You are on page 1of 11

MAKALAH SEMINAR BIDANG PERKEMBANGAN

“Reseliensi Keluarga Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus”

Disusun oleh: 

Nama : Alfina Damayanti


Nim : 1900013059

FAKULTAS PSIKOLOGI 
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN 
YOGYAKARTA 
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tidak ada orang yang meminta menjadi cacat. Namun menjadi
penyandang cacatpun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak
individu yang meskipun menjadi penyandang cacat bisa menjadi penerang
hidup bagi teman-teman berkebutuhan khusus lainnya. Secara kodrati semua
manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan, tak terkecuali anak
berkebutuhan khusus. Salah satu diantaranya kebutuhan pendidikan.
Dengan terpenuhi kebutuhan akan pendidikan anak berkebutuhan khusus
diharapkan bisa mengurusi dirinya sendiri dan dapat melepaskan
ketergantungan dengan orang lain. Tertampungnya anak berkebutuhan
khusus dalam lembaga pendidikan semaksimal mungkin berarti sebagian dari
kebutuhan mereka terpenuhi. Diharapkan lewat pendidikan yang mereka
dapatkan mampu memperluas cakrawala pandangan hidupnya, Sehingga
mampu berfikir secara kreatif, inovatif dan produktif. Anak yang mengalami
disabilitas, ialah mereka yang secara fisik, psikis, kognitif, dan sosial
mengalami hambatan dalam mencapai kebutuhannya secara maksimal,
dalam hal ini meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara,
cacat fisik, retardasi mental, dan gangguan emosional. Diagnosis kecacatan
sering dianggap sebagai pengalaman traumatis bagi keluarga dan
mempengaruhi kehidupan, emosi, dan perilaku mereka . Tantangan dan
Tantangan tuntutan pengasuhan dalam sehari-hari merupakan penyebab
stres pada orang tua yang paling signifikan . Terkadang, orang tua menerima
sepenuhnya mengenai keadaan anaknya yang berkebutuhan khusus, namun
sebagian besar tekanan sehari-hari yang didapatkan dari ketidakmampuan
atau disabilitas oleh anak dapat mengakibatkan penolakan terhadap anak
tersebut. Hubungan dalam keluarga memberikan pengaruh yang besar untuk
membangun relasi dengan orang lain dan adanya sumber daya yang
potensial untuk menjadi resilien. Penilaian pada keluarga yang berorientasi
pada resilien, berarti mengupayakan anggota keluarga dapat berkembang
secara positif yang di dalamnya terdapat anak-anak berkebutuhan khusus
maupun beresiko, dengan demikian memiliki kepercayaan pada kemampuan
yang dimiliki, adanya dukungan dari upaya yang dimiliki, dan mendorong
keluarga untuk memanfaatkan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Pada
keluarga dengan kondisi yang memiliki anak berkebutuhan khusus, kontribusi
positif dapat diberikan melalui orang tua, saudara kandung, kakek, nenek,
paman, bibi, dan anggota keluarga lain yang memainkan peranan dalam
mendukung situasi yang mengancam. Pada orang tua yang mengalami
situasi menegangkan ketika mengasuh anak disabilitas muncul kecemasan
mengenai masa depan anak, pengalaman stigma sosial, keterbatasan dalam
bersosial dan karier, adanya hubungan yang canggung dengan orang sekitar,
kendala keuangan, kesejahteraan dan emosional yang buruk, dan kurangnya
layanan yang memadai. Tantangan hidup yang terus menerus, pada
gilirannya dapat memengaruhi hubungan antar anggota keluarga, dengan
demikian kegagalan fungsi dalam sebuah keluarga dapat terjadi.
Pengalaman yang menegangkan dan dapat memicu stres ini, merupakan hal
yang harus ditangani. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk
menghadapinya. Kemampuan ini dapat disebut sebagai resiliensi, yaitu
kemampuan dalam menghadapi perkembangan dan adaptasi terhadap
pengalaman yang menegangkan. Resiliensi juga tidak hanya sekedar
mengatasi suatu masalah atau bertahan dari cobaan, resiliensi jugga
melibatkan adaptasi yang positif, berkembang kembali, dan adanya
perubahan dalam diri dan relasi melalui berbagai pengalaman sehingga
individu dapat berkembang secara positif. Orang tua maupun keluarga yang
memiliki kemampuan untuk mengatasi keadaan dengan hasil yang baik dan
positif, dapat meningkatkan hubungan antara orang tua dan anak. Beberapa
penelitian, telah menemukan bahwa keluarga yang melalui kesulitan dan
berjuang untuk melaluinya, sering kali lebih kuat, memiliki kasih sayang yang
besar, dan mempunyai cara yang lebih banyak dalam menghadapi tantangan
di masa depan. Perspektif resiliensi pada keluarga didasarakan pada
keyakinan yang mendalam pada potensi keluarga untuk memperkuat
resiliensi mereka dalam menghadapi tantangan di kemudian hari. Keluarga
yang telah memiliki pengalaman traumatis, masih memilki potensi untuk
sembuh dari traumanya tersebut dan mampu tumbuh berkembang lebih baik.
Resiliensi pada keluarga, terutama orang tua yang memiliki anak disabilitas,
mengacu pada berbagai jenis karakteristik antara lain membuat makna positif
dari disabilitas, meningkatnya spiritualitas orang tua, kepribadian orang tua,
komunikasi antar anggota keluarga, career adaptability, locus of control
internal, model pengasuhan sehari-hari, positive affect (PA), dukungan sosial
dan keyakinan diri, persepsi kesehatan anak disabilitas, dan koping. Orang
tua anak berkebutuhan khusus diharapkan mampu memiliki sikap resiliensi
dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan adanya sikap resiliensi
yang baik maka individu tersebut memiliki kemungkinan yang kecil
mengalami stres serta akan cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
Resiliensi diharapkan mampu membuat kehidupan seorang individu menjadi
lebih baik dan merubah cara pandang seseorang menjadi lebih optimis akan
harapan serta perubahan-perubahan yang jauh lebih baik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah, apakah dukungan keluarga berpengaruh terhadap
resiliensi orang tua anak berkebutuhan khusus?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh


dukungan keluarga terhadap resiliensi orang tua anak berkebutuhan khusus.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Teori

A. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus atau biasa disebut penyandang disabilitas


merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk individu yang mengalami
hambatan atau gangguan pada kondisi fisik, mental, emosional yang kemudian
berpengaruh pada aktivitas sosialnya. Menurut klasifikasi dan jenis kelainan,
anak berkebutuhan dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan
kelainan karakteristik sosial. Di lingkup masyarakat, penyandang disabilitas lebih
dikenal dengan istilah penyandang cacat. Adanya gangguan/hambatan tersebut
membuat individu yang mengalaminya memiliki berbagai kebutuhan khusus, baik
dalam bentuk dukungan sosial, bantuan fasilitas, pendidikan dan latihan tertentu
untuk dapat menjalani kehidupannya seperti orang lain pada umumnya. Menurut
klasifikasinya, anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi berikut ini :

 kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ
tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada
fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal.
 kelainan mental merupakan anak yang mempunyai penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia
sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar kedua arah
yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental
dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih menurut
tingkatannya dikelompokkan menjadi anak mampu belajar dengan cepat
(IQ berkisar antara 110-120), anak berbakat ( 120-140) dan anak genius
(diatas 140). Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang yaitu anak
yang diidentifikasi mempunyai tingkat kecerdasan dibawah normal
sehingga untuk melihat tugas perkembangan memerlukan bantuan atau
layanan secara khusus.
 kelainan perilaku sosial adalah individu yang mengalami kesulitan untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan norma sosial di sekitarnya.
Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara
penggolongan dibedakan menjadi 2 yaitu tunalaras emosi dan tunalaras
sosial. Tunalaras emosi yaitu penyimpangan perilaku sosial yang
ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, sedangkan tunalaras sosial
yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam
penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

B. Resiliensi

Resiliensi merupakan proses koping terhadap stresor, kesulitan,


perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif . Resiliensi
psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan dan ketangguhan yang
ada dalam diri seseorang. Resiliensi psikologis ditandai dengan kemampuan
untuk bangkit kembali dari pengalaman emosional yang negatif. Dengan
kemampuan yang dimiliki, individu yang resiliensi akan berusaha untuk
menghadapi dan kemudian bangkit dari berbagai kondisi stres . Tuner (Yuniardi
& Djudiyah, 2011) mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah kapasitas
mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus
melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera.

C. Resiliensi Orangtua yang Mempunyai Anak Berkebutuhan Khusus

Dalam hal ini mengelompokkan empat jenis tanggung jawab orangtua


terhadap anak berkebutuhan khusus. Pertama, orangtua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus mempunyai tanggung jawab sebagai pengambil keputusan
karena orangtualah yang memutuskan alternatif mana yang akan ditempuh
anaknya. Tanggungjawab kedua adalah orangtua perlu menyesuaikan diri
dengan keadaan, sosialisasi anak dan sebagainya. Ketiga yaitu orangtua
sebagai guru dari anaknya bukanlah pendidik anak berkebutuhan khusus yang
professional, melainkan orangtua dapat berperan dalam memberikan beberapa
pelatihan pada aspek-aspek tertentu sebatas kemampuan yang dimiliki orangtua.
Terakhir, ibu juga memiliki tanggungjawab sebagai advocate, yaitu sebagai
pendukung dan pembela kepentingan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Sejumlah faktor protektif, baik internal maupun eksternal berperan memperkuat
terbentuknya kondisi resiliensi individu sehingga mampu memunculkan koping
dan adaptasi positif. Faktor protektif secara internal berupa religiusitas, kemauan
belajar, kesadaran akan dukungan sosial, kesadaran akan identitas diri.
Sedangkan faktor protektif bersifat ekstrenal yaitu dukungan sosial, intervensi
psikologis, keberadaan sumber inspirasi dan fasilitas umum bagi anak
berkebutuhan khusus. Dalam memperkuat faktor protektif pada anak
berkebutuhan khusus sehingga akan mampu mengatasi tekanan dan mampu
mencapai karakteristik resilien. Berdasarkan penelitian Edyta dan Damayanti
(2016) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendukung orangtua menjadi
resilien ketika mempunyai anak yang menyandang disabilitas adalah faktor
religiusitas. Ditunjukkan dengan selalu berserah kepada Sang Pencipta sehingga
berlapang dada dalam menerima anak mereka dengan segala keterbatasan
yang dimiliki dan menghubungkan dirinya dengan Tuhan dalam menyelesaikan
masalah sehingga membantu individu untuk beradaptasi dalam situasi kehidupan
yang menekan. Selanjutnya adalah menemukan sumber-sumber kekuatan dari
usahanya mencari dukungan orang-orang terdekat. Selan itu dengan cara
mensyukuri perkembangan anak Setiap orangtua yang mempunyai anak
berkebutuhan khusus mempunyai resiliensi yang berbeda. Perbedaan tersebut
dilihat dari latar belakang pendidikan, pekerjaan dan latar belakang ekonomi.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses resiliensi orangtua
adalah dukungan dari keluarga dan peran lingkungan sekitar yang telah memberi
motivasi serta dorongan dari dalam individu yang tidak ingin berkelanjutan dalam
kesedihan maupun kekecewaan, menerima kekurangan pada anaknya.

Prinsip utama resiliensi pada keluarga meliputi kekuatan dan resiliensi anggota
keluarga, kerja sama, dan stabilitas. Memperkuat resiliensi pada keluarga dapat
berdampak positif terhadap adaptasi keluarga. Penyediaan layanan yang
berpusat pada keluarga, dengan memberikan dukungan dan informasi yang
disesuaikan bagi keluarga, dapat meningkatkan resiliensi keluarga dan
meningkatkan fungsi sebuah keluarga. Pentingnya keberfungsian keluarga,
merupakan kunci bagi kesejahteraan anak dan orang tua dalam menghadapi
situasi yang menantang di setiap harinya. Fungsi yang efektif dalam keluarga
dan adaptasi yang positif bergantung pada jenis dan tingkat kesulitan terhadap
tantangan yang dihadapi, dan tujuan keluarga dalam menjalani kehidupan. Lebih
lanjut, faktor – faktor resiliensi dapat dikategorikan menjadi tiga, antara lain :

 Individu
Pada tingkat individu, terdapat kepercayaan pribadi, karakteristik, dan
kemampuan seperti persepsi diri yang positif, sense of meaning life, dan
locus of control.
 Sosial
Pada tingkat sosial terdapat kohesi keluarga, hubungan antar anggota
keluarga, kompetensi sosial, dan dukungan sosial.
 Lingkungan.
Selanjutnya pada tingkat lingkungan, adanya afiliasi dalam organisasi.

Dengan demikian, adanya beberapa faktor protektif ini dapat mengantarkan


individu ataupun keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus menjadi
lebih positif. Konsep resiliensi keluarga tidak hanya melihat individu (anggota
keluarga) sebagai sumber daya potensial, namun meluas bahwa keluarga
sebagai sebuah unit fungsional. Patterson (2002, dalam Yumpi, 2017)
mengatakan bahwa resiliensi keluarga melibatkan potensi perubahan dan
pertumbuhan baik secara personal maupun relasional yang dapat membantu
keluar dari masalah. Keluarga dapat menjadi lebih kuat dan lebih pandai ketika
berhadapan dengan masalah di masa yang akan datang. Adanya masalah dapat
menjadi kesempatan bagi keluarga untuk menilai kembali prioritas,menstimulasi
hubungan yang lebih baik dan tujuan hidup keluarga. Anggota keluarga dapat
menemukan atau mengembangkan hikmah dan kemampuan baru.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa


orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami masa-masa sulit
dan tantangan dalam hidupnya tantangan tersebut dapat bersumber dari dalam
dan dari luar diri yang dapat menimbulkan emosi negatif dan stres namun, seiring
berjalannya waktu orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus bangkit
dari kesulitan dan menghadapi tantangan tersebut hal ini menjadikannya pribadi
yang tangguh atau reselien salah satu aspek yang mendukung orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus menjadi pribadi yang tangguh adalah
dukungan sosial dukungan sosial salah satunya didapatkan dari perkumpulan
orang tua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus dukungan sosial
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam membentuk pribadi
seseorang menjadi pribadi yang tangguh atau reselien. Dan juga resiliensi pada
keluarga sangat penting bagi kelangsungan hidup anak-anak disabilitas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi pada keluarga berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan ialah keagamaan atau religiusitas, locus of
control, koping, keberfungsian keluarga, komunikasi antar anggota, kesadaran
diri, dukungan sosial. Ada juga sejumlah faktor protektif, baik internal maupun
eksternal berperan memperkuat terbentuknya kondisi resiliensi individu sehingga
mampu memunculkan koping dan adaptasi positif. Faktor protektif secara internal
berupa religiusitas, kemauan belajar, kesadaran akan dukungan sosial,
kesadaran akan identitas diri. Sedangkan factor protektif bersifat ekstrenal yaitu
dukungan sosial, intervensi psikologis, keberadaan sumber inspirasi dan fasilitas
umum bagi anak berkebutuhan khusus. Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci
bagi resiliensi keluarga, yaitu system keyakinan, pola pengorganisasian keluarga
dan proses komunikasi dalam keluarga.
3.2 Saran

Saran yang diberikan dalam makalah ini ialah, melakukan penelitian pada
berbagai metode dengan menambahkan teori-teori religiusitas dan budaya.
Mengingat bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan budaya. Resiliensi
sendiri terbentuk karena adanya adaptasi, pola perilaku dan kognitif yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal pada sebuah keluarga. Jadi perlu
adanya Kerjasama yang baik antar anggota sehingga dalam menghadapi
permasalahan ini kelurga bisa tetap menjalankan hidup dengan baik. Factor
lingkungan dan social juga penting untuk keberlangsungan hidup anak
berkebutuhan khusus.
Daftar Pustaka

Amelasasih, P. (2018). Resiliensi orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan


khusus. PSIKOSAINS (Jurnal Penelitian dan Pemikiran Psikologi), 11(2), 72-81.

Rahayu, E. W. (2019). RESILIENSI PADA KELUARGA YANG MEMPUNYAI


ANAK DISABILITAS. PSIKOVIDYA, 23(1), 22-45.

Abdullah, N. (2013). Mengenal anak berkebutuhan khusus. Magistra, 25(86), 1.

You might also like