You are on page 1of 11

ALAT BUKTI TERTULIS

Disusun oleh:
MUHAMMAD RAFLI NURHADI
B011201021

FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
DAFTAR PUSTAKA

Contents
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 2
BAB 1 ......................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 3
BAB II ........................................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 4
2.1 Definisi Alat Bukti Tertulis ............................................................................................................... 4
2.2 Pengaturan Alat Bukti Tertulis dalam Hukum Acara Perdata ...................................................... 6
2.3 Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Tertulis/Surat ............................................................................... 7
PENUTUP ................................................................................................................................................ 10
KESIMPULAN......................................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 11

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan
putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral dari proses
pemeriksaan di pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para pihak diuji melalui
tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun
ditemukan (rechtvinding) dalam suatu perkara tertentu.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah
pihak yang berperkara dipengadilan untuk dapat memberi kepastian dan keyakinan kepada hakim
atas dalil yang disertai alat bukti yang diajukan di pengadilan, pada tahap ini hakim dapat
mempertimbangkan putusan perkara yang dapat memberikan suatu kebenaran yang memiliki nilai
kepastian hukum dan keadilan.

Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan
alat bukti. Alat bukti adalah sesuatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil
atau pendirian. Dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam Pasal 164, 153, 154 Herzien
Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement voor de Buitengewesten
(RBG). Sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari alat bukti tertulis dalam Hukum Acara Perdata?
2. Bagaimana pengaturan alat bukti tertulis menurut Hukum Acara Perdata?
3. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti tertulis/surat dalam Hukum Acara Perdata?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Alat Bukti Tertulis

Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat adalah sesuatu yang memuat
tanda yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran dimana buah pikiran tersebut bisa
dipakai sebagai pembuktian. Alat bukti surat terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu akta dan surat biasa.1

Alat bukti tertulis atau alat bukti surat adalah alat bukti yang berupa tulisan yang berisi
keterangan tertentu tentang suatu peristiwa, keadaan atau hal-hal tertentu dan ditandatangani
secara sah, alat bukti tertulis tersebut lazim disebut dengan akta.

Dengan demikian, bahwa bukti tertulis merupakan:

• suatu tulisan yang berisi keterangan-keterangan tertentu


• ditandatangani
• merupakan dasar sesuatu hak atau perjanjian

Berdasarkan Pasal 1867 BW, pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan. Tidak semua alat bukti surat mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, misalnya surat-surat biasa seperti yang dinamakan surat di
bawah tangan, suatu perjanjian yang tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang
membuatnya, seperti akta jaminan fidusia, akta pendirian perseroan terbatas, akta pembagian
warisan, yang merupakan akta-akta yang dibuat oleh notaris sehingga disebut pula sebagai akta
autentik. Kenyataannya dalam hubungan hukum di tengah masyarakat, hubungan hukum yang
tertuang dalam bentuk surat seperti jual beli tanah merupakan praktik yang lazim di kalangan
masyarakat pedesaan. Proses jual beli tanah yang sederhana seperti itu cukup hanya disaksikan
beberapa orang dan diberitahukan kepada Kepala Desa, sehingga kekuatan pembuktiannya lemah
apabila timbul persengketaan hingga ke pengadilan.

Perlu diketahui dari sekian alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam hukum acara
perdata, alat bukti yang paling utama adalah alat bukti surat, terlebih menyangkut hak kepemilikan,

1
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-Jenis-Alat-Bukti-dalam-Hukum-
Acara-Perdata.html

4
hak penguasaan terhadap suatu benda, dan perjanjian/perikatan. Oleh sebab itu, di dalam
persidangan majelis hakim harus mendahulukan untuk mendapatkan alat bukti tertulis dari pada
alat bukti lainnya, bahkan meskipun telah selesai tahap pembuktian. Dalam hal para pihak masih
mengajukan alat bukti tambahan berupa alat bukti surat, maka alat bukti tersebut patut diterima
dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat bukti adalah pasal 164 HIR, pasal
284, 293, 294 ayat (2), 164 ayat (78) R.Bg, KUH Perdata pasal 1867-1880 dan pasal 1874,
menentukan keharusan ditandatanganinya suatu akta sebagaimana tersebut dalam pasal 165 dan
167 HIR, serta pasal 138-147 Rv.

Surat sebagai alat bukti dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat
dibedakan menjadi akta autentik dan akta dibawah tangan. Jadi, dalam hukum pembuktian ini
dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu, akta autentik, akta di bawah tangan, surat bukan akta
yang dikenal dengan alat bukti surat secara sepihak.2

1) Akta autentik
Dalam pasal 165 HIR, 285 R.Bg, dan pasal 1868 BW, disebutkan bahwa akta autentik
adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka
yang mendapatkan hak dari padanya tentang yang tercantum di dalam, dan bahkan
tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang
terakhir ini hanyalah sepanjang yang dibritahukan itu erat hubungannya dengan pokok
dari pada akta autentik tidaknya suatu akta tidak cukup dilihat akta tersebut dari cara
membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-
undang.
2) Akta di bawah tangan
Di dalam HIR tidak diatur tentang akta di bawah tangan, tentang hal ini dapat
ditemukan pada pasal 289-305 R.Bg dan juga diatur dalam pasal 1874-1880 BW, di
mana di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan akta di bawah tangan yaitu surat-surat,

2
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), 82.

5
daftar atau register, catatan mengenai rumah tangga da surat-surat lainnya yang dibuat
tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.
3) Surat secara sepihak
Ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak diatur dalam pasal 1875 KHU Perdata
dan pasal 291 R.Bg. Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi pernyataan
akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah
uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang
tertentu.
4) Surat lain bukan akta
Surat-surat lain bukan akta diatur dalam pasal 294 ayat (2) R.Bg dan pasal 1881 ayat
(2) KUH Perdata, bentuknya dapat berupa surat biasa, catatan harian dan sebagainya.
Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau tidak sengaja dibuat
untuk alat bukti. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.

2.2 Pengaturan Alat Bukti Tertulis dalam Hukum Acara Perdata

Surat atau tulisan adalah salah satu alat bukti yang diatur di dalam Pasal 1866
ayat (1) KUHPerdata; Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg. Kedua sumber hukum atau
dasar hukum pengaturan utama tentang alat-alat bukti pada perkara tersebut terlebih dahulu
perlu dibahas dari peristilahannya (etimologis) dan arti kata atau pengertian (terminologis)
dari surat sebagai alat bukti.

Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam-macam bentuk atau jenisnya, dan M. Yahya


Harahap, mengemukakan hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat
ini masih berpegang kepada jenis alat bukti tertentu saja. Di luar itu, tidak dibenarkan diajukan
alat bukti lain. Alat bukti yang diajukan di luar yang ditentukan undang-undang: tidak sah
sebagai alat bukti, oleh karena itu, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk
menguatkan kebenaran dalil atau batahan yang dikemukakan.3

Tandatangan (signature) yang menjadi alat bukti penting dan bukti surat, misalnya
tandatangan yang dibubuhkan oleh para pihak pada perjanjian atau kontrak jual beli, sewa

3
M. Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 554.

6
menyewa, dan lain sebagainya, dalam perkembangannya telah dikenal pula tandatangan
elektronik, yang menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dirumuskan pada pasal 1 angka 12, bahwa tanda tangan elektronik adalah tandatangan
yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Pasal 1868 KUHPerdata, merumuskan bahwa, suatu akta otentik ialah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.4

Menurut Zainal Asikin, akta autentik yang dibuat oleh pegawai pejabat umum sering
disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk), sedangkan akta autentik yang dibuat dihadapan
pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai (acte partij).5 Pejabat yang berwenang
membuat akta autentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain
sebagainya. Adapun akta jual beli tanah yang dibuat di hadapan camat atau notaris, merupakan
akta autentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku pejabat pembuat akta
tanah (PPAT).

Pembahasan tentang bukti tulisan atau bukti surat selain terkait dengan akta autentik, juga
mempunyai hubungan erat dengan pembahasan tentang akta di bawah tangan, yang menurut Pasal
1874 KUHPerdata, di dalam ayat (1) disebutkan bahwa sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan
dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.6
Dengan demikian, akta di bawah tangan merupakan bukti tulisan namun kekuatan pembuktiannya
berada di bawah kekuatan pembuktian akta otentik.

2.3 Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Tertulis/Surat

Bukti tulisan atau surat menurut Pasal 1866 ayat (1) KUHPerdata ditempatkan pada tempat teratas,
yang sekaligus menjelaskan pentingnya bukti tulisan dalam pembuktian perkara perdata dan bukti

4
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 475.
5
Zainal Asikin, Op Cit, hlm. 124.
6
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 476.

7
tulisan itu sendiri pada dasarnya sudah menjadi alat bukti. Achmad Ali dan Wiwie Heryani,
menjelaskan, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke persidangan, memang sudah
berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh, akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka
persidangan, sudah merupakan bukti.7

Menurut M. Yahya Harahap, fungsi tulisan atau akta dari segi hukum pembuktian, yaitu:

1. Berfungsi sebagai formalitas kausa


2. Berfungsi sebagai alat bukti
3. Fungsi robationis causa

Fungsi tulisan atau suatu akta sebagai formalitas kausa ialah sebagai syarat atas keabsahan suatu
tindakan hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan tidak
sesuai dengan surat atau akta, tindakan itu menurut hukum tidak sah, karena tidak memenuhi
formalitas kausa (causa). Terdapat beberapa Tindakan atau perbuatan hukum yang menjadikan
surat atau akta sebagai syarat pokok keabsahannya.

Pembahasan tentang kekuatan mengikatnya alat bukti tulisan atau surat, akan bermula dari Akta
Otentik itu sendiri. Habib Adji menerangkan, arti kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak
bisa dibuktikan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.8

Lebih lanjut perihal kekuatan pembuktian dari akta otentik ialah beberapa asas yang melekat pada
akta tersebut, yakni:

a. Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik;


b. Kekuatan pembuktian formal; dan
c. Kekuatan pembuktian materiil.9

Pada kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat di dalam akta otentik,
merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan

7
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op Cit, hlm. 73.
8
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 6.
9
M. Yahya Harahap, Loc Cit.

8
itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna (voledig) dan mengikat (bindende).

9
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan
putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral dari
proses pemeriksaan di pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para
pihak diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan
(rechtoepasing) maupun ditemukan (rechtvinding) dalam suatu perkara tertentu.
2. Bukti surat memegang peranan penting dalam pengamanan transaksi bisnis yang
menerangkan adanya hak dan kewajiban para pihak sehingga menjadi alat bukti utama
apabila timbul persengketaan di antara para pihak yang bersangkutan. Pengaturan bukti
surat diatur dalam Pasal 1866 ayat (1) KUHPerdata, dan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg.
3. Kekuatan pembuktian surat menurut Pasal 1866 ayat (1) KUHPerdata ditempatkan pada
tempat teratas, yang sekaligus menjelaskan pentingnya bukti tulisan dalam pembuktian
perkara perdata dan bukti tulisan itu sendiri pada dasarnya sudah menjadi bukti.

10
DAFTAR PUSTAKA

Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW)

Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

Reglement voor de Buitengewesten (RBg)

Adjie Habib, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2013. Menjalin Pemikiran-
pemikiran tentang Kenotariatan (Kumpulan tulisan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.

Ali Achmad dan Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, 2013.

Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/27228/herzien-inlandsch-reglement-hir-s-194144

http://digilib.uinsby.ac.id/1303/5/Bab%202.pdf

https://ms-aceh.go.id/data/artikel/Makalah%20-%20Yazid.pdf

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal-Jenis-Alat-Bukti-dalam-
Hukum-Acara-Perdata.html

11

You might also like