You are on page 1of 18
Mora Claramita Marcy Rosenbaum Astrid Pratidina Susilo Jan van Dalen KOMUNIKASI PETUGAS KESEHATAN DAN PASIEN dalam Konteks Budaya Asia Tenggara PENERBIT BUKU KEDOKTERAN q EGC a (Cw) Pee ae Oslo OO es POE pee EGC 2362 KOMUNIKASI PETUGAS KESEHATAN DAN PASIEN DALAM KONTEKS BUDAYA ASIA TENGGARA Editor: Dr. Mora Claramita, MHPE, PhD Dr. Astrid Pratidina Susilo, MPH, PhD Prof. Marcy Rosenbaum, PhD Dr. Jan van Dalen Editor penyelaras bahasa: dr. Nurul Qomariyah, M.Med.Ed. & dr. Miranti Iskandar Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC © 2014 Penerbit Buku Kedokteran EGC P.O. Box 4276/Jakarta 10042 Telepon: 6530 6283 Anggota IKAPI Desain kulit muka: M. Imron Penata letak: Wahyu Dwi Rangga Indekser: Surya Satyanegara, S.S Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Cetakan 2017 Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Mora Claramita Komunikasi petugas keschatan dan pasien dalam konteks budaya Asia Tenggara / editor, Mora Claramita ... [et al.] ; editor penyelaras bahasa, Nurul Qomariyah, Miranti Iskandar. — Jakarta : EGC, 2016. xxvi, 269 him, ; 15,5 x 24 em. ISBN 978-979-044-694-6 1. Hubungan pasien-dokter. 2. Komunikasi dalam kedokteran. 1. Judul. Il. Nurul Qomariyah. III, Miranti Iskandar. 610.696 Penerbit dan editor tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau cedera pada individu dan/ ‘atau kerusakan properti yang terjadi akibat atau berkaitan dengan penggunaan materi dalam buku ini. isi di luar tanggung Jawab percetakan mbangun Hubungan Baik dengan ang Tua dan Anak dalam Konteks a Hirarkis Indonesia Soenarto dan Sunartini Hapsara permulaan bab ini, kami telah menghadirkan kisah dari seorang klinisi yang memengaruhi penulis untuk memberikan perhatian yang terbaik bagi pasien dan untuk memberikan strategi pendidikan terbaik dalam menginspirasi murid- muridnya selama karir dan sepanjang hidupnya sebagai pendidik klinis selama lebih dari 40 tahun. Salah satu murid beliau adalah editor pertama buku ini yang telah menggunakan cerita ini untuk memberikan ilustrasi spesifik dari konteks budaya Asia Tenggara dari beberapa presentasi di konferensi internasional. Sebuah ilustrasi yang mengungkapkan bahwa kata “Ya, Dokter” mungkin tidak selalu berarti persetujuan. Kami berharap bahwa lebih banyak orang dapat belajar dari cerita ini bahwa komunikasi dokter-pasien dalam kontcks Asia Tenggara perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal karakteristik budaya lokal. 67 68 _Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara llustrasi 5.1 Pengalaman Yati Soenarto sebagai dokter anak baru—lebih dari 40 tahun yang lalu Hari ini, sebagai seorang gastoenterologi di Jurusan Pediatri, saya tahu bahwa sekitar 90 persen kematian anak-anak dari usia baru lahir hingga dua tahun adalah karena diare dengan dehidrasi. Saya telah memperjuangkan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anak dengan melakukan studi terus-menerus untuk vaksinasi diare; terutama untuk infeksi rotavirus yang merupakan penyebab umum dari diare pada anak-anak di Indonesia. Namun, pengetahuan ini tidak kita ketahut di jaman dahulu. Pengalaman saya membawa ‘saya untuk memberikan perhatian khusus kepada orang tua ketika mereka bercerita tentang penyakit anak-anak mereka. Isyarat-isyarat non-verbal mereka mungkin dapat menjadi satu- satunya kunci bagi kita untuk memberikan layanan kesehatan yang tepat waktu yang mungkin menyelamatkan nyawa anak-anak mereka. “Mendengarkan” adalah kunci, tidak hanya “mendengarkan” apa yang orang tua katakan, tetapi juga “mendengarkan pengasuh” lainnya, dan “memerhatikan” perilaku non-verbal mereka. Berikut ini adalah cerita saya: Suatu hari, di pagi hari, salah satu tetangga saya yang saya kenal dengan baik datang ke rumah saya untuk meminta bantuan karena bayinya mulai mengalami diare berair sejak malam sebelumnya. Sebagai dokter, saya segera menyadari bahwa kondisi tersebut mungkin bisa lebih buruk hanya dalam waktu dua jam, sehingga pengamatan dan perhatian secara intensif sangat diperlukan. Saya telah mencoba semua penjelasan yang bisa saya berikan, termasuk risiko, cara untuk memberikan solusi rehidrasi oral, cara untuk pergi ke rumah sakit, dan segala sesuatu yang saya pikir saat itu sebaiknya diketahui oleh sang ibu. Tetapi, Perasaan saya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Menjelang sore, ketika saya kembali dari kerja, saya melihat ada upacara kematian di dekat rumah saya. Jantung saya serasa berhenti sejenak. Saya tahu bahwa hal yang buruk telah terjadi kepada bayi yang saya lihat pagi itu. Dia meninggal karena diare. Saya merasa sangat bersalah dan mulai mengingat-ingat kembali apa yang mungkin terlewatkan dalam penjelasan saya, saat pertemuan dengan anak dan ibu tersebut di pagi hari. Kemudian, saya akhirnya mengetahui keseluruhan cerita dan saya mulai merenungkan hal itu. Penjelasan yang saya berikan kepada ibu tersebut sudah memadal. Tidak ada yang salah dengan penjelasan saya sebagai dokter. Namun, saya menyadari bahwa pada pagi, ibu itu benar-benar tampak terburu-buru. Dia berkata: “Ya”, “Ya” tapi saya melihat bahwa perilaku non-verbalnya mengatakan bahwa “Saya sibuk. Anda tahu, saya akan bekerja sekarang. Cepatiah selesaikan penjelasan Anda.” Tentu saja (seharusnya saya mengerti sebelumnya) bahwa si Ibu akan menyerahkan bayinya kepada pembantu yang ternyata adalah seorang gadis muda yang masih kurang berpendidikan sehingga tidak dapat memberikan dosis rehidrasi oral seperti yang saya jelaskan kepada ibu tersebut (oleh karena gadis itu memang tidak menerima penjelasan dari saya secara langsung). Ternyata dia memberikan semua dosis sekaligus. Sewaktu saya memberikan penjelasan, sebenarnya saya tidak tahu untuk siapa informasi tersebut saya berikan karena saya hanya bertemu ibu dari anak yang sakit, dan tidak bertemu pengasuh lainnya. Saya juga tidak menanyakan siapa yang akan merawat anak yang sakit. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak 69 ilustrasi 5.1 dian yang sebenarnya adalah ketika bayi semakin lemah dan lemah, bukannya gil ibu tersebut (gadis tersebut menjadi begitu takut), atau pergi ke rumah sakit "yang saya rekomendasikan, gadis tersebut meminta bantuan dari ibunya di desa yang Youyakarta. Jadi, dia pergi ke sana dengan bayi yang sangat dehidrasi, dengan bus yang membutuhkan waktu lebih dari dua jam perjalanan dalam cuaca yang sangat dan perlu berganti bus berkali-kali. Ketika ia akhirnya tiba di sana, bayi tersebut ‘Kalau saja saya menyadari perilaku non-verbal ibu tersebut sejak awal proses konsultasi ‘kalau saja saya menyadari kemungkinan adanya pengasuh yang mungkin berpartisipasi perawatan seorang anak, informasi saya mungkin lebih efektif dan lebih tepat sasaran Pengobatan dan penyelamatan nyawa sang anak. Jadi terdapat banyak pertimbangan berkomunikasi dengan orang tua dan anak-anak dalam _konteks budaya Asia Tenggara. Belakang urut Undang-Undang Praktik Kedokteran Indonesia No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang di bawah usia wun, yang berarti bahwa bayi yang baru lahir sampai remaja adalah termasuk definisi anak.! A Berdasarkan usia, anak dapat diklasifikasikan menjadi: Bayi baru lahir (0-1 bulan) Bayi (1 bulan—1 tahun) Anak bawah 3 tahun Balita atau anak usia prasekolah Anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) Anak usia sekolah menengah (12-18 tahun) Kelompok terakhir ini sering disebut sebagai remaja. Klasifikasi anak berdasarkan usia memiliki banyak konsekuensi bagi program iidikan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial. Salah satu hal yang paling ting adalah perlindungan anak dan pemenuhan hak anak. UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menyatakan hak anak sebagai ut: Pasal 8 Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pelayanan keschatan dan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 10 Setiap anak memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat dan haknya untuk didengar, menerima, mencari, dan memberikan informasi berdasarkan tingkat kecerdasan dan usianya dalam upaya untuk perbaikan diri dengan penekanan pada norma moral dan kode perilaku. 7O__Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara Artikel ini menjadi pedoman dasar bagi komunikasi antar dokter, pasien anak, dan orang tua. Komunikasi yang baik akan membangun hubungan yang baik antara dokter dan orang tua. Jika pasien adalah pasien anak, tanggung jawab untuk penyediaan informasi dan pengambilan keputusan terletak di tangan orang cua atau walinya. Refleksi Yati Soenarto Sebagai Dokter Anak Kami berbagi pengalaman karena pengalaman tersebut adalah penting bagi para dokter untuk memahami dan menyadari budaya dan keadaan masyarakat di Asia ‘Tenggara. Cerita Yati Socnarto menjelaskan bagaimana pentingnya dokter untuk menangkap isyarat non-verbal dari orang tua Indonesia dan mengeksplorasi alasan di balik pesan non-verbalnya. Menghubungkan pesan dengan setiap kemungkinan risiko dari penyakit anak adalah penting. Dokter bisa belajar dan memperolch data penting dengan secara hati-hati “mendengarkan” pesan non- verbal dari orang tua. Meskipun seorang anak mungkin mengomunikasikan ribuan pesan ke dokter, kadang-kadang pesan-pesan tersebut tidak jelas, terutama dari seorang anak di bawah usia tujuh tahun. Orang tua mereka akan lebih banyak berkomunikasi dengan dokter. Namun, karena situasi merawat anak yang sakit biasanya sangat menegangkan, pesan non-verbal orang tua mungkin merupakan data penting dalam usaha penggalian informasi. Pengalaman yang diceritakan oleh dr. Yati menunjukkan sangat pentingnya memahami konteks dan keadaan pasien bagi seorang dokter. Dokter sebaiknya mampu menginterpretasikan bahasa tubuh pasien dan keluarga pasien agar dapat memberikan solusi yang tepat. Dalam kasus di atas, dokter sebaiknya lebih sensitif dengan keadaan sang ibu, yaitu dengan keadaan sang ibu yang harus bekerja, dan pada saat yang sama juga harus memberikan perhatian penuh pada kondisi keschatan anak. Dokter bisa mengundang anggota keluarga lain arau pengasuh anak untuk datang untuk mendengarkan penjelasan dokter. Oleh sebab iru, partisipasi dari setiap anggora keluarga adalah penting dalam konteks ini. Di Indonesia, orang tua yang bekerja biasanya menyewa scorang pengasuh (gadis muda atau wanita yang lebih tua), untuk berfungsi sebagai pembantu yang merawat bayi. Jika situasi tidak memungkinkan bagi dokter untuk berkomunikasi dengan’ pengasuh anak, dokter dapat bekerja sama dengan perawat atau bidan atau relawan untuk melakukan kunjungan rumah. Kalau tidak, sang ibu dapat disarankan untuk melakukan konsultasi yang intens dengan profesional kesehatan yang tinggal di dekat rumahnya. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak 74 Orang Tua dalam Komunikasi antara er—Pasien Anak g tua merupakan sumber informasi penting tentang kondisi dan penyakit Hubungan antara orang tua dan anak akan sangat_memengaruhi mpuan anak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Peran ibu dengan akan berfungsi sebagai undangan dan dorongan bagi anak untuk berbicara menjawab pertanyaan dari dokter atau perawat. Kira sering melihat bahwa lemburt seorang ibu membantu anak menjawab pertanyaan atau jjelaskan keluhan. Namun, juga sering terjadi bahwa anak marah pada sang serelah menemukan bahwa sang ibu telah mengatakan kepada dokter tentang isinya tanpa persetujuan anak. Anak usia sekolah sering merasa senang jika mereka bisa menceritakan kisah it mereka sendiri dengan melakukan diskusi langsung dengan dokter. ercka akan merasa puas dengan memiliki dokter yang mendengarkan mereka memberikan mereka informasi yang jelas daripada hanya memberikan asi kepada ibu atau ayah mereka. Beberapa anak percaya pada informasi diberikan olch dokter hanya jika orang tua mereka memberikan dorongan. sbatnya, mereka mungkin memberikan respons “Apakah benar, Ibu?” “Apakah 2 benar-benar sakit, Bu?” atau “Apakah benar saya akan baik-baik saja jika saya eegabung dengan suatu kegiatan, Bu? .....” Komunikasi antara dokter dan orang tua—dan juga dengan anaknya— baiknya memberikan ruang bagi para anak untuk mengekspresikan harapan Namun demikian, dokter sebaiknya menyadari bahwa anak-anak ggap kurang komperen untuk membuat keputusan. Dengan demikian, gakui pendapat anak belum rentu sama dengan mengikuti apa yang mereka Kebanyakan pasien dan orang tua akan memerhatikan apa yang dokter dan jelaskan; dengan demikian, dokter wajib memberikan informasi konseling dengan penuh perhatian kepada orang tua dan anak, dengan cara g serius dan ramah. Dokter juga bertanggung jawab untuk menjelaskan ya dari pengobatan tertentu yang dapat dihindari schingga penjelasan sebut mungkin memberikan harapan hidup yang lebih baik ketika pasien iliki gaya hidup yang schat. Komunikasi triadik (berarti antara tiga orang, dalam hal ini, dokter-orang anak) dapat menjadi rumit dan tidak dapat dilakukan terburu-buru. Cara ic adalah jika dokter dapat melakukan hubungan yang berkelanjutan dengan dan orang tua mereka daripada hanya bertemu mereka sekali atau dua kali. 72 _Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara Orang Tua Terutama Ibu adalah Dokter Terbaik untuk Anak-anaknya Hubungan ibu-anak tercermin dalam kualitas komunikasi yang terjalin di antara mereka. Semakin harmonis hubungan di antara mereka, semakin hangat dan semakin baik komunikasi yang terjadi. Oleh sebab itu, komunikasi antara dokter- orang tua dan pasien (anak-anak) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: 1. Perilaku dokter, orang tua, dan anak-anak; misalnya kesediaan dokter untuk terlibar dalam komunikasi yang intensif, minat orang tua dalam komunikasi yang intensif dengan dokter, dan masalah psikologis atau somatik pada anak-anak.? 2. Budaya; kita mengetahui bahwa dalam konteks Indonesia terdapat pola hirarkis yang kuat antara anggota keluarga dengan hanya ayah yang berada di puncak hirarki, bukannya ayah dan ibu. Kakak yang lebih tua mengikuti setelah ibu dalam hirarki cersebut. Meskipun banyak keluarga modern menunjukkan hubungan yang lebih setara antara ayah dan ibu dan antara saudara, kita masih bisa melihat tingkat hirarki yang masih umum di tingkat keluarga di Indonesia? 3. Keadaan keluarga; di sini kami ingin menckankan latar belakang dari masing-masing keluarga yang lebih bervariasi dalam konteks Indonesia dibandingkan dengan konteks Barat. Sebagai contoh, untuk mengurus bayi dan anak-anak pra-sekolah, beberapa keluarga lebih memilih untuk mengandalkan nenek dan kakek mereka yang pensiun, pengasuh paruh waktu, pengasuh penuh-hari, atau penitipan anak sehari penuh. Peran ibu juga bervariasi, dari ibu yang bekerja schari penuh, jam kerja yang lebih: fleksibel, dan ibu rumah tangga. Latar belakang keluarga dipengaruhi oleh lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia dengan adat dan kebiasaan yang berbeda. Selain itu, cara mercka memandang kesctaraan atau hirarki ancara anggota keluarga juga bervariasi. Perbedaan budaya ini mungkin masih akan: dipengaruhi oleh kondisi perkawinan. Oleh sebab itu, penting bagi dokter untuk mengeksplorasi larar belakang keluarga dan untuk tidak hanya meng- andalkan data permukaan yang diperoleh pada awal konsultasi. Eksplorasi yang memadai adalah kunci untuk diagnosis dan perawatan yang tepat. 4. Banyaknya pengalaman dan keterampilan dokter dengan anak (sebagai pasien) dan pengalaman sebelumnya dari pasicn dalam berkomunikasi dengan dokter dan praktisi medis lainnya yang berbeda-beda.* 5. Waktu yang dialokasikan untuk konsultasi yang sangat terbatas.° Ibu biasanya mengenali perubahan pada anak mereka, seperti kebiasaan dan gaya hidup, teman dan lingkungan sosial, pertumbuhan dan perkembangan fisils Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak _73 perkembangan mental dan sosial. Akibatnya, mereka menjadi sumber data untuk memperoleh data penting dalam membangun diagnosis dan shasilan terapi. Kadang-kadang, komunikasi antara dokter dan remaja uhkan bantuan dari ibu mereka. Ibu tetap selalu ada untuk anak remaja eka, misalnya untuk membantu anak remaja mereka saat mereka sakit dan membantu dan menenangkan masalah psikologis. Ibu juga memberikan si yang jelas mengenai penyakit serta obat yang sebaiknya diminum dan anak mereka untuk menghindari risiko. Dalam hal ini, penting S dokter memahami peran ibu dalam suatu keluarga tertentu. Sebuah gan yang lebih setara antara ibu dan ayah membuka kemungkinan yang dalam membahas masalah keschatan dengan ibu. Namun, melakukan dengan seorang ibu dengan peran yang lebih otoriter dari seorang sh, ketika sang ayah menduduki tingkat atas dalam hirarki keluarga, dokter jiknya lebih peka terhadap isyarat non-verbal dari ibu serta anak. Jika sang yang memiliki peran yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan keluarga, tidak menghadiri konsulrasi, dokter dianjurkan untuk plorasi bagaimana ibu akan melaksanakan rencana pengobatan dan membahas hambatan yang mungkin ada. Penyampaian Informasi untuk Orang Tua i berusaha menerapkan konsep hubungan yang lebih setara antara dokter pasien dalam kontcks budaya hirarkis Indonesia, misalnya dengan gundang partisipasi pasien dan lebih memerhatikan isyarat non-verbal. Kita mendapatkan umpan balik dengan mengeksplorasi pemahaman pasien nai pesan/pertanyaan yang kita sampaikan. Untuk menilai seberapa jauh memahami informasi yang diberikan, klinisi akan mengajukan pertanyaan- yaan yang tepat dan relevan. Kami sering bertemu pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan edis yang diberikan oleh klinisi karena kurangnya penjelasan yang memuaskan si klinisi. Karena pola hirarki yang kuar di Indonesia dengan klinisi yang sanya berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien, i cenderung mengabaikan cerita pasien. Dalam kasus ini, hal tersebut n sebuah risiko bahwa klinisi mungkin jatuh pada kesimpulan prematur gan mengabaikan isyarat pasien yang biasanya tak terkatakan. Program terapi rehidrasi oral sudah empat dekade diperkenalkan di onesia. Fakultas Kedokteran UGM_ bekerjasama dengan Kementerian sehatan telah memulai Pojok Terapi Rehidrasi Oral (Pojok Oralit/Oralit 7) di sebagian besar pusat-pusat pelayanan keschatan primer dan sekunder. Oralit Corner, peran komunikasi klinisi-pasien sangat penting karena isi sebaiknya mampu bertukar informasi scjelas mungkin agar pasien, tama orang tua, mampu memahami informasi dengan lebih jelas. 74 __Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara Keberhasilan pengenalan terapi rehidrasi oral telah diterima secara luas, ditandai dengan penurunan dramatis dalam angka kematian karena diare di Indonesia. Karena diare merupakan salah satu penyebab utama kematian anak, kegiatan ini dapat mengurangi tingkat kematian anak. Pasien dengan diare sebaiknya diprioritaskan atas pasien lain dengan memberikan cairan rehidrasi oral atau cairan sejenis oralit yang tersedia di rumah untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Untuk membantu orang tua memahami proses dehidrasi dalam diare akut, klinisi dapat menggunakan contoh sehari-hari untuk menjelaskan prosesnya. Misalnya, seperti tanaman yang kurang air akan menjadi kering dan mati, tubuh manusia akan memberikan respons yang sama. Sebaiknya diperhatikan bahwa, terutama pada anak di bawah dua tahun, tahap dehidrasi hingga proses “kering” dan “mati” dapat terjadi dalam waktu kurang dari 12 jam. Ieulah mengapa masalah ini adalah masalah serius kerika kita berhadapan dengan seorang ibu yang datang ke klinisi dengan anak yang mengalami diare. Proses mendidik ibu dari risiko dehidrasi juga sebaiknya mencakup penyediaan gambaran dari anak yang dehidrasi dalam setiap tahap dehidrasi, termasuk risike kematian karena dehidrasi. Oralit Corner juga mengakomodasi pertukaran informasi tentang pentingnys: ASI sebagai pencegahan diare dan risiko jika ASI tidak diberikan. Kami ingin, menekankan bahwa proses semacam ini (edukasi pasien tentang pentingnya ASI) juga secara tidak langsung mengacu pada kitab suci orang Islam, yaitu Al-Quran. karena orang Islam merupakan penduduk terbesar di Indonesia. Namun, bukan hanya mengacu pada agama, eksplorasi dengan latar belakang agama tertent dari masing-masing pasien perlu dilakukan secara hati-hati karena hal tersebi merupakan masalah yang sensitif, Namun demikian, beberapa ibu tidak dapat) memberikan ASI yang cukup untuk bayinya karena kondisi kesehatan sang ibu- Dalam hal ini, klinisi sebaiknya menyadari segala jenis kebutuhan, konteks, dam preferensi individu yang mungkin membuat menyusui sebagai hambatan bagi ibu tertentu. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa pasien hanya ingat sekitar 50% dari keseluruhan informasi yang diberikan oleh klinisi. Pengecekan pemahaman pasien dapat mengingatkan kembali mereka tentang informasi yang telah diberikan. Schillinger pada tahun 2003 melakukan penelitian untuk menguji efektivitas dari putaran komunikasi interaktif pada pasien diabetes melitus” Metode ini menjelaskan bagaimana klinisi sebaiknya berperilaku dalam pengujian pemahaman dan kemampuan pasien untuk mengingat petunjuk klinisi. Klinisi perlu melakukan beberapa pengulangan sampai pasien mampu mengingat dan memahami informasi. Jika dalam penilaian awal pasien menunjukkan rendahnys) kemampuan mengingat kembali, Klinisi perlu mengulang penjelasan dan mengklarifikasi informasi apa yang masih hilang, dan kemudian membuat penilaian yang lain. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak 75 Penelitian yang sama menemukan bahwa pasien diabetes yang diobati oleh dengan menerapkan komunikasi interaktif menunjukkan hasil terapi yang ik. Hal ini tidak hanya efektif dalam pengujian pemahaman pasien, tetapi uunikasi ini juga memungkinkan klinisi untuk mengeksplorasi lebih smengenai persepsi dan nilai-nilai sosial budaya pasien karena umpan balik akan memberikan pasien kesempatan untuk aktif dalam diskusi. komunikasi yang serupa telah digunakan olch Organisasi Keschatan (WHO) dalam MTBS/Manajemen Terpadu Balita Sakic (Integrated of Childhood Illness/Y MCV) oleh Kementerian Kesehatan dan Asosiasi Anak Indonesia.* Mereka mengungkapkan pentingnya peran komunikasi g isu penting dalam perawatan medis. Dalam MTBS, klinisi atau praktis Jinnya diwajibkan untuk menggunakan komunikasi yang baik, misalnya, pertanyaan terbuka, memeriksa pemahaman pasien, dan memiliki pilan untuk mendukung upaya pasien dalam memperoleh pengobatan. ya, memuji orang tua/pasien jika mereka mampu memberikan terapi i oral pada dosis yang tepat, dapat memberikan ASI cksklusif selama bulan, dapat mengonsumsi obat dengan benar, dan sebagainya. Komunikasi ii unsur penting dalam MTBS karena prosedur ini diterapkan di sebagian pusat-pusat medis primer, dengan kisaran pemahaman pasicn pada klinisi masih rendah, sehingga prosedur ini sepenuhnya tergantung pada pilan klinisi dalam berkomunikasi. Dalam praktek klinis schari-hari, komunikasi Klinisi-pasien tidak selalu mulus meskipun plot konsep telah diikuti. Akibatnya, klinisi perlu iliki beberapa alternatif dalam penyampaian informasi: Dalam menjelaskan pendapat dan pentingnya masalah Klinisi memberikan pendapatnya tentang masalah yang diderita pasien, dan juga menjelaskan alasan pendapat tersebut. Pasien berhak untuk menerima penjelasan tentang penyebab penyakitnya, hasil yang diharapkan, tingkat kesulitan, dan konsekuensi dari penyakit dalam jangka pendek dan panjang. Kemudian, klinisi perlu mengeksplorasi reaksi, keyakinan, dan kekhawatiran pasien dan memparafrasekan pendapat yang telah dinyatakan sebelumnya. Dalam membahas manfaat dari prosedur tertentu Klinisi penting untuk mendiskusikan pilihan prosedur bagi pasien seperti pemeriksaan, pengobatan atau operasi, pengobatan non-farmakologi (fisio- terapi, alat bantu), pencegahan, termasuk pilihan untuk tidak melakukan perawatan medis sama sekali, Untuk setiap tindakan atau pengobatan yang ditawarkan, klinisi sebaiknya berbagi informasi yang tepat_mengenai prosedur, keuntungan, kerugian, dan kemungkinan munculnya efek 76 _Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara samping. Pada dasarnya, dalam menjelaskan opininya, klinisi sebaiknya memperoleh umpan balik untuk memahami persepsi pasien. Dengan’ memahami persepsi, maka akan lebih mudah bagi klinisi untuk memberikan dukungan bagi pasicn agar terlibat lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mengikuti pengobatan yang telah disepakati.” * Dalam menjelaskan prosedur pemeriksaan atau pengobatan Klinisi sebaiknya memberikan informasi setepat mungkin rentang prosedur yang akan dilakukan, termasuk mendiskusikan tujuan, manfaat, dan kerugian.'° Berkomunikasi dengan Anak-Anak dari Berbagai Usia Meskipun kami telah menekankan pentingnya berkomunikasi dengan orang tentang penyakit dan pengobatan anak-anak mereka, profesional kesehatan ju sebaiknya melibarkan pasien anak dalam komunikasi. Hal ini bahkan lebi penting dilakukan, misalnya pada anak dengan penyakit kronis seperti epil atau HIV/AIDS, yang akan “hidup dengan penyakit mereka” saat mer tumbuh. Akan ada saat ketika anak-anak tersebut mulai bertanya kepada o} tua mereka, “Ibu, mengapa saya sebaiknya minum obat ini setiap hari?”, a “Dokter, kapan saya akan sembuh?” Pertanyaan-pertanyaan semacam i sebaiknya ditangani dengan hati-hati untuk memastikan kesejahteraan anak. Bukti menunjukkan bahwa anak dalam konteks Asia Tenggara ingi memahami penyakit mereka dan berpartisipasi dalam proses _pengambi keputusan."! Edukasi disestaikan untuk anak, misalnya menggunakan piktogi dan komik yang mampu meningkatkan pengetahuan anak-anak cerha penyakit dan pengobatan.'? Orang tua dan profesional kesehatan. sebaikry mendukung anak-anak tersebut selangkah-demi-selangkah agar dapat menj keschatan mereka sendiri. Olch sebab itu, penting bagi para profesional kescha untuk memahami fase yang berbeda dari perkembangan anak dan menyes| gaya komunikasi mereka sesuai dengan tingkatannya. Komunikasi dengan anak sangat dipengaruhi oleh perkembangan an Perkembangan anak tumbuh selaras dengan usia. Diharapkan bahwa sctiap mencapai tingkat perkembangan tertentu yang sesuai dengan usia mei Namun, kekurangan atau gangguan dalam perkembangan anak sering terj pada usia yang sangat muda. Perkembangan psikomotor balita sangat dipengat olch pola “asah, asih, dan asuh” atau pola pengasuhan orang tua. Komunil sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbicara dan kognitif anak, term: kemampuan untuk memahami pernyataan atau ucapan-ucapan dari orang lai dan kemampuan untuk menanggapi pernyataan sescorang yang menunjul fungsi hemisfer oak kiri dan kanan. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak_ 77 whan anak dapat memengaruhi perkembangan psikososial dan anak. Keluarga kaya dan ibu berpendidikan yang peduli tentang angan anaknya akan memberikan kualitas pengasuhan tinggi yang gatah ke perkembangan psikososial dan kognitif yang tinggi yang membuat mampu berkomunikasi lebih mudah dengan orang lain, menjadi mudah berbicara dan untuk berkomunikasi. -anak usia 2~3 tahun yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA) an kapasitas dan jumlah siswa yang kecil, guru yang seimbang dan tempat dan fasilitas yang baik, akan memiliki perkembangan psikososial dan yang baik. Anak-anak akan mudah untuk berkomunikasi, untuk a dengan mudah dan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Oleh p itu, anak-anak usia lima tahun atau lebih yang memiliki perkembangan esosial dan kognitif yang baik ketika mereka berusia tiga tahun atau usia pra- akan dapat berkomunikasi dengan klinisi dan mengatakan apa yang rasakan kepada klinisi. Jika klinisi memberikan pethatian penuh, dengarkan keluhan dan memberikan respons simpatik, dapat membuat anak tersebur nyaman untuk mengekspresikan keluhan dan perubahan fisik i mereka alami. Untuk anak-anak usia lima tahun, klinisi dapat bertanya sung kepada anak-anak ini selain anamnesis atau wawancara dengan orang Proses ini akan membantu untuk menentukan diagnosis. Sebaliknya, anak-anak yang berasal dari lingkungan yang tidak stabil, aarga miskin, dan orang tua menganggur akan memiliki lebih banyak kesulitan mm mempercayai orang lain, enggan untuk menjawab pertanyaan klinisi, jangis atau bahkan berteriak pada seseorang yang ingin lebih dekat (akrab) mereka, dan merasa takut. Dalam situasi ini, wawancara atau anamnesis i dilakukan dengan orang. ea atau kerabat yang menyertainya. munikasi antara klinisi-pasicn atau berbicara langsung kepada anak tidak bisa peru untuk mempertahankan level yang sama dari kontak mata si, orang tua, dan anak. Oleh sebab itu, untuk berbicara dengan balita, perlu berlutut atau memberikan meja dengan kursi di mana klini g tua dan anak-anak semua bisa duduk bersama-sama dengan saling thadapan. Namun, beberapa anak kecil tidak benar-benar ingin berbicara dan mereka lebih suka bermain dengan mainan. Untuk anak usia ini, munikasi sebaiknya dimulai dengan memberikan mainan bagi anak schingga pat membantu membuka pintu untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang fra anak. Untuk anak-anak usia sekolah dasar (6-11 tahun) dan remaja (12-18 ), komunikasi antara klinisi-pasien sebaiknya dilakukan dengan hati-hati. log sebaiknya dalam bentuk mendengarkan cerita remaja, memberikan aggapan atau pendapat atas cerita mereka, dan dilanjutkan dengan mengajukan — 78 _Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara pertanyaan. Perlu diingat bahwa anak-anak tersebut sebaiknya merasa nyaman sehingga mereka akan mencoba untuk menjawab pertanyaan dan memberitahu klinisi informasi lebih lanjut tentang segala sesuatu yang mereka rasakan. Klinisi yang menunjukkan perhatian dan mau menjelaskan penyakit dengan menghindari istilah-istilah medis akan membantu anak merasa bebas menjawab pertanyaan yang diberikan. Seorang klinisi sebaiknya responsif terhadap perasaan dan maksud yang dicunjulkan pasien atau “kenggap ing rasa” dan “tanggap ing sasmita”, yang beratti bahwa klinisi yang berkomunikasi dengan anak (termasuk remaja) sebaiknya memosisikan dirinya secara tulus, ingin mendengarkan dan berempati terhadap rasa sakit, menunjukkan kemampuan membantu mengurangi rasa sakit dan memberikan harapan dan solusi yang. realistis. Di Indonesia dengan sistem dukungan keluarga yang kuat, klinisi lebih baik memosisikan dirinya sebagai salah satu kerabat anak, dan tidak sebagai orang tua anak. Kita telah melihat dalam banyak kasus bahwa anak-anak cenderung bermain dengan orang dewasa yang bukan orang tua mereka. Hal ini dimungkinkan karena orang tua mereka sibuk dengan rutinitas schari-hari (rutinitas khas untuk keluarga Indonesia: seorang ibu dengan kegiatan rumahnya dan seorang ayah dengan kegiatan pekerjaannya), atau mungkin juga karena ada kesenjangan hirarkis yang kuat antara orang tua dan anak. Oleh sebab iru, mungkin penting bagi klinisi untuk memperbarui informasi mereka dari buku-buku, mainan, atau film favorit anak- anak untuk lebih membantu komunikasi klinisi-pasien anak dan orang tua mereka. Dalam kasus pasien dengan penyakit yang berat atau dalam kondisi lemah, klinisi tidak boleh terlalu banyak bertanya. Komunikasi bisa lebih mendalam ketika pasien merasa lebih kuat dan lebih sadar. Seorang klinisi anak sebaiknya sabar, teliti, ramah dan riang dengan anak- anak. Seragam putih para klinisi yang scbenarnya melambangkan kebersihan dan kejujuran justru sering menakutkan anak. Oleh sebab itu, beberapa menganggap bahwa klinisi diperbolehkan untuk mengenakan pakaian dengan warna yang tidak membuat anak-anak takut dan klinisi sebaiknya tetap memakai pakaian bersih dan rapi yang tidak akan mengganggu tugas-tugas mereka. Namun, beberapa anak senang jika dokter mereka memakai seragamnya, terutama untuk anak-anak yang lebih tua karena mercka yakin bahwa seseorang yang memeriksa mereka adalah seorang klinisi. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak 79 ‘Memori sering dibandingkan dengan sistem dokumentasi yang meliputi tiga p, yaitu: penyandian, penyimpanan, dan pengambilan. Memori atas peristiwa fan catatan penyakit merupakan faktor penting dalam komunikasi antara klinisi- sien, terutama dengan pasien anak. Selama usia pra-sekolah atau anak usia ni, anak-anak menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam perhatian, rekunan, dan efisiensi dalam memproses informasi dan membentuk memori a panjang. Anak-anak yang lebih muda tidak dapat mengingat dengan lama waktu yang sama dengan anak-anak yang lebih tua. Anak-anak muda g fokus pada detail peristiwa yang mudah dilupakan sementara anak- yang lebih tua dan remaja umumnya lebih berkonsentrasi pada esensi dari eu peristiwa. Anak-anak pra-sekolah mampu mengekspresikan emosi mereka. sering dapat membedakan perasaan orang lain dan mereka memahami va emosi berkaitan erat dengan pengalaman dan keinginan, Sebuah sumber g baik untuk mengetahui lebih lanjut tentang cara berkomunikasi dengan dari berbagai usia dapat ditemukan dalam rekomendasi dari UNICEF? an pasien bayi i tidak bisa berbicara. Mereka hanya bisa melihat dan merasakan, dan indra masih dalam tahap perkembangan (jika mereka memiliki rentang bangan yang normal—adanya kelainan perkembangan membuat komu- i lebih sulit bagi bayi serta bagi pengasuh). Bayangkan jika kita tidak bisa gerak atau berbicara. Kita hanya bisa melihat dan merasakan apa yang orang ‘bin akan lakukan untuk kita. Bukankah hal itu seperti situasi menakutkan yang membuat kita mudah menangis? Oleh sebab itu, nada suara, mimik, menyentuh, memeluk dan semua tindakan non-verbal memengaruhi hasil komunikasi dengan bayi. Juga, perilaku non-verbal bayi adalah isyarat yang memberi tahu kita apa- apa yang menjadi perhatian mereka. Pada dasarnya, bayi berkomunikasi tentang kebutuhan dasar seperti lapar, kencing, atau buang kotoran. Bayi yang lebih tua akan belajar untuk mengungkapkan perasaan seperti kebahagiaan dengan fersenyum atau tertawa, atau kesedihan, ketakutan, dan kemarahan dengan menangis. 80 Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara Dengan pasien anak usia prasekolah llustrasi 5.2 Pengalaman Sunartini Seorang anak berusia lima tahun, dalam kunjungan pertamanya di kamar praktik saya, begitu ketakutan dan selalu memetuk ibunya. Ketika saya berkata bahwa saya hanya ingin memeriksanya dan tidak membawa suntikan, ia tidak mempercayai saya dan terus memeluk ibunya. Setelah ibunya membujuknya dan menunjukkan kepadanya bahwa saya tidak membawa alat suntik, ia akhimnya bersedia untuk berbaring di tempat tidur. Lalu, saya berbicara dengannya tentang sekolahnya, apakah guru sekolahnya cantik, dan juga berbicara secara terbuka kepada ibunya. Anak itu tetap diam dan hanya mendengarkan saya. Jika saya memintanya untuk mengonfirmasikan bagian mana dari tubuhnya yang masih sakit, ia tidak menjawab, tetapi hanya menggeleng atau mengangguk. Seminggu kemudian, anak tersebut memasuki kamar praktik saya sendiri dan langsung berbaring di tempat tidur, dan mengajukan banyak pertanyaan yang berkaitan dengannya. Dalam kunjungan berikutnya, anak ini begitu ramah. Suatu hari saya sangat terkejut ketika ia memasuki ruang praktik saya sambil bernyanyi: “Dokterku, cintaku.....” Anak tersebut selalu ingin menjelaskan kondisi dan keluhan-keluhannya. la akan marah dan menutup mulut ibunya dengan tangannya, kecuali ia meminta ibunya untuk menambahkan beberapa informasi. Beberapa pasien anak akan senang jika kita mengajukan pertanyaan dengan ramah. Kami memahami bahwa di Indonesia, keluarga sangat memengaruhi dalam pengambilan keputusan klinis pasien. Anak yang dijelaskan oleh Sunartini di atas menunjukkan bahwa ia ingin mandiri dalam berbagi informasi kepada klinisi- meskipun ibunya ada di ruang konsultasi. Pada masyarakat Asia Tenggara yang cenderung paternalistik, otonomi anak memang dipandang kurang lazim. Otonomi semacam ini lahir dari gagasan otonomi untuk konteks budaya Barat yang mendasari gagasan tentang pentingnya otonomi pasien. Oleh sebab itu, para klinisi tidak boleh melupakan pendapat individu (termasuk pendapat anak) hanya karena keluarga mereka mungkin memiliki pandangan yang berbeda.*"! Dengan pasien anak usia sekolah Anak usia sekolah memiliki begitu banyak cerita. Studi menunjukkan bahwa mereka adalah pelopor dari promosi keschatan bagi keluarga termasuk memakan makanan sehat, olahraga rutin dan berhenti merokok. Mereka mempelajari ide- ide yang baik dengan cepat serta menyebarkannya kepada orang lain dengan cepat pula, terutama kepada orang tua mereka. Klinisi sebaiknya memberikan lebih banyak waktu bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan dan cerita- cerita mereka. Kegiatan sekolah dan/atau hobi biasanya menjadi topik hangat untuk memulai pembicaraan. Beberapa anak lebih terbuka daripada yang lain, yang bervariasi tergantung pada kepribadian mereka. Mereka juga ingin berbicara tentang rencana masa depan mercka, seperti proyek-proyek sekolah dan apa yang mereka ingin lakukan ketika mereka tumbuh dewasa. Membangun Hubungan yang Baik dengan Orang Tua dan Anak _ 81 Dengan pasien remaja ymunikasi dengan remaja tentang berhenti merokok dan bahaya seks bebas iknya dilakukan dengan hati-hati. Tidak mudah untuk memastikan bahwa mpok remaja tertentu mau berhenti atau menjauh dari kebiasaan buruk. ‘Beberapa remaja enggan jika orang tua mereka mengetahui apa yang sebenarnya mereka derita, mengapa mereka menderita sebuah penyakit, dan bagaimana ka berperilaku menanggapi penyakit tersebut. Klinisi mungkin perlu smelakukan komunikasi terpisah dengan orang tua. Komunikasi dengan remaja membutuhkan beberapa tips khusus untuk ‘menghindari menyakiti perasaan mereka, untuk membangun suasana yang samah, untuk mencapai tujuan dan untuk menghindari kemungkinan yang smembuat mereka tidak menyukai klinisi dan menjadi tertutup (introvert) dengan nisi. Orang tua diharapkan untuk tidak memaksa mereka tentang apa yang ‘mereka butuhkan atau pendapat apa yang mereka ingin utarakan, terutama di Klinisi. Kami ingin menggarisbawahi bahwa “komunikasi yang baik merupakan perhatian yang baik dan serangkaian tindakan keterampilan yang Walaupun telah melakukan komunikasi dengan anak sebagai pasien, klinisi sebaiknya mencoba untuk mengundang kerabat dekat atau orang yang diinginkan oleh anak seperti ayah, ibu, kakak atau kerabat lainnya. Jika orang lain hadir (rcsiden, mahasiswa yang sedang menjalankan rotasi klinis), klinisi sebaiknya ‘memperkenalkan mereka kepada pasicn remaja. Jika informasi terlalu panjang dan mengarah ke diskusi yang serius, klinisi dapat melakukan bagian ini secara informal, atau pada kunjungan lain waktu atau dapat dilakukan ketika melakukan pemeriksaan. Memberikan remaja kesan bahwa klinisi menyembunyikan sesuatu atau. berbohong sangat tidak disarankan untuk dilakukan. Dalam setiap pertemuan, sebelum pertemuan berakhir, klinisi sebaiknya mampu untuk mengeksplorasi informasi dengan pertanyaan lebih lanjut, kemudian klinisi rersebut dapat mengakhiri dengan mengatakan “Terima kasih” dan “Semoga cepat sembuh”, dan tentu saja membuat rencana tentang kunjungan selanjutnya. ‘Komunikasi yang lembut dan perawatan yang lembut, akan dipahami anak-anak. Komunikasi yang baik antara klinisi, orang tua dan anak sebagai pasien diharapkan dapat membangun kesepakatan dan keputusan bersama untuk Keberhasilan pengobatan dan keschatan anak yang optimal. Komunikasi antara ‘klinisi, orang tua dan pasien menunjukkan hubungan yang kuat dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan medis, output pelayanan medis yang lebih baik dan lebih optimal, pencrimaan yang tinggi dari prosedur perawatan, perbaikan klinis dan peningkaran kepuasan klinisi dan penurunan risiko malpraktik. 82 _Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien di Budaya Asia Tenggara Referensi iS 2 oF Indonesian Medical Practice Law no. 23 Year 2002. van Dulmen S. Pediatrician-parent-child communication: problem-related or not? Patient Education and Counseling, 2004, 52, 61-68. Claramita M, Nugraheni MDF, van Dalen J, van der Vleuten C. Doctor-patient communication in Southeast Asia: A different culture? Advances in Health Sciences Education, 2013, 18(1), 15-31. . van Dulmen AM. Children’s contribution to pediatric outpatient encounters. Pediatrics, 1998, 102, 563-8. . Kleinman A. “Catastrophe and Caregiving: the failure of medicine as an art.” The Lancet, 2008, 371(9606), 22-23. . Claramita M, Utarini A, Soebono H, van Dalen J, van der Vleuten C. Doctor~ patient communication in a Southeast Asian setting: the conflict between ideal and reality. Advances in Health Sciences Education, 2011, 16 (1), 69-80. . Schillinger D, Piette J, Grumbach K, Wang F, Wilson C, Daher C., Leong-Grotz K, Castro C, Bindman AB. Closing the loop : Physician Communication with Diabetic Patients Who Have Low Health Literacy. Archives of Internal Medicine, 2003, 163 (a3). . Gafni A. Models of treatment decision-making in the Physician-Patient encounter. La Londe Les Maures, April 20-21, 2000. |. Integrated Management of Childhood Iiness. Jakarta: Ministry of Health Republic of Indonesia, 2008. . Silverman J, Kurtz $, Draper J. Skills for Communicating with Patients. (2™' edition) Oxon, UK: Radcliffe Publishing, 2005. _ Almeida C. Exploring the Role of Children within Health Care Decision Making Processes in Indonesia. [Thesis] Maastricht University — University of Surabaya, 2013. | Trawan A. Efektivitas Edukasi untuk Meningkatkan Pengetabuan dan Kepatuban Minum Obat pada Anak dengan Penyakit Kronis-Menggunakan Booklet Bergambar, Exiket dengan Piktogram, dan Tabel Stiker sebagai Re-Inforcement. Kolucki B and Lemish D. Communicating with Children: Principles and Practices to Nurture, Inspire, Excite, Educate and Heal. Part 3: Child Development and Communication Need and Skills. New York: United Nations Children's Fund (UNICEE) November 2011 ISBN: 978-0-578-09512-7. Pp:27-38.

You might also like