You are on page 1of 6

Nama Kelompok 8 (Pengurangan Resiko Jatuh Pada Pasien)

1. Rahmadi (I1031191022)
2. Ihsan Hadi Nugroho (I1031191032)
3. Novita Tri Rezeki (I1031191046)
4. Fadhlia (I1031191050)

Pembahasan

Menurut World Health Organization(2014), proporsi penduduk diatas 60 tahun di dunia tahun
2000 sampai 2050 akan berlipat ganda dari sekitar 11% menjadi 22% atau secara absolut
meningkat dari 605 juta menjadi 2 miliyar lansia. Nazam (2013) melakukan survei tentang
kejadian pasien jatuh di AS, dimana hasil survei tersebut menunjukkan 2,3-7% per1000
lansia mengalami jatuh dari tempat tidur setiap hari dan 29-48% lansia mengalami luka
ringan dan 7,5% dengan luka-luka serius. Kongres XII PERSI (2012) melaporkan bahwa
angka kejadian pasien jatuh di Indonesia bulan Januari-September 2012 sebesar 14%, hal ini
menggambarkan presentasi angka pasien jatuh masuk ke dalam lima besar insiden medis
selain medicine eror (Komariah, 2015).
Peningkatan jumlah lansia juga terjadi di negara Indonesia. Persentase penduduk lansia tahun
2011, 2012, dan 2013 telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan penduduk, dengan
spesifikasi 13,04% berada di Yogyakarta, 10,4% berada di Jawa Timur, 10,34% berada di
Jawa Tengah, dan 9,78% berada di Bali (Susenas, 2014). Penduduk lansia terbesar di
Yogyakarta berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu berkisar 135.644 orang atau 12,95% dari
jumlah penduduk Sleman (Pemkab Sleman, 2015).

Faktor intrinsik risiko jatuh pada lansia meliputi gangguan jantung, gangguan pada sistem
anggota gerak, gangguan sistem saraf, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran.
Gangguan jantung pada lansia seperti hipertensi dimana tekanan darah sistolik sama atau
lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi
karena menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat
memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah, serangan jantung sehingga dapat
menyebabkan kejadian jatuh pada lansia. Sebagian besar lansia berisiko pada faktor
ekstrinsik. Hampir sebagian responden (33,3%) tidak berisiko faktor ekstrinsik. Penggunaan
alat bantu berjalan memang membantu meningkatkan keseimbangan, namun disisi lain
menyebabkan langkah terputus dan kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika
alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu penggunaan alat bantu berjalan ini haruslah
direkomendasikan secara individual.

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (KemenkesRI, 2011).

Gangguan Jatuh merupakan penyebab umum terjadinya cidera. Menurut data dari US Centres
for Disease Control and Prevention tahun 2014, diperoleh databahwa lebih dari 1/3 orang
dewasa berusia diatas 65 tahun mengalami jatuh setiap tahun. Lebih dari 500.000 kejadian
jatuh di seluruh rumah sakit di Amerika setiap tahun, 150.000 diantaranya mengalami luka.
Pasien akan mengalami peningkatan dalam risiko jatuh bila mempunyai memori, mempunyai
kelemahan otot, berusia lebih dari 60 tahun dan berjalan menggunakan tongkat atau walker
(Setiowati, 2015).

Kejadian tidak diharapkan yang paling sering terjadi antara lain pasien jatuh (12.670 kasus),
(Clinical Excellence Commission, 2013). Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai
penyebab cidera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani,
pelayanan yang disediakan dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien
jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi
bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan
keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus
diterapkan rumah sakit (Kemenkes RI, 2011).

Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru
atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien dengan menciptakan kepemimpinan dan
budaya yang terbuka dan adil, memimpin dan mendukung staf dalam membangun komitmen
dan fokus yang kuat dan jelas, mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko dalam
mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen
hal yang potensial bermasalah (Kemenkes RI, 2011).

Dalam mencapai sasaran tersebut, maka pada umumnya rumah sakit diharapkan mampu (1)
melakukan pengkajian (penilaian = assessment) sedini mungkin risiko jatuh pasien dan
melakukan pengkajian ulang jika diindikasikan (2) menilai apakah perlu dilakukan intervensi
atau tidak, jika seandainya perlu, maka ada prosedur untuk hal tersebut.(3) melakukan
pengawasan, tentu saja juga melalui pendokumentasian; apakah cara yang dilakukan berhasil
dan apakah cukup efektif (4) menetapkan kebijakan serta panduan dalam mendukung
pencapaian sasaran ini (Lawega, 2015)

Hasil penelitian Kurniadi (2013) menunjukkan sebagian besar petugas atau perawat harus
melaksanakan dengan baik program manajemen pasien jatuh yang meliputi: penyaringan,
pemasangan gelang identitas risiko jatuh, edukasi pasien dan keluarga tentang using leaflet
edukasi, pengelolaan pasien risiko jatuh, penanganan pasien jatuh dan pelaporan insiden.
Penetapan kebijakan dan implementasi prosedur yang diikuti dengan supervisi dan
monitoring lebih menjamin keterlaksanaan instrumen.

Nursing Practice Innovation Falls Prevention (2011) menyatakan bahwa kepemimpinan dan
lingkungan fisik dapat memberikan perbedaan dalam penerapan prosedur pengurangan risiko
jatuh pasien di rumah sakit. Hasil penelitian Boediono (2014) diketahui bahwa penerapan
prosedur pasien dengan resiko jatuh di rumah sakit yang diikuti supervisi dan monitoring
lebih menjamin keterlaksanaan program. Hasil penelitian Patricia, et al(2013) diketahui
bahwa pengorganisasian dapat meningkatkan penerapan prosedur risiko jatuh pasien di
rumah sakit.

Supervisi adalah suatu usaha atau kegiatan pembinaan yang direncanakan untuk membantu
bawahannya dalam melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Model supervisi Proctor
yang dikembangkan oleh Brigid Proctor merupakan model yang paling populer dalam
supervisi. Hasil akhir dari kegiatan supervisi dikategorikan menjadi 3 komponen sesuai
dengan model Proctor yaitu normatif, formatif dan restoratif. Untuk mengevaluasi kegiatan
supervisi, dapat menggunakan instrumen kuesioner berdasarkan Manchester Clinical
Supervision Scale atau Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ). Instrumen kuesioner yang
sering digunakan untuk menilai keefektifan supervisi adalah dengan menggunakan
Manchester Clinical Supervision Scale. Pernyataan yang ada pada instrumen disusun
berdasarkan data kualitatif melalui wawancara yang berasal dari sebuah penelitian di Inggris
dan Scotlandia. Manchester Clinical Supervision Scale merupakan pengembangan dari model
supervisi Proctor, yaitu normatif, formatif dan restoratif (Setiowati, 2015).
Pengurangan Pasien Jatuh
a. Standar
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk mengurangi resiko membahayakan pasien
akibat dari cedera jatuh.
b. Tujuan
Menilai dan menilai kembali risiko secara berkala setiap pasien untuk jatuh, termasuk potensi
risiko yang terkait dengan rejimen pengobatan pasien, dan mengambil tindakan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko yang teridentifikasi.
c. Elemen yang dapat diukur :
1) Rumah sakit menerapkan suatu proses untuk penilaian awal pasien untuk risiko jatuh dan
penilaian ulang pasien ketika ditunjukkan oleh perubahan dalam kondisi atau pengobatan,
atau yang lain.
2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada
assessment dianggap rawan jatuh.
3) Langkah tersebut dipantau untuk hasil, baik kesuksesan pengurangan cedera jatuh dan
apapun yang terkait konsekuensi yang tidak diinginkan.
4) Kebijakan dan atau prosedur terus mendukung pengurangan resiko membahayakan pasien
akibat jatuh di organisasi.
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi atau masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan dan fasilitasnya,
rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila pasien jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan
anamnesa terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan
yang digunakan oleh pasien. Melalui pengkajian awal pasien risiko jatuh ini, kejadian pasien
jatuh dapat dicegah.
d. Implementasi pencegahan pasien resiko jatuh di Rumah Sakit Pencegahan pasien jatuh
yaitu dengan penilaian awal risiko jatuh, penilaian berkala setiap ada perubahan kondisi
pasien, serta melaksanakan langkah –pencegahan pada pasien berisiko jatuh. Implementasi di
rawat inap berupa proses identifikasi dan penilaian pasien dengan risiko jatuh serta
memberikan tanda identitas khusus kepada pasien tersebut, misalnya gelang kuning, penanda
resiko, serta informasi tertulis kepada pasien atau keluarga pasien.Intervensi Jatuh Risiko
Tinggi:
1) Pakaikan gelang risiko jatuh berwarna kuning. Pasang tanda peringatan risiko jatuh warna
merah pada bed pasien
2) Strategi mencegah jatuh dengan penilaian jatuh yang lebih detil seperti analisa cara
berjalan sehingga dapat ditentukan intervensi spesifik seperti menggunakan terapi fisik atau
alat bantu jalan jenis terbaru untuk membantu mobilisasi.
3) Pasien ditempatkan dekat nurse station.
4) Lantai kamar mandi dengan karpet anti slip/ tidak licin, serta anjuran menggunakan tempat
dudukdi kamar mandi saat pasien mandi.
5) Dampingi pasien bila ke kamar mandi, jangan tinggalkan sendiri di toilet, informasikan
cara mengunakan bel di toilet untuk memanggil perawat, pintu kamar mandi jangan dikunci.
6) Lakukan penilaian ulang risiko jatuh tiap shif.

Posedur pencegahan pada pasien berisiko jatuh


1. Morse Scale Fall/MFSMFS merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko jatuh. Dengan menghitung skor MFS pada pasien
dapat ditentukan risiko jatuh dari pasien tersebut, sehingga dengan demikian dapat
diupayakan pencegahan jatuh yang perlu dilakukan. Pengkajianresiko jatuh dilakukan pada
saat pasien baru masuk ruangan,setiap shift, pernah terjadi jatuh, dilakukan bila ada
perubahan status mental sesuai dengan prosedur yaitu SPO. Penilaian resiko jatuh jatuh
menggunakan MFS untuk pasien dewasa. Hasil penilaian MFS bila ≥45 resiko tinggi dan ≤45
resiko rendah. Lihat instrumen pengkajian MFS di tabel 2.1
Keterangan :
bila total score < 45 resiko
rendah dan bila total score ≥ 45 resiko tinggi
Kesimpulan :
RR ( Resiko Rendah ) < 45
RT (Resiko Tinggi ) > 45
2. Pemasangan label segitiga merah untuk resiko tinggi dan segitiga kuning untuk
resiko rendah
3. Pemasangan gelang resiko jatuh dilakukan setelah penilaian MFS hasilnya ≥ 45.
4. Tempat tidur pasien. Tempat tidur pasien merupakan salah satu
alat yang digunakan oleh pasien. Untuk mencegah resiko pasien jatuh dari tempat tidur, maka
tempat tidur dalam posisi rendah dan terdapat pagar pengaman/ sisi tempat tidur.
5. Penggunaan restrain sesuai prosedur. Restrain merupakan alat atau tindakan pelindung
untuk membatasi gerakan atau aktifitas pasien secara bebas. Untuk menghindari jatuh
dapat dimodifikasi dengan memodifikasi lingkungan yang dapat mengurangi cedera
seperti memberi keamanan pada tempat tidur (Potter dan perry, 1997).
6. Edukasi pasien dan penunggu pasien mengenai pencegahan pasien jatuh yaitu:
a. Keadaan pasien yang tidak stabil harus ditunggu
b. Tanyakan pada perawat tentang cara memasang/ mengoprasionalkan alat untuk
keamanan pasien
c. Gunakan sisi tubuh/sisi tempat tidur yang kokoh saat mobilisasi turun/naik tempat
tidur.
d. Jika terpaksa meninggalkan pasien lakukan: pastikan pengaman tempat tidur
terpasang, informasikan pada pasien untuk memanggil perawat (menggunakan bel),
beritahukan perawat bahwa akan meninggalkan pasien.
e. Segera laporkan jika ada alat yang tidak berfungsi.

Standar Prosedur Operasional. Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk


mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. SPO
merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.

Tujuan SPO
1) Agar petugas/pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas/pegawai atau
tim dalam organisasi atau unit kerja.
2) Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi
3) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait.
4) Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau kesalahan
administrasi lainnya.
5) Untuk menghindari kegagalan /kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi

You might also like