You are on page 1of 9

Brontowiyono dkk.

Jurnal Teknologi Internasional (2011) 3: 207‐214


ISSN 2086‐9614 © IJTech 2011

MITIGASI URBAN HEAT ISLANDS DENGAN GREEN OPEN SPACE (GOS)


CANOPY IMPROVEMENT: KASUS URBAN AREA YOGYAKARTA (YUA),
INDONESIA

Widodo Brontowiyono1,21, Ribut Lupiyanto2, Donan Wijaya2, Joe Hamidin2

1
Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta 2Pusat Studi
Lingkungan (PSL) UII, Yogyakarta

(Diterima: Mei 2011 / Direvisi: Juni 2011 / Diterima: Juni 2011)

ABSTRAK
Pertumbuhan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (YUA) telah menyebabkan peningkatan iklim
mikro, ditandai dengan peningkatan suhu. Salah satu upaya penurunan suhu adalah dengan
membangun Green Open Space (GOS). Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, minimal 30% dari total luas harus ditetapkan sebagai ruang terbuka
hijau. Citra satelit IKONOS yang diambil pada tahun 2009 menunjukkan bahwa GOS mewakili
43,36% dari total area untuk YUA. Namun, masih ada daerah yang ditandai dengan suhu tinggi
(lebih dari 36, 5oC). Dengan menerapkan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan teknik
overlay di antara tiga faktor seperti kanopi, bangunan dan kepadatan penduduk, zona prioritas
untuk pengembangan GOS diidentifikasi. Berdasarkan analisis, 38,82% wilayah ditetapkan
sebagai prioritas rendah untuk pengembangan GOS, 32,38% sebagai prioritas menengah, dan
28,80% sebagai prioritas sangat tinggi untuk dikembangkan sebagai GOS. Alih fungsi lahan lebih
besar dan berpotensi tinggi pada sektor swasta. Pengembangan GOS perlu didirikan di sektor
publik, seperti pembuatan taman kota. Strategi pemberdayaan masyarakat, penerapan
mekanisme insentif - disinsentif, dan upaya peningkatan produktivitas GOS dapat mendorong
implementasi.

Kata Kunci: Kanopi; Ruang terbuka hijau; Pulau panas perkotaan; Yogyakarta

1. PENDAHULUAN
Dinamika kawasan perkotaan yang kompleks menghadirkan tantangan bagi pembangunan
berkelanjutan. Area fisik perkotaan terus-menerus penuh sesak dengan bangunan, permukaan
yang tersumbat baik di atap bangunan atau halaman, yang kemudian menimbulkan kesan
ramai; di sisi lain, ruang terbuka hijau (GOS) terus menyempit atau, lebih buruk lagi, hampir
tidak ada. Lingkungan perkotaan cenderung berkembang secara ekonomi, tetapi lingkungan
ekologis yang sesuai belum dikembangkan. Salah satu dampaknya adalah peningkatan suhu

1 Email penulis yang sesuai: widodo.bronto@gmail.com, Telp./Faks: +62‐274‐898444 Ext 2503


Brontowiyono dkk.

udara di sekitarnya yang menyebabkan munculnya pulau-pulau panas perkotaan, meskipun


dalam skala kecil (Li et al., 2005).

Kartasapoetra ( 1986) dan Fandeli (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
suhu di permukaan bumi adalah:

• Pengaruh darat dan laut, • Pengaruh tutupan lahan,


• Pengaruh ketinggian, • Pengaruh jenis tanah,
• Pengaruh angin, • Pengaruh panas laten,
• Pengaruh sudut terbit matahari, dan
• Jumlah radiasi yang diperoleh per tahun, per hari, per musim
Ketinggian tanah buatan yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan di daerah perkotaan,
meningkatkan suhu lingkungan sebesar 0,5-1,5oC. Untuk menciptakan kondisi yang lebih
nyaman di daerah perkotaan, pembentukan set vegetasi dalam bentuk hutan atau model lain
diperlukan.
Strategi yang paling efektif untuk mitigasi pulau panas perkotaan dan bahkan untuk ancaman
pemanasan global adalah dengan memperbaiki kondisi lingkungan setempat (Widodo et al.,
2009; Lupiyanto, 2009). Aynsley et al. (2009) dan Dinas Kimpraswil DIY (2006) menyatakan
bahwa ada dua prinsip utama untuk mencegah pulau-pulau panas perkotaan: menaungi
permukaan padat di tempat-tempat umum dan mencegah penyumbatan aliran angin. Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mensyaratkan bahwa minimal 30%
dari total wilayah perkotaan harus ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau, yang terdiri dari 20%
GOS Publik dan 10% GOS Privat. Penelitian ini mengeksplorasi GOS yang ada dan menjelaskan
perlunya pengembangan GOS di YUA.

2. METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pengukuran lapangan, dan interpretasi data
lainnya. Data utama yang dikumpulkan adalah data volume vegetasi dan suhu pada siang hari.
Data sekunder diambil dari gambar IKONOS, peta topografi, dan data statistik. Lokasi
pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan purposive random sampling yang
mengacu pada kompleksitas aktivitas penduduk; Dalam hal ini, persimpangan jalan, kantor, dan
area perbelanjaan dipilih sebagai lokasi pengambilan sampel.
Analisis kanopi dan iklim mikro dilakukan dengan menggunakan pengukuran primer melalui
parameter pengambilan sampel. Pengukuran kanopi dilakukan secara langsung untuk
mengetahui lebar mahkota dan tingginya sehingga volume kanopi masing-masing vegetasi
dapat diidentifikasi. Pengukuran iklim mikro dilakukan dengan menggunakan parameter suhu
tengah hari di tempat-tempat strategis. Analisis vegetasi dan kanopi dilakukan untuk
menghitung volume kanopi yang diperlukan untuk memodifikasi iklim mikro dan mencegat air
hujan. Simulasi ini didasarkan pada perhitungan volume kanopi vegetasi yang diperoleh dengan
mengidentifikasi dan menghitung volume kanopi yang ada di YUA dan menghubungkan volume
dengan iklim mikro dan hidrologi. Analisis dilakukan dengan menggunakan penginderaan jauh
dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Tujuan Analisis SIG adalah untuk mengumpulkan data mengenai luas GOS yang ada, melakukan
estimasi isotermal, dan menentukan bahan potensial yang ada dan juga prioritas
pengembangan GOS. Analisis GIS dalam penelitian ini menggunakan software Arcview GIS
untuk menganalisis data dalam bentuk vektor seperti data yang berhubungan dengan
Brontowiyono dkk.

bangunan, suprastruktur dan infrastruktur, dan juga data mengenai aliran debu panas yang
diperoleh dari hasil interpretasi citra.

3. HASIL
Daerah Perkotaan Yogyakarta (YUA) adalah daerah yang berkembang pesat yang mencakup
semua tempat administrasi di Yogyakarta, beberapa bagian dari Kabupaten Sleman dan
beberapa bagian dari Kabupaten Bantul. Secara geografis, posisi YUA berada di tengah-tengah
Daerah Istimewa Provinsi Yogyakarta. YUA meliputi 2 kabupaten dan 1 kota dengan 23
kecamatan, dengan luas total 18.819 ha.
Luas lahan yang dikembangkan dominan (57%), dan sisanya merupakan lahan yang belum
dikembangkan. Lahan maju didominasi oleh kawasan perumahan yang terus bertambah seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk di daerah ini. Selain itu, jalan akses baru yang ada
telah diaspal, dan munculnya hotel dan kampus di sepanjang pinggiran kota Yogyakarta telah
meningkatkan kebutuhan akan perumahan dan mengurangi penggunaan sawah. Pertumbuhan
kawasan perumahan, menurut Laporan Rencana Wilayah YUA 2007, telah mencapai 47% per
tahun.

Sementara itu, penggunaan lahan yang belum dikembangkan didominasi oleh sawah, namun
luas lahan yang belum dikembangkan terus menurun dari tahun ke tahun. Sawah mewakili 43%
dari total Luas Perkotaan Yogyakarta, yang mencakup 2.828 ha lahan pada tahun yang sama.
Yogyakarta (kota), pusat pertumbuhan YAA, memiliki jumlah lahan terkecil yang dikhususkan
untuk sawah pada tahun 2007, seluas 98 ha atau 3,15% dari luas kota. Pada tahun 2004, lahan
yang digunakan adalah sebagai sawah. Di Yogyakarta seluas 145.403 ha, sehingga luas lahan
yang digunakan untuk persawahan di YUA menurun 8,15% per tahun dari tahun 2004 hingga
2007.
Secara umum, tingkat GOS telah memenuhi persyaratan minimum hukum sebesar 30%. Hanya
GOS Publik yang perlu ditingkatkan. Namun, GOS yang ada belum berfungsi secara optimal,
khususnya dalam fungsi hidrologi dan penurunan iklim mikro. Dengan demikian, arah
pengembangan lain didasarkan pada pemenuhan fungsi/kualitas GOS; dalam hal ini, ini
didasarkan pada volume kanopi GOS. Tingkat tertentu GOS tidak selalu sejalan dengan
fungsinya; Itu tergantung pada kanopi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk memberikan
pengembangan terarah sebagai dasar penyusunan rencana yang memiliki korelasi dengan iklim
mikro.
Iklim mikro umumnya terdiri dari kelembaban dan suhu udara. Kelembaban udara dipengaruhi
oleh suhu udara. Semakin tinggi suhu, semakin rendah kelembaban rata-rata (yang saat ini
berkisar antara 41% dan 95% di YUA). Suhu udara dipengaruhi oleh kekuatan waktu sinar
matahari dari penerangan matahari, adanya awan dan hujan, serta penggunaan lahan di sekitar
area tersebut. Semakin besar panas matahari dan semakin lama iluminasi tanpa awan dan
hujan, dan didukung oleh penggunaan lahan non-vegetasi, semakin tinggi suhu udara. Suhu
udara YUA saat ini berkisar antara 24-38,5oC. Suhu rata-rata ini diperoleh dari rata-rata suhu
bulanan selama 5 tahun terakhir (Bapeda Kota Yogyakarta, 2008). Distribusi udara di daerah
tersebut sebenarnya berfluktuasi setiap jam, tergantung pada pencahayaan matahari. Pada
malam hari, ia mencapai suhu terendah dan suhu tertinggi dicatat pada siang hari. Kondisi suhu
dan penyebarannya di seluruh YUA pada siang hari dapat dilihat pada Gambar 1.
Brontowiyono dkk.

Gambar 1 Peta suhu hari di YUA Gambar 2 Peta GOS yang ada di YUA
3.1. GOS yang ada
Mayoritas GOS di YUA adalah tipe zona hijau, ditandai dengan ruang hijau dan taman di sekitar
area perkantoran (Gambar 2). Oleh karena itu, penggunaan GOS cenderung menciptakan nilai-
nilai estetika dan ekologis. Berdasarkan status kepemilikan dan pengelolaan, mayoritas GOS
merupakan GOS swasta dengan luas total mencapai 628,96 ha dan sisanya mewakili GOS
publik. Data dapat dilihat pada Tabel 1.
GOS publik memiliki otoritas manajemen sendiri. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No 1 Tahun 2007 "Tentang Pemetaan Ruang Ruang Terbuka Hijau", GOS publik harus
disediakan dan dikelola di bawah kabupaten/kota setempat. GOS swasta berada di bawah
pihak/lembaga swasta, atau komunitas pribadi dan publik yang mengendalikan perizinan
penggunaan lahan melalui pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan data di atas, YUA belum dianggap ideal dalam hal pemenuhan kebutuhan ruang
terbuka hijau, khususnya Public GOS. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah
meningkatnya mobilisasi penduduk perkotaan yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
kendaraan dan volume jalan, dan peningkatan kegiatan sosial-ekonomi yang berkontribusi pada
kepadatan lalu lintas.

Tabel 1 Tingkat GOS dalam YUA berdasarkan status kepemilikan


Keadaan
Daerah
Kecamatan/Desa Umum Swasta Seluruh
Sejauh
Anjing Anjing Anjing
Brontowiyono dkk.

Total Kota Yogyakarta


(Ha) 3,250.01 399.83 628.96 1,028.79
(%) 100.00 12.30 19.35 31.65
Sleman Regency Total
(Ha) 7,609.00 1,012.51 3,149.46 4,161.97
(%) 100.00 13.31 41.39 54.70
Bantul Regency Total
(Ha) 5,236.80 387.45 2,044.13 2,431.58
(%) 100.00 7.40 39.03 46.43

3.2. Kebutuhan pengembangan GOS


UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau di
suatu kawasan perkotaan minimal 30% dari total luas wilayah. Luas YUA adalah 16.096 ha; oleh
karena itu, berdasarkan standar undang-undang ini, luas GOS harus mencakup minimal 4.829
ha. GOS harus berisi 3.219 ha yang mencakup GOS Publik dan 1.609 ha GOS Pribadi. Secara
umum, luas GOS di YUA sudah sesuai dengan undang-undang, seluas 7.622 ha atau 43,36% dari
total luasnya. Namun, Public GOS masih hanya mencakup 11.18 sehingga distribusinya tidak
merata.
3.3. Potensi pengembangan GOS
Tantangan terbesar terkait pengembangan GOS di YUA adalah potensi konversi lahan yang
tinggi. Dengan demikian, perlu menetapkan 20% GOS Publik sebagai prioritas utama dan
menunjukkan upaya untuk mempertahankan GOS swasta atau setidaknya untuk
mengendalikan perubahan langsungnya (Tabel 2). Kementerian Pekerjaan Umum menjelaskan
bahwa sawah tidak termasuk sebagai GOS selama tidak ada undang-undang yang secara jelas
mendefinisikan fungsinya sebagai GOS.

Padahal, sawah memiliki potensi atau probabilitas paling besar untuk dikembangkan sebagai
GOS, baik dari aspek fisik maupun ekonomis. Sawah dapat diidentifikasi sebagai sawah abadi
atau untuk pengembangan sebagai jenis GOS lainnya. Berdasarkan hal itu, potensi lahan yang
akan dijadikan GOS akan menunjukkan alternatif yang lebih luas.

Tabel 2 AnalisisG OS yang Dibutuhkan


di YUA

Kebutuhan GOS yang Ada GOS Kurangnya GOS


Kabupaten / Kota Sejauh
Umum Swasta Umum Swasta Umum Swasta
Seluruh Seluruh Seluruh
Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing Anjing

Kota Yogyakarta
(Ha) 3,250.01 399.83 628.96 1,028.79 650.00 325.00 975.00 -250.17 303.96 53.79
(%) 100.00 12.30 19.35 31.65 20.00 10.00 30.00
Sleman Regency
(Ha) 7,609 1,012.51 3,149.46 4,161.97 1,521.80 760.90 2,282.70 -509.29 2,388.56 1,879.27
(%) 100.00 13.31 41.39 54.70 20.00 10.00 30.00 - -
Brontowiyono dkk.

Bantul Regency (Ha)


5,236.80 387.45 2,044.13 2,431.58 1,047.36 523.68 1,571.04 -659.91 1,520.45 860.54
(%) 100.00 7.40 39.03 46.43 20.00 10.00 30.00 - - -
Daerah

4. DISKUSI
Iklim mikro di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dapat dimodifikasi untuk kesenangan dan
kenyamanan penduduk perkotaan dengan mengelola jenis dan distribusi GOS; mengelola tinggi
dan lebar bangunan; dan mengelola jenis, bahan, dan dekorasi bangunan, termasuk warna cat,
dan penggunaan bahan bangunan kaca dan kayu.

Dalam kegiatan perencanaan GOS ini, modifikasi iklim mikro berfokus pada perencanaan dan
pengelolaan GOS. Selain pengelolaan lahan yang mungkin berpotensi ditanami untuk
memodifikasi iklim mikro, ada juga potensi untuk menanam di dinding gedung tinggi atau di
atapnya (roof garden) sehingga akan ada iklim mikro yang lebih sejuk terutama pada siang hari.

Kondisi suhu dapat dipengaruhi oleh kondisi bangunan dan aktivitas manusia serta kanopi. Dari
setiap aspek kita dapat menentukan prioritas pengembangan untuk GOS (Gambar 4 dan 5).
Analisis setiap aspek menggunakan tiga tingkatan: rendah, menengah, dan tinggi. Selanjutnya,
prioritas area untuk pengembangan GOS dapat ditentukan dengan mengamati overlay di antara
kanopi kental, kepadatan bangunan, dan kepadatan penduduk. Peta zona prioritas
pengembangan GOS di YUA ditunjukkan pada Gambar 6.
Berdasarkan peta prioritas, dikombinasikan dengan peta potensi dan kebutuhan, kita dapat
merencanakan persiapan pembangunan. Target pengembangan GOS adalah mampu
menurunkan iklim mikro sehingga kondisi ideal sekitar 34-36oC. Pada Gambar 6, "zona prioritas"
akan ditentukan sebagai target utama. Di sisi lain, zona lain di bawahnya akan menjadi prioritas
pertama. Konsekuensi yang berpotensi muncul adalah kebutuhan untuk melakukan perluasan
lahan dan peningkatan kualitas volume kanopi. Analisis selanjutnya adalah menentukan di mana
menambahkan lokasi GOS. Gambar 7 menunjukkan desain lansekap yang dapat dikembangkan,
sebagai contoh, untuk memenuhi pengembangan GOS.
Brontowiyono dkk.

Gambar 3 Peta kepadatan kanopi di YUA Gambar 4 Peta pengembangan GOS


Prioritas berdasarkan kanopi

Gambar 5 Peta pengembangan GOS Gambar 6 Peta GOS komprehensif


Prioritas berdasarkan bangunan dan populasi Prioritas pembangunan
Kepadatan
Brontowiyono dkk.

Sebelum Sesudah

Gambar 7 Desain taman di area


perumahan

5. KESIMPULAN
Beberapa solusi alternatif untuk mendirikan 20% GOS publik dan untuk meningkatkan volume
kanopi adalah:

1. Penetapan beberapa sawah untuk dikonversi menjadi GOS berdasarkan peraturan sawah
abadi atau sebagai lahan yang dapat dibeli pemerintah untuk digunakan sebagai GOS,
2. Pengelolaan ruang privat (pekarangan rumah, perkantoran dan komplek perumahan)
sehingga dimungkinkan untuk menetapkan minimal 30% dari total luas menjadi GOS yang
memiliki kanopi yang cukup terkondensasi,
3. Optimalisasi tanah dan bangunan pemerintah menjadi sampel GOS,
4. Rekayasa GOS pribadi pada zona bangunan padat, seperti pembuatan taman atap, pot,
pergola, atau lainnya,
5. Upaya pembentukan GOS baru dapat didorong melalui strategi pemberdayaan
masyarakat, mekanisme insentif-disinsentif, dan peningkatan produktivitas GOS saat ini.

6. PENGAKUAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat
(DPPM) - Universitas Islam Indonesia (UII) yang telah mendukung penelitian ini secara finansial.
Kami mengapresiasi Badan Pekerjaan Umum - Penyelesaian dan Sumber Daya Energi-Mineral
(PUP-ESDM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah menyediakan data pendukung.

7. REFERENSI
Aynsley, R., Gulson L, 2009. Iklim Mikro dan Perencanaan Kota di Daerah Tropis Lembab,
Perencanaan di Rumah Kaca. Kongres Nasional ke-27 dari Royal Australian Planning
Institute, Darwin.

Bapeda Kota Yogyakarta (Development Planning Board of Yogyakarta City), 2008. Laporan Akhir
Master Plan Ruang Hijau Kota Yogyakarta (Final Report – Master Plan for Green

Ruang Kota Yogyakarta) , Pemerintah Kota Yogyakarta, Yogyakarta. Unpublished (dalam


Bahasa)
Brontowiyono dkk.

Dinas Kimpraswil DIY (Public Work - Settlement and Energy-Mineral Resources Agency (PUP-
ESDM) of Yogyakarta Special Province), 2006. Penyusunan RDTR Kawasan Purdowo
Kabupaten Sleman (Detailed Spatial Plan of Purdowo Sleman Regency). Final Report, Dinas
Kimpraswil DIY. Unpublished (in Bahasa)

Fandeli, C., Kaharuddin, Mukhlison, 2003. Perhutanan Kota (Urban Forestry). Faculty of
Forestry, University of Gadjah Mada, Yogyakarta. Unpublished (in Bahasa)

Kartasapoetra, A.G., 2006. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman
(Climatology: Climate Influence to Land and Vegetation), Bumi Aksara, Jakarta.

Unpublished (dalam Bahasa)

Li, F., Wang, R., Liu, X., Zhang, X., 2005. Hutan Kota di Cina: Pola Pembangunan, Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi dan Penelitian. Jurnal Internasional Pembangunan Berkelanjutan dan
Ekologi Dunia; Perpustakaan Penelitian Akademik. Juni 2005; 12, 2; hlm. 197.

Lupiyanto, Ribut, 2009. Merancang Kampung Hijau di Tepian Sungai Kota: Kasus
Tegalpanggung, Yogyakarta (Green Kampong at Urban River: A case of Tegalpanggung
Yogyakarta), Bulletin TATA RUANG - Edition of July-August 2009, Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional (Board of Spatial Planning Coordination). Unpublished (in Bahasa)

Widodo, B, R., Lupiyanto, Donan W., 2009. Perbaikan Kampung Kota atas Dasar Mitigasi
Pemanasan Global (Studi Kasus Kawasan Permukiman Bank Sungai Code, Yogyakarta).
Prosiding Seminar Internasional Pertama Sains dan Teknologi, Universitas Islam Indonesia
(UII) – Universiti Kebangsaan Malaysia – Universiti Malaysia Trengganu, 24-25 Januari
2009, Yogyakarta.

You might also like