Professional Documents
Culture Documents
Modul Ajar PAI SMK Kelas XI Bab 7
Modul Ajar PAI SMK Kelas XI Bab 7
BAB 7
MENJAGA KEHORMATAN
IKHLAS
MALU
ZUHUD
SMKN 3 BALIKPAPAN
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Identitas Sekolah
Nama Penyusun : Fajar Suhada Wibowo S.Pd.I
Institusi : SMKN 3 Balikpapan
Tahun Penyusunan : 2022
Jenjang Sekolah : SMK
Kelas : XI
Alokasi Waktu : 3 Jp (135 menit)
Kompetensi Awal
Profil pelajar pancasila yang ingin di capai adalah Beriman Kepada Tuhan yang
maha Esa dan berakhlak Mulia, bergotong royong dan bernalar kritis
Kategori siswa dalam pembelajaran ini adalah seluruh siswa kelas XI yang terdiri
dari 36 siswa per kelas
Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang digunakan adalah Project Based Learning dimana siswa
akan melakukan penilaian terhadap orang-orang yang mempunyai sifat mampu
menjaga kehormatan, iklas, malu dan zuhud
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembelajaran, peserta didik mampu
1 Menjelaskan pengertian cabang Iman, yaitu : menjaga kehormatan, iklas,
malu, dan zuhud
2 Menjelaskan dalil naqli cabang iman
3 Menganalisis cabang Iman
4 Membiasakan sikap menjaga kehormatan, iklas, malu, zuhud dan hidup
sederhana sebagai bentuk implementasi cabang iman di lingkungan keluarga
sekolah dan masyarakat
5 Mempresentasikan paparan cabang iman
Kata Kunci
1. Cabang Iman 4. Iffah 7. Muru’ah
2. Ikhlas 5. Menjaga Kehormatan 8. Mahabbah
3. Zuhud 6. Malu 9. Taqorrub
Pemahaman Bermakna
Perubahan zaman tidak menghilangkan sifat dasar manusia untuk selalu
menjaga kehormatan dan malu
Komunitas yang membawa kebaikan akan memberikan pengaruh kebaikan
juga pada lingkungan sekitar
Pertanyaan Pemantik
1. Menurut kalian bagaimana reaksi orang saat bertemu dengan orang lain
yang mempunyai sifat iklas, malu zuhud juga menjaga kehormatannya
2. Apa yang akan kita dapatkan jika mempunya sifat-sifat terpuji
3. Siapa saja tokoh-tokoh dunia yang layak kita contoh yang mempunyai
akhlak terpuji
Persiapan Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Asesmen
Pertanyaan
1. Menurut kalian bagaimana reaksi orang saat bertemu dengan orang lain yang
mempunyai sifat iklas, malu zuhud juga menjaga kehormatannya
2. Apa yang akan kita dapatkan jika mempunya sifat-sifat terpuji
3. Siapa saja tokoh-tokoh dunia yang layak kita contoh yang mempunyai akhlak
terpuji
Dari ayat di atas Allah SWT memerintahkan kepada hambanya agar selalu menjaga
pandangan dari apa yang diharamkan, tujuanya adalah untuk menjaga hati,
sebagaimana salah satu ungkapan yang berbunyi
“Pandangan adalah Panah Beracun menuju hati (Ismail bin Umar bin Katsir dalam
kitab Tafsir Ibnu Katsir). Dan pada ayat di atas pada huruf “mim” dalam lafadz
“min absharihinna” adalah bermakna sebagian. Sedangkan untuk lafadz “furuj”
tidak terdapat huruf “min” dikarenakan dalam urusan pandang memandang lebih
luas dibandingkan urusan menjaga kemaluan.
Ketika tidak sengaja memandang perkara yang haram, maka hukum bagi
pandangan yang pertama masih bisa dimaafkan dan harus memalingkan
pandangan ke arah lain, sebagaimana di dalam riwayat Jarir bin Abdullah al-bajali,
ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan yang tidak sengaja
dan beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandangan”. (Shihabuddin
Mahmud al – Alusi ,Ruhul-Ma’ani). Sedangkan untuk urusan menjaga kemaluan
tidak ada rukhsah sama sekali.
Sementara itu wanita sebagai maskot dari keindahan dunia menjadikan dirinya
sebagai objek nomor satu yang melahirkan bahayanya pandangan. Dalam Agama
Islam memberikan ketetapan-ketetapan kepada ummatnya seperti larangan adanya
percampuran antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath), saling berpandangan
(nazhar), berpegangan (lamsu), ke luar rumah tanpa ada mahram yang
menemaninya dan berbicara antara lawan jenis tanpa adanya hajat.
Hal ini sesekali bukan dalam rangka mengekang gerak-gerik wanita Muslimah,
akan tetapi lebih karena menjaga kesuciannya dari hal-hal yang dapat merusak
agamanya. Sehingga tidak heran jika Islam memberikan aturan untuk menjaga
kehormatan orang lain (hifzhil-Irdhi) seperti larangan melontarkan tuduhan zina
(qadzaf). Begitu juga aturan untuk menjaga nasab (hifzun-nasl) seperti aturan
pernikahan. Hifzun-nasl tidak hanya di implementasikan dalam bentuk perintah
saja, tetapi juga dalam bentuk penjagaan seperti larangan zina dan had-nya.
Lalu apa kaitan menjaga pandangan dengan menjaga kehormatan? coba perhatikan
dan renungkan dengan seksama perbedaan antara seorang muslimah yang suka
jelalatan matanya dengan seorang muslimah yang selalu menundukkan
pandanganya, tentu saja terlihat beda penilaiannya.
Hakekat Malu
Dari segi bahasa, malu (al-hayâ’) dalam At-taufiq ‘ala Muhimmat at-
Ta’arif disebutkan bahwa malu adalah menahan diri dari melakukan sesuatu
dengan alasan takut akan celaan dari orang lain. Sedangkan dari segi istilah
disebutkan, malu adalah salah satu akhlak terpuji yang mendorong seseorang
untuk meninggalkan perbuatan yang jelek dan menahan dirinya dari
merampas hak orang lain[1].
Ar-Raghib juga menyebutkan dalam kitab Fath al-Bari berkata, “Malu adalah
menahan diri dari berbuat hal-hal yang tidak baik (buruk). Malu adalah sebuah
karakter khusus bagi manusia berupa naluri untuk menahan dirinya dari hal-
hal yang diiinginkan oleh nafsunya sehingga ia berbeda dengan binatang” [2].
Sifat malu terbagi menjadi 2 macam, yaitu malu yang terbentuk secara alami
(bawaan) dan malu yang terbentuk karena usaha.
Pertama, malu yang terbentuk secara alami, merupakan malu yang sudah
menjadi bawaan dari seseorang, ia tidak memerlukan usaha untuk membentuk
rasa malu itu. Malu secara alami (naluri) sebenarnya dimiliki oleh setiap orang
dan merupakan anugerah dari Allah ﷻ. Rasulullah ﷺbersabda, “Rasa malu
tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan” (H.R.Bukhari).
Kedua, malu yang terbentuk karena usaha merupakan malu yang diusahakan
dan direalisasikan dengan usaha yang sungguh-sungguh. Malu ini diperoleh
dari proses mengenal Allah ﷻ, mengenal Rasulullah ﷺdan mengenal Islam.
Malu ini juga diperoleh dari kedekatan seorang muslim kepada Allah ﷻ.
Kedekatan dengan Allah ﷻakan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah ﷻ,
kepada Rasulullah ﷺdan kepada Islam. Rasa cinta akan mengantarkan
seseorang kepada sikap patuh dan taat terhadap ajaran-ajaran islam, salah
satunya adalah terdorong untuk berakhlak islam yaitu memiliki rasa malu.
Seseorang yang memiliki rasa malu kepada Allah ﷻ, maka ia akan berusaha
untuk meninggalkan segala yang Allah ﷻbenci dan mengerjakan segala yang
Allah ﷻsukai. Sifat malu kepada Allah ﷻakan mengantarkan pemiliknya
malu untuk berbuat dosa, karena ia memiliki sifat muraqabatullah yaitu sifat
merasa selalu diawasi oleh Allah ﷻdalam setiap kondisi kapanpun dan
dimanapun.
Seseorang harus mempunya rasa malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada
diri sendiri berarti malu ketika ingin melakukan kesalahan tatkala sendiri.
Sehingga ketika memiliki niat untuk berbuat dosa tatkala sendiri, malu itulah
yang menghalangi untuk melakukannya.
Rasulullah ﷺjuga bersabda,“ Sungguh, Allah itu pemalu. Allah malu apabila
seseorang mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, tetapi Dia
mengembalikannya dalam keadaan kosong.” (HR. Tirmidzi).
dalam hadist lain Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Malu adalah salah stau
cabang dari keimanan”
“Setiap agama pasti memiliki ajaran moral (akhlak) dan akhlaknya islam
adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)
Begitulah malu dalam Islam dan keutamannya. Keberadaan malu dalam diri
seseorang tidak mengantarkannya pada keburukan, justru akan membawa
kepada kebaikan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[]
Penyusun:
Indayana Ratna Sari, S.Si.
S2 Pendidikan Kimia UNY
https://alrasikh.uii.ac.id/2021/02/19/malu-dalam-islam/
Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas artinya bersih, suci, jernih, atau tidak ternoda. Sedangkan,
secara istilah, ikhlas adalah sesuatu yang murni dan tidak tercampur dengan
hal-hal yang bisa mencampurinya.
Ikhlas juga tak terbatas dalam perkara ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji,
dan amal ibadah lainnya, tetapi juga menyangkut amalan-amalan yang
berhubungan dengan muamalah (kehidupan sosial). Misalnya tersenyum
kepada orang lain, menolong sesama, dan sebagainya. Begitupun ketika
dihadapi dengan cobaan, umat Muslim harus menerimanya dengan ikhlas
Tingkatan Ikhlas
Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Nashaihul Ibad membagi
ikhlas menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan paling tinggi atau ikhlasul
muhibbin, yakni membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia).
Maksudnya, pada tingkatan ini orang yang melakukan ibadah tidak memiliki
tujuan apapun selain karena ingin menuruti perintah Allah.
Ia tak pernah memikirkan balasan atas amalnya itu, bahkan tak memedulikan
apakah kelak ibadahnya itu akan membawanya ke surga atau neraka. Sebab, ia
hanya mengharapkan ridha Allah SWT semata.
Kedua, tingkatan menengah atau yang disebut dengan ikhlasul aabidin, yaitu
melakukan amal ibadah agar Allah memberinya imbalan akhirat, seperti
dimasukkan ke dalam surga atau dijauhkan dari siksa api neraka.
Pada tingkatan kedua ini, seseorang beramal karena Allah, tetapi sebenarnya ia
berharap agar ibadahnya membuatnya mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Perbuatan semacam ini masih tergolong ikhlas, meskipun ikhlasnya tidak
sempurna karena masih dipengaruhi atau didorong keinginan hal yang lain.
Orang yang zuhud akan lebih banyak mengbdikan dirinya untuk ummat.
Harta benda hanyalah alat yang akan digunakan untuk mencapai keridhaan
Allah yang lebih besar. Harta adalah perhiasan yang bisa digunakan untuk
bekal ketaatan kepada Allah.
Dalam surat Al Kahfi ayat 46 Allah berfirman, “Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Seseorang yang zuhud juga lebih mengutamakan akhirat tak akan gila dunia
dan gila harta. Dirinya akan mampu mengontrol diri untuk tetap beribadah
sesuai dengan syariat islam.
Seseorang yang zuhud hanya berorientasi pada Allah saja, bukan pada harta
benda. Misalkan saat melihat mobil baru. Seseorang yang zuhud tak akan
mudah terpesona dan ingin membelinya selama mobil lama masih bisa
digunakan. Mobil hanyalah sarana transportasi biasa. Seorang yang zuhud
akan melihat aspek fungsional ketimbang gengsi.
Seorang yang zuhud berarti bisa mengamalkan firman Allah dalam surat
Gahfir ayat 43 berikut ini. "Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal."
Guru
1. Apakah kegiatan membuka pelajaran yang saya lakukan dapat
mengarahkan dan mempersiapkan siswa mengikuti pelajaran dengan
baik?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
............................................................................................
2. Bagaimana tanggapa siswa terhadapt materi atau bahan ajar yang saya
sajikan sesuai yang diharapkan? (apakah materi terlalu tinggi,terlalu
rendah, atau sesuai dengan kemampuan awal siswa) ?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
............................................................................................
3. Bagaimana respon siswa terhadap media pembelajaran yang
digunakan ? apakah media sesuai dan mempermudah siswa
menguasai kompetensi atau materi yang diajarkan ?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
............................................................................................
4. Bagaimana tanggapan siswa terhadap kegiatan belajar yang telah saya
rancang ?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
............................................................................................
5. Bagaimana tanggapan siswa terhadap metode atau teknik
pembelajaran yang saya gunakan?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
............................................................................................
Siswa