mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang

tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK) dan

peralatan. Mencuci tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan
tenaga perawatan kesehatan pada resiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga

perawatan kesehatan yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan

organisme-organisme seperti Staphyloccocus, Escheriscia coli, Pseudomonas,

dan Klebsiella secara langsung kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan

infeksi nosokomial dan endemik di semua jenis lingkungan pasien. Pada saat

yang bersamaan, mencuci tangan yang tidak adekuat menempatkan tenaga

perawatan kesehatan beresiko terhadap penyakit virus seperti hepatitis A, B, C,

D, Human  immunodeficiency virus, cacar air, dan infeksi bakteri seperti

staphylococcus, streptococcus dan E. Coli. Jenis organisme ini menjadi focus

dari mencuci tangan karena mereka dapat dengan cepat dipindahkan melalui

tangan kecuali disingkirkan dengan gesekan mekanik dan sabun dan dicuci

dengan air. Adapun peralatan yang digunakan untuk mencuci tangan adalah

sebagai berikut :

1.      Sabun.

Ada dua jenis sabun yang sering digunakan di lingkungan perawatan

kesehatan yaitu :

1)           Sabun biasa.

Secara fisik menyingkirkan kotoran dan organisme transient dari kulit.


Sabun tidak mempunyai aktivitas bakterisit. Sabun biasa tersedia dalam

bentuk batang, cair, lembaran dan bubuk, semuanya dapat digunakan.

2)            Sabun anti mikroba.

Mengandung zat kimia yang dapat membunuh organisme transient dan

beberapa organisme residen, tidak hanya menyingkirkannya dari kulit.

Antimikroba memberikan aktivitas kimiawi yang persisten, yang berarti

bahwa zat-zat kimia tersebut tetap tinggal dikulit untuk tetap membunuh

mikroorganisme ( Schaffer,et al 2000). Sabun dan deterjen merupakan

bahan yang mengendorkan tegangan permukaan dan bahan pembuat

emulsi, maka pada umumnya digunakan sebagai alat pembersih yang baik

jika dicampur dengan air dan digosok-gosokkan. Busa yang


dikeluarkannya memisahkan kotoran dan organisme dan memungkinkan

untuk membersihkan. Dalam teknik mencuci tangan digunakan sabun atau

deterjen yang mengandung germicide atau antiseptik. Jika dalam bentuk

cair usahakan agar tertutup rapat. Sabun batangan mempunyai

kemungkinan menyembunyikan mikroorganisme. Bakteri yang singgah

(transient) mudah disingkirkan dengan mencuci tangan secara menyeluruh

dengan menggunakan sabun atau deterjen dan air. Jika menggunakan

sabun batangan, maka sabun tersebut tidak boleh dilepas dari tangan

selama mencuci. Setelah tangan selesai disabuni, ketika hendak

membilasnya, potongan sabun dibersihkan dari busa atau kemungkinan

kotoran tertinggal lalu disimpan kembali pada tempatnya. Tempat sabun

yang baik adalah yang tidak memungkinkan ada sisa air tergenang,

sehingga sabun tetap kering pada saat tidak dipakai.

2.      Orangestick (tusuk kuku yang terbuat dari kayu jeruk). Alat ini digunakan

untuk membersihkan daerah-daerah subungual, yaitu daerah yang terdapat

di bawah kuku, dan waktu membersihkan jangan sampai kulit dibawah

kuku lecet. Namun jika kesehatan dan kebersihan kuku sudah terpelihara

baik, cara membersihkan seperti ini tidak perlu lagi, kecuali jika keadaan
tertentu mengharuskan.

3.     Air yang mengalir pada wastafel. Mencuci tangan lebih baik dilakukan

dengan air yang mengalir pada wastafel, dan kerannya ditutup dan dibuka

tidak dengan tangan, maka membuka dan menutupnya haruslah dengan lap

kertas (paper towels)

4.      Paper towels atau kertas tissue

5.      Keranjang sampah.

Larson (2003) merekomendasikan bahwa perawat mencuci tangan dalam

situasi seperti berikut ini :

1)           Jika tampak kotor

2)           sebelum dan sesudah kontak dengan klien


3)           setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan

tubuh, membran mukosa, kulit yang tidak utuh, atau objek yang mati yang

mungkin terkontaminasi)

4)           Sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemasangan kateter

intravascular atau kateter menetap (dianjurkan menggunakan sabun anti

mikroba)

5)           Setelah melepas sarung tangan

The Centers for Disease control (CDC) dan Publik Health

Service mencatat bahwa mencuci tangan paling sedikit 10 – 15 detik akan

memusnahkan mikroorganisme transient paling banyak dari kulit. Jika tampak

kotor, dibutuhkan waktu yang lebih lama (Garner dan Favero,2000). Larson dan

Lusk (2002) telah menemukan bahwa perawat yang mencuci tangannya 8 kali

sehari kemungkinan lebih kecil membawa bakteri gram negative ditangan

mereka. Prosedur mencuci tangan menurut Perry, Potter (2005) adalah sebagai

berikut :

a)           Dorong ke atas jam tangan dan lengan baju seragam yang panjang dia

atas pergelangan tangan . Lepaskan perhiasan.

b)           Pertahankan kuku jari pendek dan terkikir


c)           Perhatikan permukaan tangan dan jari-jari terhadap adanya luka

goresan atau terpotong pada kulit dan kutikula. Laporkan adanya lesi bila

merawat klien dengan kerentanan tinggi.

d)           Berdiri di depan bak cuci, jaga agar tangan dan seragam anda tidak

menyentuh permukaan bak cuci (jika tangan menyentuh permukaan bak

cuci selama mencuci tangan, ulangi proses mencuci tangan dari

awal). Gunakan bak cuci dengan keran yang mudah terjangkau

e)           Alirkan air. Tekan pedal kaki dengan kaki untuk untuk mengatur aliran

dan suhu air. Tekan tangkai pedal ke arah lateral untuk mengontrol aliran

dan suhu air. Hidupkan keran yang dioperasikan dengan tangan, tutupi

bagian atas keran dengan handuk kertas


f)            Hindari memercikkan air keseragam

g)           Atur aliran air sehingga suhunya hangat

h)           Basahi tangan dan lengan bawah secara menyeluruh di bawah air

mengalir. Jaga agar tangan dan lengan bawah lebih rendah dari siku

selama mencuci.

i)             Oleskan 1 ml sabun cair biasa atau 3 ml sabun cair antiseptik pada

tangan dan buat berbusa Bila menggunakan sabun batangan, pegang dan

gosok sampai berbusa. Dapat juga digunakan sabun berbentuk granula dan

preparat liflet

j)             Cuci tangan dengan menggunakan banyak busa dan menggosokkan

selama 10 – 15 menit. Jalin jari-jari dan gosok telapak dan punggung

tangan dengan gerakan memutar.

k)           Bila area di bawah jari-jari kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan

yang lain dan tambahkan sabun atau kayu orange bersih. Jaga agar kulit

dibawah (disekitar) kuku anda tidak luka atau terpotong.

l)             Bilas tangan dan pergelangan tangan secara menyeluruh, jaga agar

tangan dibawah dan siku diatas

m)         Ulangi langkah 9 sampai 11 tetapi perpanjang periode actual mencuci


tangan selama 1, 2, dan 3 menit

n)           Keringkan tangan secara menyeluruh, usap dari jari turun

kepergelangan tangan dan lengan bawah

o)           Buang handuk kertas dalam wadah yang telah disediakan

p)           Hentikan aliran air dengan kaki dan gagang pedal. Untuk menghentikan

aliran keran tangan, gunakan handuk kertas bersih yang kering

q)           Pertahankan tangan dan kutikula cukup terlumasi dengan losion tangan

atau pelembab di antara waktu pencucian.

b.              Aseptik Bedah .

Aseptik bedah atau teknik steril termasuk prosedur yang digunakan untuk

membunuh mikroorganisme dari suatu daerah. Sterilisasi membunuh semua


mikroorganisme dan spora (Rutala,2003). Setelah suatu obyek menjadi tidak

steril atau tidak bersih, obyek tersebut terkontaminasi. Pada aseptik medis suatu

area atau objek dinyatakan terkontaminasi jika area atau obyek tersebut

mengandung atau diduga mengandung pathogen. Misalnya bedpan yang sudah

dipakai, lantai dan kassa yang basah merupakan contoh obyek yang

terkontaminasi. Pada asepsis bedah, suatu area atau objek dinyatakan

terkontaminasi jika disentuh oleh setiap objek yang tidak steril. Misalnya pada

sarung tangan bedah memaparkan bagian luar sarung tangan terhadap

permukaan kulit, sehingga mengkotaminasi sarung tangan. Teknik steril juga

sering dibutuhkan dalam berbagai tindakan keperawatan di ruang perawatan,

seperti saat persiapan dan pemberian injeksi, pemasangan urine kateter, terapi

intravena, pemasangan jalan nafas trakheobronkial, dan perawatan luka operasi

(mengganti balutan) (Schaffer,et al 2004).

Perawat bertanggung jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi

klien. Keefektifan tindakan kontrol infeksi bergantung pada sifat dan konsistensi

dalam menggunakan teknik aseptik. Perawat yang bekerja dengan lingkungan

yang steril atau dengan peralatan yang steril harus mengerti bahwa kegagalan

sekecil apapun dalam teknik ini mengakibatkan kontaminasi. Bagaimana pun,


ketidakmampuan perawat untuk bertindak sangat teliti akan membuat klien

beresiko terkena infeksi yang dapat dengan serius mengganggu penyembuhan.

Kulit yang sehat dan utuh serta membran mukosa dapat memberikan suatu

barier yang efektif terhadap mikroorganisme, tetapi jaringan yang dibawahnya

merupakan media yang sangat baik untuk  pertumbuhan mikroorganisme. Oleh

karena itu saat jaringan bawah kulit terbuka akibat atau luka karena

pembedahan, maka untuk melindungi daerah tersebut dari mikroorganisme

harus digunakan teknik steril. Adapun prosedur-prosedur steril dalam perawatan

luka adalah sebagai berikut :

a)           Menata area steril

(1)   Mencuci tangan .
(2) Pilihlah permukaan yang datar, kuat dan kering untuk

                  menyiapkan alat steril, dengan luas kurang lebih 12 x 12

                   inchi.

(3)  Sebelum dilakukan sterilisasi, alat-alat dibungkus rapat agar 

                   tidak terkontaminasi, sehingga saat dibuka alat-alat yang

                   sudah steril tersebut tidak akan terkontaminasi.

(4)   Apabila ingin menambah alat-alat yang steril, tempatkan pada

                   sisi area yang steril (Ellis, et al, 1999).

b)           Membuka bungkusan steril.

(1)   Mencuci tangan.

(2)   Ketika membuka steril, jangan sampai menyentuh obyek yang

                    steril atau area steril.

(3)   Peganglah hanya pada sisi luar pembungkusnya.

(4)   Jangan membiarkan sesuatu yang tidak steril menyentuh isi  

                    bungkusan steril. (Ellis et al, 1999).

c)           Menambah alat-alat ke dalam area steril

Ketika menambahkan alat-alat steril ke area steril, hal yang harus

         diperhatikan adalah menjaga agar tidak terjadi kontaminasi.


(1)    Mencuci tangan.

(2)    Membuka pembungkus tanpa menyentuh bagian yang steril.

(3)    Tempatkan alat-alat tersebut pada bidang yang steril dan jaga

                     agar tangan tidak menyentuh bidang steril. Saat meletakkan

                     alat atau bahan yang kecil seperti kasa pembalut, posisi

                     tangan berada kurang lebih 6-8 inchi di atas permukaan

                     bidang steril. Bila alat-alat tersebut besar atau berat atau

                     secara hati-hati pada bidang steril atau bisa dengan

                     menggunakan korentang steril.

(4)    Jaga agar tangan tidak menyentuh bidang steril

d)           Menambah cairan kedalam area steril


(1)  Mencuci tangan

(2) Tuangkan sedikit cairan, misalnya betadine ke dalam tempat

                  pembuangan sebelum menuangkannya ke dalam wadah steril.

(3) Tuangkan cairan ke dalam wadah steril, tuangkan kira-kira 6-8

                   inchi di atasnya.

(4) Tuangkan secara perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya

                   percikan

(5)    Jagalah tangan agar tidak bersentuhan langsung dengan area 

                  steril (Ellis,et al,1999).

e)           Menggunakan sarung tangan steril.

(1)  Cuci tangan secara menyeluruh.

(2)   Buku pembungkus kemasan bagian luar dengan hati-hati

                menyibakkannya ke samping

(3)   Pegang kemasan bagian dalam dan taruh pada permukaan datar  yang

bersih tepat di atas ketinggian pergelangan tangan. Buka   kemasan,

pertahankan sarung tangan pada permukaan dalam

pembungkus.

(4)  Bila sarung tangan belum dibedaki, ambil sebungkus bedak


dan       tuangkan sedikit pada tangan diatas bak cuci atau

keranjang        sampah.

(5)   Identifikasi tangan kanan dan kiri. Setiap sarung tangan

                mempunyai manset kurang lebih 5 cm (2 inchi), kenakan

                sarung tangan pada tangan dominan terlebih dahulu.

(6)  Dengan ibu jari dan dua jari lainnya dari tangan non dominant,   

                pegang tepi manset sarung tangan untuk tangan dominan. 

                Sentuh hanya pada permukaan dalam sarung tangan.

(7) Dengan hati-hati tarik sarung tangan pada tangan dominant,

                lebarkan manset dan pastikan bahwa menset tidak

menggulung                
                pada pergelangan tangan. Pasti juga bahwa ibu jari dan jari-jari 

                pada posisi yang tepat.

(8) Dengan tangan dominant yang telah menggunakan sarung 

                  tangan, masukkan jari-jari tangan manset sarung tangan kedua

(9) Dengan hati-hati tarik sarung tangan kedua pada tangan

                 nondominan. Jangan biarkan jari-jari dan ibu jari sarung

                 tangan dominant menyentuh bagian tangan non-dominant yang

                 terbuka. Pertahankan ibu jari tangan non dominant abduksi ke 

                 belakang.

(10) Manakala sarung tangan kedua telah terpasang, cakupkan 

                  kedua tangan anda. Manset biasanya terlepas setelah

                  pemasangan. Pastikan untuk hanya menyentuh bagian yang 

                  steril

f)            Merawat Luka

Menurut David (2004), perawatan luka pasca bedah adalah tanggung

jawab perawat bangsal. Adapun tujuan perawatan luka adalah sebagai

berikut :

(1)  Mengangkat jaringan mati, sehingga mendukung proses


                   penyembuhan luka.

(2)  Mencegah terjadinya infeksi pada luka.

(3)  Absorpsi cairan eksudat.

(4)  Mempertahankan kelembaban daerah sekitar luka.

(5)  Melindungi luka dari kerusakan lebih lanjut

(6) Melindungi daerah sekitar luka dari infeksi dan trauma  

                (Smith,et al,2000).

Menurut Ignatavicius, et al (2003), perawatan luka pasca bedah terdiri dari

mengganti dan merawat balutan, pembersihan luka, perawatan drain,

teknik perawatan luka :

(1)    Merawat balutan.
Perawatan luka pasca bedah yang baik memberikan penyembuhan luka

yang baik. Dalam hal ini yang terpenting adalah penggunaan pembalut.

Pembalutan pad luka pasca bedah berfungsi untuk : memberikan lingkungan

yang sesuai untuk penyembuhan luka, untuk menyerap drainase, untuk

membebat dan  mengimobilisasi luka, untuk melindungi luka dan jaringan epitel

baru dari cedera mekanik, untuk melindungi luka dari kontaminasi bakteri dan

pengotoran oleh feses, muntahan, dan urin,untuk meningkatkan hemostasis,

seperti pada balutan tekanan dan untuk memberikan kenyamanan mental dan

fisik bagi pasien. Menurut Schaffer, et al (2000), ada beberapa tipe-tipe balutan

menurut indikasi dan frekuensi penggantian balutan, yaitu :

(a)    Kassa.

Balutan kassa digunakan pada luka untuk menyerap cairan, untuk

melindungi dari trauma dan infeksi, dan untuk memberikan debridemen

mekanik. Kassa lembab tidak boleh dibiarkan kering diantara penggantian

balutan karena pertumbuhan jaringan yang sehat dapat terganggu bila

kassa yang kering diangkat. Basahi kassa dengan normal saline jika kassa

kering, sebelum mengangkatnya dari luka. Kassa yang diisi dengan

hidrogel, minyak atau agen pelembab lainnya dapat digunakan untuk


memberikan kelembaban untuk jangka waktu yang lama dan dapat

menurunkan frekuaensi penggantian balutan yang diperlukan perhari.

Kassa lembab dapat digunakan pada semua luka dengan ketebalan parsial

atau penuh dan pada luka yang akut dan kronik. Kulit yang utuh disekitar

luka harus dilindungi dari kassa yang lembab untuk mencegah laserasi.

Kassa kering yang dibasahi dengan normal saline atau larutan isotonic

harus diganti setiap 8 jam atau sebelum kelembaban menguap. Kassa yang

diisi harus diganti setiap 8 jam sampai 48 jam, tergantung pada keadaan

luka dan petunjuk dari pabrik.

(b)    Balutan membrane semi permiabel.


Balutan membrane semipermiabel digunakan untuk

memberikan  lingkungan luka yang lembab dan memungkinkan aliran

oksigen yang bebas melalui balutan. Balutan ini impermiabel terhadap

bakteri dan mikroorganisme lingkungan. Mekanisme kerjanya termasuk

menarik sel darah putih untuk menutupi permukaan luka dan

mempermudah migrasi dan proliferasi sel-sel epitel pada luka. Balutan

memberan semipermiabel paling cocok untuk luka yang kecil, ketebalan

parsial, dan tidak terinfeksi dengan drainase minimal yang terletak di area

permukaan datar. Balutan membrane semi permiabel dapat digunakan

untuk balutan pada terapi intra vena, abrasi superficial,  lepuh, luka bakar

minor, dan ulkus dekubitus (tahap I dan II). Balutan ini tidak boleh

digunakan pada luka yang terinfeksi. Bila mengangkatnya dari kulit yang

tipis dan tua harus selalu diangkat searah dengan arah pertumbuhan

rambut untuk mencegah trauma jaringan. Balutan membrane semi

permiabel harus dikaji setiap hari dan diganti setiap 3 sampai 7 hari bila

drainase luka mencapai 2,5 cm dari batas balutan.

(c)     Hidrokoloid.

Hidrokoloid adalah balutan oklusif yang menciptakan lingkungan yang


lembab, memberikan barier terhadap bacterial eksternal, melindungi dari

cedera ulang, memelihara debridemen autolitik, mengurangi nyeri, dan

menyerap eksudat luka. Balutan ini dapat dilengkungkan di sekitar

permukaan tubuh yang melengkung, namun tetap paling diatas area

permukaan yang datar. Penggunaan hidrokoloid untuk luka dengan

ketebalan parsial, luka ketebalan penuh yang dangkal, laserasi, tempat

donor, luka bakar derajat tiga, abrasi, lepuh dan ulkus dekubitus tahap I,

II, dan III. Balutan ini tidak dianjurkan untuk penggunaan pada luka yang

dicurigai atau diketahui infeksi anaerob. Balutan luka hidrokoloid harus

dikaji setiap hari dan diganti setiap 3 sampai 7 hari atau bila drainase luka

melunakkan balutan ke dalam 2,5 cm batas balutan atau  bila semua tepi


balutan terangkat. Hidrokoloid sedikitnya harus 5 cm lebih besar dari

diameter luka untuk memungkinkan absorpsi cairan luka yang cukup.

Terapi topikal dengan menggunakan balutan membran semi permiabel

dan hidrokoloid mencegah invasi bakteri pada luka yang terbuka dengan

melapisi permukaan luka, mempertahankan permukaan luka yang lembab,

dan mempermudah migrasi sel. Pasien harus dikaji terhadap kondisi-

kondisi patologik yang dapat menghambat proses penyembuhan luka.

(d)    Hidrogel.

Hidrogel umumnya terdiri atas 96 % air dan 4 % polietilen oksida, yang

berguna untuk mempertahankan lingkungan luka yang lembab. Hidrogel

mendukung debridemen autolitik dengan meningkatkan aktivitas fibrolitik

pada luka. Luka dengan ketebalan parsial paling baik ditangani dengan

hidrogel bentuk kertas. Hidrogel dipasang secara langsung di permukaan

luka dan ditutup dengan plester kertas atau jala. Luka dengan ketebalan

penuh ditangani dengan bentuk gel untuk mempertahankan kelembaban

luka dari 8 sampai 24 jam. Hal ini diikuti dengan balutan kassa yang agak

dibasahi dengan saline dan kemudian ditutup dengan kassa kering atau

balutan film transfaran. Klien yang menderita akibat nyeri luka, dapat
memanfaatkan penggunaan hidrogel karena efek pendinginan dan

penyejukan pada luka. Balutan hidrogel diganti setiap 8 sampai 24 jam

tergantung pada jumlah eksudat luka dan juga tipe hidrogel yang

digunakan. Balutan ini hanya bersifat absortif sedang. Oleh karena itu,

balutan hidrogel tidak boleh digunakan pada luka yang banyak drainase

kecuali untuk mempertahankan kelembaban luka. Balutan film transfaran

dapat digunakan sebagai balutan sekunder diatas hidrogel untuk mencegah

keringnya dasar luka dan untuk melindungi dari invasi bakteri serta untuk

menurunkan frekuensi penggantian balutan untuk setiap sampai 24 jam.

(2)    Pembersihan luka
Pembersihan semua luka terbuka setiap kali penggantian balutan

meningkatkan pembuangan debris luka dan bakteri dari permukaan luka.

Perlindungan dasar luka merupakan faktor utama dalam merencanakan

perawatan. Pemilihan larutan untuk mengirigasi luka yang nontoksik sangat

penting untuk mempertahankan penyembuhan luka yang sehat. Proses

pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk membersihkan

luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan

tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka (AHCPR,1994). Preparat

pembersih kimiawi dapat memperlambat penyembuhan luka, meski preparat ini

mempunyai efek anti mikroba dan pembersih. Bahan kimiawi aktif berinteraksi

dengan membrane sel, menghambat penyembuhan luka atau secara aktual

menyebabkan kematian sel. Preparat yang umum dapat mengganggu

penyembuhan luka adalah heksaklorofen, klorhesiden, larutan dakin, povidone

iodine scrubs, sabun, deterjen, dan hydrogen peroksida. Cairan pembersih yang

dianjurkan adalah cairan saline normal. Saline normal merupakan cairan

fisiologis dan tidak akan membahayakan jaringan luka (AHCPR,1994)

Membersihkan luka secara hati-hati dengan saline normal dan memasang

balutan yang dibasahi larutan saline (basah-basah, basah-lembab) merupakan


cara yang sering dilakukan untuk menyembuhkan luka dan melakukan

debridemen luka (basah-kering). Perawat menggunakan cairan saline untuk

mempertahankan permukaan luka agar tetap lembab sehingga dapat

meningkatkan perkembangan dan migrasi jaringan epitel. Balutan saline lembab

(basah-kering) hanya boleh digunakan untuk melakukan debridemen luka dan

tidak boleh digunakan pada luka dengan granulasi yang bersih. Perawat harus

menerapkan kewaspadaan standar kapanpun mereka memberikan perawatan

pada orifisium tubuh atau luka manapun karena kemungkinan kontaminasi

dengan darah atau cairan tubuh. Kewaspadaan ini dimaksud penggunaan sarung

tangan, gaun, masker, atau kaca mata jika ada resiko kontaminasi oleh

semprotan atau percikan mungkin terjadi (Schaffter, at al,2004).


(3)    Perawatan Drain

Drain dimasukan didalam luka atau insisi yang disebut Stab  Wound.

Drain dapat memberikan jalan keluar bagi udara dan cairan empedu. Drain juga

dapat mencegah luka dalam dan pembentukan abses pasca luka operasi selama

penyembuhan.  Pada perawatan klien yang terpasang drain, perawat mengganti

balutan yang basah dengan membersihkan bagian bawah dan sekitar drain serta

bantalan pada area distal dengan bantalan absorbent, yang dapat mencegah

iritasi kulit dan kontaminasi luka operasi. Mengganti balutan pada drain yang

tidak terjahit harus dilakukan dengan hati-hati agar drain tidak tercabut dari

tempatnya (Potter dan Perry, 2005)

4)     Teknik perawatan luka :

a. Siapkan peralatan

b. Cek pembalut ID pasien.

c. Pasang peralatan.

d. Jelaskan prosedur kepada pasien.

e. Cuci tangan dengan seksama.

f. Buang pita dari kulit pasien dengan menarik ke arah irisan.


g. Letakkan pada sarung tangan bersih.

h. Buang pembalut kotor

i. Buang sarung tangan dan pembalut ke dalam kantong 

              plastik. Perhatikan luka dengan teliti untuk menandai

              terhadap infeksi/penyembuhan.

j.   Buka sekat steril dan siapkan lokasi steril.

k.  Siapkan larutan pembersih.

l. Letakkan pada sarung tangan steril. Jika anda bekerja

 sendiri, letakkan sarung tangan steril pada tangan yang

 dominan, biarkan tangan yang lain bebas untuk bekerja

 dengan perbekalan yang tidak steril.


m. Bersihkan luka. Ketika membersihkan area, selalu mulai

pada daerah terbersih dan kerjakan menjauh dari area         

tersebut. Jangan pernah kembali pada area yang telah

dibersihkan sebelumnya.

  Luka bersih: tanpa saluran bernanah (purulent drainage)

-  Bersihkan luka dengan kain kasa lapis 4 x 4.

-  Mulai pada luka insisi dan kerjakan ke luar dengan gerakan

melingkar.

-  Buang kassa setelah masing-masing gerakan.

Luka kotor: saluran bernanah

-   Bersihkan luka dengan kain kasa lapis 4 x 4.

- Mulai pada pinggiran luar dan kerjakan menuju ke dalam

  dengan gerakan melingkar.

-    Letakkan kasa kotor dalam kantong plastik.

n. Jika ada drain, bersihkan di bawah saluran dan sekitar 

 lokasi dengan lapisan kasa 4 x 4 dan larutan pembersih.

o.   Letakkan beberapa lapisan kain kasa di bawah drain.

p. Gunakan steril, gunting tang yang dapat dibuang dari


               kit/kotak pembalut, letakkan beberapa kain kasa 4 x 4 

               melewati luka. Lindungi dengan lapisan ABD jika perlu,

               dan plester.

q.     Buang sarung tangan.

r.      Tutup kantong plastik dan buang pada kantong isolasi

                bahan.

s.     Cuci tangan dengan seksama.

3.            Luka Pasca Bedah

a.      Definisi luka dan luka pasca bedah.


o Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat dari

proses  patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan

mengenai organ tertentu (Lazarus et al,2001)

o Luka adalah suatu trauma yang disebabkan oleh benda-benda fisik, yang

disertai adanya gangguan struktur , kontinuitas normal (Millir dan

Keane,2005)

o Luka pasca bedah adalah luka yang disebabkan karena insisi  pembedahan,

baik untuk tujuan maupun untuk tujuan diagnostik.

b.      Fisiologi penyembuhan luka

Ada 3 fase yang terjadi pada respon jaringan terhadap cedera, yaitu: fase

inflamasi, proliferatif dan maturasi (Smeltzer, Suzanne C,2002)

1) Fase Inflamasi.

Respon vascular dan selular terjadi ketika jeringan terpotong atau

mengalami cedera. Vasokonstiksi pembuluh terjadi dan bekuan

fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol perdarahan.

Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai dengan 10 menit dan diikuti

oleh vasodilatasi vanula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan

vasokonstriksinya Karena norefinefrin dirusak oleh enzim intra selular,


juga histamine dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas kapiler.

Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti

antibody, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air yang menembus

spasium paskular selama 2-3 hari, menyebabkan oedema, terasa hangat,

kemerahan, dan nyeri. Neutrofil adalah leukosit pertama yang bergerak

kedalam jaringan yang rusak. Monosit yang berubah menjadi makrofag

menelan debris dan memindahkan nya dari area tersebut. Antigen-antibodi

juga timbul. Sel-sel basal pada pingir luka mengalami mitosis, dan

menghasilkan sel-sel anak yang bermigrasi. Dengan aktivitas ini, enzim

proteolitik disekresikan dan dihancurkan bagian dasar bekuan darah. Celah

antara kedua sisi luka secara progrsif terisi dan sisinya pada akhirnya
saling bertemu dalam 24 jam sampai 48 jam. Pada saat ini, migrasi sel

ditingkatkan oleh aktivitas sumsum tulang hiperplastik.

2) Fase Proliferatif.

Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel

yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka,

kuncup ini berkembangan menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi

bagi jaringan granulasi yang baru. Kolagen utama dari jaringan ikat yang

digantikan, Fibroblas melakukan sintesis kolagen dan mukopolisakarida.

Dalam periode 2 sampai 4 minggu, rantai asam amino membentuk serat-

serat dengan panjang dan diameter yang meningkat : serat – serat ini

menjadi kumpulan bundle dengan pola yang tesusun baik. Sintesis kolagen

menyebabkan kapiler untuk menurunkan jumlahnya. Setelah itu, sintesis

kolagen menurun dalam upaya untuk menyeimbangkan jumlah kolagen

yang rusak. Sintesis dan lisis seperti ini mengakibatkan peningkatan

kekuatan. Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3 % sampai dengan 5 %

dari kekuatan kulit aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35 % sampai 59 %

kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70 % sampai 80 % kekuatan

tercapai kembali. Banyak vitamin terutama vitamin c, membantu dalam


proses metabolisme yang telibat dalam penyembuhan luka.

3)     Fase Maturasi.

Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka.

Jaring parut tampak besar, sampai fibril kolagen menyusun kedalam posisi

yang lebih padat. hal ini, sejalan dengan dehidrasi, mengurangi jaringan

parut tetapi meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti ini terus

berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 sampai 12 minggu,

tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka.

c.          Bentuk-Bentuk Penyembuhan Luka.


Dalam penatalaksanaan bedah penyembuhan luka, luka

digambarkan   sebagai penyembuhan melalui intensi pertama, kedua atau

ketiga.

1) Penyembuhan melalui pertama (penyatuan primer). Luka dibuat

secara  aseptik, dengan pengrusakan jaringan minimum, dan penutupan

dengan baik, seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit reaksi

jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui intensi

pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan

parut minimal.

2) Penyembuhan melalui intensi kedua (granulasi). Pada luka di mana

terjadi pembentukan pus (supurasi) atau di mana tepi luka tidak saling

merapat, proses perbaikan kurang sederhana dan membutuhkan waktu

lebih lama. Ketika abses diinsisi akan terjadi kolaps sebagian, tetapi sel-

sel yang sudah mati dan yang masih sekarat yang membentuk

dindingnya masih dilepaskan kedalam kavitas tersebut. Untuk alasan ini,

selang drainase atau kasa sering dimasukkan sedalam kantung abses

untuk memungkinkan drainase mengalir dengan mudah. Secara bertahap

materi nekrotik berdisintegrasi dan terlepas, dan kavitas abses diisi oleh
jaringan lunak, merah dan sensitive yang sangat mudah berdarah.

Jaringan ini terdiri atas kapiler yang sangat halus, berdinding  tipis dan

kuncup yang nantinya membentuk jaringan ikat. Kuncup ini, disebut

granulasi, membesar sampai mereka memenuhi area yang ditinggalkan

oleh jaringan yang rusak. Sel-sel disekitar kapiler mengubah bentuk

bulat mereka menjadi panjang dan tipis dan saling menindih satu sama

lain untuk membentuk jaringan parut atau sikatrik. Penyembuhan

menjadi lengkap bila sel-sel kulit (epithelium) tumbuh di atas granula

ini. Metode perbaiki disebut penyembuhan melalui granulasi, dan terjadi

kapan saja pus terbentuk atau ketika kehilangan jaringan terjadi untuk

alasan apapun.
3)  Penyembuhan melalui intensi ketiga (sutura Sekunder). Jika luka dalam

baik yang belum disutura atau terlepas dan kemudian disutura kembali

nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. hal

ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas.

d.          Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Keadaan penyembuhan luka adalah cermin dari status kesehatan  klien

secara keseluruhan. Setiap Aspek dari kondisi pasien dapat  mempengaruhi

proses penyembuhan (Schaffter, et al,2004). Ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu :

1)   Faktor Internal.

a)   Oksigenasi.

   Kondisi hipoksia yang mengganggu penyembuhan luka berasal dari

suplai oksigen yang tidak adekuat ke luka atau  oksigen darah yang

menurun. Sel-sel yang hipoksik tidak mampu untuk melanjutkan

pertahanan jaringan yang adekuat dan penyembuhan luka. Pasien-pasien

dengan vaskulatur darah yang lemah akibat kondisi paru, jantung atau

diabetik, tekanan eksternal pada jaringan-jaringan kapiler, edema, atau

hipovolemik beresiko tinggi terhadap infeksi dan penyembuhan luka


yang lama.

b) Nutrisi.

Nutrisi yang adekuat menopang penyembuhan dan perbaikan luka dan

merupakan pertahanan utama tubuh terhadap infeksi. Individu dengan

gizi yang baik mempunyai simpanan energi yang adekuat untuk

memenuhi kebutuhan metabolik dan fisiologi yang meningkat dari

perbaikan luka. Metabolisme protein diubah dengan adanya luka yang

dalam, dan jumlah protein yang tinggi, diperlukan untuk pasien lansia

dan pasien-pasien dengan luka yang luas. Ekskresi nitrogen urine yang

meningkat terjadi dengan adanya luka yang dalam dan trauma yang

berat, menghasilkan keseimbangan nitrogen negative. Protein, vitamin


A, vitamin C, Tiamin, besi, tembaga dan zinkum semuanya sangat

penting untuk regenerasi jaringan dan pencegahan infeksi. Orang

dewasa dengan luka mayor memerlukan 1500 sampai dengan 5000

kalori per hari untuk memenuhi kebutuhan system yang terganggu.

c)   Penuaan.

Perbaikan epidermal menurun pada lansia, kerapuhan sel, penurunan

daya rentang luka, dan hubungan silang serat kolagen yang menurun

mempengaruhi kecepatan perbaikan luka. Polulasi geriatric beresiko

tinggi terhadap malnutrisi, immobilisasi, dan gangguan system

pernafasan, kardiovaskuler dan imun. Kondisi ini mengganggu transport

oksigen ke jaringan di bawahnya dan memberikan tempat oportunistik

untuk infeksi. Nutrisi yang optimal dan dukungan dasar luka harus

disediakan untuk  memungkinkan granulasi dan epitelisasi luka yang

adekuat.

d)  Penyakit sistemik.

Diabetes Melitus, abnormalitas perdarahan (trombositopenia, anemia,

atau neutropenia), imunosupresi yang disebabkan oleh penyakit atau

obat-obatan, dan gagal ginjal merupakan semua faktor yang


mempengaruhi proses penyembuhan luka. Luka pada pasien dengan

masalah-masalah ini sering melibatkan respon sel yang lambat,

peningkatan frekuensi infeksi, dan proliferasi luka lambat. Tindakan-

tindakan untuk memastikan perfusi jaringan yang maksimal sangat

penting menegakkan integritas dari luka terbuka. Untuk meningkatkan

perbaikan yang adekuat dan mencegah infeksi, proses penyakit

sistemik harus ditangani pada saat yang bersamaan dengan perawatan

luka yang diberikan.

2)           Faktor Eksternal.

Faktor-faktor ini terdiri dari tekanan, robekan, gesekan, kelembaban yang

dapat mengganggu proses penyembuhan. Penerapan teknik aseptik pada


perawatan luka pasca bedah dan pengetahuan klien dan keluarga tentang

perawatan luka  juga merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi proses

penyembuhan luka.( Schaffter, et al .,2004).

You might also like