Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 2 Fiqh Muamalah-1
Kelompok 2 Fiqh Muamalah-1
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Fiqh Muamalah
Disusun oleh :
2022/2023
I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Teori, Konsep dan
Hukum Akad serta Cakupannya” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas testruktur Bapak Abdul Muizz Abdul
Wadud, Lc, M.Si pada mata kuliah Fiqh Muamalah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Fiqh Muamalah.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Muizz Abdul Wadud, Lc, M.Si
selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
II
DAFTAR ISI
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................1
b. Apa saja rukun dan syarat yang terdapat di setiap unsur akad? ......................... 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 3
PENUTUPAN ..................................................................................................................... 18
A. KESIMPULAN .................................................................................................... 18
B. SARAN .................................................................................................................18
III
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................19
IV
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas diatas, maka penulis
merumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas:
1
Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, terj Abu Umar Basyir, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 25.
1
a. Apa yang dimaksud dengan akad?
b. Apa saja rukun dan syarat yang terdapat di setiap unsur akad?
c. Bagaimana implikasi hukum akad?
C. Tujuan Penelitian
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
sinonimnya:
Akad bisa juga diartikan al-aqdatun yang artinya sambungan dan al- ahdun
yang artinya janji. Sedangkan menurut syariat, akad merupakan salah satu cara
untuk memperoleh harta dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang
diridhai Allah dan harus diterapkan dalam bermuamalah.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 1 yang Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...”
او من جان
Artinya:
2
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departement Pendidikan Nasional,
2008) hlm. 135.
3
“Ikatan antara dua hal, baik ikatan seteknik khissy (nyata/fisik) maupuan
ikatan seteknik ma’nawi (abstrak/psikis), dari satu sisi ataupun dua sisi”.3
Dalam terminologi ulama fiqh, aqad bisa ditinjau dari dua Definisi yaitu
Definisi umum dan khusus. Definisi Umum mengenai aqad para ulama fiqh
memberi definisi :
واىرهن
Artinya:
“segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang atas dasar kehendaknya sendiri,
seperti wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan kehendak dari dua orang, seperti jual beli,
sewa, perwakilan dan gadai”.
Artinya:
3
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyik, Dar Al-Fikr,
1989), hlm. 80.
4
Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, dikutip oleh Mardani, Fiqh Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 71.
4
“perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan hukum syara’ yang
berdampak pada objeknya”.
تعلق كالم أحد العاقدین باالخر شرعا على وجه یظهراثره ىف احملل
Artinya:
“Keterkaitan ucapan salah satu orang yang membuat aqad dengan lainnya
sesuai syara’ pada suatu objek dan berdampak pada obyek itu”46.
yang artinya ; saya membeli barang kamu, atau saya terima barang kamu, atau saya
ridlo atas barang kamu. Hal in sesuai dengan hadits Nabi yang artinya;
“sesungguhnya sahnya transaksi jual beli itu dengan saling meridloi dan saling
merelakan عن تراض.
Dari keterangan diatas bisa dipahami bahwa: difinisi akad ialah sebuah
perikatan, kesepakatan atau perjanjian, antara pihak-pihak yang menciptakan
perjanjian atas suatu obyek tertentu dan di shighoh (lafadz) kan dalam ijab-qobul.
5
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul.
Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun, sebab keberadaannya sudah pasti.6
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki empat rukun, yaitu:
5
Akhmad Farroh Hasan, FIQH MUAMALAM DARI KLASIK HINGGA KONTEPORER,
(UIN-Maliki Press, 2018) hlm. 23.
6
Norwili, Aryadi dan Syaikhu, FIKIH MUAMALAH (Memahami Konsep dan Dialektika
Konteporer), (Yogyakarta: K-Media,2020) hlm. 26.
5
a. Al-‘Aqid (Orang yang akad)
Aqid terdiri dari 2 pihak yaitu, penjual (bai‟) dan pembeli (musytari).
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, sudah
mumayyiz, dan anak yang agak besar yang pembicaraannya dan jawaban
yang di lontarkannya dapat di pahami serta berumur minimal 7 tahun.
Ulama Syafi‟iyah dan Hambali mensyarakatkan aqid harus balig, berakal,
mampu memelihara agama dan hartanya.
6
Ahli wajib ada 2 macam:
7
1. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna dan memiliki al-
wilayah akad tersebut sah.
2. Jika yang berakad tidak termasuk ahli yang sempurna dan tidak
memiliki al-wilayah, akad tersebut di pandang batal seperti akadnya
orang gila.
3. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna tetapi tidak
memiliki al-wilayah, akad tersebut di pandang fasid. Seperti:
seseorang yang akan melakukan akad atas kepunyaan orang lain
tanpa izin pemiliknya. 7
7
A. Mas‟adi Gufran, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Semarang: PT Raja Grafindo Persada,
1423 H), h. 82-86.
8
Berkenaan dengan syarat ini, Ulama Malikiyah hanya
menetapkan pada akad yang sifatnya paling menyerahkan (al-
mu‟awidhat) dalam urusan harta, seperti jual beli. Adapun pada
akad yang bersifat derma (tabarru‟) seperti hibah, sedekah dan lain-
lain, mereka tidak mensyaratkannya. Ulama Hanabilah tidak
menggunakan syarat ini, tetapi menganggap cukup atas larangan-
larangan syara’ terhadap beberapa akad. Sebenarnya dalam
beberapa hal syara’ membolehkan jual beli atas barang yang tidak
ada, seperti menjual buah-buahan yang masih dipohon setelah
tampak buahnya. Diantara ketentuan yang masih berhubungan
dengan jual beli buah-buahan yang masih di tanah adalah:
a. Ulama bersepakat tidak membolehkan penjualan buahbuah atau
tanaman apabila belum ada buahnya sebab Rasulullah Saw
melarang hal ini sampai tampak buahnya
b. Diperbolehkan apabila bermanfaat secara sempurna bagi kedua
belah pihak, Ulama Malikiyah dan Muhammad ibnu Hasan
membolehkannya walaupun kemanfaatan bagi kedua belah
pihak tidak sempurna. Adapun ulama Syafi‟iyah, Abu Hanifah,
dan Abu Yusuf melarangnya sebab tidak tampak manfaatnya,
padahal kemanfaatan ini sangat di tuntut.
c. Jika dalam suatu kebun atau pohon sebagian tampak baik dan
yang lainnya jelek, dibolehkan bertransaksi untuk barang yang
baik saja.
9
Disepakati oleh ulama fiqih bahwa barang yang dijadikan
akad harus dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian,
ma‟qud alaih yang tidak diserahkan ketika akad, seperti jual beli
burung yang ada di udara, harta yang sudah diwakafkan dan lain-
lain, tidak dipandang terjadi akad. Akan tetapi, dalam akad tabarru‟
(derma) menurut Imam Malik dibolehkan, seperti hibah atas barang
yang kabur, sebab pemberi telah berbuat kebaikan sedangkan yang
diberi tidak mengharuskannya untuk menggantinya dengan sesuatu,
sehingga tidak terjadi percekcokan.
4. Ma‟qud alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad
Ulama fiqih menetapkan bahwa ma‟qud alaih harus jelas
diketahui oleh kedua pihak yang akad. Larangan sunah sangat jelas
dalam jual beli gharar (barang yang samar yang mengandung
penipuan), dan barang yang tidak diketahui oleh pihak yang akad.
c. Shighat
Shighat al aqd ialah ijab dan qabul, ijab (ungkapan penyerahan barang)
ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad
10
sebagai gambaran kehendak dalam mengadakan akad, sedangkan qabul
(penerimaan) ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang
diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan
dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan
pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.
11
Bagi yang mampu bicara, tidak dibenarkan akad dengan isyarat,
melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka
yang tidak dapat bicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika
tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan
apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus
berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.
4. Akad dengan tulisan
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu
bicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak,
dan dapat dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam
qaidah fiqihiyah: (tulisan bagaikan perintah).
Para ulama menetapkan tiga syarat dalam ijab dan qabul, yaitu:
12
a. Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
c. Adanya satu majelis akad dan adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari
keduanya.
d. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau
ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli)
harus saling merelakan.
8
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 30
13
inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan
ucapan”.
2) Isyarat, Bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat
dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang
yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa,
orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan
ijab qabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak
pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab qabul dengan
ucapan dan tulisan.
Dengan demikian, qabul atau akad dilakukan dengan
isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi
orang bisu sama dengan ucapan lidah”.
d. Maudhu’ al-‘aqd
Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh akad yang tidak sah karena
kurang rukun dan syaratnya:
Menjual suatu barang yang baru dibelinya sebelum diterima, karena miliknya
belum sempurna.
Menjual buah-buahan sebelum nyata pantas dimakan (dipetik) karena buah-
buahan yang masih kecil sering rusak atau busuk sebelum matang.
Syarat-syarat Akad
9
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 1997),h. 48-49
14
Syarat-syarat Akad diantaranya ialah:
1. Akad sahih
Akad sahih yaitu setiap akad yang menjadi sebab yang legal untuk
melahirkan pengaruhnya dengan cara diucapkan oleh orang yang mempunyai
wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat dalam rukun dan sifatnya.
Atau dalam definisi yang lain akad sahih adalah setiap akad yang selamat dari
segala aib dan menimbulkan akibat.
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, akad sahih dibagi kepada:
K-Media,2020) hlm. 24
15
a) Akad sahih yang nafidz, yaitu setiap akad yang keluar dari orang yang
memiliki legalitas dan kuasa untuk mengeluarkannya, baik kuasa langsung
atau melalui perwalian seperti akad yang dibuat oleh seseorang yang
berakal dan bijak terhadap dirinya dalam mengatur hartanya, atau akad
yang dibuat oleh pemberi wasiat atau wali kepada orang yang naqish
(belum mumayyiz secara sempurna) atau diakadkan oleh orang yang
mendapat perwakilan dari seseorang dengan cara yang sah. Hukumnya,
mempunyai pengaruh terhadap apa yang diakadkan tanpa harus menunggu
pembenaran dari seseorang.
b) Akad sahih yang mauquf, yaitu setiap akad yang keluar dari pihak yang
memiliki kemampuan untuk berakad namun tidak memiliki wewenang
untuk melakukannya, seperti akad yang keluar dari fudulli (orang yang
menyibukkan dirinya dengan yang tidak perlu atau dari anak kecil yang
mumayyiz dan yang sama hukumnya jika akad tersebut tidak memerlukan
pendapat wali, atau pemberi wasiat). Hukumnya, akad ini mempunyai
pengaruh terhadap yang diakadkan kecuali jika dikeluarkan oleh orang
yang memiliki hak yang sah, jika dikeluarkan oleh orang yang memiliki
hak yang sah, jika tidak maka akad ini batal seperti tidak pernah ada.
Dari segi wajib atau tidaknya akad s}ah}i>h} dibagi kepada dua yakni:
1. Akad Lazim
Akad lazim adalah akad sahih yang nafidz (dilaksanakan secara
langsung), satu pihak yang berakad tidak mempunyai hak fasakh
(membatalkan dan melepaskannya).
Akad jenis ini dapat dibedakan menjadi dua macam lagi, yaitu
pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa
menyewa, perdamaian dan seterusnya. Dalam akad jual beli masing-
masing pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli tanpa
perstujuan pihak lain. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad di
mana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa
16
persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa
persetujuan pihak pertama, seperti akad penanggungan (kafalah), gadai
(rahn).
11
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
81
17
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Jadi untuk kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Akad bisa juga diartikan al-aqdatun yang artinya sambungan dan al- ahdun
yang artinya janji. Sedangkan menurut syariat, akad merupakan salah satu cara
untuk memperoleh harta dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara
yang diridhai Allah dan harus diterapkan dalam bermuamalah.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul.
3. Syarat-syarat Akad diantaranya ialah :
a. Yang di jadikan objek akad bisa menerima hukumnya.
b. Akad tersebut di izinkan oleh syara’, di kerjakan oleh orang yang memiliki
hak mekerjakannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
c. Janganlah akad itu akad yang di larang oleh syara’, seperti jual beli
mulasamah. Akad bisa memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn
(gadai) di anggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan),
d. Ijab itu berjalan terus, tidak di cabut sebelum terjadi qabul. Maka apabila
orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka batallah ijabnya.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini
tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif akan senantiasa penyusun nanti dalam upaya evaluasi diri. Akhirnya
penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan
penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Muslih Abdullah dan Shalah Ash-Shawi, terj Abu Umar Basyir, Fiqh
Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 25.
Al-Zuhaili Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyik, Dar Al-
Fikr, 1989), hlm. 80.
Ash Shiddiqy Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, dikutip oleh Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012) hlm. 71.
Ash Shiddieqy Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
h. 30
19