You are on page 1of 95

Atlanta

Penulis :

Zahra Rhodiatunnisa Fatihah & Sri Nur Patmawati

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. Terimakasih kepada orang tua yang selalu sabar mempunyai
anak yang kerjaannya main hp, kepada seseorang yang selama ini mendukung kami yang entah
itu siapa.

Terimakasih kepada teman-teman yang selalu mendukung dan memberi semangat. Untuk
seseorang yang telah menghidupkan kisah ini karna mu kisah ini ada juga untuk para visual
dalam menghidupkan kisah ini.

Dan untuk yang terspesial, para staf-staf penerbit dan Penerbit Guepedia.com yang telah
mempercayakan dan menerima naskah ini.

Love, untuk para pembaca dan terkhususnya yang sedang membaca kisah ini semoga kisah yang
kami buat dapat menghibur dan selalu terkenang.

Tertanda

Penghujung Senja.

DAFTAR ISI
|Atlanta| I

|Atlanta| II

|Atlanta| III

|Atlanta| IV

|Atlanta| V

|Atlanta| VI

|Atlanta| VII

|Atlanta| VIII

|Atlanta| IX

|Atlanta| X

|Atlanta| XI

|Atlanta| XII

|Atlanta| XIII

|Atlanta| XIV

|Atlanta| XV

|Atlanta| XVI

|Atlanta| XVII

|Atlanta| XVIII

|Atlanta| XIX

|Atlanta| XX

|Atlanta| XXI

|Atlanta| XXII

BIOGRAFI PENULIS
Penulis yang satu ini susah melafalkan huruf ‘sembilan’ namanya Zahra Rhodiatunnisa Fatihah,
cukup panjang. Masih duduk dibangku SMK kelas 12. Hobby mendengarkan
musik tapi ga bisa nyanyi, hobby menulis tapi suka plinplan, hobby liatin
kamu tapi kamunya enggk, wleeek. Hobby baca tapi Cuma baca Novel, suka
makan tapi ga mau bayar. Sstt! Dia ini Lahir di Karawang, 19 juni 2003,
suka banget dikatain ‘anak kecil ga usah ikutan.’ Kasian disingkirin!
Hahaha. Dia juga maniak es kelapa lho.

Penulis yang punya pipi chubby ini suka banget dengerin musik. Punya kepedean tingkat
provinsi, walau suara kek kaset kusut, tapi hobby nya nyayi, lazim tapi nyebelin gitu. Namanya,
Sri Nur Patmawati. Lahir di Majalengka, 06 Mei 2002. Masih duduk di
bangku SMK kelas 12. Dia ini paling sebel kalo disebut bocah cilik, ‘iya tau
iya aku baby face kaaan’. Dia juga punya hobby yang cukup aneh yaitu
mencoret-coret buku kosong, tidak peduli itu buku siapa. Dan yang paling
penting dia itu suka pake bangeeet sama sinar, tepatnya Sunlight.

Mau lebih dekat dengan penulisnya ikuti akun media sosialnya:

@penghujungsenja___ ( _ nya 3×) @pengujungsenja


(enggak pake h yaa)

@raraaranis @Raraaranis

@sri_nurpa @sri_nurpa

SINOPSIS
Eleanor Inara bertemu dengan Atlanta Nevada disebuah jalan raya kota Jakarta waktu malam
saat Inara berangkat les. Inara menolong Atlanta saat hampir membuat cowok itu tertabrak
mobil. Pada hari hari pertama Inara masuk kelas yang sama dengan kelas Atlanta, kemudian
Inara bertemu dengan Kenan Cakrawala, ketua osis. Inara mendapatkan musibah terkena kuah
bakso dan Atlanta berniat meminjamkan bajunya. Disorenya Inara bertemu kembali dengan
Atlanta disebuah taman, mereka bernyanyi hingga Ameera, ibu Inara datang membawa Inara
kerumah. Atlanta sempat mecegah walaupun tidak berhasil, alasan mengapa Ameera begitu
protektif adalah karena masih trauma kematian atas anak kandungnya. Isyana.

Sampai sore dimana Inara berangkat les Inara bertemu dengan Nazella, sahabat baik Atlanta
yang malam itu ia temui saat menolong Atlanta. Mereka membicarakan katanya akan menghasut
si Atlanta menggunakan narkoba karena khawatir Inara mengikuti mereka sampai Atlanta
menemukan Inara disebuah bar. Masih ada waktu untuk les Atlanta mengantar Inara les hingga
menunggu sampai pulang. Pulang dari les Atlanta balapan setelah mengantar Inara. Balapan
dengan Regan sampai Atlanta menang dan Regan yang harus menjadi babu Atlanta.

Saat Inara dan keluarganya keluar rumah. Inara keluar dari mobil akibat berseteru dengan
Mama dan Papanya sampai ia tertabrak motor. Disisi lain masalah keluarga Atlanta, ibunya yang
egois dan ayahnya pergi dari rumah. Sampai kejadian dimana Inara diculik oleh Nazella tapi
malah Atlanta dan Regan yang masuk penjara. Setelahnya Atlanta bebas karena Nazella
mengaku dan Regan yang dibebas kan Papa Inara. Saat Atlanta pulang ayahnya sudah
meninggalkan rumah dan ibunya yang menangis. Ayahnya lebih memilih wanita lain daripada
ibunya.
Ada banya hal yang
ingin aku ungkapkan

Seperti ada banyak


harapan disetiap
kata

Juga ada banyak doa


disetiap ucapan.
🍁|Atlanta| I

Inara tidak pernah panik dalam hal apapun, semuanya bisa mengatasi. Namun, sekarang
ia tidak punya pilihan untuk menyesuaikan rasa paniknya ketika melihat sosok pemuda yang
Inara kira seumuran degannya sedang menyebrang jalanan besar tanpa lihat kanan kiri.

Sebagai manusia yang tidak kenal takut. Inara berlari kencang melewati para pedagang
kaki lima yang berlalu lalang hingga satu langkah lagi ketika mobil besar semakin dekat Inara
langsung menarik tangan kanan pemuda itu menuju pinggiran trotoar.

“Astaga,” desah Inara kencang. Merasa lega telah membawa pemuda dengan hoodie hitam
ke pinggir tepat waktu.

Inara membawa pemuda itu yang seperti orang linglung kesalah satu kursi besi yang ada
dipinggir jalan. Inara mendesah lega, untung saja ia tepat waktu membawa pemuda ber hoodie
hitam itu kepinggiran jalan kalau tidak mungkin sudah tertabrak

Sebenarnya banyak orang yang lalu lalang disekitar jalanan ini, mulai dari pedagang kaki
lima, pejalan kaki dan banyak lainnya. Manusia memang seperti itu, sibuk dengan diri sendiri
tidak berniat menolong orang yang berada ditengah ambang. Mereka menolong ketika diakhir
ambang yang kemudian menyalahkan sana sini. Inara menatap pemuda itu menundukan
kepalanya, sedari tadi pemuda itu hanya menunduk seperti orang tak sadar. Untuk itu Inara
menarik turun tali hoodir menarik perhatian pemuda itu.

“Kamu gapapa?” tanya Inara pelan.

Cowok itu menatap Inara dengan mata menyipit lalu terkekeh tidak jelas membuat Inara
merinding. Sebagai manusia yang siap siaga akan waspada, Inara menggeser duduknya agak
menjauh tapi tidak membuatnya untuk menolong cowok itu yang seperti orang kebingungan.

“Hai, bisa denger?”

Inara bisa melihat cowok itu yang tadinya terkekeh sekarang menatap Inara sinis dan
jangan lupakan mata tajamnya sekrang menatap Inara seolah bisa menembus mata bulat Inara.

“MAU APA LO!” bentak cowok ber hoodie itu.

Cowok itu jelas sedang mabuk. Inara tau dari mulut cowok itu yang mengeluarkan aroma
alkohol serta tubuh berbau rokok. Bukannya takut Inara malah mengeluarkan botol berisi air
mineral dari ranselnya lalu memberikan kepada cowok itu.

“Mau?”

Cowok itu tidak menjawab hanya mengambil botol dengan kasar lalu meneguknya rakus
hingga setengah botol. Inara melihat arlojinya yang menunjukan pukul 7.30 malam, berarti
lesnya sudah mulai dari 30 menit lalu. Seharusnya malam ini dijadwalkan les malam yang
terakhir karena les selanjutnya sudah diganti untuk jadwal les Inara menjadi sore sekitar jam 4.

“Cantik,”

Inara tersentak kaget, ia menoleh kearah sumber suara yang ternyata berasal dari mulut
cowok ber hoodie itu. Inara berdehem, sepertinya sudah ada kesadaran dari cowok itu. “Kamu
gapapa?”

Cowok itu menarik tudung hoodie yang sedari tadi menutupi kepala serta sebagian
wajahnya sehingga Inara tidak bisa melihat jelas wajah cowok itu. Lalu, setelah menurunkan
tudung hoodienya cowok itu menatap Inara dengan wajah tajam. Mungkin jika bukan sedang
disituasi menggentingkan bagi Inara, mungkin Inara sudah terpesona dengan wajah cowok itu
yang begitu kharismatik. Inara mengira jika mungkin cowok itu bukan asli Indonesia atau
mungkin cowok itu blasteran karena untuk ukuran wajah dan dari segi warna rambut yang ke
emas-emasan di Indonesia tidak mungkin ada.

“Lo. Pergi.”

Hanya ada dua kata yang dikeluarkan cowok itu sebelum matanya menatap lurus kearah
jalanan raya. Inara mengernyitkan dahi.

“Tapi kamu lagi ga sadar.”

“Gue bilang pergi. Jauh-jauh dari gue kalo perlu jangan pernah lo liat gue lagi!”

“Kenapa?”

“Lo ga budek kan?”

“Ha?”

Cowok itu menoleh. “Bahaya. Pergi.”

Inara tidak sempat menjawab saat sorot lampu mobil mengenai mereka lalu mobil itu
berhenti didepan mereka, diikuti orang yang ada didalam mobil itu keluar. Ada dua pemuda
dengan yang satu memakai jaket hitam yang satunya jaket berwarna navy dan satu perempuan
dengan penampilan yang begitu mencolok terutama didaerah bibirnya yang begitu merah
menyala. Begitu modis dan mempesona, berbeda dengan Inara yang hanya memakai bedak tipis
dengan sweater pink nya.

“Atlanta,” ucap Perempuan bergaya modis itu.

Yang dipanggil dengan nama Atlanta itu berdiri yang baru disadari Inara bahwa tinggi
dirinya dan cowok itu hanya sebatas pundaknya. Refleks saja Inara juga ikut berdiri, menatap
cowok yang ternyata bernama Atlanta itu dan menatap yang sepertinya teman-teman Atlanta
bergantian. Inara merasa terpojokan disini.
Inara bisa merasakan pergelangan tangannya ditarik membawa tubuhnya dibelakang
tubuh Atlanta, seolah-olah sedang menlindungi Inara namun, tindakan itu tidak dimengerti oleh
Inara.

Perempuan yang memanggil nama Atlanta tadi langsung memeluk leher Atlanta. “Gue
cariin, panik tau ga. Ternyata lo disini Ta.”

“Ngapain lo” ketus Atlanta seraya melepaskan rangkulan cewek itu dengan kasar.

Cowok berjaket bitu mencibir. “Kita berdua juga cariin, panik. Bukan lo doang kale,” yang
diangguki cowok berjaket hitam.

Yang dicibir mendelik sinis tidak memperdulikan omongan kedua cowok itu, cewek
berlipstik merah itu kembali menatap Atlanta sambil menggelanyut dilengan Atlanta yang
langsung ditepis Atlanta. “Lo ga bawa motor kan Ta, bareng kita-kita aja yuk.”

Sepertinya Inara disini sudah tidak dibutuhkan lagi karena memang sudah jelas mereka itu
teman-temannya cowok ber hoodie. Saat akan memundurkan langkahnya untuk pergi. Inara
lupa jika pergelangan tangannya masih digenggam oleh cowok itu hingga saat Inara menarik diri
justru sekarang genggamannya makin mengencang.

Inara menggigit bibirnya, dalam berdirinya ia merasa tidak nyaman apalagi saat cewek itu
bergelanyut dilengan salah satunya seolah sudah biasa melakukan hal seperti itu. Inara
mencoba melepaskan genggaman Atlanta namun justru membuat Atlanta menoleh kearahnya
sesaat Inara menahan nafas.

Kemudian Atlanta ditarik paksa oleh cewek itu yang sepertinya tidak memperdulikan jika
sedari tadi ada Inara begitu juga kedua cowoknya. Sebelum memasuki mobil Inara melihat
Atlanta sempat menatapnya dengan tatapan sulit diartikan tapi entah mengapa membuat Inara
tanpa sadar mendengus kesal. Inara menggeleng, sepertinya ia sangat lelah hari ini.

Setelah mobil yang dinaiki Atlanta dan teman-temannya menghilang dari penglihatannya.
Inara langsung berlari kala matanya melihat angkutan umum untuk pulang kerumahnya karena
tidak memungkinkan untuk menuju tempat lesnya sekarang. Ia sudah sangat amat terlambat.

“Ko pulangnya cepet sayang?” pertanyaan itulah yang meluncur ketika Inara memasuki
rumahnya.

Inara tersenyum. Mengambil tangan kanan Mamanya, Ameera. Lalu mengecupnya penuh
khidmat.

“Tadi aku ketinggalan busnya Ma.”

Inara terpaksa berbohong karena tidak mungkinia menceritakan hal sebenarnya apalagi
bersangkutan dengan seorang pemuda. Bisa-bisa Ameera akan marah besar nanti.
“Kan Mama bilang apa, biar Mama anterin. Kamu sih ngeyel. Kalo ada apa-apa sama kamu
gimana. Kamukan anak gadis Inara,” omel Mamanya seraya mengambil segelas air putih dan
memberikan kepada Inara, dengan sigap Inara mengambil gelas itu lalu meneguknya hingga
habis.

“Maaf Ma.”

“Yaudah kamu bersih-bersih terus istirahat. Jangan main hape. Besok Mama antar
kesekolah.”

Inara menaruh gelas dimeja yang ada didekatnya. “Ma. Inara udah gede lagian hari ini hari
pertama sekolah aku.”

Ameera melipat tangannya didada. Menatap anak semata wayangnya yang menekukan
wajahnya, merajuk. Wajar saja Inara protes karena Inara baru diperbolehkan seumur hidupnya
untuk sekolah umum, sedari kecil Inara hanya homeschooling.

“Ya justru itu, kamu kan pertama sekolah umum. Sekaian Mama mau liat-liat sekaligus
nitipin kamu kewali kelas kamu.”

“Ma,” desah Inara frustasi.

“Biarin aja kenapa sih Ma, anak muda sekarang tuh jarang yang enggak manja minta anter
ke orang tuanya saat pertama masuk kesekolah dihari pertamanya kayak Inara kan sekalian
belajar tambah mandiri Ma,” lerai Papa Inara, Reno yang baru keluar dari ruang kerjanya seraya
melepaskan kacamata.

“Ga bisa Pa, tadi aja Inara telat les karna ketinggalan bus. Kalo besok sama lagi gimana.
Mending Cuma ketinggalan bus kalo Inara kenapa-napa dijalan gimana?” kekeuh Mamanya tetap
pada pendirian. Ameera itu termasuk keras kepala jadi susah untuk dikasih tau.

“Aku bisa jaga diri ko Ma.”

“Mama disini khawatirin kamu lho. kamu ga kasihan sama Mama kalo kamu tetep kekeuh
berangkat sendiri sedangkan Mama duduk ga tenang? Lagian Papa kamu ga bisa anter kamu,
beda arah sama kantor. Nanti Papa kamu telat gimana?”

Inara menggigit bibirnya kuat, airmatanya bahkan hampir pecah jika saja ia sedang
dihadapkan dengan orang tuanya. “Ma,” lirihnya frustasi. Ayahnya mengelus pundak Inara
mencoba menenangkan Inara, ia tau Ayahnya sangat ingin membelanya lagi tapi tidak ingin
menyakiti Istrinya.

“Aku. Inara. Buka Isyana.”

Inara bisa melihat Ameera menegang dilihat dari tangannya yang akan mengelus kepala
Inara berhenti kaku. Saat itupula Inara merasa bersalah.
“Inara, pergi kekamar ya. Istirahat,” ucap Ayahnya.

Inara mengangguk, ia langsung bergegas naik kelantai atas. Sesaat ia melihat Ameera
menangis dipelukan Reno membuat hati Inara dipenuhi rasa bersalah. Harusnya tadi inara tidak
mengatakan hal yang membuat Ameera sedih.
Jangan lepaskan apa yang aku berikan

Jangan lepaskan apa yang aku katakan

Jangan lepaskan apa yang aku simpan

Jangan lepaskan apa yang aku ketahui

Dan jangan lepaskan apa yang kamu jaga

Karena aku enggak tau seberapa lama aku bisa menjaga kamu.

🍁|Atlanta| II
Pagi itu. Inara sudah siap dengan seragam putih Abu-abunya. Dengan mengembangkan
senyum terbaiknya, Inara keluar dari kamar saat dilantai bawah ia bisa melihat Mamanya dan
Bik Ningrum, pembantu kesayangannya.

Jika biasanya mereka yang sebelumnya Homeschooling mereka akan gugup dan tidak
percaya diri. Namun, bagi Inara itu tidak berlaku. Justru Inara sangat bersemangat dan tampak
percaya diri untuk bertemu teman-teman barunya dan untuk pertama kalinya juga Inara
mempunyai teman yang bernyawa karena sebelumnya Inara hanya mempunyai teman boneka
itupun hanya ada satu.

“Pagi, Ma”

“Pagi, Bik Ning”

Inara menyapa keduanya dengan berbinar yang dibalas oleh keduanya. Biasanya Papanya
juga ikut sarapan tapi untuk beberapa pagi ini beliau sedang sibuk jadi terpaksa hanya
membawa bekal yang dipaksa oleh sang Mama.

Setelah sarapan dan berpamitan dengan Bik Ningrum, Inara dan Ameera langsung pergi
kesekolah barunya itu.

Karena sesuai janji Ameera semalam, ia akan mengantarkan Inara kesekolah sampai
menitipkannya ke wali kelasnya langsung. Walau jauh dalam hati Inara menginginkan agar
Ameera tidak usah terlalu berlebihan karena Inara sudah bisa menjaga diri. Inara hanya
mencoba berfikir positif jika Mamanya hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan seorang
anaknya.

Sebagai anaknya yang mencintai dan menyayangi orang tuanya, Inara hanya terus
mengikuti Ameera berjalan disampingnya yang melangkahkan kakinya menuju ruang guru.
Disini Inara berharap bertemu Iqbaal Ramadhan yang ada diruang guru itu, sumpah Inara
berharap, sangat berharap.

Setelah selesai acara titip menitip seorang siswi, Ameera sudah berlalu dari pandangannya
menuju rumah lagi. Lalu saat ini Inara sedang mengekori seorang guru yang merangkap jadi wali
kelasnya, yang bernama Ibu Sekar, Inara bergerutu dalam hatinya “Aishhh! Yang katanya ada
Iqbaal, tapi kok tadi gak ada ya? Apa aku salah masuk ruang guru?”

Inara memasuki kelas dengan jantung yang berdebar. Jujur saja, Inara merasakan
jantungnya bekerja dua kali lipat setelah masuk kedalam kelasnya. Mata jernihnya menatap
sekeliling kelas yang langsung saja ia jatuh cinta. Sekali lagi untuk pertama kalinya Inara
mempunyai kelas seperti pelajar lainnya.

Lalu, Inara mengembangkan senyumnya saat Ibu Sekar menyuruhnya untuk mengenalkan
diri.
“Hallo, emm.. nama saya Eleanor Inara. Panggil saya Inara atau Nara juga boleh. Saya
sebelumnya Homeschooling.”

Setelah mengenalkan diri, hampir semua murid dikelas ingin bertanya namun ditunda
nanti istirahat dikarenakan guru pengajar jam pertama sudah datang.

Inara dipersilahkan duduk dibangku paling belakang dibarisan kedua dari lima barisan
karena hanya itu satu-satunya bangku yang kosong.

Inara menaruh tasnya dikursi samping dengan seorang pemuda yang tertidur dengan
menelungkupkan kepalanya dikedua lengannya sehingga Inara tidak bisa melihat wajah pemuda
itu. Rasanya cukup aneh seorang murid tertidur dikelas saat pelajaran dimulai. Karena tidak
ingin terkena masalah dihari pertamanya sekolah, Inara mengabaikan cowok berhoodie itu dan
mulai fokus dengan pelajarannya.

Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya bel istirahat berbunyi. Sontak saja seluruh murid
dikelas ini ada yang berteriak, bersorak tidak jelas, memukul meja dan lainnya yang membuat
Inara sendiri juga geleng-geleng kepala.

Ajaib.

Itu kata yang pertama kali Inara sebutkan dalam hati setelah memasuki kelas ini.

Namun, cowok yang disampingnya tidak ada tanda-tanda akan bangun dari tidurnya.
Anehnya selama cowok itu tidur, guru yang mengajarnya tadi sama sekali tidak menegurnya.
Seolah-olah guru itu tidak melihat keberadaan seorang siswa yang tertidur dipelajarannya.

Tanpa sadar Inara menepuk pundak cowok itu pelan yang mulai mengusik tidur nyenyak
cowok itu. Kemudian cowok itu bangun dan langsung menatapnya tajam. Mungkin marah,
karena tidurnya diganggu. Tapi, bukannya Inara takut mendapatkan tatapan tajam itu, Inara
justru terkejut sekaligus senang saat tahu jika cowok yang dihadapannya sama dengan cowok
yang yang ia tolong semalam.

Yang menambah pembuktiannya adalah bagaimana cowok itu membuka tudung hoodienya
dan menatapnya tajam sama persis seperti semalam.

“Hai, Atlanta.” Sapa Inara riang yang anehnya membuat kelas mendadak sepi juga tatapan
anak-anak kelas menatapnya iba?

Atlanta tidak menjawab ia hanya mendengus keras lalu berlalu keluar kelas meninggalkan
Inara yang kebingungan. Inara mengedikan bahunya, mungkin Atlanta lupa dengan Inara karena
semalam ia rasa Atlanta sedang mabuk. Saat Atlanta sudah benar-benar keluar dari kelas
barulah segerombolan anak kelas menghampirinya.

“Inara? Lo ngapain?” tanya seorang cewek berambut sebahu bewarna coklat.

Inara menggeleng. “Gak papa kok. Emang aku kenapa?”


Cewek berambut panjang seperti yang ada diiklan shampo mendekatkan diri. “Lo tadi
ngobrol sama Atlanta.”

Inara menatap orang-orang itu kebingungan. Memangnya ada masalah jika ia berbicara
dengan Atlanta? Memangnya ia akan terluka jika hanya brbicara dengan Atlanta? Emang Atlanta
monster?

Cewek berambut panjang pirang mendelik sinis “Udah deh. Kalo lo naksir sama Atlanta
mending dipendem aja. Gue yang cantik kayak gini aja boro-boro dilirik apalagi ditatap dan fakta
yang harus lo tau Atlanta itu gak punya hati. Buktinya semua cewek yang nembak dia ditolak
mentah-mentah kek sampah.”

“Curhat mbak?” ujar cewek berambut coklat tadi.

“Gak. Gue ngaji,” balasnya kesal lalu berlalu keluar kelas.

“Aku gak papa kok. Beneran deh.”

Semuanya mengangguk mencoba percaya, walau masih ada yang menasihatinya untuk
tidak terlalu dekat dengan cowok bernama Atlanta itu. Inara menerimanya dengan lebar
khasnya.

“Betewe gue Risa,” ucap cewek yang berambut pendek berwarna coklat itu yang ternyata
bernama Risa.

“Gue Amel,” sambung cewek berambut yang seperti iklan shampo tadi.

Lalu, bergantian siswa siswi lainnya dan seterusnya membuat Inara kewalahan.

“Mau ikut kita kekantin?” ajak Risa.

Inara menggeleng. “Nanti aja. Disini Mesjid disebelah mana ya?”

“Kamu mau shalat?” tanya Amel.

“Iya, abis itu baru aku kekantin.”

“Ohh, oke deh. Mesjid ada dibagian bangunan sayap barat. Tinggal lurus aja kok nanti juga
keliatan.”

Inara mengangguk mengerti, mereka keluar kelas bersamaan saat Amel dan Risa berbelok
kearah kanan sedangkan Inara berbelok kearah kiri. Saat melewati taman kecil yang ada
disekolah Inara melihat Atlanta sedang duduk dikursi besi yang berjejer rapi sedang merokok.
Dia menghampiri Atlanta dengan senyum mengembangnya. Inara menyapa Atlanta.

“Hai,”

“Mau apa lo?!” ketus Atlanta.


“Mau nyapa aja, kitakan satu kelas juga duduknya sebelahan. Emang gak boleh kalo aku
nyapa temen sendiri?”

“Temen?” ujar Atlanta sinis.

Inara mengangguk semangat membuat Atlanta justru malah kesal melihatnya.

“Harusnya lo ngejauh dari gue. Lo gak budek kan semalem gue bilang apa?!”

Inara terkejut jika Atlanta masih mengingatnya. Lalu mengapa tadi seperti orang yang tidak
kenal. Inara menggigit bibirnya mungkin Atlanta baru menyadari tadi. Seperti yang sebelumnya.
Atlanta pergi meninggalakan Inara dengan kebingungannya. Inara hanya menghela nafas dan
melanjutkan langkahnya menuju mesjid.

Setelah sampai, Inara membuka sepatunya saat seseorang duduk disebelahnya menyapa.
“Hai, lo Inara ya?”

Inara menoleh menatap cowok beralis tebal dan menggemaskan. Jika dilihat berbeda
dengan Atlanta, cowok itu terlihat berkharismatik. Inara tersentak, mengapa ia jadi
membandingkan cowok dihadapannya dengan Atlanta.

“Iya, kok kamu tau?”

Cowok itu terkekeh memperlihatkan gigi putihnya yang rapih. “Iya dong. Gue denger dari
anak-anak kelas gue, katanya ada anak baru dikelas duabelas IPS yang cantiknya gak nyelo. Eh
pas liat aslinya bener ternyata cantiknya gak nyelo.” Kelakar cowok itu.

Inara geleng-geleng kepala seraya terkekeh mendengar candaan cowok itu. “Apaan dah.
Lagian cewek cantik kan banyak.”

“Iya sih banyak, tapi kan jarang banget ada anak pindahan disaat udah kelas dua belas.
Karena lo cuma satu-satunya yang pindahan dan gue ngeliat wajah baru, jadi gue prediksiin kalo
lo orangnya.”

Inara hanya terkekeh, lalu cowok itu mengulurkan tangannya, “Gue Kenan Cakrawala.
Ketua OSIS SMA Cakrawala tempat lo menempuh dan menuntut ilmu.”

Inara menganggukkan kepala seraya tertawa “Oalah ketua OSIS, aku Eleanor Inara. Panggil
aja Inara,” kekeh Inara.

Kenan menganggukkan kepala mengerti.

“Udah adzan. Gue duluan ya,” ujar Kenan tersenyum.

“Iya, Ken.”

Tidak beberapa lama, Inara pun ikut masuk kedalam mesjid setelah berwudhu.
Selesai shalat, Inara kembali memakai sepatunya. Tiba-tiba Kenan datang dan duduk
disampingnya.

“Mau kekantin?” tanya Kenan seraya memakai sepatunya.

“Iya”

“Bareng gue aja. Gue juga mau kekantin. Sekalian.”

Inara menyetujui ajakan Kenan karena baginya ia rasa Kenan menurutnya sangat asyik
diajak mengobrol juga sepertinya teman yang mengasyikan dan juga baik. Terbukti selama
perjalanan menuju kantin, Inara selalu dibuat tertawa oleh Kenan apapun itu topiknya. Mereka
duduk dimeja paling pinggir yang langsung menghadap lapangan SMA Cakrawala yang sangat
luas itu. Kemudian mereka memesan makanan saat seseorang datang duduk disamping Kenan.

“Bangke kok lo gak ngajak gue. Jahat lo!” ujar cewek imut dengan rambut sebahunya.

Mendengar itu sontak Inara tersedak minumannya membuat Kenan dengan siaga
memberikan air putih.

“Paansi. Manggil orang tuh yang sopan. Gue kakak lo, kalo lo masih inget itu juga.”

“Elah beda sejam aja segalaan,” kesalnya.

“Lagian nih ya gue manggil lo Bangke karena nama lo dilidah gue itu kepanjangan.
Makanya gue singkat dari yang Bang Kenan jadi Bang Ke. Salahnya dimana coba?” lanjutnya
berkoar.

“Heh, apa kabar sama nama lo. Issabel. Yang S nya double.”

Kenan dan adiknya sibuk berdebat hanya karena panggilan nama. Iya sih hanya panggilan
nama tapu mungkin jika Inara diposisi Kenan ia akan marah. Maybe.

Ketika Inara merogoh sakunya untuk mengambil handphonenya, ia terkejut saat seseorang
menumpahkan semangkuk bakso hingga terdengar pecahan mangkuknya yang jatuh. Inara
mengibaskan roknya yang terasa panas dikakinya yang terkena tumpahan kuah juga bakso yang
masih panas. Kenan yang sedang berdebat dengan adiknya berhenti beralih memarahi yang
ternyata adik kelas yang menumpahkan semangkuk bakso tadi.

Sedangkan Issabel panik mencoba membantu Inara membersihkan rok Inara. Saat
seseorang menarik jauh, Issabel menggantikan orang itu yang membersihkan roknya dengan
hoodie. Inara menatap orang itu yang ternyata Atlanta. Sebelum membuka mulutnya, Atlanta
menatap adik kelas yang menumpahkan semangkuk bakso tadi dengan wajah marah.

“Lo buta? Kalo punya mata tuh dipake!”


Mungkin, mereka pikir aku hanya menatapmu

Tapi, yang aku pikir aku lebih dari menatapmu

Ketahuilah dan waspada jika aku menatap

Kamu tidak tau apa yang akan terjadi

Bahwa aku diam-diam mencoba masuk kedalam hatimu

Merembutnya agar aku bisa menatap kamu lebih lama.


🍁|Atlanta| III

“Lo buta? Kalo punya mata tuh dipake!” sentak Atlanta marah.

Sentakan Atlanta tidak membuat si cewek yang dibentak Atlanta ketakutan, malah si
cewek senyum-senyum tak jelas dan menatap Atlanta tanpa kedip. Karena, hal langka dari
Atlanta selain masuk kelas adalah berbicara.

“Maaf kak, tadi aku liatin kak Atlanta terus. Cakep sih,” ujar si cewek itu tanpa malu
membuat Kenan dan Issabel kesal, terutamanya Atlanta yang rasanya ingin sekali menendang si
cewek itu jauh-jauh. Atlanta mendengus, ia membawa Inara keluar kantin. Sepanjang jalan,
wajah Atlanta terlihat marah membuat orang yang melihatnya ketakutan.

Atlanta membawa Inara ketoilet, dia membantu membersihkan sisa kuah dibaju dan rok
Inara.

“Makasih ya udah bantuin,” ucap Inara tulus.

“Anggap aja itu balas budi gue ke elo,” datarnya lalu cowok beralis tebal itu melongos pergi.

Tidak lama Issabel muncul diiringi wajah kekhawatirannya. Ia langsung mengecek keadaan
Inara yang beruntungnya baik-baik saja namun tidak dengan baju dan roknya yang
meninggalkan jejak kuah.

“Lo gak papa. Nar?” seru Issabel.

“Gak papa kok.”

“Tapi baju sama rok lo kotor? Mau pake punya gue? Gue punya kok baju cadangan
diloker.”

Inara menggeleng. “Gak usah gak papa kok. Lagian dikit ini.”

“Dikit gimana? Liat tuh banyak gitu,”

Inara terkekeh, merasa wajah kesal Issabel lucu seperti saat ini.

“Gak papa kok, bener deh.”

Issabel menghela nafas pasrah, percuma saja memaksa jika Inara pasti akan keukeuh
untuk menolak. Issabel mengangguk.

“Eh tapi tadi,” ucapan Issabel terpotong karena bel masuk.


Inara menepuk pundak Issabel pelan. “Udah bel, makasih ya udah bantuin. Kalo gitu aku
duluan.”

Inara masuk kelas yang keadaannya seperti pasar. Ramai sekali, selama menuju tempat
duduknya dibelakang. Inara sesekali disapa oleh teman sekelasnya, ada pula yang mengajaknya
bergabung namun Inara menolak dengan halusnya. Ketika sedang menyiapkan buku, guru
datang diikuti Atlanta dibelakang guru itu. Semua anak kelas langsung ketempat duduknya
masing-masing yang diikuti Atlanta, duduk disamping Inara.

Sekilas Atlanta menatap Inara, namun detik selanjutnya cowok itu menyandarkan
kepalanya dikursi, menatap kedepan kelas tanpa menoleh lagi. Inara tersenyum maklum, cewek
berambut sebahu itu menatap kedepan saat guru yang mengajar menegurnya.

“Inara, baju kamu kenapa kotor?”

“Tadi enggak sengaja ketumpahan kuah bakso. Bu.”

“Kalo gitu, ada yang punya baju cadangan diloker kalian? Bisa pinjamkan ke Inara? Tidak
papa jika baju olahraga juga.”

Semuanya menggeleng tidak ada yang membawa, ada dua anak tapi akan digunakan untuk
kegiatan ekstrakulikuler nanti sepulang sekolah.

Lalu, Atlanta berdiri menarik perhatian semua anak kelas termasuk guru.

“Ada apa, Atlanta?” tanya guru itu heran. Karena biasanya Atlanta sangat jarang
menunjukkan gerak-geriknya saat didalam kelas. Biasanya cowok itu hanya tertidur,
mendengarkan musik atau jika ingin cowok itu mengikuti pelajaran. Juga, tidak pernah ingin
mencampuri urusan orang lain.

“Saya bawa,” ucap Atlanta datar, seraya menarik tangan Inara keluar dari kelas tanpa
mendengarkan respon Inara dan sang guru pula.

Atlanta membawa Inara ketempat loker dimana untuk semua murid SMA Cakrawala
menyimpan barang-barangnya. Cowok itu membuka lokernya, yang Inara lihat didalam loker itu
ada beberapa baju dan celana, sepasang sepatu, buku-buku kecil dan yang membuat Inara tidak
percaya adalah ada satu Al-Qur’an kecil terselip diantara buku-buku kecil itu. Walau terselip,
Inara yakin jika itu adalah Al-Qur’an.

Atlanta mengeluarkan baju dan celana olahraga dan memberikan kepada Inara yang
bengong. Atlanta berdecak. “Jangan bengong.”

“Eh?”

“Pake,” kemudian Atlanta melengos pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah dua
patah kata lagi.
Inara menggigit bibirnya, bergegas. Inara langsung mengganti pakaiannya. Ketika sedang
berjalan menuju kelasnya, ia bertemu dengan Kenan yang langsung menghampiri Inara dengan
wajah terlihat nampak khawatir.

“Inara lo gak papa?”

“Gak papa kok,” balasnya ramah.

Kenan tampak menghela nafas, cowok itu tersenyum. “Bagus deh, kalo gitu gue tenang
jadinya,”

“Makasih ya dan aku duluan, Ken. Masih ada mata pelajaran.”

“Iya, silahkan,” ucap Kenan memberi jalan.

Ketika dikelas Inara tidak menemukan Atlanta disampingnya, hanya ada ransel Atlanta
saja. Inara kemudian mulai memfokuskan pelajarannya sampai bel pulang berbunyi.

Sore itu, Inara mengayuh sepeda didaerah perkomplekan perumahannya. Inara saat itu
baru pulang dari tempat lesnya. Jika biasanya sebelum masuk sekolah umum ia akan les jadwal,
malam sekarang tidak lagi, sekarang Inara les saat sepulang sekolah langsung les. Cape sih, tapi
mau gimana lagi.

Ketika dipertikungan jalan, Inara seketika mengerem mendadak saat matanya melihat
sosok yang dikenalnya. Inara menghampiri Atlanta yang terduduk dipinggir jalan.

“Atlanta?” panggil Inara ragu.

Lalu, yang kata Inara, Atlanta itu mendongakan kepala membuat Inara sesaat menahan
nafas melihat mata Atlanta yang sendu.

“Kamu gak papa?”

Atlanta menatap Inara lurus tepat dikedua mata teduh Inara, tidak menjawab pertanyaan
Inara hingga beberapa menit berlalu.

“Ta?” panggil Inara sekali lagi.

“Kenapa setiap ketemu lo, keadaan selalu gak tepat. Itu bahaya buat lo,” ujar Atlanta aneh
membuat Inara mengerutkan keningnya dalam-dalam merasa heran.
Karna kepadamu

Ingin kuungkapkan banyak rasa

Hingga tak mampu untuk berucap.


🍁|Atlanta| IV

Atlanta memakirkan motor besarnya diperkarangan rumah bergaya minimalis, ketika


matanya tidak sengaja melihat Athena, adik perempuannya yang ternyata sedang menangis
didepan pintu dan tangan Athena dikedua sisi telinga.

Bergegas Atlanta menghampiri adiknya yang menangis. “Hena, kenapa?” tanya Atlanta
panik.

Athena tidak menjawab malah memeluk Atlanta kuat, namun suara yang berasal dari
dalam rumahlah yang menjawab semua pertanyaan dalam benak Atlanta tentang kenapa
adiknya menangis. Atlanta memejamkan matanya, mencoba untuk tidak berteriak marah,
adiknya ketakutan sedangkan kedua orang tuanya tetap saja terus bertengkar dan sekarang
Atlanta bisa mendengar pecahan barang yang begitu memekikkan telinga disusul teriakan
ibunya.

Athena semakin erat memeluk Atlanta, tubuh Athena gemetar ketakutan dan tangisannya
tenggelam dileher Atlanta. Atlanta mengusap punggung adiknya mencoba menenangkan Athena
“Shh, ada gue.”

“Ayah,” ucap Athena sembari melepaskan pelukan dan berlari kearah ayahnya yang baru
saja keluar membawa koper.

Atlanta ikut menghampiri, ia hanya diam mematung didepan ayahnya yang sedang
memeluk Athena, lalu ayahnya melepaskan pelukan menciptakan protesan dari Athena.

“Ayah titip Athena ya, Ta,” ucap Andan, ayahnya dengan suara tegas.

“Ayah mau kemana?” rengek Athena tidak ingin ayahnya pergi, jika ayahnya pergi siapa
yang akan menjaganya? Walau sudah ada Atlanta yang setiap waktu menjaganya, tapi nanti
ketika Atlanta sedang pergi siapa lagi? Juga siapa yang akan menemaninya, ibunya tidak
mungkin sudi menemani Athena.

“Ayah mau kerumah sakit, mungkin beberapa hari ayah enggak pulang.”

“Kenapa yah?” Tanya Athena dramatis.

Ayahnya seorang dokter ahli Jantung, juga pemilik rumah sakit dimana ayahnya bekerja.
Ayahnya tentu sangat sibuk, tapi tidak membuat ayahnya tidak pulang berhari-hari.
“Ini urusan orang dewasa. Athena.”

“Aku sudah dewasa, yah,” saat itulah tangisan Athena kembali pecah.

“Ayah,” gumam Athena pelan. Ayahnya menoleh dan menatap Atlanta memohon, hal yang
tidak pernah terjadi membuat Atlanta sakit.

“Oke. Terserah ayah,” ujarnya datar.

Ketika Andan memasuki mobil, Athena berteriak memanggil sedangkan Atlanta memegang
bahu gadis itu agar tidak mengejar ayahnya yang sudah melajukan mobilnya hingga tak terlihat.

“AYAH.... AYAH.... !!!!!”

Atlanta memeluk sang adik, menenggelamkan wajah Athena didadanya. Mencoba


menenangkan adiknya, ibunya justru masih ada didalam. Mungkin sedang menangis tapi Atlanta
tidak peduli, karena ia yakin yang memulai pertengkaran adalah ibunya yang begitu egois.

Setelah tangis Athena reda, cowok berbadan tegap itu mengurai pelukan lalu mengusap air
mata Athena dengan jarinya. “Ayah pergi, kak,” lirih Athena.

“Gue tau.”

“Kenapa kakak gak cegah seperti biasanya? Kakak gak sayang lagi sama ibu?”

“Kapan gue bilang sayang ibu? Gue cegah ayah itu buat elo. Athena,” desis Atlanta seraya
menatap Athena tajam.

“Kakak masih marah sama ibu?”

Atlanta tidak menjawab, dia memalingkan muka tidak menatap adiknya dengan bibir
menipis. Mencoba tenang untuk tidak membentak adiknya. Bagi Atlanta, pembahasan tentang
ibunya begitu sensitif memancing amarah Atlanta.

“Ikut gue.”

“Kemana?”

“Ikut aja,” ucap Atlanta tegas, menarik pergelangan tangan Athena.

Mereka sampai ditaman perkomplekan, disini sngat ramai. Banyak permainan yang
dipenuhi oleh anak-anak kecil, para pedagang dengan berbagai rupa dagangannya, anak remaja
yang bercanda gurau dengan sesamanya juga masih banyak lagi.

Atlanta membawa Athena duduk dikursi kosong dekat pohon, nanyak tatapan kagum dan
terpesona dari cewek-cewek yang ada disana, bahkan bocah kecil yang Atlanta kira masih SD
menatapnya penuh binar. Atlanta berdecih, anak jaman sekarang mengapa tidak punya otak.
Namun, selain itu juga banyak yang menatapnya kecewa dan iri karena ia menggandeng
perempuan, mungkin mereka fikir Athena adalah kekasihnya. Wajar saja Athena memiliki wajah
dewasa padahal masih Sekolah Menengah Pertama. Wajah dewasa mereka karena keturunan
dari sang ayah, yang memiliki darah Kanada. Jadi, wajar saja jika wajah mereka sama serupa
dewasanya,

“Tunggu disini,” tanpa mendengarkan persetujuan Athena, dia pergi berlalu membuat
Athena berdecak kesal.

Saat Athena memainkan jarinya, seseorang duduk disampingnya. Athena menoleh


kesamping menemukkan cewek berambut sebahu dengan senyuman manis. “Hai,” sapanya ceria
membuat Athena ikut tersenyum.

“Hai.”

“Kamu abis nangis, ya?” tanya cewek itu.

“Kok tau?”

“Tau dong aku kan peramal,” kekehnya.

Athena melongo membuat cewek itu tertawa. “Bercanda.”

“Aku Inara,” ujar cewek bermata bulat itu seraya mengulurkan tangannya.

Athena menggigit bibirnya. Sedangkan Inara tersenyum lebar membuat Athena mengikuti,
lalu Athena menyambut uluran tangan Inara.

“Aku Athena,”

“Halo, Athena.”

Athena tersenyum semakin lebar, biasanya Athena adalah orang yang susah bergaul dan
temannya pun hanya satu orang itupun hanya teman sebangku. Jadi, untuk ukuran gadis yang
susah bergaul. Athena patut diagungkan jempol karena baru beberapa menit perkenalan, mereka
sudah akrab berbicara. Entah karena Athena yang sudah mulai membuka diri atau Inara yang
ceria dan welcome?

Atlanta yang baru datang membawa dua cup eskrim menyernyitkan dahi melihat adiknya
tampak akrab dengan seseorang, terlebih seseorang itu Atlanta rasa ia pernah lihat. Atlanta
mendekat kearah mereka, sampai didepan Athena, dia terkejut saat tau yang bersama adiknya
adalah Inara, gadis yang menolongnya semalam lalu, juga gadis yang duduk disampingnya
disekolah.

“Ngapain lo disini?!” ketus Atlanta.

Inara tersenyum lebar saat melihat Atlanta “Hai Atlanta. Kita ketemu lagi, hehe.”

“Ngapain lo disini?” tanyanya sekali lagi, merasa pertanyaannya harus dijawab.

“Ini taman umum bukan?” jawabnya membuat Atlanta terdiam.


Athena yang melihat Kakaknya dan Inara mengobrol berdecak sebal karena Atlanta terus
menatap Inara tak santai. Seperti ingin mengajaknya perang. Athena pun jadinya tidak enak
hati. Karena Atlanta terus menatap Inara tajam. Athena memilih merebut dua cup eskrim dari
Atlanta.

“Ath---“

“Ini buat Kak Inara,” ucap Athena memotong perkataan Atlanta.

Atlanta berdecak. “Lo ngapain ngasih eskrimnya sih?!”

Athena menatap Atlanta kesal, ia lalu enatap Inara dengan senyuman. “Gak usah
didengerin Kak. Itu eskrim buat Kakak ya.”

Setelah mengatakan itu, Athena menatap Atlanta yang sedang marah. “Kakak jangan sok
kere, deh. Punya uang lebih tuh gunain. Baru ilang satu eskrim ajak kayak ilang duit miliaran,”
gerutu Athena.

Inara yang melihat Kakak beradik itu, dia terkekeh. Sedangkan Atlanta merengut marah,
terlebih ia merasa diacuhkan karena Inara dan Athena mengobrol asyik seolah-olah disini tidak
ada Atlanta yang berdiri menjulang.

“Kak Inara bawa gitar? Aku baru ngeuh.”

“Iya.”

“Wah berarti Kak Inara bisa nyanyi dong?”

“Ya lumayanlah. Tapi gak bagus-bagus amat kayak Raisa, hehe.”

“Wah nyanyi dong Kak, nanti biar Kak Atlanta yang main gitarnya.”

Atlanta yang tidak tau apa-apa melongo. “Kok gue sih?!”

“Ish Kaaaaak! Selain pelit rezeki, Kakak juga pelit ngegitar ya!!” seru Athena malah
membuat Inara tertawa.
🍁|Atlanta| V

Kalau bukan karena paksaan, Athena mengancam enggan akan pulang. Atlanta mana mau
memainkan gitar. Mungkin, jika Atlanta tetap keukeuh menolak, Atlanta juga tidak akan
mengetahui kalau suara Inara begitu enak didengar dan Atlanta mengakui kalau ia terpesona
oleh suara lembut itu.

Baby take a chance

Cause i want this to be something

Straight out of

A hollywood movie, baby

Ta da da da damemu

No spoiler please

Ta da da da dam

No spoiler please

Ta da da da dam

And i love you 3000 ~~~

(Sthepanie Poetri – I Love You 3000)

Dan dipetikan terakhir Atlanta rasa ia sekilas melihat mata Inara yang menatapnya penuh
binar juga anehnya malah membuat jantung Atlanta bekerja lebih cepat dari biasanya. Atlanta
memegang dadanya merasa aneh. Atlanta mendengus, apa-apaan ini!

“Wah keren Kak suaranya, ya kan Kak Atlanta?” seru Athena berbinar.

Inara terkekeh malu. “Makasih.”

“B aja,” ketus Atlanta pelan yang mendapatkan delikan tak setuju dari Athena. Mulut
Kakaknya itu tidak tanggung-tanggung mengucapkan dalam isi hatinya atau hanya dalam
otaknya yang bengkok itu. Athena tidak tau tapi yang ia tau saat Inara menyanyi Atlanta terus
menatap Inara penuh binar dan itu hal yang baru Athena temukan dimata Atlanta seumur
hidupnya. Jadi mungkin saja Atlanta berbohong.

“Ish, jawabannya Kak Atlanta gak pernah ada manis-manisnya, asem mulu kayak
mukanya.” Kesal Athena.

Harusnya yang kesal disini itu Inara. Karena jawaban Atlanta yang begitu ketus, namun
cewek bermata bulat itu hanya tersenyum tipis, malah yang sedari tadi marah-marah adalah
Athena.

“Tau gitu ngapain lo nanya ke gue,” bela Atlanta ketus.

“Iya in aja dah.”

“Kak Inara naik itu yuk, kayaknya seru deh.” Lanjut Athena seraya menunjuk sebuah
permainan.

“Ehm, jangan sekarang ya Kakak harus pulang. Udah sore juga. Lain kali aja ya. Kakak
janji deh,” tolak Inara halus agar Athena tidak marah.

Athena mendesah kecewa namun juga ia tidak bisa memaksa Inara. Athena tersenyum
seraya menganggukan kepalanya setuju. “Janji ya?”

“Janji,” ucap Inara seraya melilitkan jari kelingkingnya dikelingking Athena membuat janji
yang malah membuat Atlanta yang secara tadi melihat keakraban keduanya kini jengah.

“Inara, Mama cariin kamu dimana-dimana kamu malah enak-enakan disini!” ucapan
bernada marah dan ketus itu menarik perhatian ketiganya.

Atlanta bisa melihat Inara ditarik paksa, menyebabkan pergelangan tangan Inara terasa
perih dilihat dari mimik wajahnya yang kesakitan. “Ma,” ringis Inara.

“Maaf, anda jangan kasar. Kasian dia kesakitan,” ujar Atlanta membela dengan nada
dinginnya. Ia bersiap akan menarik lengan Inara saat sosok perempuan dewasa itu
membalasnya.

“Saya Mamanya. Mau apa kamu?” ketus Ameera, Mama Inara.

Tangan Atlanta yang sudah akan menarik tangan Inara, saat itu juga terlepas setelah tau
siapa sosok perempuan dewasa itu dan Atlanta merasa ia tidak punya hak untuk membela Inara
lebih jauh. Apalagi mencampuri urusan keluarga orang lain.

Setelah tangan Atlanta benar-benar terbebas, barulah Ameera menarik Inara hingga tidak
terlihat lagi oleh pandangan Atlanta yang tidak bisa terlepas dari sosok Inara yang kesakitan.
Atlanta memejamkan matanya, aneh. Saat ini entah kenapa Atlanta merasa marah dan
penyebabnya ketika melihat Inara kesakitan.

Apa yang terjadi? Atlanta benar-benar bingung.


“Kak. Kak Inara kasian,” ucap Athena.

“Gue gak ada hak Hena, jangan ikut campur urusan orang lain. Ayo pulang. Jangan
peduliin, kita hanya orang asing kalo lo lupa.” Ketus Atlanta.

Athena terdiam, ingin membantah ucapan Kakaknya namun itu akan menyebabkan
Kakaknya marah.

Untuk hal tidak peduli urusan Inara, Atlanta tidak benar-benar tidak peduli, nyatanya
sampai dirumah ia masih memikirkannya. Memikirkan apakah Inara baik-baik saja?

Inara baik-baik saja bukan?

Atlanta menggeleng, saat memasuki kamarnya, Atlanta baru sadar jka ia masih memegang
gitar Inara. Dia menaruh gitar itu disisi kasur. Lalu ia membuka kaos hitam dan sekarang ia
hanya bertelanjang dada. Dia menatap dirinya dicermin sambil bertopang dagu saat siluet Inara
muncul dicermin.

“Ah sialan! Lama-lama gue gila!”

“Lo emang gila Ta, baru sadar?”

Atlanta menatap orang yang baru saja berucap lewat cermin, dia tidak berniat menolehkan
kepalanya.

“Baru pulang lo?” tanya Atlanta.

Orang itu yang tak lain adalah Kakaknya, Artur Nevada duduk disofa pojok ruangan tempat
favorit Atlanta selain club. Artur melepaskan kacamata minus dan menaruhnya dimeja.

“Gak, gue pulang mungkin sekitar dua jam yang lalu. Tepatnya saat lo sama Athena keluar
rumah.”

“Soal ibu, dia akan-akan baik saja dan sekarang dia lagi dicafe sama temennya,” lanjut
Artur tidak menatap Atlanta yang mengeraskan wajahnya. Malah cowok yang menyandang status
Mahasiswa kedokteran itu menatap keluar jendela.

“Gue nanya lo baru pulang. Bukan gimana dan dimana dia. Gue gak peduli sekalipun dia
dineraka,” ketus Atlanta tanpa berfikir.

Artur terkekeh, “Ah ya. Seorang Atlanta Nevada mana pernah peduli sama seorang Merlyn
Amber Nevada.”

“Yeah, you know, Tur!”

Disisi lain, Inara menatap Ameera dengan wajah kesakitan. Mamanya baru saja
mendorongnya untuk duduk disofa dan marah-marah karena keluar tanpa izin. Inara akui ia
salah karena tidak izin terlebih dahulu, tapi hanya dua jam dan Ameera haruskah semarah itu
sampai-sampai Inara dibanding-bandingkan dengan Isyana lagi.

“Ma, aku hanya sebentar.”

“Sebentar kamu bilang? Itu dua jam Inara. Kamu bisa bahaya keluar tanpa sepengetahuan
Mama!”

“Kalo aku izin apa Mama bakalan izinin aku?” ucap Inara dramatis.

“Kamu mulai berani rupanya, apa karena lelaki gak jelas itu yang ajarin kamu hah?! Mama
fikir untuk melonggarkan kamu itu baik tapi ternyata enggak!”

Inara menggeleng, tidak habis fikir. Atlanta tidak ada urusannya sama sekali dengan
masalah ini dan tentang lelaki gak jelas seperti Mamanya bilang itu salah, jelas-jelas Atlanta
memiliki keluarga.

“Atlanta gak ada hubungannya Ma,” belanya.

“Ohh kamu sekarang membela lelaki itu?!”

Inara menggeleng, air matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Inara fikir dengan
mencoba kuat ia akan berhasil merubah pikiran Mamanya, namun ia salah. Itu malah membuat
Ameera berfikir jika Inara mulai membangkang.

“Ada apa ini? Ma, Inara kenapa nangis?”

Inara menoleh melihat Papanya baru saja pulang. Ia langsung memeluk Papanya yang
terkejut. “Pa,” sebut Inara sesegukan.

“Anak kamu tuh gak bisa dibilangin...”

Inara tidak sanggup mendengar perkataan Mamanya lagi. Ia terus menenggelamkan


wajahnya didada Papanya mencari ketenangan. “Ssh, udah ya nangisnya. Mama udah kekamar.
Kamu juga kekamar ya istirahat. Biar Papa yang bilangin Mama. Oke?”

“Tapi Pa,”

“Anak Papa jangan cengeng dong, Papa janji bakalan bujuk Mama kok,”

Inara mengangguk pasrah, ia tersenyum kecil sebelum menaiki tangga menuju


kamarnya.
🍁|Atlanta| VI

Pagi hari, Athena sudah didepan pintu kamar Atlanta, mengetuknya berulang-ulang karena
Atlanta tidak kunjung membuka pintu. Athena berdecak kesal.

“KAK ATLANTAAA BELUM KO’IT KAAAN?” teriak Athena seraya menggedor-gedor pintu itu.

Atlanta yang masih bergelung dalam selimutnya menarik nafas kesal merasa tidur
nyenyaknya terganggu dan itu karena adiknya. Atlanta bangun dengan terpaksa. Matanya pun
masih terpejam rapat, ia membuka pintu mendapatkan Athena yang berdecak pinggang.

Athena melihat Kakaknya yang membuka pintu masih telanjang dada, pagi ini sudah
menunjukkan jam enam lewat dan Kakaknya baru saja bangun tidur. Athena berdecak.

“Berisik banget sih! Masih pagi! Mau apa lo?!” omel Atlanta kesal.

“Iya masih pagi tapi udah jam enam lewat, kebiasaan deh kalo berangkat sekolah gak ada
semangat-semangatnya!”

Atlanta menguap, masih mengantuk. “Eh bocah. Gue yakin 90 persen manusia yang
bersekolah pasti gak pernah ada semangat-semangatnya!”

“Kenapa sih. Biasanya juga gak bawel.”

“Udah sih mandi buruan terus kerumah Kak Inara,”

Mendengar nama Inara, mata Atlanta yang terpejam rapat langsung terbuka lebar namun
dengan cepat ia menatap Athena datar.

“Ngapain?”

“Tanya kabar Kak Inara. Semalam aku gak bisa tidur takut Kak Inara kenapa-kenapa,”
ucap Athena dengan wajah memelas.

“Ogah,” ucap Atlanta tanpa hati.

“Ayo dong. Bantuin adik sendiri dapet pahala banyak. Lumayan buat nyicil ilangin dosa
Kakak yang udah gak keitung itu.”

Kalau bukan Athena adalah adik perempuan mungkin Atlanta sudah menempeleng kepala
Athena yang mengucap tanpa berfikir.
“Gak peduli,” ucap Atlanta malas bersiap menutup pintu.

Athena langsung mencegah dan menatap Atlanta memohon. Biasanya tatapan itu akan
meluluhkan hati Atlanta yang keras.

“Please Kak.”

“Bacot anjir. Punya adek keras kepala banget!”

“Kasar. Gak suka!” ujar Athena membuat Atlanta kesal.

“Bodo!”

“Ya ya ya. Bantuin aku sekali ini ajaaa ya?”

Atlanta menghela nafas, ia menyerah. Kalau Atlanta tetap menolak adiknya itu, pasti tidak
akan pernah menyerah sebelum mendapatkan keinginannya.

“Hmm.”

“Bener ya?” ucap Athena memastikan dan Atlanta menganggukan kepala pasrah.

“Sekarang, Kakak mandi.”

Dan setengah jam kemudian, disinilah Atlanta berada. Didepan Inara yang menatapnya
penasaran, didepan rumah cewek itu. Atlanta berdiri gelisah. Ia menggaruk tenguknya serba
salah.

“Gue?”

Inara mengangguk, ia penasaran mengapa Atlanta pagi-pagi sekali datang kerumahnya.


Padahal tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada keinginan tidak ada pula tujuan.

“Gue... mau balikin gitar lo. Iya, kemaren sore lo ninggalin ini,” ucap Atlanta datar.

Inara baru sadar jika Atlanta membawa gitar kesayangannya. Inara menatap Atlanta
berbinar membuat cowok itu meringis. “Aduh, aku sampe lupa kemaren,” kekehnya.

“Makasih ya Ta.”

“Hmmm,”

“Eh, tapi kan bisa disekolah Ta balikinnya. Kalo kayak gini kan kamu yang repot.”

Atlanta terdiam kaku, alasan kerumah Inara adalah menanyakan kabar Inara. Tapi mana
mungkin dia mengucapkan terus terang dan melihat Inara tampak baik-baik saja Atlanta sudah
tau keadaan Inara. Beruntung. Atlanta tidak harus menjawab karena Ameera memanggil Inara
dari dalam menyuruhnya sarapan. Inara tersentak kaget. Ia gelagapan.

“Ta, makasih ya.”


Lalu, cewek berkuncir kuda itu menutup pintu depan wajah Atlanta.

Atlanta menatap pintu itu kesal. Ingin menendang pintu itu hingga hancur tapi sayangnya
itu punya keluarga Inara. Namun, disini lain Atlanta juga menghela nafas lega karena tidak
harus menjawab pertanyaan Inara.

Didalam rumah, Inara menyembunyikan gitar dipinggir rak kayu sebelum menghampiri
Ameera dimeja makan. Pagi tadi, Mama dan Inara sudah tidak marah-marah lagi atas bantuan
Reno, Papa kesayangannya. Setelah selesai, sebelum berangkat sekolah yang akhirnya bisa
berangkat sendiri tanpa diantar Ameera dan itu juga berkat bantuan Reno. Inara menyalami
Mamanya.

Inara menutup pagar rumah, dengan bersenandung ria. Saat membalikkan badan Inara
terkejut saat ia melihat Atlanta yang duduk diatas motornya dengan menatap Inara tampang
kesal.

“Lo. Lama!”

Inara tidak mengerti apa yang sedang terjadi apalagi ketika Atlanta menarik paksa
lengannnya menuju pinggir motor besar Atlanta, lalu cowok beralis tebal itu menyerahkan helm
berwarna biru.

“Cepet.”

“Aku gak nyuruh kamu nunggu deh Ta.”

“Emang.”

“Terus kenapa kamu nunggu?”

Atlanta menoleh, ia kesal karena Inara terus berbicara yang menurutnya sama sekali tidak
penting. Ia menatap Inara tajam. Bukannya Inara takut justru dia malah menatap Atlanta polos
membuat Atlanta merasa kesal.

“Bacot, buru naik!”

Dengan terpaksa dan tak ingin Atlanta terus marah-marah, inara naik dibelakang. Belum
sempat Inara mengucapkan, Atlanta sudah lebih dulu melajukan motornya dengan kecepatan
tinggi. Refleks Inara memeluk pinggang Atlanta keras seraya meneriaki untuk pelan-pelan tapi
tidak didengar oleh cowok itu.

Bahkan tidak sampai 10 menit mereka sudah sampai diparkiran sekolah. Inara turun dari
motor besar Atlanta dengan kepala pening. Ia memejamkan matanya menjernihkan matanya.
Lalu, setelah dirasa pusingnya hilang, Inara menatap Atlanta kesal.

Atlanta memutar bola matanya jengah. “Bodo.”


Atlanta melihat wajah Inara yang memerah karena kesal, dalam hati Atlanta terkekeh
merasa wajah Inara lucu.

“Inara, lo kenapa?” Atlanta dan Inara menoleh kepusat suara yang ternyata adalah Kenan,
si ketua OSIS SMA Cakrawala. Inara tersenyum manis sedangkan Atlanta mendelik sinis
terganggu dengan kehadiran Kenan setelah tau jika Inara sudah akrab dengan Kenan.

“Lo apain Inara, Ta? Gue liat tadi mukanya merah!” tuduh Kenan membuat Atlanta
tersenyum sinis.

“Aku gak papa kok Ken, tadi cuma gara-gara dibawa ngebut aja sama Atlanta,” jelas Inara.

“Kebut? Lo tolol ya Ta, bawa Inara ngebut!”

Atlanta menatap Kenan yang mengeraskan wajah dengan datar. Sebelum Kenan meraih
tangan Inara. Atlanta lebih dulu menarik Inara dibelakang tubuhnya menciptakan senyum
kemenangan dibibir Atlanta.

“Anak papa gak usah ikut campur,” ucap Atlanta ketus lalu menarik Inara menuju
kelasnya.

Atlanta mendengar tadi Inara berpamitan dengan Kenan dan dengan suara yang begitu
manis. Atlanta dibuat kesal sendiri, ia mempercepat langkahnya membuat Inara kesusahan
karena langkah cepat Atlanta dua kali dari langkah Inara.

“Jangan cepet-cepet dong Ta, gak ada kolektor kok.”

Atlanta tidak menjawab. Inara hanya mengikuti langkah Atlanta yang begitu cepat.
Sepanjang jalan Inara sedikit risih kenapa banyak sekali yang menatapnya dengan berbagai
tatapan. Lagi lagi baik Atlanta tidak pedui dengan sekelilingnya. Di lorong kelas yang sepi,
Atlanta memelankan langkahnya. Inara menatap wajah Atlanta yang kharismatik, wajah yang
malam itu sempat Inara kagumi juga sampai sekarang.

“Jangan natap gue kayak gitu,” gumam Atlanta.

Inara mengerutkan keningnya. “kenapa?”

“Lo!” Atlanta menoleh dan menatapnya kesal. Mungkin hari ini Atlanta sedang badmood
dan Inara hanya mencoba bersabar.

“Gue juga bisa malu,” gumam Atlanta pelan seraya melanjutkan langkahnya tanpa
menggandeng Inara.

Inara terdiam, lalu cewek itu tertawa membuat Atlanta mempercepatkan langkahnya. Inara
menyusuk dengan cepat sampai disamping Atlanta ia menatapnya geli. “Cie Tata bisa malu juga,”
goda Inara.
🍁|Atlanta| VII

Inara menggendong ransel, langkah kakinya pelan seraya bersenandung kecil saat ia
melihat segerombolan yang saat familiar lebih tepatnya ke seorang perempuan yang memakai
dress ungu. Ketika perempuan yang memakai dress berwarna itu menolehkan kepala lebih jela,s
Inara sadar jika itu adalah cewek yang malam lalu ia pernah lihat, temannya Atlanta.

Inara tersenyum kecil berniat akan menyapa cewek itu namun langkahnya terhenti, ia
mencoba bersembunyi kala ia mendengar percakapan aneh yang membawa nama Atlanta juga
narkoba. Sebenarnya apa yang mereka diskusikan?

Karena penasaran, dengan hati-hati Inara mendekatkan diri, menghalangi tubuhnya


dengan pohon mangga agar tidak terlihat. Untung saja badannya kecil jadi batang pohon mangga
ini bisa menyembunyikan tubuhnya dengan rapih.

“Lo yakin?” tanya cewek satunya yang berambut ombre pink. “Nazella, gue rasa Atlanta
susah dipengaruhi orangnya.” Lanjutnya lagi.

Inara sekarang baru tau jika teman Atlanta itu bernama Nazella dan sepertinya mereka
sangat akrab.

“Tapi dia bisa saat dia sedang hancur. Lo tentu tau trik gue, mempengaruhi Atlanta untuk
menggunakan narkoba tentu mudah,” balas Nazella tanpa bersalah.

Inara seketika terdiam, semudah itu Nazella mempengaruhi orang lain yang tidak baik.
Inara rasa Nazella bukanlah teman baik Atlanta, karena teman baik mana mungkin akan
mempengaruhi temannya dalam hal keburukan. Inara rasa mereka sudah lebih dari kata nakal.

Walau Inara juga dulu sering sekali membuat kenakalan, contohnya saja seperti membolos
dalam belajar homeschooling dan memilih untuk kabur ketaman hanya untuk bermain gitar.
Alasannya tentu saja bukan hanya itu, Inara ingin membebaskan diri dari kurungan orangtua
lebih tepatnya Mamanya. Walaupun akhirnya ia tetap dimarahi habis-habisan.

Namun, itu semua tidak membuat Inara berhenti membuat kenakalan. Kadang jika ia
bosan, ia akan kembali bolos dan berakhir sama seperti sebelum-sebelumnya. Dimarahi oleh
Mamanya bahkan memperketat penjagaan. Sekedar membolos saja sudah dicap nakal apalagi
sampai mempengaurhi dan menggunakan narkoba.
“Gue udah kasih tau Atlanta di club Lounge, tempat biasa.”

Setelah mengatakan hal itu, segerombolan empat orang itu menaiki mobil. Inara mengejar
mereka namun karena mereka menggunakan kendaraan ber roda empat, Inara tertinggal jauh.
Kini Inara hanya menggunakan kedua kakinya untuk berlari. Inara kehilangan jejak.

Inara mengubah peluh keringatnya, ia panik. Memikirkan bagaimana jika Nazella benar-
benar melakukannya dan bagimana jika Atlanta terpengaruh? Atlanta tidak boleh sampai
terpengaruh. Inara yakin cowok itu hanya nakal anak remaja pada umumnya, tidak lebih dari
sekedar mabuk-mabukan. Cowok itu sehat, memikirkan bagamana nanti Atlanta menggunakan
narkoba? Inara merasa tidak tenang.

Inara menggigit kukunya, lalu seperti ada malaikat baik yang memberitahunya saat kilasan
perkataan Nazella terulang tentang dimana mereka akan bertemu. Inara membuka GPS nya
mencari-cari alamat nama salah satu clubbing yang disebut Nazella tadi dan akhirnya Inara
menukangi.

Inara mencegah taksi menuju tempat itu, padahal sore ini Inara harus ketempat lesnya.
Namun yang dilakukan malah menuju tempat yang menurutya adalah tempat laknat.

Inara turun dari taksi setelah membayar. Ia menatap kesekeliling dengan bingung. Ada dua
club yang disebelah kiri dan disebrang sebelah kanan. Club Lounge Fla dan Club Lounge Vee.
Inara kebingungan, tanpa fikir panjang ia masuk kedalam club bernama Lounge Fla.

Didepan pintu ada dua pria berbadan besar mencegahnya dan menatap Inara datar. Inara
menyerahkan Kartu Tanda Penduduk. Setelah diperiksa oleh pria berbadan besar itu, Inara
diperbolehkan masuk. Saat masuk, dia tersentak kaget karena suara musik yang
menghentaknya begitu keras. Inara menutup telinganya sedangkan matanya mencari-cari sosok
Atlanta.

Namun, hasilnya sampai saat ini nihil. Inara tidak menemukan Atlanta dimanapun. Inara
mengusap wajahnya kasar, lalu menarik turun nafas gusar.

“Hai, cantik,” sapa seseorang disamping telinganya yang sangat jelas hingga Inara
merasakan deru nafas bercampur alkohol. Inara memundurkan langkahnya dan menoleh kepada
seseorang pria yang memandangnya genit. Inara menatap pria gendut dan botak itu jijik.

Inara ingin berteriak saat pria itu memegang pergelangan tangannya. “Gak usah takut. Om
gak bakalan nyakitin kok.”

Inara jijik melihat tangan yang mencekalnya itu. Ia menghempaskan tangan pria itu
membuat pria botak itu marah. ”Jangan sentuh saya,” ujar Inara sinis.

“Heh! Pelacur kayak lo gak usah sok sokan nolak deh. Gue yakin lo butuh duit kan?” kata
pria itu kasar.
Inara berteriak minta tolong namun suaranya terbenam oleh suara musik. Walau ada yang
melihat mereka, hanya memandang Inara aneh. Pria itu terus mendekatkan tubuhnya ketubuh
Inara. Sedangkan Inara sebisa mungkin menjauh. Semakin kesini Inara susah untuk bergerak
lebih jauh malah membuat si pria botak dan gendut itu semakin leluasa. Rasanya Inara ingin
menangis saat ini juga.

Inara menutup matanya berdoa supaya pria itu menghilang walau itu hanya fantasinya
saja, apalagi ketika pria itu mendekatkan wajahnya membuat Inara semakin ingin muntah. Inara
memejamkan matanya rapat-rapat, namun tidak terjadi apa-apa. Karena penasaran. Inara
membuka matanya, dia sekarang malah menatap punggung seseorang yang menghalanginya.

“She is mine,” gumam suara rendah dan dalam itu. Inara mencoba melihat wajah yang
didepannya. Merasa familiar dengan suara itu.

Benar saja, saat orang itu menoleh yang ternyata Atlanta yang kini sedang menatapnya
tajam dan marah. Inara malah tersenyum manis tapi tidak dihiraukan oleh Atlanta. Cowok itu
menarik Inara keluar dari club buru-buru. Sampai didepan gedung, Atlanta mengatur nafasnya
yang mencuat emosi. Sedangkan Inara meringis. Inara juga tidak habis fikir dengan Atlanta
kenapa selalu datang tiba-tiba lalu menariknya dengan wajah yang selalu terlihat emosi.

“Lo bego! Tolol ya lo! Apa udah gak punya otak?” Atlanta jelas marah.

Inara terkejut, ia menggigit bibirnya takut. Tidak menyangka jika Atlanta akan semarah ini.

Atlanta mencoba untuk tidak berkata kasar lagi tapi bagaimana bisa Atlanta diam saja
ketika tadi ia melihat Inara masuk kesebuah club apalagi setahunya Inara bukan anak seperti
itu. Atlanta kemudian menyusul Inara dan betapa marahnya ia ketika melihat Inara yang
ketakutan didalam kurungan seorang pria tua botak dan gendut, apalagi ketika pria itu akan
mencium Inara.

Inara lalu berjongkok, menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan dan tubuhnya itu
bergetar. Atlanta tau jika gadis itu sedang menangis. Atlanta memejamkan matanya, ia ikut
berjongkok ingin mengusap punggung Inara untuk menenangkan gaids itu yang menangis akibat
perkataannya yang kasar, namun ia ragu.

Setelah berperang dengan fikirannya, tanpa aba-aba Atlanta memeluk Inara membawa
kepala Inara kepadanya dan tangan Atlanta mengusap punggung Inara naik turun.

“Ssh, ada gue.”


Menyakitkan memang

Tapi aku bisa apa


Kalau kamu sudah berkehendak.

🍁|Atlanta| VIII

Atlanta melepaskan pelukannya, menatap Inara kembali dengan wajah datar dan kosong.
Setelah beberapa menit keduanya terdiam. Inara menatap Atlanta yang juga sedang menatapnya.
Inara ingin mengatakan sesuatu namun ia urungkan saat Atlanta menarik tangan Inara lembut
membawanya kekursi besi pinggir jalan yang masih ramai.

Inara bingung dan hanya menurut ketika Atlanta menarik tangannya. Atlanta menyuruh
Inara duduk dan memburunya menunggu. Inara tidak tau apa yang yang akan Atlanta lakukan,
karena cowok itu langsung pergi entah kemana. Sudah menit berlalu barulah Atlanta kembali
sambil membawa dua cup eskrim.

Atlanta menyodorkan salah satu eskrimnya pada Inara. “Nih,” ucap Atlanta dengan sikap
acuhnya.

“Tindakan lo bego tau gak,” ketus Atlanta.

Inara meraih eskrim yang disodorkan. Atlanta kini kebingungan. Bingung harus seperti
apa lagi. Inara akui jika tindakan tadi sungguh bodoh. Padahal jelas-jelas sekarang Atlanta baik-
baik saja. Namun, Inara bersyukur.

Disitulah keheningan mulai terjadi. Keduanya terdiam memakan eskrimnya masing-


masing dengan fikiran yang berbeda.

Setelah keduanya terdiam cukup lama, Inara berinisiatif untuk membuka obrolan. “Kalo
kamu dihadapkan dalam dua pilihan, namun kamu gak bisa memihak salah satunya, apa yang
akan kamu lakukan?”

Atlanta tidak tau harus menjawab apa. Atlanta adalah orang yang sedikit kolot. Ia bisa
memilih salah satu, apapun dan yang terpenting salah satunya sangat berharga. Walau
keduanya sngat berharga, tetap saja Atlanta tetap bisa memilih salah satunya.

“Kenapa lo nanya kayak gitu?” tanya Atlanta tak habis fikir.

Ada apa dengan gadis ini? Menurut Atlanta, sikap Inara sangat aneh hari ini. Lalu sekarang
pertanyannya pula yang sangat aneh. Tentu saja Atlanta juga penasaran apa yang terjadi.
Inara tampak mengatur nafas. Cewek itu menatapnya sayu. Mata yang Atlanta entah mulai
kapan dirinya menyukai mata teduh dan sayu itu.

“Boleh aku masuk kedalam cerita kamu dan menjadi bagian dalam cerita kamu?”

Atlanta menatap Inara tampak terkejut dengan pertanyaan spontan yang keluar dari bibir
cewek itu. Inara meremas kaosnya, merasa pertanyaan tadi harusnya tidak diucapkan begitu
saja. Apalagi setelah tau reaksi Atlanta yang seperti tidak menyukainya.

Atlanta masih menatap Inara sampai suara dering telepon Atlanta berbunyi. Atlanta
mengangkat telpon itu ketelinga kanannya masih menatap Inara. Sedangkan Inara yang ditatap
namapk gelisah. Haruskah ia lari dan menghilang dari bum saat ini juga? Tapi bagaimana
caranya? Inginsekali Inaraa melakukkan kedua itu. Atlanta tampak mengobrol sambil menyebut-
nyebut nama Regan. Inara tidak tau apa yang Atlanta dan lawan bicaranya bicarakan. Karena
yang pasti, sekarang Inara duduk dengan gelisah.

“Tadi ngomong apa?” tanya Atlanta setelah menaruh handphonenya disaku celana.

Inara mengkerjap-kerjapkan matanya. “Eh, enggak, enggak.”

Atlanta menarik nafas, cowok itu membalikan badan sepenuhnya menghadap Inara,
membuat cewek itu memalingkan wajahnya. Atlanta menatap Inara lekat.

“Lo tau? Seseorang ysng ingin masuk kedalam kehidupan gue, selamanya gak akan bisa
keluar lagi,” gumam Atlanta pelan mampu membuat Inara terdiam.

“10 menit lagi,” gumam Inara seraya melihat arlojinya.

Inara merapihkan rambutnya yang berantakan, ia berdiri dari duduknya bersiap untuk
ketempat lesnya karena masih ad waktu 10 menit lagi. Lagipula tempat lesnya dekat dari sini jadi
kalaupun Inara lari, bisa sempat sampai tepat waktu. Tidak perlu angkutan umum, jika dilihat
sangat jarang angkutan umum atau bus yang lewat daerah sini karena kebanyakan pengendara
motor dan mobil pribadi.

“Ta, aku duluan ya,” pamit Inara.

Atlanta mencegah Inara yang akan bersiap lari, cowok itu berdiri dari posisi duduknya.
“Mau kemana?”

“Ketempat les. Mumpung masih ada waktu.”

“Mau lari?” Inara mengangguk sebagai jawaban.


Lalu tanpa aba-aba, Atlanta menarik tangan Inara, membawanya lari. Inara mencoba
mengimbangi langkah Atlanta yang lebar. Jika Inara dulu sempat bercita-cita untuk menjadi atlit
lari mungkin sekarang harus ditelan rapat-rapat karena hanya untuk mengimbangi langkah lari
Atlanta saja rasanya Inara ingin pingsan.

“Nafas,” nafas dahulu maksud Inara.

Inara berjongkok seraya mengatur nafas. Atlanta yang melihat itu, ikut berjongkok didepan
Inara. Inara heran melihatnya, apakah Atlanta juga cape? Tapi mana mungkin. Jika dilihat dari
ekspresi wajahnya yang biasa saja. Kemudian, pertanyaan itu terjawab ketika Atlanta
menyuruhnya naik kepunggung cowok itu.

Inara menggaruk pelipisnya, sepertinya Inara sedang memiliki gangguan pendengarannya.


“Ha?”

Atlanta berdecak. “Cepet naik. Masih ada lima menit lagi,” ucap Atlanta datar.

“Tapi nanti kamu cape,”

“Gak bakalan. Cepet naik atau lo telat.”

Inara menolak, namun Atlanta terus memaksa dan akhirnya Inara menyerah. Cewek itu
naik kepunggung Atlanta, melingkarkan tangannya dileher cowok itu yang sekanjutnya Atlanta
membawa Inara lari kencang dalam gendongannya menuju gedung tempat les Inara.
Menjadi kamu mudah ya

Jika kamu suka, kamu singgah

Jika tidak

Kamu pergi.
🍁|Atlanta| IX

Inara keluar dari gedung tempat lesnya setelah sekitar satu jam berlalu. Atlanta memaksa
menunggu Inara hingga pulang. Terbukti saat Inara keluar dari dalam, terlihat Atlanta
menunggu Inara di depan gedung menarik perhatian anak-anak les. Sedangkan cowok itu sibuk
dengan handphonenya tidak menghiraukan godaan yang didapatnya.

Inara mempercepat langkahnya mendekati Atlanta. Ketika disamping cowok itu, Atlanta
menoleh menatapnya datar seperti biasa. Tidak ada ekpresi lembut hanya ada ekspresi datar
seperti bisanya. Inara hanya tersenyum kecil.

“Maaf ya nunggu lama,” kata Inara.

Atlanta mengangguk sekilas. Tidak berniat melangkahkan kaki, lalu Inara melihat ada tiga
motor yang melaju ke arah mereka dan mereka berhenti tepat dihadapan Inara dan Atlanta
berada.

Segerombolan itu turun dari motor besar nya dan menghampiri Atlanta, semuanya berseru
seperti teman lama yang sudah lama tidak berjumpa lalu mereka bertos ria sambil mengobrol
lebih tepatnya berbisik-bisik karena Inara tidak mendengar apa yang mereka omongkan. Ketiga
pria yang mengendarai motor tadi menatap sekilas ke arah Inara dan mereka mengangguk.

Atlanta mengangguk setelah ketiga cowok tadi pergi meninggalkan satu motor. Atlanta
menghampiri Inara. “Ayo,” ucap Atlanta pelan seraya menyerahkan helm.

Inara memakai helm dan menaiki motor besar yang membuat Inara kesusahan, untung
saja Atlanta membantu Inara dengan tangan cowok itu. Atlanta mulai melajukan motornya
membelah jalanan Jakarta yang lumayan padat, diperjalanan pun mereka hanya diam. Inara
yang biasanya hiperaktif kini terdiam tidak tau harus memulai obrolan seperti apa.

Atlanta menghentikan motornya didepan rumah Inara dengan cat yang didominasi warna
putih dan coklat. Inara berterimakasih dan Atlanta langsung melajukan kembali motornya tanpa
kat,a membuat Inara heran melihat Atlanta yang buru-buru.

Sebenarnya Atlanta tidak bermaksud mendiamkan Inara, hanya saja Atlanta juga tidak tau
harus bersikap seperti apa. Dari kecil Atlanta dididik oleh ayahnya untuk tidak perlu bertamah-
tamah dengan seseorang. Langsung keintinya, itulah yang akan menjadi titik terangnya. Padahal
ayahnya adalah seorang dokter, mungkin karena dari sifat kakek dan didikan kakeknya lah
membuat ayahnya seperti itu hingga Atlanta ikut terbawa.

Atlanta turun dari motornya menghampiri teman-temannya yang berkumpul. Bukan hanya
teman-temannya saja, tapi banyak orang lain yang berkumpul dijalanan sepi ini diantara itu ada
Regan, musuh nya. Malam ini Atlanta dan Regan akan balapan motor dengan taruhan siapa yang
menang dia bebas meminta apapun. Awalnya Atlanta menolak untuk balapan, karena
menurutnya ia sudah malas untuk berurusan dengan Regan. Namun karena paksaan teman-
temannya, Bagas dan Paris, Atlanta pasrah dan menekankan untuk yang terakhir kalinya.

Atlanta menyeringai kecil saat ia menatap Regan yang menatapnya marah. Hal kecil yang
disukai Atlanta adalah melihat musuh yang menatapnya marah hanya karena Atlanta
menyeringai kecil, seolah mengejeknya. Dan hal terbesar yang paling Atlanta sukai dari
musuhnya adalah ketika dia mengaku kekalahan.

Atlanta memakai sarung tangan, jaket dan helm yang diberikan Bagas. Atlanta duduk di
motornya dengan tenang berbeda dengan Regan yang menatapnya penuh emosi. Didepan Atlanta
dan Regan sudah ada Paris yang menjadi wasitnya.

“Are you ready?” kata Paris bersiap melemparkan jaket.

Atlanta dan Regan beradu menggerung-gerungkan motornya seperi singa yang kelaparan.

“One,”

“Two,”

“GO!” Teriak Paris sambil melemparkan jaketnya tanda jika sudah mulai.

Ketika Paris melemparkan jaket, Atlanta dan Regan melajukan motor dengan kecepatan
tinggi. Saat ini mereka tidak memerlukan keselamatan yang mereka perlukan adalah
kemenangan. Regan sudah melewati Atlanta, sedangkan didalam helm Atlanta menyeringai.
Disaat semua pengendara memelankan laju motornya saat berada ditikungan, berbeda dengan
Atlanta yang menambah kecepatan hingga berhasil mendahului Regan.

Sebelum mencapai garis finish, Atlanta melepaskan stang motor, mengacungkan kedua jari
tengah bermaksud mengejek Regan yang tertinggal. Atlanta berhenti yang langsung
mendapatkan sorakan heboh tapi lebih heboh teriakan Paris yang seperti kerasukan. “Anjay
anjay weh bro, apa kata gue. Atlanta selalu menang!” heboh Paris yang langsung mendapat
jitakan dari Bagas.

“Teriakan lo kayak banci ga laku. Mengganggu telinga gue,” ucap Bagas.

“Eh, gas elpiji diem lo!” ketus Paris.

Tidak berapa lama setelah Atlanta berhenti. Regan mengikuti dari belakang. Langsung
dikerubungi oleh sekelompok nya. Jika Atlanta tidak mengingat Bagas dan Paris adalah teman-
temannya, mungkin Atlanta sudah menendang wajah keduanya yang terlihat sombong minta
ditabok. Padahalkan Atlanta yang memenangkan pertandingan ini bukan mereka yang hanya
berteriak seperti tante-tante girang.

Atlanta menatap Regan ketika teman-temannya mengompori apa yang harus Atlanta ambil
dan Regan yang menatapnya tidak Terima. Atlanta berdecih, sudah berapa kali Regan kalah tetap
saja tidak pernah terima.

“Woy. Ta, ambil aja motornya. Karungin,” seru Paris.

“Boleh lah Ta jadiin koleksi,” tambah Bagas santai kayak di pantai.

Atlanta tersenyum, ia menghampiri Regan yang waspada. Saat didepan Regan, Atlanta
memasukan kedua tangannya kedalam saku. “Gue minta satu.”

“Gue minta. Lo. Jadi. Babu. Gue. Selama satu bulan. Gak lebih. Gak kurang,” gumam
Atlanta yang mendapatkan seruan dari orang-orang.

Regan menarik kerah Atlanta. Atlanta sendiri tidak berniat melepaskan cengkraman itu.
Atlanta malah menyisir rambutnya kebelakang dengan tatapan mengejek.

“Bangsat! Gue ga mau jadi babu lo!” ketus Regan marah.

“Banci lo kalo nolak,” gumam Atlanta membuat Regan melepaskan cengkareng dengan
kasar.

“Oke. Gue terima” ucapnya menahan kesal.

Atlanta tersenyum miring, sebelumnya Atlanta pernah bilang bukan jika hal terbesar yang
disukai dari musuhnya adalah mengakui kekalahan. Atlanta mengulurkan tangannya yang
langsung disambut Regan tanda deal dengan mimik keduanya saling menatap seperi ingin
membunuh.
Kamu adalah sumber perubahan

Mulai dari keberanianmu dan kekasihinimu


Ah, singkatnya begini aku harus berubah

Dari yang kamu ajarkan agar aku tau seberapa

Besar aku ingin melindungi kamu.

🍁|Atlanta| X

Selesai membersihkankan diri, Inara memposisikan duduknya di hadapan cermin.


Menggosok rambutnya yang basah sehabis keramas. Matanya menatap ke cermin, ia meraba
lehernya. Menyentuh bagian seperti bekas luka panjang. Cewek itu menghela nafas berat.

Inara meraih foto kedua anak gadis yang memakai seragam putih biru. Itu adalah Inara
dan Isyana, adik nya. Inara dengan rambut kuncir kudanya sedangkan Isyana dengan kepang
dua dan pita dikedua ujung kepang. Inara tersenyum tipis, meraba wajah cantik Isyana yang
khas. Mengingat adik nya yang begitu ceria.

“Isyana. Aku kangen,” gumam Inara pelan.

Inara membayangkan Isyana yang masih didalam kandungan ibunya membuat Inara
tersenyum seketika.

“Kalo Isyana lahir, apa Mama masih sayang aku,” kata Inara kecil merajuk.

Ameera tersenyum lembut. Perutnya sudah membuncit. Kata dokter tinggal menunggu waktu
kapan anak ini lahir. Ameera perlahan berjongkok, menatap Inara yang berumur 2 tahun sedang
merajuk.

“Enggak dong. Inara tetep kesayangan Mama. Dulu Mama pernah janji bukan? Saat Mama
bawa kamu kerumah ini, selamanya akan selalu jadi anak Mama.” Ameera membawa tangan
mungil Inara ke perutnya yang besar. Menuntun untuk mengusap perutnya perlahan.

“Dan untuk Isyana. Selamanya akan menjadi adik kamu,” lanjut Ameera.

Inara tersentak kaget saat seseorang mengetuk pintu. Inara lalu berjalan membuka pintu
yang ternyata Mamanya yang mengetuk pintu. Inara melihat Ameera membawa sepotong gaun
berwarna putih, kesukaan Isyana.

Ameera masuk kedalam kamar Inara, wanita paruh baya itu menatap Inara lembut. Ia
meletakan gaun putih dikasur. “Kamu pake yang ini aja ya?”
Inara mengangguk menyetujui kemauan Ameera. Selesai bersiap-siap Inara turun melihat
Papa dan Mamanya sudah siap menunggu Inara. Mereka tersenyum melihat Inara. Malam ini
mereka akan makan malam diluar, karena sangat jarang mereka makan diluar mengingat
Papanya yang selalu sibuk.

“Abis makan kita ke Park Seattle ya pah,” ucap Ameera.

Reno melirik Inara lewat kaca spion yang dibalas senyum tipis Inara. “Jangan, kita nonton
aja terus kita main Time Zone aja.”

Ameera menggeleng keras. “Gak. Kita ke Park Seattle aja. Disana seru. Bosen Mama main
ke sana mulu pah.”

“Kita kan baru dia kali kesana Ma. Masa udah bosen aja sih,” ucap Reno tidak mau kalah.

Inara yang duduk dibelakang mengerti sekarang. Gaun putih adalah kesukaan Isyana.
Park Seattle adalah tempat yang di kunjungi ketika Isyana berulang tahun. Dan hari ini. Inara
baru sadar jika hari Ini adalah ulang tahun adik nya. Isyana.

Inara meremas ujung kaos, ia merasa menjadi pengganti Isyana. Inara menatap kedua
orang tuanya yang sedang cekcok memilih tempat sesudah makan malam. Saat lampu mereh
mereka berhenti. Reno menatap Inara tak enak hati sedangkan Ameera tidak menyadari jika
Inara sedang menahan tangisnya yang ingin pecah.

“Mah. Pah,” panggil Inara keduanya.

Sekarang Ameera dan Reno menatap Inara sepenuhnya.

“Isyana yang ulang tahun. Bukan aku,” saat itulah tangis Inara pecah.

Ameera sepertinya baru menyadari itu, ia ingin menggapai Inara ketika tiba-tiba Inara
membuka pintu mobil lalu berlari membuat Ameera berteriak khawatir. Inara berlari tidak
melihat arah. Bahkan ia hampir tertabrak mobil tadi jika saja orang-orang yang ada dipinggir
jalan berseru. Inara merasa pusing dan matanya terhalang oleh air mata.

BRAK!

Inara tidak tau apa yang terjadi. Yang pasti ia merasa terlempar dan sekilas melihat
bayangan seseorang sebelum Inara  menutup matanya.

Sementara yang menabrak Inara tadi terkejut, sosok itu langsung melajukan motornya
kencang tidak berniat menolong Inara yang berlumuran darah terutama didaerah kepalanya.

Ameera dan Reno langsung menyelusup gerumuhan orang. Mereka melihat Inara
berlumuran darah dengan posisi tengkurap. Persis ketika mereka melihat Isyana terakhir
kalinya. Ameera menangis sejadi-jadinya. Dengan dibantu orang-orang mereka membawa Inara
kerumah sakit yang langsung dilakukan tindakan medis berharap Inara bisa kembali.
“Isyana. Pah,” lirih Ameera.

“Dia Inara. Bukan Isyana. Inara pasti baik-baik saja,” ucap Reno menenangkan istrinya.
Ameera tersadar. “Inara?”

Reno mengangguk membawa istrinya dalam pelukan.

🍁|Atlanta| XI

Atlanta duduk gelisah, seharian sekolah ia belum melihat Inara. Terakhir ia lihat Inara
adalah semalam ia mengantarkan Inara sepulang les. Atlanta berfikir mungkin Inara sedang ada
urusan keluarga atau mungkin sakit? Atlanta menggeleng, mana mungkin Inara sakit, semalam
ia rasa Inara baik-baik aja.

Atlanta meraih ranselnya tidak peduli jika masih sedang berlangsung jam pelajaran dan
didepan masih ada guru yang mengajar. Atlanta keluar kelas tanpa mendapatkan omelan atau
bentaran dari sang guru seolah hal itu sudah Atlanta lakukan. Atlanta mencari Inara kerumah
cewek itu. Jika memang benar Inara ada dirumah sedang sakit toh Atlanta bisa ber alibi
menjenguk Inara, kenapa cewek itu bertanya kenapa mengunjungi Inara. Kan memang benar,
sekalian maksud nya.

Namun, hasilnya nihil. Kata bik Ningrum yang katanya pembantu rumah tangga Inara.
Mereka, kedua orang tua Inara dan Inara belum pulang dari semalam. Katanya sedang ada
acara. Atlanta mengedikan bahunya, berarti pemikiran pertama memang benar jika Inara tidak
masuk karena ada urusan keluarga.

Atlanta melajukan motornya menuju rumah. Sampai dirumah Atlanta menemukan Athena
sakit, ia meraba kening Athena yang panas. Cowok itu mengambil thermometer mengukur suhu
Athena yang ternyata sangat tinggi.

“39,2 derajat kata lo gapapa?” ucap Atlanta menahan kesal.

Athena jika sedang sakit susah diatur. Sangat keras kepala, buktinya Athena tetep kekeuh
jika malam nanti sudah baikan. Tidak mau kerumah sakit.

“Lagian ka Artur udah kasih obat ko,” bela Athena.

“Artur kemana?”

“Kak Artur nunggu dosen,” ringis Athena menahan pusing.

“Wanita itu?”
“Ibu ada arisan.”

Rasanya Atlanta ingin membantuk sesuatu kalau perlu Atlanta ingin sekali menghajar
seseorang. Lihat, anaknya sedang sakit wanita itu malah enak-enakkan dengan teman arisannya
itu. Ibu macam apa meninggalkan anaknya yang sedang sakit.

Atlanta menggendong paksa Athena, membawanya masuk kedalam mobil Atlanta yang
jarang dia pakai. Mobil itu adalah pemberian ayahnya saat berumur ketujuh belas tahun. Atlanta
membawa Athena kerumah sakit walau Athena terus menolaknya. Biar saja Athena mengoceh
sampai capek karna jika dibiarkan Athena akan semakin parah nanti.

Atlanta membawa Athena keruang tunggu, mata Atlanta melihat sosok yang dikenalnya
sedang bersandar pada tembok seperti sedang gelisah. “Tunggu disini,” titah Atlanta. Athena
mengangguk pasrah seraya memakai jaket yang diberikan Atlanta.

“Ngapain lo disini?” tanya Atlanta ketika sudah dihadapan Regan yang tersentak.

“Bukan urusan lo!” balas Regan ketus.

Atlanta terkekeh. “Lo babu. Kalo gue tanya lo jawab.”

Regan berdecih kesal. Atlanta mendengar jika Regan dipanggil resepsionis. Sebelum Regan
menghampiri meja resepsionis, cowok berjaket kulit itu menatap Atlanta datar.

“Ada tuan. Atas nama Eleanor Inara pasien tabrak lari.”

Ketika Regan menghampiri meja resepsionis. Atlanta kembali menuju dimana Athena
duduk, lalu tidak berapa lama nama Athena disebut yang berarti giliran Athena yang diperiksa.
Atlanta membimbing adiknya keruang periksa. Selama pemeriksaan dokter menyarankan agar
Athena dirawat tapi karena Athena terus menolak memilih untuk dirawat dirumah, akhirnya
Atlanta menyerah.

Setelah mengambil obat. Atlanta dan Athena pulang kerumah. Disaat seperti ini Atlanta
jadi mengingat ayahnya. Sudah berapa hari ini ayahnya benar-benar tidak pulang. Mungkin jika
sekarang ada ayahnya, adiknya tidak akan separah ini panasnya. Atlanta menghela nafas. Ia
membuka pintu mobil, membawa Athena masuk.

Saat diperjalanan. Atlanta melihat adiknya yang tertidur pulas. Mungkin karena efek dari
obat dan juga pusing. Atlanta melajukan mobilnya perlahan ketika Atlanta menghentikan
mobilnya mendadak untung saja tidak membangunkan Athena.

Atlanta keluar menghampiri segerombolan orang-orang. Atlanta menarik salah satu


belakang kerah orang itu lalu menonjoknya hinga terkapar begitu seterusnya. Hingga hanya satu
orang yang tersisa sedang memegang dadanya, syok. Atlanta menatap orang-orang yang terkapar
itu dengan teliti merasa pernah melihat mereka dan sebuah nama terlintas. Anak buah Regan.
"Pergi," ujar Atlanta dingin. Orang-orang yang berpenampilan tidak jelas itu langsung
melarikan diri.

Atlanta menghampiri pria paruh baya yang mengingatkan akan ayahnya. "Anda tidak
papa?"

Pria paruh baya itu mengangguk. "Terimakasih anak muda. Kalau tidak ada kamu
mungkin saya sudah tidak tau lagi bagaimana saya sekarang."

Atlanta mengangguk paham.

"Kalo gitu, saya permisi. Adik saya menunggu dimobil."

"Sebentar. Nama kamu siapa?" tanya pria paruh baya itu.

"Atlanta," ucap Atlanta sebelum melanjutkan langkahnya.

Atlanta masuk kedalam mobil menemukan adanya yang linglung. Athena menatap Atlanta
heran, tadi Athena sempat ingin mencari Atlanta ketika ia bangun tidak menemukan kakaknya
itu. Namun, karena kepalanya sangat pusing ia urungkan niat itu.

"Kakak dari mana?"

"Gue? Dari toilet," gumam Atlanta seraya menyalakan mesin.

Athena mengangguk mengerti.

"Tidur lagi aja."

Sampai didalam rumah Atlanta menghentikan mobil, ia keluar menyebrang mobil. Ia


membuka pintu mobil Athena lalu Atlanta menaruh tangan nya di belakang kepala juga lipatan
kaki Athena menggendong adanya yang masih tertidur.

Didalam rumah Atlanta melihat sekitar 5 wanita paruh baya dengan pakaian yang begitu
mencolok. Atlanta melewati mereka tanpa berniat menyapa padahal disana ada Merlyn, ibunya.

"Atlanta," panggil Merlyn.

Atlanta menoleh mendapati Merlyn yang tersenyum lembut. Dalam hati Atlanta berdecih.
Pencitraan!

"Adik kamu kenapa sayang?" kata Merlyn khawatir.

"Menurut lo?" ucap Atlanta datar melanjutkan langkahnya ke lantai dua membawa Athena
kekamar.

Atlanta membaringkan Athena dikasur pinknya yang kemudian menyelimuti adiknya itu.
Atlanta duduk disofa dekat dengan kasur Athena. Ia membuka handphone nya yang sedari siang
ia matikan.
Saat membuka handphone banyak notifikasi masuk dari grup kelas. Karena penasaran
jarang-jarang grup kelas ramai biasanya hanya ramai jika hal-hal tertentu misalnya, ulangan
dadakan, PR yang bejibun atau ada event sekolah. Selama ini Atlanta yang selalu bersikap acuh
tidak pernah peduli apapun bukan berarti Atlanta mengabaikan grup kelas. Atlanta memang
tidak pernah muncul atau aktif di grup kelas tapi ia menyimak dengan baik.

Atlanta membaca pesan itu dengan seksama terlebih pembahasan mereka adalah orang
yang Atlanta tengah cari-cari hari ini, Inara.

Atlanta menaikan sebelah alisnya. Didalam chat Inara masuk rumah sakit, katanya cewek
berambut sebahu itu kecelakaan semalam. Atlanta bergegas mengambil jaket dan keluar dari
rumah, saat melewati ruang tamu dimana wanita itu ada bersama teman sebayanya, Atlanta
hanya melewati. Setelah memastikan dimana Inara dirawat, ternyata Inara dirawat dirumah sakit
tadi Athena periksa.

Sampai dirumah sakit Atlanta menghampiri meja resepsionis. Atlanta bertanya dimana
ruangan Inara sedangkan yang ditanya hanya menatap Atlanta terbengong. Atlanta berdecak.
"Ruangan pasien Eleanor Inara dimana mbak?" ucap Atlanta menahan kesal.

"Oh, dikamar mawar no 101."

Atlanta langsung mencari kamar yang disebutkan tadi, sampai didepan kamar Atlanta
membuka knop pintu menemukan Inara yang melamun. Atlanta menghampiri Inara. "Siapa?"
kata Inara pelan. Manatap Atlanta kosong.

Atlanta mengerutkan kening. "Lo lupa?"

Inara hanya menatap Atlanta membuat Atlanta mulai cemas apalagi ketika ia melihat
perban dikepala Inara.

"Gue Atlanta," ucap Atlanta hati-hati.

"Atlanta siapa? Kita saling kenal?"

Atlanta menarik nafas, ia menatap Inara. "Lo cewek gue dan gue cowok lo."

Barulah Atlanta melihat senyum cerah Inara. "Kapan kita jadian?" katanya berbinar.

Atlanta kesal merasa dipermainkan. Cowok itu menunduk mensejajarkan wajahnya dengan
Inara.

"Sejak lo berniat menyerahkan diri dalam sangkar gue."

Inara tersenyum makin lebar. "Oh ya?" godanya membuat Atlanta menarik pipi Inara kesal.
Inara mengaduh sakit.
"Assalamu'alaikum," ucapan salam itu berasal dari pintu yang ternyata teman-teman
sekelasnya. Mereka terkejut mendapati Atlanta, mereka menatap Atlanta canggung. Namun,
Atlanta malah menatap keluar pintu dengan curiga.

🍁|Atlanta| XII

Atlanta berdiri didepan Rumah Sakit, menunggu Regan. Sebelumnya Atlanta sudah
menelpon Regan untuk ke rumah sakit sesuai alamat yang diberikan. Alasannya cukup jelas
mengapa Atlanta menyuruh Regan ke rumah sakit karena Atlanta akan mengasih tugas pertama
sebagai majikan kepada babu. Awalnya Regan menolak mentah-mentah memilih melanjutkan
tidurnya namun saat Atlanta mengingatkan tentang pertandingan semalam dan perjanjian yang
mereka buat Regan mau tidak mau meninggalkan kasurnya dengan marah.

Sekarang Regan sudah dihadapan Atlanta memakai setelan berwarna hitam. Khas Regan
sama seperti Atlanta. Cowok berambut yang hampir mencapai kerahnya itu menatap Atlanta
sinis sedangkan Atlanta menatap Regan datar.

"Tugas babu lo yang pertama."

"Beliin semua makanan yang ada dilist," lanjut Atlanta seraya memberikan selembar kertas.

Regan berdecih melihat itu. "Duit."

Atlanta menaikan sebelah alisnya. Cowok berhidung mancung itu menyisir rambutnya
kebelakang menarik perhatian para perawat yang lewat sedangkan Regan kesal setengah mati.
Jika bukan untuk menjaga harga dirinya untuk tidak di cap ingkar janji mungkin sekarang
Regan sudah menonjok Atlanta.

"Duit lo lah masa duit gue," katanya datar. Regan mendelik.

"Gue tunggu 10 menit."

Kemudian Regan melajukan motornya menuju minimarket dekat rumah sakit dengan
menggerutu dan memaki-maki Atlanta. Atlanta hanya menertawakan wajah Regan yang
menurutnya sangat menghibur. Lagian kapan lagi melihat musuhnya bertekuk lutut.

Setelah menunggu beberapa menit, Regan kembali membawa sekresek  besar lalu
memberikan pada Atlanta seperti tidak ikhlas. Atlanta menerima kantung kresek itu lalu masuk
kedalam gedung rumah sakit tanpa mengucapkan terimakasih. Regan memaki Atlanta yang tidak
berterimakasih sebelum melakukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Atlanta masuk kedalam kamar dimana Inara dirawat. Cowok berkulit putih itu menemukan
Inara sendirian, setelah matanya menatap Atlanta cewek itu tersenyum sangat lebar
memposisikan menjadi bersila.

"Makan," ucap Atlanta sembari menaruh kantung kresek berisi berbagai makan
dipangkuan Inara.

"Tumben perhatian. Biasanya marah-marah mulu."

Atlanta duduk di hadapan Inara menatapnya tanpa ekspresi.

"Gue gak mau punya cewek kaya triplek," gumam Atlanta bermaksud menyindir tubuh
Inara.

Inara bukan kurus atau triplek seperti Atlanta bilang. Kalau kata sejenis perempuan badan
Inara sudah termasuk profesional yang artinya langsing bukan kurus apalagi triplek. Mungkin
Atlanta saja yang matanya minus.

Inara menatap Atlanta kesal yang dibalas kekehan Atlanta. Seketika Inara terdiam,
terpesona dengan cara Atlanta tertawa. Untuk pertama kalinya Inara melihat ekspresi Atlanta
selain sinis.

"Kamu! Ngapain kamu disini?!"

Atlanta dan Inara sontak melihat keasal suara. Inara meremas tangan Atlanta saat melihat
Ameera masuk dengan marah. Atlanta melihat Inara yang ketakutan membuat Atlanta ingin
sekali menghajar orang yang membuat Inara ketakutan, sayangnya jika Atlanta benar-benar
mengajar orang itu mungkin Atlanta tidak bisa melihat wajah cantik Inara lagi.

"Saya temannya Inara," gumam Atlanta mengulurkan tangan.

Ameera hanya menatap tangan itu berniat mengusir Atlanta. Saat Ayah Inara masuk,
Atlanta mengerutkan dahi merasa pernah melihat pria paruh baya itu.

"Lho. Nak Atlanta?"

Atlanta tersenyum menawan. Andai saja Atlanta tau jika Inara sekarang rasanya ingin
pingsan. Senyum itu sangat tulus berbeda dengan biasanya yang hanya senyum mengancam
membuat Inara berdebar melihatnya.

"Papa kenal?" tanya Ameera.

"Kenal. Dia ini pemuda yang nolong papa tadi sore. Waktu papa hampir aja dirampok."

Ameera menatap Atlanta sangsi. "Pencitraan," gumam nya.


"Ma," desah Inara tidak ingin ada keributan.

"Ta pulang ya? Buat aku," kata Inara memohon. Inara hanya tidak ingin Atlanta dimarahi
Ameera yang tidak tau apa-apa.

Untunglah Atlanta mengerti, cowok itu mengangguk dan berpamitan kepada orangtua
Inara sebelum berlalu.

Atlanta memasuki rumahnya yang serasa sepi. Saat diruang tamu Atlanta melihat Artur
sedang membaca buku, dilihat dari cover nya saja Atlanta tau jika itu buku tentang medis.

Artur yang baru menyadari kedatangan Atlanta menaruh buku tebal itu dimeja. Cowok
berkemeja putih itu meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya hingga setengah.

"Ibu kerumah sakit, ketemu ayah. Dia curiga kalo ayah punya selingkuhan," ucap Artur
datar melanjutkan membaca bukunya.

Atlanta tampak terkejut, ia berdehem. "Athena?" tanya nya hati-hati.

"Ikut Ibu."

Ucapan Artur dan nada datar cowok yang berstatus sebagai kakanya membuat tombol
amarah Atlanta menyala. Cowok itu menatap Artur sepeti ingin membunuh. Cowok itu menarik
kerah Artur yang tersentak kaget lalu menonjok rahang kakanya itu.

Artur meludah darah dalam mulutnya. Artur menatap Atlanta tenang berbanding balik
dengan Atlanta yang menatap Artur penuh emosi.

"Kenapa lo gak cegah?"

"Athena yang maksa. Gue bisa apa?" balas Artur melepaskan cengkraman tangan Atlanta
dikerahkan bajunya merasa tercekik.

"Athena lagi sakit. Kakak macam apa lo biarin adik yang lagi sakit dibawa pergi sama
wanita itu!"

"Bajingan!" maki Atlanta sebelum pergi keluar rumah menyusul adiknya kerumah sakit.
Inara, aku kagum padamu

Tapi, aku resah

Inara, aku ingin padamu

Tapi, aku ragu


Inara, aku suka padamu

Tapi, aku takut

Inara, inara, inara

Banyak yang ingin aku ungkapakn

Tapi aku pikir cukup aku yang tau. kalau hati kamu sudah aku curi tanpa kamu sadari.

🍁|Atlanta| XIII

Hari ini. Inara sudah diperbolehkan pulang. Karena Inara hanya terkena benturan dikepala
tidak menimbulkan komplikasi yang parah. Ameera juga bersyukur Inara tidak apa-apa jika
tidak mungkin Ameera sekarang sudah kalut menatap anak semata wayangnya yang terbaring
lemah.

Inara merebahkan dikasur setelah membersihkan diri. Ia memegang kepala yang masih
diperban lalu menghela nafas. Inara sangat ngantuk, dirumah sakit Inara juga tidak bisa tidur
nyenyak karna Inara tidak suka bau rumah sakit. Ia lebih nyaman berada di rumahnya yang
damai ini. Kadang sih.

Inara meraih handphone diatas nakas saat deringan telpon menyala bertanda ada yang
menelponnya. Inara melihat nomor yang tidak dikenal lalu menekan tombol hijau. "Hallo?"

"Inara?" panggil suara berat di sebrang  telpon.

Inara mengulum senyum mengenal suara berat dan dalam itu. Kemudian sebuah ide usil
terlintas dikepalanya membuat kekehan dalam hati. Inara berdehem.

"Selamat datang dirumah Eleanor. Ada yang bisa saya bantu?"

Disebrang telpon Inara bisa mendengar Atlanta berdehem singkat sebelum menjawab. "Bisa
panggilin Inara?"

"Inara udah tidur. Mau menyampaikan sesuatu biar saya yang sampaikan nanti."

Beberapa menit berlalu Atlanta tidak menjawab membuat Inara berfikir Atlanta mematikan
telponnya namun ketika akan bertanya ia urungkan saat suara berat itu kembali terdengar.

"Tolong sampaikan. Kalo gue kangen sama cewek bernama Inara."


Tolong! Apa ini karma? Harusnya Atlanta yang mati kata kenapa malah sebaliknya. Malah
bukan hanya mati kata rasanya Inara merasakan jantungnya yang dag-dig-dug begitu cepat.
Sesaat Inara menahan nafas.

Inara mendengar Atlanta terkekeh. Inara mengerucutkan bibirnya menahan senyum.


Atlanta ini kalo sekalinya ngomong waras bikin anak orang spot jantung.

Tidak terasa sudah satu jam lebih mereka mengobrol, sebenarnya Inara yang mendominasi
percakapan Atlanta hanya menjawab yang dilemparkan Inara seperti Atlanta sedang dimana?
Atlanta sedang apa? Dan banyak lainnya.

"Besok sekolah?"

"Iya," jawab Inara sambil menangkup boneka satu-satunya.

"Besok ada yang jemput. Bukan gue, tapi cowok bernama Regan?"

"Regan siapa? Temen Atlanta?"

"Hmm."

"Gue ada urusan makanya gak bisa jemput," jelas Atlanta.

"Gak papa. Kan bukan kewajiban Atlanta buat anter aku."

"Bagi gue. Itu adalah sebuah kewajiban."

Inara tersenyum merasa tersentuh. "Makasih ya," katanya tulus.

Atlanta tidak menjawab. Cowok itu menyuruh Inara tidur yang disetujui Inara. Inara sudah
sangat mengantuk sekarang makanya selesai mematikan telepon Inara langsung menyelimuti
tubuhnya lalu tidak berapa lama dengkuran halus terdengar.

Besoknya. Inara sudah berdiri di depan gerbang rumahnya. Sebelumnya juga Ameera
sempat meributkan soal antar mengantar tapi atas bantuan Reno jugalah membuat Inara tidak
jadi diantarkan oleh Ameera.

Lalu, sebuah motor berhenti di depan nya. Inara menatap cowok diatas motor itu dengan
teliti. Mungkin cowok ini yang bernama Regan itu. Cowok itu membuka helmnya dan menatap
Inara terkejut namun beberapa detik selanjutnya cowok itu mengubah ekspresi nya menjadi
datar.

"Inara?" panggilnya ragu.

Inara tersenyum manis lalu mengangguk. "Iya. Kamu Regan kan? Teman Atlanta?"

Bisa Inara lihat jika cowok itu meringis saat Inara menyebutnya teman Atlanta. Toh,
memang siapa lagi kalau bukan teman Atlanta. Musuhnya? Inara menggeleng. Mana mungkin
musuh Atlanta yang mau-maunya menjemput Inara.
Inara naik ke motor besar sama seperti motor Atlanta yang kemudian mereka membelah
jalanan Jakarta yang lumayan padat di pagi hari ini. Akhirnya mereka sampai di depan gerbang
sekolah Inara. Inara turun mengucapkan terimakasih yang dibalas anggukan Regan.

"Kamu sekolah dimana?" tanya Inara penasaran.

"Gue kuliah," gumamnya pelan.

Inara mengangguk, setelah sekali lagi mengucapkan terimakasih barulah Inara masuk ke
halaman sekolah bertemu dengan Issabel dipertengahan jalan.

"Pagi. Inara," sapa Issabel riang.

Inara tersenyum. "Pagi. Issabel."

"Cieee dianterin siapa tuh tadi? Pacar ya?" goda Issabel.

"Bukan kok," geleng Inara jujur.

"Kalo bukan siapa dong kalo bukan pacar?"

"Temen," kekeh Inara.

Mereka berpisah dibelokan karena kelas Inara disebelah timur sedangkan Issabel disebelah
barat. Sebelum berpisah juga Issabel sempat menggodanya tentang cowok tadi.

Inara masuk kedalam kelas disambut kegaduhan kelas yang seperti pasar. Ketika salah
satu teman sekelasnya melihat Inara masuk sekolah dan menyapa keadaan semua nya ikut
bertanya satu persatu. Hingga setengah jam barulah Inara duduk dengan tenang. Inara
mengeluarkan buku dan alat tulis lainnya ketika seseorang duduk disampingnya.

Inara kira itu Atlanta, ternyata bukan. Orang yang duduk disebelahnya adalah Kenan
sedang tersenyum manis menyapanya.

"Gue denger lo masuk rumah sakit akibat ketabrak ya?"

"Iya Ken."

Kenan tampak khawatir, cowok itu menyentuh kepala Inara yang diperban. "Sekarang
masih sakit?"

Inara menggeleng, "enggak kok. Udah baikan."

"Syukur deh," desah Kenan lega.

Kalau bukan karena bel masuk mungkin Kenan akan terus duduk disamping Inara dan
terus menanyakan keadaan Inara. Kenan lalu berdiri merapihkan celananya. Kenan itu tipe
cowok yang rapih, ramah, sopan dan pintar. Cowok-cowok idaman banget buat dijadiin pacar
tapi Inara hanya memandang Kenan sebagai teman, tidak lebih. Karena hatinya sudah diisi
entah sejak kapan oleh cowok yang baru saja memasuki kelas.

Inara tersenyum amat sangat lebar ketika Atlanta duduk disampingnya menghiraukan jika
ada Kenan. Sedangkan Kenan yang melihat senyum cerah Inara merasa tersingkirkan. Cowok itu
berpamitan dengan Inara lalu keluar dari kelas.

"Masih sakit?" tanya Atlanta pelan.

"Udah enggak."

Atlanta menaruh ranselnya. Cowok itu berdiri menarik tangan Inara. "Ta, udah masuk.
Mau kemana?"

Pertanyaan Inara rupanya menarik perhatian kelas. Semuanya mendadak sepi seolah
sedang menonton pertunjukan film yang seru.

"Kekantin. Lo belum sarapan pasti," ujarnya santai.

"Tapi udah masuk Ta." Atlanta mengeluarkan handphone disaku celana memperlihatkan
sebuah chat.

"Sampai Istirahat, guru rapat."

Atlanta kembali menarik tangan Inara keluar kelas menuju kantin. Inara sempat
mendengar sorakan teman-teman sekelasnya ketika mendengar jika guru rapat. Informasi dari
Atlanta itu enggak pernah bohong. Semua informasi yang didapat Atlanta selalu benar karena itu
mereka bersorak senang.

Inara menatap bubur dan teh hangat bergantian. "Makan," titah Atlanta.

Inara menghela nafas. Cewek berkuncir kuda itu memakan bubur dengan lahap sedangkan
Atlanta terus menatap Inara tanpa kedip membuat Inara merasa risih ditatap seperti itu.

"Tau kok aku cantik. Gak usah diliatin terus," kekehnya bercanda.

"PD banget."

"Cantikan juga pacar gue," lanjut Atlanta percaya diri. Inara menaikan sebelah alisnya.

Inara menunjuk Atlanta dengan sendok. "Oh ya? Mau liat dong pacarnya secantik apa?"

Atlanta menghampiri gerombolan para cewek. Tak lama Atlanta kembali dan duduk
dihadapan Inara. Inara heran apa yang Atlanta lakukan. Ternyata Atlanta membawa sebuah
cermin kecil yang biasa dibawa para cewek. Lalu, memposisikan cermin di hadapan Inara.

"Cantiknya buat gue gak bisa berkata-kata. Dibandingkan dengan bidadari, dia lebih
segalanya."
Inara mengulum senyum. Ia memegang dadanya yang berdebar. Ya Tuhan! Inara ingin
menangis sekarang saking bahagianya. Sejak kapan Atlanta pandai bergombal? Jika ini terus
berlanjut apa kabar dengan jantungnya nanti.

🍁|Atlanta| XIV

Athena tersenyum lebar kala matanya menatap Inara didepannya sedang berdiri
membawa sekantung kresek berisi buah-buahan. Waktu dikantin Atlanta bilang jika Athena
sedang sakit dan Inara berniat menjenguk Athena yang disetujui Atlanta.

Sekarang Inara dan Athena mengobrol asyik menghiraukan Atlanta. Merasa diacuhkan
Atlanta keluar mengambil minuman untuk Inara.

Inara melirik Atlanta yang keluar kamar, lalu Inara mengambil sesuatu didalam tasnya.
Memberikan untuk Athena yang disambut pekikan senang karena sesuatu dari Inara ternyata
adalah eskrim. Inara sengaja menyelusupkan satu eskrim untuk Athena. Mereka tertawa karena
telah berhasil mengelabuhi Atlanta.

Inara membuang wadah eskrim ke tempat sampah yang ada. Ia lalu menyelimuti Athena
yang tertidur ketika Atlanta masuk membawa segelas susu coklat hangat memberikan untuk
Inara. Inara menyambut gelas itu lalu menegurnya hingga setengah.

"Gue antar pulang," kata Atlanta pelan. Meraih gelas yang diberikan Inara.

Inara mengangguk. Mengikuti langkah Atlanta keluar kamar bernuansa pink yang dipenuhi
boneka-boneka besar.

"Itu karena Ibu juga. Ibu gka pernah peduli sama keluarga. Ibu lebih mentingin Ibu sendiri.
Ayah capek ngadepin Ibu yang egois."

"Ayah kira Ibu gak cape ngadepin ayah? Apalagi sama anak kamu tuh yang suka mabuk-
mabukan. Kalo bukan anak kandung Ibu udah Ibu usir dari keluarga!"
Terdengar pecahan kaca yang menggema dilantai bawah. Langkah kaki Atlanta terhenti,
tangan yang menggandeng Inara pun mencengkram Inara kuat seolah meluapkan apa yang
Atlanta rasakan. Inara tidak bisa membantah jika Inara merasa sakit karena cengkraman
Atlanta. Namun, ia juga tidak ingin pergerakannya salah yang malah menyulut emosi Atlanta.

"Kenapa bawa-bawa Atlanta! Disini yang salah Ibu bukan Atlanta. Atlanta gak bakal kayak
gitu kalo Ibu sendiri gak perhatian sama anaknya!"

Dalam berdirinya, Inara merasa resah dan bingung. Atlanta hanya diam, wajahnya datar
tapi Inara tau Atlanta sakit mendengar itu semua. Siapa yang tidak sakit saat Ibu kandungnya
sendiri mengatakan sudah capek dan menyalahkan. Inara tau betul apa yang sedang Atlanta
rasakan. Pelan-pelan Inara mengusap tangan Atlanta yang menggenggam nya membuat Atlanta
menoleh.

Inara tersenyum meyakinkan Atlanta saat itulah Inara melihat wajah Atlanta yang
kesakitan walau hanya beberapa detik, selanjutnya Atlanta menarik Inara kesalah satu kamar.
Inara melihat ke sekeliling kamar yang didominasi warna coklat dan hitam. Khas Atlanta.

Inara duduk dikasur besar Atlanta sedangkan cowok itu menanggalkan seragam atasnya
yang menyisakan kaus putih. Cowok berambut sedikit ikal itu berjalan kearah jendela lalu
membuka lebar-lebar menyajikan pemandangan pepohonan mangga. Walaupun rumah Atlanta
cukup besar, mungkin dua kali lipat dari rumahnya. Rumah Atlanta terletak di daerah pedesaan
bukan perumahan elit karena itu banyak sekali pepohonan dan udaranya pun jadi sejuk.

"Jangan tatap gue kayak gitu," kata Atlanta seraya menyenderkan tubuhnya ditembok
dekat jendela.

"Cukup tatap gue dengan mata berbinar lo yang cantik itu."

"Kenapa?"

"Karena pacar Atlanta gak berhak tatap gue selain tatapan ceria. Gue gak suka tatapan lo
sekarang, gue lebih suka dengan tatapan lo waktu dikantin. Indah dan mempesona."

Inara mengulum senyum, hari ini Atlanta lebih sering menunjukan senyum. Inara mengira
itu karena ulah jailnya. Sewaktu dirumah sakit. Mungkin, kalo Inara tidak bertindak jail Atlanta
mungkin masih sama seperti pertama kali ia temukan. Itu hanya kemungkinan karena
kemungkinan belum tentu terjadi.

Atlanta menghampiri Inara, lalu cowok itu duduk disamping Inara. "Gue gak pernah tau
dan gak pernah nyangka kalo Tuhan sebaik ini mengirimkan bidadari yang sempurna, padahal
dia tau gue bukanlah pangeran yang akan menjaganya. Gue bisa aja merusaknya."

"Aku enggak sesempurna itu, sempurna hanya milik Tuhan."


Atlanta tidak menjawab, cowok itu hanya menatap Inara tanpa kedip dari samping. Karena
terus ditatap, Inara membalikan wajahnya hingga menghadap Atlanta sepenuhnya. Kini mereka
berhadapan membuat Atlanta leluasa menatap Inara yang entah kenapa sangat sempurna
dimatanya.

"Atlanta?"

"Hmm?"

"Mau denger cerita aku?"

"Apa?"

"Aku bukan anak kandung mereka. Aku hanya anak angkat."

Inara kira Atlanta akan terkejut, tapi cowok itu hanya melarikan tangannya ke rambut
sebahu Inara, seolah sedang menyisir.

"Kenapa Atlanta gak kaget?"

"Gue tau. Saat gue liat kedua orangtua lo di rumah sakit, lo sama sekali gak mirip sama
mereka. Lo seperti gadis Inggris dibanding gadis Asia."

"Aku baru tau kalo ternyata Atlanta peka," kekeh nya.

"Gue juga baru tau kalo ternyata Inara suka memperhatiin gue."

Inara terkekeh, matanya menatap wajah Atlanta. Mulai dari Rambut hitam yang sedikit
ikal, hidung mancung, bulu mata yang lentik dan ke rahang yang tegas itu. Sangat sempurna
ciptaan Tuhan yang satu ini.

"Kenapa rambut diwarnain? Malu?"

Inara menggeleng. "Enggak kok, cuma mau samaan aja kayak Isyana."

"Isyana?"

"Iya, Adik aku. Mama pernah punya anak kandung setelah satu tahun mengadopsi aku.
Namanya Eleanor Isyana, Adik yang penurut dan baik. Lucu." Inara menghela nafas, kedua
sudut bibirnya melengkung keatas membayangkan wajah Isyana yang menurutnya sangat lucu.

"Tapi, tiga tahun yang lalu. Isyana kecelakaan, tertabrak motor. Enggak selamat. Makanya
sekarang Mama begitu protektif ke aku. Dia takut aku juga sama nasib kayak Isyana. Bahkan
setelah kejadian itu aku dikurung dirumah. Paling kalo keluar rumah sama Mama Papa."

"Lo nyesel?"

"Enggak. Karna aku tau mereka sayang sama aku."


Inara melihat Atlanta menatapnya tanpa ekspresi. Cowok itu berdiri berjalan ke sebuah
lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ia mengambil sesuatu yang Inara tidak sempat lihat.
Lalu cowok itu kembali duduk disebelahnya.

Atlanta menarik tangan kiri Inara, memakaikan gelang berwarna coklat. Gelang
kesayangan Atlanta.

"Jangan lepasin ini, karena kamu gak tau seberapa kuat menjaga kamu."
Andai bintang berjatuhan saat gue liat senyum lo,

pasti bulan protes karna ditinggal sendirian

🍁|Atlanta| XV

Ketika senja meninggalkan keindahan, ketika malam berkelip mulai berdatangan, ketika
bulan dan bintang berdampingan. Atlanta dan Inara membelah jalanan Jakarta yang lumayan
ramai. Dibelakang Atlanta yang mengendarai motor Inara memejamkan matanya meresapi
kebebasan yang menelusup ke hatinya.

Andai Isyana tau jika alam begitu baik membagikan hal yang begitu bebas dirasakan. Inara
tersenyum tanpa sadar, cewek itu tiba-tiba memeluk Atlanta kencang saat Atlanta melajukan
motornya dengan kecepatan tinggi. Hampir saja Inara jatuh jika ia tidak memeluk Atlanta.

“TA PELAN-PELAN!” teriak Inara kencang mencoba mengalahkan angin.

Dibalik helm, Atlanta tersenyum, ia memelankan laju motornya sedangkan Inara menghela
nafas lega seraya mengatur sekarang jantungnya.

“Jangan senyum-senyum kayak gitu,” kata Atlanta.

“Kenapa?”

“Lo cantik.”

Inara merapihkan rambutnya yang berantakan karena ulah angin, cewek itu memajukan
tubuhnya tidak mendengar ucapan Atlanta tadi.

“Ngomong apa tadi?

“Lo jelek,” ulang Atlanta berbeda dengan kata yang sebelumnya.


Inara memukul pelan bahu Atlanta dengan kesal membuat motor yang dikendarai mereka
sedikit oleng. Atlanta terkekeh geli, ternyata cukup menghibur jika membuat Inara kesal.

Atlanta menghentikan motor dipinggir jalan. Ia melihat ada chat masuk dari teman-teman
nya seketika membuat Atlanta menghela nafas kencang. Atlanta menatap Inara dari pinggir,
cowok itu melihat Inara yang terheran.

“Lo liat bulan dan bintang yang disana?” ucap Atlanta pelan seraya menatap bulan yang
bersinar terang.

“Liat,” angguk Inara terheran-heran.

“Andai bintang berjatuhan saat gue liat senyum lo, pasti bulan protes karna ditinggal
sendirian.”

“Kalo Atlanta gak liat senyum aku?

“Kalo gue gak liat senyum lo, gue akan paksa langit menjatuhkan bintang-bintang biar gue
bisa liat senyum lo. Tak apa kalo bulan protes.”

Inara tersenyum lebar.

“Atlanta baik.”

Atlanta menoleh. Cowok berjaket hitam itu menatap Inara tanpa ekspresi. “Gue gak sebaik
yang lo kira,” protes Atlanta merasa perkataan Inara salah.

Atlanta rasa ia hanya seorang lelaki yang tidak berguna. Apalagi ketika mendengar
perkataan wanita itu tadi siang menambah kesan buruk bahwa Atlanta tidak patut dikatakan
baik. Sepertinya Inara hanya sedang melindungi makanya berucap yang seharusnya tidak
diucapkan.

“Atlanta baik buktinya aku suka.”

Atlanta tidak tau apa yang harus Atlanta lakukan dan Atlanta tidak habis fikir apa yang
ada didalam otak Inara, apa perkataan itu hanya sekedar pujian atau apa?

Tapi anehnya Atlanta merasa ada dorongan untuk melindungi Inara. Walaupun Atlanta
tidak yakin jika bisa saja bahaya datang dari dirinya sendiri.

“Ikut gue. Mau?”

“Kemana?”

Atlanta tidak menjawab malah kembali melajukan motornya, menyelinap kendaraan beroda
empat dengan lihai. Seolah sudah bisa Atlanta lakukan. Sampai di sebuah jalanan yang ramai
dipenuhi para pemuda pemudi, Inara turun sesuai instruksi Atlanta diikuti cowok itu.
Atlanta membawa Inara ke sebrang jalan, disana sudah ada Regan menunggu sambil
bersedekah dada juga wajah kesal. Mungkin lagi-lagi Atlanta menghubungi Regan diwaktu yang
selalu gak tepat.

“Titip Inara selama gue balapan.”

Regan mengangguk tidak ikhlas merasa waktu bebasnya selalu diganggu.

Inara menatap Atlanta dengan mata bulatnya. “Atlanta mau kemana?”

“Kesana,” tunjuk Atlanta ketengah jalanan.

“Kasih gue waktu 30 menit, gue bakalan kesini lagi.”

Selesai mengatakan hal tadi. Atlanta melangkahkan kakinya ketengah jalan menghampiri
segerombolan orang-orang dengan pakaian tidak jelas.

Inara melihat Atlanta sedang mengobrol dengan kedua pemuda yang waktu malam dimana
Inara menolong Atlanta temui. Lalu cewek berjeans hitam menghampiri Atlanta merangkul
lengan Atlanta mesra. Inara menahan nafas merasa kesal. Inara menggigit bibirnya.

Kemudian Atlanta bersiap-siap naik ke motor begitu juga dengan satu orang berpakaian
tidak jelas itu. Saat ini Inara sedang menghindari tatapan salah satu orang kepadanya. Tatapan
yang selalu Inara yakini jika itu bukanlah tatapan kebencian.

Suara deru motor yang bersahutan terdengar keras memekikkan telinga. Awalnya Inara
terkejut namun saat Regan berbisik jika ini yang namanya balapan seru Inara paham. Tapi tetap
saja Inara merasa khawatir tentang keadaan Atlanta nanti.

Saat satu orang melepaskan jaket ditengah-tengah kedua motor. Atlanta dan lawannya
langsung menekan gas secepat-cepatnya. Sampai menit berlalu Atlanta lebih dulu sampai yang
menit berikutnya diikuti si lawan. Cewek yang tadi bergelanyutan di lengan Atlanta menghampiri
Atlanta girang lalu memeluk leher Atlanta.

Atlanta yang masih berada diatas motornya hanya terdiam tidak berniat membalas. Saat
akan balapan dengan Regan, Atlanta sudah berjanji jika ini terakhir kalinya tapi karena sekarang
taruhannya adalah temannya yaitu Nazella, Atlanta terpaksa melakukannya. Mau tidak mau
Atlanta harus menerima tantangan balapan ini, jika tidak Nazella akan dipaksa ikut
segerombolan geng yang Atlanta pun tidak tau siapa.

Atlanta menatap Inara disebrang jalan namun cewek yang ditatap nya malah memalingkan
muka membuat tanpa sadar Atlanta terkekeh yang malah disalah artikan oleh Nazella. Karena
Nazella kira Atlanta senang dipeluk olehnya.

“Sakit ya? Lagian punya cowok mau aja sama cowok brengsek.”
Inara menatap Regan kesal. Merasa tidak Terima jika kekasihnya dihina. “Atlanta gak
brengsek!”

“Ya ya ya terserah lo. Gue Cuma membeberkan sebuah fakta.”

Inara tidak menjawab karena terlanjur kesal. Cewek itu melihat Atlanta berjalan kearahnya
malah anehnya membuat Inara gelagapan. Apa yang dilakukan Inara rupanya menarik perhatian
Atlanta sedang menatap Inara. Atlanta mengulum senyum.

“Pulang.”

Inara mengangguk kaku, mengikuti Atlanta yang berjalan disampingnya diikuti Regan
dibelakang. Merasa ada yang mengikuti, Atlanta menoleh ke Regan, mendelik wajah kesal
dihadapannya.

“Lo ngapain?”

“Gue dzikir. Ya menurut lo?!”

Atlanta mengibaskan tangan. “Gue udah gak butuh lo,” katanya santai.

Kalau bukan ada perempuan mungkin Regan sudah akan menonjok Atlanta yang mulutnya
super pedas mengalahkan cabe.

“Sialan nasip babu.”

“Malam om,” ujar Atlanta sopan.

Reno menatap sosok pemuda yang menolongnya hari lalu serta anak semata wayangnya
bergantian.

“Jadi?”

“Maaf mengantarkan anak om sampe malem gini. Pulang sekolah tadi saya mengajak Inara
jenguk adik saya yang sakit.”

Reno mengulum senyum. Pria paruh baya itu bersedekah dada membuat Inara ketar ketir
takut Papanya marah.

“Pah,” panggil Inara pelan.

“Apa?”

Inara menunduk takut. “Saya yang salah om. Bukan Inara.”

“Emang.”
Reno lalu menatap Inara menyuruhnya masuk dan Inara masuk kedalam rumah dengan
terpaksa. Ia melirik kebelakang melihat Papanya sedang mengobrol dengan Atlanta atau lebih
tepatnya memarahi? Inara tidak tau yang ia pikirkan sekarang semoga Atlanta baik-baik saja.

🍁|Atlanta| XVI

Tugas babu Regan selain Atlanta menyuruh ini itu tanpa mengenal waktu adalah
mengantarkan Inara kesekolah. Yang membuat Regan kesal setengah mati adalah ketika Atlanta
pernah tengah malam menyuruh Regan membelikan bubur. Regan tentu saja marah-marah, lagi
pula mana ada tukang bubur malam-malam, kalau bukan karena untuk menjaga harga dirinya
sebagai lelaki, Regan mana mau mengikuti permintaan Atlanta.

Motor Regan berhenti didepan pagar rumah Inara, cewek berambut sebahu itu sudah
menunggu melambaikan tangan ketika Regan menghentikan motor. Inara tersenyum menerima
helm diberikan Regan. Setelah memasang helm, Regan dan Inara membelah jalan raya,
sebenarnya Regan tidak masalah jika harus mengantarkan Inara kesekolah karena Kampus
Regan searah dengan sekolah Inara. Permasalahannya disini adalah Atlanta memintanya dengan
nada yang membuat Regan kesal terkesan bossy.

Sampai didepan gerbang, Inara turun dan Reagan bersiap melajukan motor saat ia melihat
Inara sedang bercakap-cakap diujung gerbang dengan sosok yang berbeda seragam dengan
Inara. Regan mengedikan bahu, toh bukan urusannya karena urusan Regan hanya
mengantarkan Inara sampai gerbang sekolah.

Atlanta sedang menunggu adiknya yang sedang kekamar mandi. Athena masih demam
harus beristirahat selama tiga hari. Selama itu juga Atlanta terus menjaga Athena. Jika tidak,
memang siapa lagi? Ayahnya sekarang tidak pulang, kakaknya Artur sibuk dengan kuliahnya
sedangkan wanita itu? Atlanta berdecih, mungkin wanita itu juga tidak tau jika salah satu
anaknya sedang sakit.

Sudah hampir jam tujuh pagi, sebentar lagi bel sekolah berbunyi tapi Atlanta tidak peduli.
Cowok berjaket kulit hitam itu mengambil handphone nya disaku celana biru mudanya berniat
menelpon Regan untuk memastikan apakah Regan sudah menyelesaikan tugasnya.

“Apa!!” ketus Regan.

Disebrang telfon Atlanta mendengar suara gaduh. Atlanta tersenyum jenaka.

“Tugas lo selesai?”

“Emangnya tugas gue apa lagi? Tolong ya gue lagi dikampus. Lo tau kampus kan tempat
menempuh pendidikan!”

“Kayak bener aja belajarnya.”

“Sialan!”

“Inara udah sampe?”

Regan berdehem sebagai jawaban. Setelah mendapatkan jawaban, Atlanta mematikan


telfon tanpa sepatah kata lagi, menghampiri Athena yang baru keluar dari kamar mandi.

“Gue tinggal gak papa?”

Athena tersenyum seraya menganggukan kepala. Athena tidak ingin merepotkan Atlanta
apalagi Atlanta harus kesekolah. Atlanta lalu keluar dari kamar Athena menuju bagasi
mengambil motor besarnya walau dalam hati Atlanta tidak tega meninggalkan Athena terlebih
dirumah hanya sendirin.

Atlanta masuk kedalam kelas yang masih ramai, cowok itu mengerutkan dahi saat tidak
melihat Inara ditempat duduk. Atlanta mencoba berfikir positif, mungkin Inara sedang ke toilet
atau apalah itu. Atlanta menaruh tasnya dimeja lalu ia duduk dikursi disamping Inara duduk.
Tapi anehnya tas yang selalu Inara bawa kesekolah tidak ada disampingnya.

“Woy,” panggil Atlanta ke cewek yang berada dipojokan sedang membaca buku.

Cewek yang merasa dipanggil itu menatap Atlanta ragu, masalahnya cewek itu tidak
mengerti siapa yang sebenarnya Atlanta panggil. “Gue?”

“Inara kemana?”

Cewek itu menolehkan kepalanya kekanan lalu kekiri seperti orang linglung. Atlanta
berdecak. “Maksud gue Inara lagi kemana. Dia gak ada ditempat duduk.”
Seperti mendapatkan pencerahan, cewek itu menganggukan kepala sambil ber oh ria lalu
cewek itu kembali menyibukan dengan buku tebal. Atlanta menahan geram, apa cewek itu bodoh
atau tuli? Kenapa Atlanta tannya tidak dijawab.

Atlanta mengacak rambutnya frustasi. Tapi dia mencoba untuk berfikir lebih posiftif lagi.
Atlanta saat ini hanya berharap Inara melangkah memasuki kelas yang saat ini Atlanta singgahi,
lalu Inara duduk disampingnya. Atlanta berambisi untuk menunggu Inara sampai bel istirahat.
Namun sampai bel istirahat pun Inara tidak menampakan batang hidungnya. Atlanta gusar,
Cowok itu meraih ranselnya keluar dari kelas tidak menghiraukan jika masih ada guru yang
mengajar. Kalaupun sudah istirahat, jika masih ada gurunya itu tidak sopan jika lebih dulu
keluar.

Atlanta menuju keparkiran sekolah disebelah sayap timur untuk mengambil motor. Atlanta
berharap Inara berada dirumahnya walaupun dalam hati Atlanta juga tidak yakin. Sampai
dipekarangan rumah Inara, cowok itu turun dan langsung menekan bel cemas. Sampai seorang
paruh baya membuka pintu menatap Atlanta heran.

“Nak Atlanta? Ada apa?”

“Apa Inara ada om?”

Dibalik punggung tegap Atlanta, ia menyembunyikan tangan yang bergetar. Berharap apa
yang ia harapkan terkabul.

“Loh bukannya Inara sekolah?”

“Tapi om dia enggak ada di sekolah.”

Atlanta semakin cemas. Cowok itu menatap Pria baruh baya, papa Inara seperti tidak
yakin.

“Kamu ngapain disini?” ucapan sinis itu keluar dari mulut Ameera yang baru keluar.
Ameera mendengar dari dalam rumah seperti ada keributan kecil, karena penasaran Ameera
keluar dan menemukan pemuda yang ia temui dirumah sakit kemaren.

Atlanta dan Reno terdiam.


Terkadang aku pikir lebih baik kehilangan telinga daripada kehilangan mata

Karena jika aku kehilangan mata sama saja aku kehilangan wajah kamu.

🍁|Atlanta| XVII

“Pasti Inara sama kamu, bukan!?” itu bukan sebuah pertanyaan melainkan sebuah
tuduhan kepada Atlanta.

Atlanta menggepalkan tangan didalam saku. Disini yang seharusnya disalahkan siapa?
Atlanta saja bingung dan tidak tau dimana sekarang Inara berada. Tapi dengan seenaknya
Ameera menuduh Atlanta.

“Kalau saya yang sembunyiin Inara, mana mungkin saya datang kesini.”

“Jangan bohong kamu!”

Reno merasa istrinya sudah keterlaluan menuduh Atlanta. Reno lalu membawa Ameera
masuk kedalam rumah diiringin protesan marah Ameera. Reno tau Atlanta tidak bersalah atau
Atlanta yang menyembunyikan Atlanta seperti yang Ameera tuduh.

Atlanta menatap pintu kayu yang menutup ia lalu mengadahkan wajah keatas sambil
terpejam rapat memikirkan dimana Inara berada. Atlanta tidak pernah merasa segusar ini juga
tidak pernah merasa sekosong ini. Hanya karena satu gadis semua perasaan yang coba ia kubur
dalam-dalam kembali muncul.
Pertama ia melihat Inara juga kegigihannya menjadikan Atlanta teman terlebih saat cewek
itu memintanya masuk kehidupan Atlanta yang kelam. Atlanta tau jika Inara pasti akan
menempatkan posisi dimana Inara dalam bahaya, tapi Atlanta tidak mengira jika bahaya yang
menghampiri bukan dari Atlanta, melaikan karena Atlanta. Atlanta mengacak rambutnya
frustasi, menatap pintu kayu dihadapannya dengan kesal. Apa yang harus Atlanta lakukan?

Kemudian pintu kayu jati itu terbuka lebar memperlihatkan Papa Inara.

“Saya tau kalian lebih dari seorang teman, terlihat dari mata Inara yang menatap kamu
penuh binar,” kata Reno.

“Saya kasih satu kali kesempatan pada kamu, kalau kamu lebih dulu menemukan Inara,
saya akan bantu kamu untuk tidak mengahalangi dengan Inara. Tapi jika saya yang lebih dulu
menemukannya, kamu cukup mengucapkan selamat tinggal pada Inara.”

Kata-kata itu bagakan ultimatum untuk Atlanta. Ia lalu menghela nafas lalu berpamitan
dengan Reno. Ia tidak tau harus apa sekarang, tanda-tanda Inara saja tidak menemukannya
sedikit pun. Yang ia khawatirkan adalah apa Inara baik-baik saja?

Atlanta menghentikan laju motornya saat nama seseorang terlintas dipikirannya. Regan.
Terakhir Inara bersama Regan tadi pagi, segera mungkin Atlanta menghubungi Regan dan kedua
temannya untuk bertemu. Atlanta lalu melajukan kembali motornya menuju tempat pertemuan.

Atlanta turun dari motor menghampiri tiga cowok itu yang ternyata sudah lebih dulu
sampai. Atlanta berdiri dihadapan Regan dengan kedua tangan dimasukan kedalam saku
celananya. Cowok itu menopang dagu, matanya menatap Regan tajam sedangkan yang ditatap
malah marah-marah. Merasa jengkel karena waktunya telah diganggu.

“Lo sembunyin Inara dimana?”

Dibalik saku celananya, kedua tangan Atlanta tergepal kuat siap menonjok Regan jika
regan yang menyembunyikan Inara.

“Maksud lo apa?”

Regan tidak mengerti apa yang Atlanta katakan, bukan tidak mengerti bahasanya
melainkan kalimat tuduhan yang dilempar Atlanta.

“Lo bener-bener anter Inara sampai sekolah?!”

“Iyalah. Apalagi emang, toh tugas gue Cuma nganter Inara.”

Bagas dan Paris yang sedari tadi melihat Atlanta dan Regan berseteru serta Atlanta yang
menatap Regan dengan tatapan menuduh, tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

“Bentar deh, maksud lo apa Ta?” Tanya Bagas heran.

“Inara hilang!”
Gumaman Atlanta membuat ketiga cowok itu mengerutkan dahi terutama Bagas dan Paris
yang tidak tau siapa Inara, nama yang sedari tadi Atlanta sebut.

“Inara? Cewek yang lo bawa kemaren?” tebak Paris. Saat kemarin waktu balapan Atlanta
membawa seorang cewek, lalu cewek itu bersama Regan selama Atlanta balapan. Paris kira itu
hanya cewek mainan Atlanta. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, Atlanta kan tidak pernah bawa cewek,
paling-paling Athena, adik Atlanta yang menggemaskan.

“Cewek lo?” sambung Bagas yang ikut penasaran.

Atlanta mengangguk.

“Wah! Punya cewek gak bilang-bilang!” seru Bagas melipatkan tangan didada.

“Kalau gitu kan kita bikin pesta!” lanjut Paris berseru.

Bagas menggeplak belakang kepala Paris, cowok itu mengaduh kesakitan, menatap Bagas
kesal.

“Pesta mulu yang difikiran lo! Ceweknya lagi ilang woy!”

Paris menggaruk belakang kepala lalu terkekeh khas Paris.

“Terus Inara kemana?” gumam Atlanta merasa frustasi.

“Sabar bos. Kita bantu cari, kan ada Mr. GPS Bagas.” Kekeh Paris diakhir kalimatnya.

Bagas mendelik merasa diumpatkan. Sedangkan Regan yang terlihat Atlanta merasa
frustasi menaikkan sebelah alisnya, merasa mendapatkan sesuatu jika Atlanta memiliki
kelemahan, yaitu Inara.
Kalo lo milikin semua bintang.

Kapan gue bisa lihat senyum dia lagi

🍁|Atlanta| XVIII

Atlanta berdiri dipembatas rooftof gedung bar sambil menatap kebawah padatnya jalanan
Jakarta dimalam hari. Lampu-lampu gedung tinggi menyala menghias kota Jakarta menjadi lebih
hidup. Saat ini dia sendiri karena Regan, Bagas dan Paris sedang kebawah mengambil minuman.
Atlanta melihat bulan dan bintang yang banyak malam ini. Cowok itu menyipitkan mata. “Kalo lo
milikin semua bintang. Kapan gue bisa lihat senyum dia lagi,” gumam Atlanta seolah bulan yang
diajak bicara tadi mendengarnya.

Atlanta tidak tau apa yang sebenarnya dia rasakan pada Inara, atau perasaan apa untuk
Inara. Sayangkah? Karena tanpa cewek itu sadari telah menolong Atlanta atau Atlanta sudah
benar-benar jatuh cinta pada gadis berambut sebahu itu? Atlanta tidak tau karena sebelumnya
dia tidak pernah merasakan jatuh cinta.

Sebuah kopi yang menggempul panas tersodorkan kearah Atlanta. Atlanta menatap Regan
dan kopi itu bergantian, cowok itu menaikkan sebelah alisnya.

“Kopi?”

Regan berdecak, disalah satu tangan cowok itu ada secangkir kopi. “Gue enggak mau repot-
repot bawa orang mabuk ya.”
Regan menyodorkan kembali kopinya sambil menyandarkan tubuh seperti Atlanta
dipembatas rooftof.

“Gue fikir, hari ini adalah hari yang bahagia karena musuh gue lemah.”

Atlanta terkekeh menerima kopi. “Satu hal yang perlu lo tau. Gue gak pernah lemah,”
alibinya. Sambil menyesap kopi itu dengan perlahan.

“Oh. Gue baru tau ternyata seorang Atlanta punya nyali buat bohongin kita.”

Atlanta tersenyum tipis. Keduanya terdiam cukup lama, berperang dalam batinnya dan
juga dengan fikiran yang berbeda. Lalu Regan memecahkan keheningan dengan pertanyaan yang
membuat Atlanta terkekeh.

“Gue mau bantu lo.”

“Tugas babu emang seharusnya bantu gue.”

Regan mendelik sinis, kalau bukan karena perjanjian malam itu, sekarang pasti Regan
sudah menyiram Atlanta dengan kopi. Atlanta itu kalau ngomong tidak tanggung-tanggung bikin
emosi orang lain.

“Tapi juga lo kudu bantu gue,” ucap Regan menahan kesal.

“Gue tau apa yang lo butuhin,” katanya tenang.

Regan menatap Atlanta heran sedangkan Atlanta malah terus menatap keatas dengan
tatapan tidak bisa diartikan. Tatapan itulah yang kadang membuat Regan sebagai musuh
Atlanta, susah menebak apa yang dipikirkan Atlanta. Apalagi cowok berambut sedikit ikal itu
pandai menjaga ekspresinya.

“Yang gue tau dia adalah penolong dan pemaaf yang baik.”

“Siapa?”

Sejak sedari tadi Regan dibuat heran oleh Atlanta dengan perkataan cowok itu, lalu Atlanta
kini menatap Regan sepenuhnya.

“Inara.”

Regan terhenyak memikirkan Atlanta apakah sudah tau semuanya dan bagaimana Atlanta
tau karena Regan yakin hanya dirinya yang tau. sedangkan Atlanta berjalan kearah meja
menaruh gelas yang kemudian mengangkat telpon. Regan merentangkan tangannya kedepan,
menghela nafas yang kemudian menundukan kepala.

Mata bening itu terbuka perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang amat terang.
Tubuhnya sedikit kaku saat mencoba digerakan. Inara menatap sekeliling merasa asing. Inara
mencoba duduk saat ia melihat sosok disamping tempat tidur sedang menatapnya kosong. Sosok
itu tersentak kaget meihat Inara terbangun, lalu sosok itu keluar dari kamar sempit ini. Inara
baru saja ingin bertanya namun ia urungkan tenggorokannya terasa kering akibat dehidrasi,
sedangkan kepalanya pening.

Sudah berapa lama ia tertidur?

Pertanyaan itu hanya diucapkan dalam hati saat sosok tadi kembali muncul tidak
sendirian. Orang itu bersama orang yang dikenalnya sekaligus orang yang terakhir Inara lihat
setelah tidak sadarkan diri.

Sosok berjeans hitam itu duduk disebelah Inara dengan menatap tatapan tak suka.
“Rupanya bidadari udah bangun,” katanya mengejek.

Inara beringsut menjauh namun tertahan karena kakinya diborgol. Inara meringis sakit.

“salah aku apa?”

Sosok itu tersenyum manis. Inara memejamkan matanya takut saat sosok itu menyisir
rambut Inara dari atas kebawah dengan lembut. Tapi saat akan mencapai ujung rambut, sosok
itu malah menarik rambut Inara kencang membuatnya kesakitan.

Sosok satunya yang sedari tadi mematung diambang pintu melangkah kakinya cepat
menjegah untuk tidak menyakiti Inara lebih jauh. “Perjanjian kita gak gini ya!” sentaknya tanpa
takut.

Sosok itu membawa sesosok yang menjambak rambut Inara tadi keluar kamar diiringi
protesan tidak terima meninggalkan Inara.

Inara kini memegang kepalanya perih.

Atlanta meraih segelas Tequilla yang diberikan Bartander. Ia mengesapnya perlahan. Malam
itu Atlanta berada dibar seperti biasa menunggu Nazella. Sebelumnya Atlanta menolak lebih
memilih mencari Inara tapi karena Nazella memaksa dan hanya sebentar Atlanta tidak bisa
menolak terlebih ia dan Nazella bertemu. Atlanta hanya mencoba menghargai Nazella sebagai
teman.

Atlanta nenoleh ketika Nazella duduk disampingya dengan menggunakan dress ungu.
Nazella tersenyum manis sedangkan Atlanta memalingkan wajah saat Nazella mencoba mencium
pipi cowok itu. Kebiasaan Nazella ketika bertemu Atlanta yang membuat cowok itu risih.

“Jadi?” tanya Atlanta to the point.

Atlanta sekarang malas berbasa basi, ia tidak punya waktu tenggang sekarang.
Nazella mengecutkan bibirnya sebal. ‘Gue kangen sama lo. Masa lo enggak kangen sama
gue?”

Atlanta memutarkan bola matanya malas.

“Gue gak punya waktu banyak sekarang!”

“Oke oke setidaknya kita minum,”

Atlanta memberikan segelas Tequilla kepada Nazella yang disambut baik oleh cewek itu.
Atlanta hanya menatap kedepan, memutar otak untuk mencari cara menemukan Inara. Jika
Atlanta meminta bantuan polisis pasti nantinya akan repot dan lama.

Disisi Atlanta, Nazella terus mengoceh tentang ini itu yang tidak didengar Atlanta. Cewek
itu kini minum yang ketiga gelas tapi tidak membuatnya gampang kehilangan kesadaran. Nazella
adalah tipikal gadis yang kuat minum karena terbiasa.

“Atlanta”

Atlanta menoleh merasa terpanggil. Ternyata yang memanggilnya adalah Regan. Atlanta
mengerutkan dahi, ia rasa tidak memanggil cowok itu, tapi kenapa Regan ada disini?
Jika kamu satu langkah mundur

Aku akan maju 10 langkah

Jika kamu menghalangi dengan tembok

Akan kubuat tangga sepanjang tembok cina.

🍁|Atlanta| XIX

Atlanta mengedikan bahu, mungkin hanya kebetulan.

Regan duduk disebelah kanan Atlanta, cowok jangkung itu juga ikut memesan minuman.
Regan menatap kesekeliling yang padat, musik yang berdentum keras tidak membuat Regan
sakit telinga.

Lalu matanya bertemu dengan bola mata coklat, mata Nazella yang menatapnya penuh
penasaran. Regan tersenyum miring membalas tatapan Nazella. Nazella ulang ditatap balik
menghampiri Regan yang sedang meminum minumannya itu.

Siang itu, Atlanta duduk diatas rooftof sekolah sambil mengisap rokok. Kaki kanannya ia
tumpuk kekaki satunya sambil bersender disofa bekas. Cowok berbulu mata lentik itu sesekali
memejamkan matanya menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.

Walau hatinya sealu resah karena sampai sekarang ia belum menemukan dimana Inara
berada. Harusnya dia berada dikelas karena sekarang masih jam pelajaran. Namun memang
dasarnya anak bandal pasti akan susah bagi Atlanta. Ia membolos beralasan bosan
mendengarkan guru berceloteh yang tidak dimengertinya dan juga merasa gerah dikelas yang
menurutnya sempit.
Atlanta membuang rokoknya yang tersisa setengah, cowok berseragam putih abu itu berdiri
meninggalkan rooftof lalu turun dari tangga satu persatu. Atlanta menginjak dilantai tiga
bertepatan dengan bel istirahat berbunyi yang langsung saja dipenuhi lautan manusia keluar
dari kelasnya masing-masing. Saat berjalan menuju kelas, ia tidak merasa aneh lagi walaupun
masih ada rasa risih ketika murid perempuan menatapnya penuh binar lalu berbisik-bisik pada
temannya yang lain atau murid laki-laki yang menatapnya iri.

Atlanta berjalan lurus kedepan tanpa berniat membalas sapaan, sapaan yang didapatnya.
Kemudian ia cepat-cepat menuju kelasnya.

Seharusnya mereka sudah tau mendapatkan balasan dari Atlanta adalah hal mustahil jika
mereka mengira Atlanta adalah murid yang dingin seperti dinovel-novel. Atlanta hanya tidak
ramah dengan lingkungan disekitarnya membuat Atlanta seperti menjauhkan diri.

Karena terlalu buru-buru, ia menabrak seseorang. Atlanta melirik sosok gadis yang
mengadah. Merasa familiar dengan gadis itu, Atlanta berjongkok menatap gadis berseragam
putih dan rok kotak-kotak merah.

“Iva?” tanya Atlanta ragu.

Gadis itu menatap Atlanta membuatnya mengangguk dalam hati ternyata benar jika gadis
berseragam sekolah elite ini adalah temannya sekaligus sahabat baik Nazella.

“Lo ngapain disekolah ini?”

“Gue abis rapat disini, ngasihin proposal terus gue keinget lo yang sekolah disini.”

“Jadi?”

“Sekalian gue mau ketemu sama lo. Ada yang gue mau tanya.” Ujar Iva.

“Apa?”

“Jangan disini.” Iva menarik Atlanta dikoridor sepi dekat dengan ruang OSIS.

“Lo kenal sama cewek yang namanya Inara?”

“Lo kenal Inara?” Atlanta justru malah bertanya balik padanya.

Iva memutar bola matanya. “Kalo gue kenal ngapain gue nanya bambank!”

“Maksud gue, kenal dari mana nama Inara?”

“Nah itu, gue tanya lo ada hubungan apa sama cewek yang namanya Inara? Sampai-
sampai Nazella benci sama gadis itu,”

Atlanta mengerutkan dahi. Apa urusanya dengan Nazella dan apa maksud dari semua
perkataan Iva?
“Maksud lo apa? Gue gak ngerti,”

Iva menghela nafas. “Cewek yang namanya Inara itu ada sama gue dan Nazella.”

Atlanta menatap Iva dengan terkejut. Apa ia tak salah dengar?

“Coba sekali lagi ngomongnya,”

‘Iya gadis itu, Inara ada sama gue dan Nazella,”

Atlanta sontak langsung menatap Iva marah dan seperti siap membunuh. Sedangkan Iva
memundurkan langkahnya. Kedua tangan Iva lalu membentuk piece. Iva menggeleng kuat.

“Gue gak tau Inara ada hubungannya sama lo, makanya gue bantu Zella,” aku Iva ketar-
ketir secara terang-terangan.

Iva menggigit bibirnya merasa takut. Saat akan menjawab, ponsel Atlanta bergetar
menandakan pesan masuk. Atlanta meraih handphonenya disaku baju, dia membaca pesan dari
Regan

“Perumahan Anggrek?” gumam Atlanta seraya menatap Iva yang kini sedang ketakutan.

Iva meringis. “Iya, rumah lama Nazella.”

“Ikut gue!”

Atlanta sudah lebih dulu berjalan kedepan, Iva hanya bisa mengikutinya dibelakang
langkah cowok itu.

“Sungguh, semoga nyawa gue aman, Aamiin.” Doa Iva yang sangat bsersungguh-aungguh
sambil berjalan.

Atlanta dan Iva bertemu dengan Bagas dan Paris dipertengahan jalan karena sebelumnya
Atlanta sudah menelpon kedua temannya untuk datang sesuai alamat yang dikirimkan Atlanta
untuk membantu mencari Inara.

Sampai dirumah Nazella, Atlanta berpencar dengan yang lainnya. Ia lewat pintu depan,
sedangkan Iva, Paris dan Bagas lewat samping rumah. Mereka berjalan mengendap-endap bak
maling yang sedang was-was tercyduk.

“Regan, what the...” potong Iva saat Paris mulai mengganggu.

Atlanta bersedekap dada, menatap Nazella tanpa ekspresi, hanya datar. Sedangkan cewek
itu menatapnya dengan senyuman lebar.

“Mau lo apa?”
“I wanna you, dengan begitu Inara bebas.”

Atlanta tersenyum tipis membuat Nazella berfikir bahwa ia menyetujuinya. Begitu mudah
hingga Nazella melupakan apa sebenarnya arti senyuman Atlanta itu.

Nazella melingkarkan kedua tangan dileher Atlanta mendekatkan wajahnya pada Atlanta,
berniat mencium cowok itu.

Saat tiba-tiba saja bumi terasa begitu berputar, Nazella membuka matanya, ia tidak sedang
dihadapkan dengan Atlanta, tapi dengan meja. Tangannya itu diikat kebelakang oleh Atlanta.

“Dimana Inara?!”

“Inara?” kekeh Nazella diiringi ringisannya. “Dia udah gue rusak!”

Ucapan Nazella rupanya menyiut emosi Atlanta. Ia marah, jelas marah. Atlanta menjambak
rambut Nazella. Kalau bukan Atlanta ditarik oleh Paris dan Bagas, mungkin saat ini juga Nazella
sudah habis ditangan Atlanta. Karena Atlanta tipekal tidak pernah pandang bulu.
Mau sebagaimana kemewahan dalam keluarga

jika ditengahnya ada api berkoar

tetap saja akan kalah dengan kesederhanaan satu tetes air.

🍁|Atlanta| XX

Selama Nazella ditahan oleh Paris dan Bagas diruang tengah dimana yang sebelumnya
Atlanta dan Nazella berseteru, Atlanta menuju kamar Inara berada. Dengan langkah lebih segera
mengerti Atlanta meraih knop pintu untuk membuka.

Dihadapannya sudah ada Regan yang mencoba melepaskan borgol dikaki Inara. Atlanta
mendekati ikut melepaskan borgol. Atlanta menggenggam tangan kiri Inara saat meringis.

“Kamu gak papa?”

Dibalik wajah datar Atlanta ada nada khawatir yang terselip Inara mengangguk sebagai
jawaban. Mereka lalu membawa Inara keluar dan berniat membawa Nazella kekantor polisi.

Namun saat keluar rumah mereka disambut oleh beberapa polisi yang mengepung mereka
seperti seorang tersangka. Dihalaman rumah ada Reno dan Ameera orangtua Inara juga ada
Kenan disamping Reno.

“Tangkap dia pak,” ujar Ameera sambil menampar Atlanta.


Inara tersentak kaget, ia menatap Atlanta yang sama kagetnya. Seperti tersadar keadaan
Inara menghalangi Atlanta yang akan dibawa polisi itu. Inara menggeleng mencoba memohon
untuk tidak membawa Atlanta. Atlanta jelas tidak salah, cowok itulah yang membantunya.

Inara menatap Ameera memohon berharap mamanya dapat mengerti, tapi Ameera malah
memalingkan wajah tidak mau mendengar Inara yang menangis memohon ketika Atlanta dibawa
paksa oleh polisi.

Regan maju. Dia sendiri merasa bersalah atas kejadian ini. Terlebih dia yang saat itu satu-
satunya orang yang melihat Inara bertemu dengan Nazella. Ada kesalahan lain yang membuat
Regan ingin menyerahkan dirinya pada polisi dan menggantikkan posisi Atlanta.

“Saya disini yang salah. Kecelakaan minggu lalu yang terjadi pada Inara, saya yang
menabraknya.”

Mendengar pernyataan pemuda yang baru dilihatnya pertama kali itu, sontak langsung
membuat Ameera merasa terkejut. Ameera tampak marah pada Regan, dan langsung menyulut
emosinya. Dalam dirinya, Ameera berniat untuk menghajar Regan merasa marah. Namun itu
semua terurungkan oleh Reno yang menahannya.

Disisi lain, teman-temannya Atlanta berusaha untuk membela Atlanta. Namun itu semua
tak berhasil sebagai upaya pencegahan agar Atlanta tidak masuk pada tempat jeruji sel.

Inara sungguh tak tega. Ia memohon-mohon kepada Ameera untuk tidak memenjarakan
Atlanta. Sungguh disini Atlanta tak bersalah justru menolongnya. Ameera selalu menganggap
Atlanta sebelah mata.

Lantas sekarang Atlanta harus bagaimana? Melawan Ameera? Atau justru lari kabur?
Atlanta kini hanya bisa pasrah. Melihat Inara yang menangis seperti ini rasanya sangat
menyakitkan bagi Atlanta.

Inara hanya bisa menangis. Ia sempat ingin menghampiri Atlanta namun Ameera lebih
dulu menariknya dan memaksa membawanya. Inara terus menatap Atlanta dengan air mata
yang tak berhenti mengalir.

Titik kelemahan Atlanta ada dua keluarga dan Inara kini ia merasa keduanya menghilang.
Atlanta menatap kedua orang tuanya datar, kaki kanan nya ia tumpang kesatu kali lainnya
sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambutnya.

Merlyn menatap Atlanta seolah ia adalah makhluk yang menjijikan, percayalah Atlanta
memang sangat tidak peduli dengan keadaan wanita itu namun satu hal yang orang lain tidak
tau. saat Merlyn menatap dengan tatapan seperti itu rasanya Atlanta tidak mampu menatap
mukukanya sendiri, hatinya perih.
“Bisa gak sih sekali aja gak malu-maluin keluarga?! Berapa kali kamu merepotkan kami?!
Anak tidak berguna!”

Atlanta seperti dihujam beribu anak panah pada dadanya. Sungguh, Atlanta pun makhluk
hidup, punya rasa yang sangat sakit, punya hati yang bisa terluka. Ia hanya terdiam datar,
namun beda cerita dengan hatinya.

Merlyn terus mengoceh yang jelas setiap kalimat terlontar membuat Atlanta merasa sakit.
Untuk pertama kalinya Atlanta menatap ibunya dengan tatapan sedih.

“Aku memang anak tidak berguna. Lantas, apa yang ingin kamu harapkan dari anak ini?
Jika kamu memang benar ibuku, seharusnya kamu mengerti, bukan menghujat,” lirih Atlanta
sedih.

“Sudahlah, kita kesini bukan untuk ribut, kita berkunjung kesini untuk menjemput kamu,
Atlanta,”

“Enggak semudah itu Ayah,”

Saat ditengah-tengah debat mereka, polisi datang menghampiri bahwa waktu sudah habis
untuk penjengukan.

Andan merasa tidak rela anaknya masuk dan bersarang didalam sel jeruji. Sedangkan
Merlyn menatap Atlanta dengan tatapan kosong.

Atlanta berdiri menatap mereka bergantian. “Sepertinya aku akan menyukai tempat sempit
ini, daripada tempat mewah yang berisi api.”

Mau sebagaimana kemewahan dalam keluarga jika ditengahnya ada api berkoar, tetap saja
akan kalah dengan kesederhanaan satu tetes air.
Angin yang melesat sesaat, mampu meninggalkan jejak kesejukan.

Air yang mengalir cepat, mampu meninggalkan jejak genangan.

Kamu yang kulihat pertama kali, sudah mampu memberikan jejak ragamu.

🍁|Atlanta| XXI

Inara masuk kamar dan air matanya masih terus mengalir yang diikuti dengan Ameera.
Inara duduk terdiam sambil terisak ditepi tempat tidurnya, sedangkan Ameera tengah sibuk
membereskan tempat tidur Inara dan tampak masih mensinisinya.

Saat setelah dibereskan dan terlihat rapi, Ameera menyuruh Inara untuk berbaring.
Namun, Inara tidak mau, dia menolak titahan Mamanya. Ameera terus kekeuh memaksa Inara
untuk tidur.

“Mama marah, Isyana.”

Keduanya saling menatap lekat terkejut atas perkataan Ameera sendiri. Ameera memang
memanggil Inara dengan Isyana yang baru saja, sementara didepannya itu yang berwujud adalah
Inara bukan Isyana, bagaimana bisa Ameera memanggilnya Isyana.

“Ma.” Inara memanggilnya dengan sayu.

“Aku bukan Isyana, aku Inara.”


Ameera menghiraukan Inara. Ia justru memposisikan paksa Inara berbaring juga Ameera
langsung begitu menyelimuti Inara.

Inara menolaknya kembali, ia bangun, merasa tak nyaman, sungguh.

“Ma tolong dengarkan argumen Inara sekali saja.” Inara memohon dengan lembut.

Ameera menatap lekat Inara, sepertinya ia meluangkan Inara untuk menyampaikan


argumennya.

“Aku tau Mama punya trauma tersendiri dengan kematian. Aku tau Mama masih
memandang aku itu sebagai jiwa dari Isyana. Inara mengerti Ma, mana ada orangtua yang rela
kehilangan buah hatinya terlebih anak dari darah daging. Aku tau aku hanya anak angkat
Mama. Aku harap dengan hadirnya aku dikeluarga ini bisa membuat Mama dan Papa bangkit
atas musibah hilangnya Isyana,”

Inara melirih menangis. Jujur dari dalam hatinya yang paling dalam, menyakitkan untuk
mengungkapkan semua ini.

“Tapi sepertinya selama ini Mama melihat aku sebagai raga Isyana yang hidup dalam wujud
Inara.”

Ameera mendekat pada Inara. Ameera spontan memeluk erat Inara. Bergumam lirih.
“Maaf,”

Inara tersentak kaget dalam pelukan itu, ia membalas pelukannya meski tak tau apa arti
pelukan spontan itu. Dalam pelukan sang mama, Inara menggigit bibir bawahnya mencoba
untuk tidak terisak.

“Satu hal yang perlu Mama tau tentang kejadian ini, Atlanta bukan pelakunya,”

“Kenapa kamu selalu membela pemuda itu?”

“Karena dia memang tidak bersalah. Bukankah sesuatu yang benar itu harus dibela?”

Inara dapat mendengar deru nafas panjang mamanya.

“Sudah malam, tidur Inara.”

“Tapi Ma,”

“Sudahlah, besoklah kita lanjut lagi.”

Inara menangguk pasrah, walau ia masih ingin sekali membicarakan hal itu.

Saat pagi hari diruang makan, mereka kembali meluruskan masalah semalam. Inara
tampak seperti ingin mengungkapkan sesuatu namun ia terlihat ragu. Inara berusaha tidak
gemetar dan takut. Namun, tangannya tak bisa diam memainkan sendoknya, hanya mengacak
makanannya.

“Pah,”

Reno menoleh menatap anaknya yang sedikit gugup lalu tangannya mengusap rambut
Inara dengan lembut dan sayang.

“Papa tau apa yang ingin kamu bicarakan, waktu itu Papa sudah berjanji jika Atlanta yang
menemukan kamu paling dulu, maka Papa tidak akan menghalangi untuk dia deket sama kamu
dan sepertinya pemuda itu sangat cerdik. Papa tau dia tidak bersalah. Papa akan bantu
membebaskan dia.”

Gerakan sendok ditangan Inara berhenti mendadak. Inara tersenyum lebar menatap
Papanya.

“Serius Pa?”

“Tapi ada syaratnya.” Inara langsung cemberut, sedangkan Reno tertawa renyah.

“Syaratnya, anak Papa jangan sedih lagi.”

Inara tersenyum lebar, ia berdiri menghampiri papanya lalu mengecup pipi Reno. “Sayang
Papa.”

Setelah menyantap sarapan, Inara segera pamit. Hari ini sangat berkesan bagi Inara dan ia
sangat senang papanya berada dipihaknya. Sebelum mencapai pintu, Inara berbalik kearah
dapur menghampiri mamanya yang sedang mencuci piring. Gadis itu tersenyum lebar, sebelum
mengecup pipi mamanya.

Tiang jeruji terbuka lebar. Dari jauh, Atlanta dapat melihat ada orang yang sedang duduk
membelakanginya. Atlanta berjalan mendekat, ia menajamkan penglihatan dan akhirnya
mengetahui siapa orang itu, Nazella.

Atlanta tidak ingin buru-buru. Ia berhenti sejenak, melipatkan tangan didada sembari
menyender ketembok terdekat.

Merasa menunggu terlalu lama, Atlanta berjalan mendekat dan duduk dihadapan Nazella
yang menatapnya merasa bersalah. Atlanta menaikkan sebelah alisnya tanpa berniat
mengajukan pertanyaan terlebih dahulu.

“Maaf.”

Nazella bingung harus berkata apalagi. Dari tadi Atlanta terus terdiam menatap Nazella
marah. Nazella menggigit bibir, meremas jarinya. Diamnya Atlanta membuat hati Nazella resah.
“Gue akan serahin diri, dengan begitu lo bebas. Seperti yang lo bilang gue emang bego
bawa-bawa perasaan, terlebih gue bawa Inara, cewek yang gak tau apa-apa. Gue minta maaf.
Gue nyesel,” lirih Nazella.

Atlanta menopang dagu. “Harusnya lo minta maaf sama Inara, bukan gue.” Nazella
menunduk dan menghela nafas berat.

🍁|Atlanta| XXII

Malam hari tepat pukul delapan, Atlanta berjalan ke ruang tengah dengan membawa
ranselnya. Di ruang tengah tidak ada siapa-siapa. Atlanta terus berjalan ketika mendengar
sebuah tangisan diruang makan.

Bergegas Atlanta menghampiri suara itu. Saat sampai di ruang makan Atlanta
menghentikan langkahnya saat yang dilihatnya Merlyn sedang menangis tersegukan sambil
meremas rambutnya seperti frustasi.

Ragu Atlanta mendekati Merlyn, berdiri dihadapan Ibunya seraya menaruh tas dimeja.
Atlanta melihat kesekeliling yang tanpak berantakan, makanan berceceran, minuman yang
bergenang di lantai juga kursu-kursi yang tidak ditempatnya.

Apa maksud dari semua ini? Gumam Atlanta dalam hati.


“Ayah pergi.”

Atlanta mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang diucapkan ibunya itu. Sedangkan
Merlyn saat ini sedang menatap Atlanta dengan tatapan kosong.

“Ayah pergi,” setelahnya Merlyn tertawa miris.

Atlanta merasa tersentuh. Tidak becanda bukan? Tidak lucu. “Maksudnya?”

“Ayah pergi, memilih wanita itu.”

“Dan aku sendiri,” kelekarnya.

Merlyn memukul-mukul kepalanya, seketika membuat Atlanta tidak tega. Cowok yang baru
saja keluar dari jeruji itu menekuk satu lututnya dihadapan Ibunya sebelum mengusap
punggung lalu memeluknya erat.

“Ada aku disini Ibu.”

Inara menatap Regan dengan senyum pedih. Entah sudah berapakali Regan meminta maaf,
bukan tidak mengharagai hanya saja kepala Inara rasanya ingin meledak sekarang juga. Inara
melihat Paris yang tertawa entah apa yang pemuda itu tertawa diujung sana bersama Bagas,
Atlanta dan Iva.

Malam dimana Papanya ingin membebaskan Atlanta dan Regan, tapi Atlanta lebih dulu
terbebas karena Nazella sudah mengaku atas tindakan penculikan dan penggunaan narkoba
karena ternyata cewek cantik itu pemakai narkoba atau lebih tepatnya pecandu narkoba.

Inara meringis sakit untung saja malam itu Inara berhasil menjegah Atlanta.

Inara tersenyum cewek itu mengangguk ikhlas tapi Regan malah terus meminta maaf
membuat Inara gemas.

“Iya Regan iya. Inara maapin.”

“Serius nih? Apa perlu kita kerumah sakit yang bagus untuk check up?”

“Enggak perlu. Kepala aku Cuma kebentur ringan ko. Yakin deh.”

“Serius?”

“Iya,” gemas Inara.

Inara dan Regan menghampiri Atlanta lalu duduk disamping Atlanta sedangkan Regan
diisamping Bagas.
“Ta, ada balapan. Lo harus ikut taruhannya,” kata bagas.

“Nyawa lo. Mau?” potong Atlanta bersedekap dada.

Semuanya tertawa yang paling kencang tertawa adalah Paris, cowok itu malah sampai
memegang perutnya.

disaat semuanya sedang tertawa Atlanta menarik tangan Inara. Cewek itu menoleh
menatap Atlanta tidak mengerti. “Mau kemana?”

“Keatas. Ada taman bunga.”

“Weh, kita ditinggal. Giliran udah punya ninggalin kita-kita,” seru Paris pura-pura merajuk.

Atlanta bergidik jijik.

“Kayak lagu,” kata Iva lalu cewek itu berdehem singkat. “Lihat kebunku penuh dengan
bunga~~”

“Lihat dirimu aku berbunga-bunga~~ eakk,” lajut Paris bernyanyi.

Bagas tertawa diikuti yang lainnya.

“Eh bucin lo.”

Atlanta membawa Inara kelantai dua cafe. Atlanta mempersilakan Inara untuk duduk
dibangku sesuai pilihan.

“Kok kita kesini?’’

Disaat Inara terheran mengapa Atlanta membawanya kelantai dua, diam-diam Atlanta
mengeluarkan Al-Qur’an yang dulu Inara pernah lihat diloker Atlanta.

“Gue.” Atlanta berdehem.

“Aku.”

Inara mengulum senyum. “Aku?” meledek Atlanta.

Sedangkan Atlanta berdecak membuat Inara tertawa. “Apa? Apa?”

Atlanta meraih tangan Inara lembut, Inara hanya menurutinya saja. Lalu Atlanta menaruh
Al-Qur’an tersebut ditelapak tangan Inara.

“Ajari aku dengan caramu, karena aku tau hanya kamu penolong dan pemaaf yang baik.”

Inara tersenyum tetapi tidak menerima Al-Qur’an itu. “Setidaknya Atlanta sudah berniat.”

You might also like