You are on page 1of 21

Kebijakan Politik dan Ekonomi dari Masa ke Masa

serta Dampaknya.

Nama Anggota :
Adelia Tessa (01)

Amelinda Nasywa (03)

Bhima Sakti (09)

Erysha Rivera (12)

Faishal Bagas (14)

Hilda Ramadhina (15)

I Putu Rajendra (16)

Kurnia Assyifa (18)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBIJAKAN POLITIK dan
EKONOMI dari MASA ke MASA serta DAMPAKNYA”

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak – pihak yang telah membantu meyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada :

1. Ibu Sapti Priharjanti,SPd yang telah memberikan tugas ini.


2. Teman – teman yang sudah membantu.
3. Rekan – rekan semua di kelas XII MIPA 6 SMAN 1 JEMBER.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
menyelesaikan pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi makalah ini. Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Jember, 19 September 2022

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi merupakan suatu jalan untuk melakukan perubahan atas apa yang terjadi di
masa lampau. Mengembalikan hak menentukan pemimpin kepada rakyat, penguasa di bawah
pengawasan rakyat.

Dalam sejarah ketatanan Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad,
perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia adalah bagaimana upaya meningkatkan kehidupan ekonomi dan
membangun kehidupan sosial politik yang demokratis dalam masyarakat yang plural.

Demokrasi juga dapat di artikan sebagai seperangkat gagasan dan prinsip tentang
kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Negara yang menganut sistem demokrasi akan
memberikan kebebasan untuk warga negaranya menyampaikan pendapat.

Demokrasi di Indonesia sendiri terdiri dari berbagai jenis dan bermacam-macam.


Beberapa contohnya yakni Demokrasi Liberal (1950-1959 dan Demokrasi Terpimpin (1959-
1966).

Demokrasi Terpimpin merupakan suatu periode pemerintahan yang berlangsung pada


tahun 1959-1965. Dalam periode tersebut, presiden memegang kendali penuh atas jalannya
pemerintahan. Hal tersebut berbeda dibandingkan periode sebelumnya yakni Demokrasi
Liberal, dimana presiden hanya merupakan kepala negara sedangkan pemerintahan dipimpin
oleh seorang perdana menteri.

Hal yang melatar belakangi dari munculnya demokrasi liberal yakni sejatianya karena
Indonesia pada kala itu masih betul-betul terbebas dari gangguan Belanda berusaha
memperbaiki negaranya. Pembentukan negara serikat saat itu dirasa kurang cocok dengan
semangat persatuan rakyat Indonesia, maka dari itu muncullah demokrasi liberal.

Sedangkan, demokrasi terpimpjn sendiri muncul karena terjadinya kegagalan Kontituante


dalam perumuzan konsititusi baru yang dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, serta
ketidakstabilan kondisi politik nasional pada kala itu.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
2.2 Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin
2.3 Kebijakan Ekonomi Pada Demokrasi Liberal
2.4 Kebijakan Ekonomi Pada Demokrasi Terpimpin
2.5 Dampak Positif dan Negatif dari Kebijakan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi
Liberal
2.6 Dampak Positif dan Negatif dari Kebijakan Politik dan Ekonomi Pada Demokrasi
Terpimpin
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal

Setelah Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan atau NKRI pada 17 Agustus 1950,
pemerintahan Indonesia kembali dihadapkan pada permasalahan yang cukup rumit. Masalah
tersebut adalah ketidakstabilan politik. Berbagai Peristiwa politik yang terjadi pada
demokrasi liberal diantaranya :
A. Pergantian Kabinet yang Cepat
Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal menimbulkan persaingan antar golongan.
Masing-masing partai hanya mau mencari kemenangan dan popularitas partai dan
pendukungnnya, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan politik Indonesia. Ketidakstabilan
politik juga diwarnai jatuh bangunnya kabinet karena antara masing-masing partai tidak ada
sikap saling percaya. Sebagai bukti dapat dilihat pergantian kabinet dalam waktu yang relatif
singkat berikut ini.
1. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951).
2. Kabinet Sukiman (April 1951 - Februari 1952).
3. Kabinet Wilopo (April 1952 - Juni 1953).
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953 – Agustus 1955).
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 - Maret 1956)
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 - Maret 1957).
7. Kabinet Juanda (Maret 1957 - Juli 1959).
 
B. Hubungan Pusat dan Daerah
Silih bergantinya kabinet dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan ketidakpuasan
pemerintahan daerah. Karena pemerintahan pusat sibuk dengan pergantian kabinet, daerah
kurang mendapat perhatian. Tuntutan-tuntutan dari daerah ke pusat sering tidak
didengarkan. Situasi ini menyebabkan munculnya gejala provinsialisme atau sifat
kedaerahan. Gejala provinsialisme akhirnya berkembang ke separatisme atau usaha
memisahkan diri dari pusat. Gejala tersebut terwujud dalam berbagai macam
pemberontakan, APRA, pemberontakan Andi Azis,RMS, PRRI, dan Permesta.

C. Pemilu I Tahun 1955


 
Pemilihan Umum (Pemilu) sudah direncanakan oleh pemerintah, tetapi program ini tidak
segera terwujud. Karena usia kabinet pada waktu itu relatif singkat, persiapan-persiapan
secara intensif untuk program tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pemilu merupakan wujud
nyata pelaksanaan demokrasi. Pemilu I di Indonesia akhirnya dilaksanakan pada masa
kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu I yang diselenggarakan pada tahun 1955 dilaksanakan
dua kali, yaitu:
1. Tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
atau Parlemen.
2. Tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante (Dewan
Pembentuk Undang-Undang Dasar).

Secara serentak dan tertib seluruh warga negara yang mempunyai hak memilih mendatangi
tempat pemungutan suara untuk menentukan pilihannya. Pemilu berjalan lancar dan tertib
dan melahirkan Empat partai yang muncul sebagai pemenang dalam Pemilu 1955 secara
berurut: Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
 
D. Kemacetan Konstituante
 
Pemilihan umum tahap II pada tanggal 15 Desember 1955 mengantar terbentuknya Dewan
Konstituante yang bertugas menyusun Undang Undang Dasar. Namun, antara kurun waktu
1956-1959, Dewan Konstituante belum berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar
tersebut. Ketidak berhasilan Konstituante menyusun UUD baru dan kehidupan politik yang
tidak stabil menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat Indonesia.
 
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang Konstituante
yang menganjurkan agar Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi UUD Republik
Indonesia. Konstituante kemudian mengadakan sidang untuk membahas usulan tersebut dan
diadakan pemungutan suara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemungutan suara tidak
memenuhi kuorum. Banyak anggota Dewan Konstituante yang tidak hadir. Kemudian
diadakan pemungutan suara yang kedua pada tanggal 2 Juni 1959. Pemungutan suara kedua
juga tidak memenuhi kuorum. Dengan demikian, terjadi lagi kemacetan dalam Konstituante.
Pada tanggal 3 Juni 1959 para anggota dewan mengadakan reses atau istirahat bersidang.
Ternyata reses ini tidak hanya sementara waktu tetapi untuk selamanya. Artinya, Dewan
Konstituante membubarkan diri.
 
E. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
 
Untuk menanggulangi hal-hal yang dapat membahayakan negara, Letjen A. H Nasution,
selaku Kepala Staf Angkatan Darat, mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik
terhitung sejak tanggal 3 Juni 1959. Kehidupan politik semakin buruk dan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa. Di daerah-daerah terjadi pemberontakan merebut
kekuasaan. Partai-partai yang mempunyai kekuasaan tidak mampu menyelesaikan
persoalan. Soekarno dan TNI tampil untuk mengatasi krisis yang sedang melanda Indonesia
dengan mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Pertimbangan
dikeluarkannya dekrit Presiden adalah sebagai berikut:
1. Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh keputusan dari
Konstituante.
2. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian besar
anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
3. Kemelut dalam Konstituante membahayakan persatuan, mengancam keselamatan
negara, dan merintangi pembangunan nasional.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan keputusan
(dekrit). Keputusan itu dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit ini
adalah sebagai berikut:
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya UUD 1945.
3. Akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat

3.2 Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Kebijakan politik demokrasi terpimpin tergolong dalam kebijakan politik dalam negeri dan
kebijakan politik luar negeri. Kebijakan politik dalam negeri memiliki tujuan persatuan
seluruh bangsa dengan konsep Manipol Usdek dan Naskom, persatuan tersebut
mengharapkan sosialisme Indonesia bermuara kepada selamatnya kaum Marhaen. Kebijakan
politik luar negeri lebih fokus terhadap konfrontasi Belanda di Irian Barat, Inggris di
Malaysia dan Amerika Serikat, strategi perlawanan yang dilakukan dengan cara menghimpun
negara-negara Nefo yang anti Nekolim, selanjutnya di Gagas Conefo sebagai tandingan PBB.

Konsepsi mengenai Demokrasi Terpimpin dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Beberapa


kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Soekarno antara lain:

1. Membentuk MPRS
•Melaksanakan Manifesto politik
•Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup
•Pidato presiden yang berjudul Berdiiri di atas Kaki Sendiri sebagai pedoman revolusi dan
politik luar negeri.

2. Membentuk DPR-GR
Presiden mengeluarkan Penpres yang menyatakan DPR dibubarkan. Sebagai gantinya
presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat gotong-Royong (DPR-GR) yang anggotanya
ditunjuk oleh presiden. Tugas DPR-GR adalah: melaksanakan manifesto politik, mewujudkan
amanat penderitaan rakyat, melaksanakan demokrasi terpimpin.

3. Membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)


Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada
pemerintah.

4. Pemasyarakatan Ajaran Nasakom


Ide ini muncul dari presiden Soekarno untuk menyatukan kekuatan membangun Indonesia.
Soekarno sangat gencar memperluas gagasan Nasakom miliknya. Namun, sekeras apapun ia
mempertahan konsep Nakasom nya, gagasan ini akhirnya kandas.

5. Pembentukan Kabinet Kerja


•Mencukupi Kebutuhan Sandang Pangan
•Menciptakan Keamanan Negara
•Mengembalikan Irian Barat.

6. Pembentukan Front Nasional


•Menyelesaikan revolusi nasional
•Melaksankan pembangunan
•Mengambalikan Irian Barat

7. Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)


•Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek
•Mengawasi pelaksanaan pembangunan
•Menilai hasil kerja mendataris MPRS

8. Pembubaran Masyumi dan PSI


Pertimbangan pembubaran dua partai tersebut adalah dikarenakan pemimpin-pemimpinnya
turut serta memberikan bantuan terhadap pemberontakan PRRI dan Permesta

konstelasi politik pada masa demokrasi terpimpin menimbulkan interaksi kekuatan politik
Presiden Soekarno, militer dan PKI, selain itu juga muncul peristiwa 30 September 1965
sebagai bentuk pertentangan kekuatan ketiga kekuatan tersebut dan dikeluarkan surat perintah
11 Maret 1966 “Supersemar” oleh Presiden Soekarno dan diserahkan kepada Soeharto.

Supersemar digunakan untuk membubarkan dan membatai anggota PKI berikut organisasi-
organisasi yang dianggap dekat serta orang yang menduduki jabatan pemerintahan dianggap
pendukung Presiden Soekarno juga ditangkap. Akhirnya tokoh militer Soeharto dan A.H.
Nasution mampu menggeser Presiden Soekarno dengan ditolaknya Pidato “Nawaksara” yaitu
laporan pertanggung jawaban kepada Majelis Permusyawaratn Rakyat Sementara (MPRS).

3.3 Kebijakan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal

A. Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang diambil
Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai
Rp 2,50 ke atas dipotong nilainya hingga setengahnya. Tujuannya, menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang
kertas menjadi dua bagian, bagian kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri
tetap merupakan alat pembayaran yang sah dengan nilai separuh dari nilai nominal yang
tertera, sedangkan guntingan uang kertas bagian kanan ditukarkan dengan surat obligasi
pemerintah yang dapat dicairkan beberapa tahun kemudian. Kebijakan ini dilakukan
pemerintah guna mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat dan menambah kas negara.
Dengan kebijakan ini, jumlah uang yang beredar bisa berkurang.

B. Gerakan Benteng
Gerakan Banteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sistem ini dicanangkan oleh Menteri
Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto, seorang ahli ekonomi
Indonesia, yang dituangkan dalam program kerja Kabinet Natsir. Pada dasarnya sistem
ekonomi ini bertujuan untuk melindungi para pengusaha dalam negeri dengan cara
memberikan bantuan berupa kredit dan bimbingan konkret. Sekitar 700 pengusaha dalam
negeri telah mendapat bantuan kredit dari pemerintah. Namun, program ini tidak berjalan
dengan baik karena kebiasaan konsumtif yang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri. Banyak
yang menggunakan dana kredit tersebut untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Kegagalan
ini justru menambah defisit anggaran dari Rp 1,7 miliar pada 1951 menjadi Rp 3 miliar pada
1952.

C. Nasionalisasi De Javasche Bank


Pada tanggal 19 Juni 1951, Kabinet Sukiman membentuk Panitia Nasionalisasi de Javasche
Bank yang berdasarkan pada keputusan Pemerintah RI No. 122 dan 123. Pemerintah
memberhentikan Dr. Houwing sebagai Presiden de Javasche Bank dan mengangkat Mr.
Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden de Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15
Desember 1951 diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de
Javasche Bank menjadi Bank Sentral kemudian pada tanggal 1 Juli 1953, de Javasche Bank
berganti menjadi Bank Indonesia. Bank milik Belanda itu dijadikan sepenuhnya bank milik
Indonesia untuk menaikkan pendapatan, menurunkan biaya ekspor, dan menghemat secara
drastis. Sebab sebelumnya, operasional De Javasche Bank masih membutuhkan persetujuan
dari Belanda. Dengan nasionalisasi bank milik Belanda, pemerintah lebih leluasa dalam
menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

D. Sistem Ekonomi Ali-Baba


Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Kabinet Ali I, Iskaq
Tjokrohadisurjo. Program ini diberi nama Ali Baba karena melibatkan pengusaha pribumi
(Ali) dan pengusaha keturunan Tionghoa (Baba). Lewat program ini, pengusaha keturunan
Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi. Sebagai imbalan, para pengusaha keturunan
Tionghoa akan mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah. Namun, program ini
gagal karena pengusaha pribumi masih miskin dibandingkan pengusaha nonpribumi.

E. Persaingan Finansial Ekonomi


Utang kepada Belanda seperti yang disepakati lewat Konferensi Meja Bundar (KMB),
memberatkan Indonesia. Untuk itu, pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin
Harahap dikirim seorang delegasi ke Jenewa, Swiss untuk merundingkan masalah finansial-
ekonomi antara pihak Indonesia dengan Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde
Agung tanggal 7 Januari 1956, adapun kesepakatan yang pada Finek adalah:

1. Hasil KMB dibubarkan.

2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral

3. Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani sehingga Indonesia mengambil


langkah secara sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanudin Harahap
melakukan pembubaran Uni-Indonesia dan akhirnya tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno
menandatangani pembatalan KMB.

F. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang Rencana Pembangunan
Lima Tahun (RPLT) dengan tujuan pembangunan dapat berjalan sesuai kerangka yang
disepakati. Sebab saat itu, kabinet pemerintahan kerap berganti. Akibatnya, pembangunan
berjalan tersendat karena disibukkan persaingan politik. RPLT disetujui DPR pada 11
November 1958. Pembiayaan Rp 12,5 miliar rencananya akan digunakan untuk
pembangunan selama lima tahun dari 1956 sampai 1961. Namun RPLT tak berjalan karena
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perekonomian dalam negeri terkena
imbasnya. Ekspor lesu dan pendapatan negara merosot. Selain itu, gejolak politik membuat
pembangunan tak bisa berjalan.

G. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)


Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II terjadi ketegangan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musyawarah Nasional Pembangunan
(Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat
dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Kendati demikian,
tetap saja Munap tak mampu menyelesaikan masalah karena:

1. Adanya kesulitan dalam menentukan prioritas.


2. Terjadi ketegangan politik.
3. Timbul pemberontakan PRRI/ Permesta.

H. Nasionalisasi Perusahaan Asing


Selain kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pada warga negara Indonesia, perkembangan
kehidupan ekonomi Bangsa Indonesia di masa demokrasi liberal juga tidak lepas dari
kehadiran perusahaan-perusahaan asing yang dijadikan menjadi milik pemerintah Indonesia
atau lebih dikenal dengan nasionalisasi. Tahap ini dimulai sejak Desember 1958 dengan
dikeluarkannya undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda.

Beberapa perusahaan asing yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia di antaranya


adalah Bank Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij (Bank Dagang Negara), Bank
De Nationale Handelsbank N. V (Bank Umum Negara), N.V Nederlandsche Handels
Maatschappij (Bank Exim), Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart
Maatschappij/KNILM (Garuda Indonesia), dll.

3.4 Kebijakan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Buruknya perekonomian pada masa Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah


mengeluarkan sejumlah kebijakan yang signifikan.

Beberapa kebijakan yang cukup dikenal yakni:

1. Pembentukan Bappenas
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, pada 15 Agustus 1959 pemerintanh
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Ketuanya Moh Yamin dengan anggota sebanyak 50 orang. Pada tahun 1963, Presiden
Soekarno mengganti namanya menjadi Bappenas.
Tugas Bappenas yakni:
•Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan bagi pembangunan di tingkat
nasional dan daerah
•Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan
•Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS

2. Penurunan nilai uang (devaluasi)


Pada 25 Agustus 1959, pemerintah mengumumkan keputusan mengenai devaluasi dengan
nilai:

•Uang kertas Rp 500 menjadi Rp 50


•Uang kertas Rp 1.000 menjadi Rp 100
•Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000

Kebijakan ini diambil untuk membendung tingginya inflasi.Dengan devaluasi, diharapkan


uang yang beredar di masyarakat berkurang. Selain itu, nilai rupiah meningkat.

Pemotongan nilai uang memang berdampak harga barang menjadi murah. Namun tetap saja
rakyat kesusahan karena tidak memiliki uang.

Kas negara sendiri defisit akibat proyek politik yang menghabiskan anggaran.

Untuk menyetop defisit, pemerintah justru mencetak uang baru tanpa perhitungan matang.

Devaluasi kembali dilakukan pada 1965 dengan menjadikan uang Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Akibatnya, bukannya berkurang, inflasi malah makin parah.

Indonesia mengalami hiperinflasi pada 1963-1965. Inflasi mencapai 600 persen pada 1965.

3. Deklarasi Ekonomi (Dekon)


Untuk memperbaiki ekonomi secara menyeluruh, pada 28 Maret 1963, pemerintah
mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang berisi 14 peraturan pokok.Dekon
dikeluarkan sebagai strategi untuk menyukseskan pembangunan yang dirancang
Bappenas.Pemerintah menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari atau
berdiri di atas kaki sendiri. Tujuan Dekon yakni untuk menciptakan ekonomi yang bersifat
nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme.

Sayangnya, Dekon tak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi. Dekon
malah mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Kegagalan Dekon disebabkan:

Tidak terwujudnya pinjaman dari IMF sebesar 400 juta dollar ASA.Perekonomian terganggu
karena pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat memperparah kemerosotan ekonomi.

4. Meningkatkan perdagangan dan perkreditan luar negeri


Sebagai langkah dari ekonomi berdikari, pemerintah berusaha membangkitkan sektor agraris
yang menjadi ciri khas perekonomian Indonesia.
Harapannya, hasil pertanian mampu diekspor untuk memperoleh devisa dan
menyeimbangkan neraca perdagangan.
Untuk mendukung rencana ini, pemerintah juga membentuk Komando Tertinggi Operasi
Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP).

5. Peleburan Bank
Presiden berusaha menyatukan semua bank negara dalam bank sentral. Lewat Perpres No
7/1965, didirikan Bank Tunggal Milik Negara.Bank Tunggal Milik Negara berfungsi sebagai
bank sirkulasi, bank sentral, sekaligus bank umum.

Bank Indonesia, adalah hasil peleburan dari bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan
Nelayan, Bank Umum Negara, dan Bank Tabungan Negara.

Tapi langkah ini memicu spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara.
Sebab saat itu belum ada lembaga pengawas.

3.5 Dampak Positif dan Negatif dari Kebijakan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi
Liberal
Dampak positif pada masa demokrasi terpimpin, antara lain:

1. Kebebasan Dalam Berdemokrasi


Sebagai negara yang majemuk dan beragam penerapan demokrasi liberal memberikan
dampak positif berupa kebebasan dalam berdemokrasi sebagaimana sistem pemilu distrik  .
Kebebasan ini menandai adanya sebuah upaya agar masyarakat dapat lebih berpartisipasi
dalam semua aspek pemerintahan. Baik dari segi perekonomian, sosial, budaya, keamanan
hingga bahkan penyelenggaraan negara. Kebebasan dan keterbukaan dalam demokrasi ini
benad-benar secara nyata diterapkan. Hasilnya ialah ada banyak sekali wakil-wakit rakyat dri
kelompok partai yang pada akhirnya dapat duduk di parlemen.

Tentunya hal ini semakin memberikan warna bagi parlemen. Sekaligus semakin
mengokohkan keterwakilan masyarakat oleh para wakil mereka yang duduk di parlemen.
Sehingga pada akhirnya setiap kebijakan yang di putuskan akan dapat terwakilkan dan
memberikan dampak positif bagi semua kelompok dan golongan. Dengan upaya ini tentu
tidak ada diskriminasi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Ini juga merupakan upaya
untuk memberikan porsi yang sama kepada kelompok minoritas agar tidak semakin
terpinggirkan.

2. Kebebasan Sistem Multipartai

Sebagaimana dijelaskan dalam poin sebelumnya demokrasi liberal memberikan kebebasan


setiap warganya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Salah satu caranya ialah melalui
jalur partai. Masyarakat diberi kebebasan untuk membentuk dan membuat banyak partai yang
tentunya dapat mewakili suara mereka di perlemen. Kebebasan ini akan semakin membuat
kondiai politik lebih semarak. Sebab akan ada lebih banyak partai yang terlibat. Dengan
demikian maka masyarakat akan disuguhi pilihan-pilhan yang terbaik. Sehingga pada
akhirnya masyarakat akan dapat memiliki wakil yang terbaik dan mewakili mereka di
parlemen.

3. Kemajuan Dalam Beberapa Sektor Industri

Demokrasi liberal memberikan pengaruh terhadap kemajuan di berbagai sektor industri.


Dalam demokrasi liberal swasta dan masyarakat diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk
dapat mengelola usaha dan juga mengelola sumber kekayaan negara. Sehingga ada banyak
sektor industri yang kemudian dapat maju dan berkembang dengan pesat. Inilah yang
kemudian menyebabkan geliat dan pertumbujan ekonom semakin meningkat. Para pengusaha
meniliki spekulasi yang lebih terbuka serta minat swasta dan asing untuk berinvestasi pada
perusahaan negara semakin besar. Simak juga mengapa presiden soekarno mengeluarkan
dekrit presiden , metode pemenangan pilkada , pengertian analisa politik , serta dampak
positif dan negatif pemilu .

Dampak negatif tentunya juga membayangi penerapan demokrasi liberal di Indonesia,


beberapa dampak tersebut antara lain ialah sebagai berikut:

1. Tingginya Kesenjangan Sosial

Demokrasi liberal memberi peluang kepada mereka yang bermodal besar dan memiliki
kekayaan yang melimpah untuk dapat bersaing dan memguasai sumber daya alam negara.
Kondiai ini kemudian menyebabkan kaum berpenghasilan kecil tidak memiliki peluang untuk
bersaing. Sebab bukan hanya bermodalkan uang saja namun para pengusaha industri juga
memiliki koneksi yang dekat dengan para dewan di parlemen. Kekutan ini lah yang tentunya
tidak dimiliki oleh kelas bawah. Kondisi ini memicu kesenjangan sosial dimasyarakat.

Dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin atau begitu-begitu
saja hidupnya. Dalam artian meskipun masyarakat dibenaskan terlibat lngsung dalam
perekonomian namun tetap saja yang akan berkuasa ialah mereka yang memiliki modal besr
dan koneksi yang kuat. Bagi kaum lemah mereka hanya akan berperan sebagai pekerja yang
penghasilannya tentu hanya cukup untuk itu-itu saja. Inilah yang kemudian membuat kita
sangat mudah menemukan kelompok masyarakat yang kaya sekali dan kelompok masyarakat
tak berpenghasilan.

2. Kebijakan Pemerintahan yang Berbelit-Belit

Banyak yang beranggapan bahwa pada masa demokrasi liberal dianut Indonesia.
Ketimpangan yang terjadi di parlemen ialah terlalu banyak kebijakan yang dikeluarkan dan
sifatnya berbelit-belit. Mengingat bahwa pada masa demokrasi liberal kabinet yang ada selalu
di rombak dan berganti-ganti. Faktor inilah yang kemudian membuat kebijakan yang di buat
pemerintah tergolong berbelit-belit. Belim selesai dibuat dan baru proses penggodokan
kabinet sudah ganti, efeknya  ya sudah pasti kebijakan tadi menjadi terbengkalai dan tak
terealisasi.

3. Kondisi Negara Menjadi Tidak Stabil

Pada masa demokrasi liberal kondisi negara yang tidak stabil sebagai akibat dari pergantian
kabinet yang terlalu sering terjadi pada masa demokrasi liberal sehingga menyebabkan
pemerintahan tidak berjalan secara efisien yang berdampak besar pada perekonomian
Indonesia yang mengalami keterpurukan akibat inflasi yang tinggi. Pergantian kabinet yang
terlalu sering membuat tidak rampungya kinerja kabinet lama. Sehingga kemudian menjadi
carut marut dan pada akhirnya memberikan dampak yang lebih luas baik pada aspek
perekonomian, kemanan, dan stabilitas pemerintahan. Simak juga kekuatan politik indonesia ,
sistem pemilu proporsional , dan kelemahan sistem parlementer.

4. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat

Meskipun beberapa industri mengalami kemajuan namun, berbanding terbalik dengan


kesejarteraan masyarakat. Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat pada masa demokrasi
liberal karena pemerintah terlalu fokus pada perkembangan politik sehingga tidak terlalu
memperhatikan pekembangan ekonomi. Sorotan hanya dilakukam pada bidang politik
sehingga bidang ekonomi kemudian diabaikan. Alhasil perekonomian Imdonesia saat itu bisa
dibilang cukup kritis. Sebab kurs rupiah semakin melamah dari waktu ke waktu.

5. Maraknya Pemberontakan Di Berbagai Daerah 

Berbagai pemberontakan di daerah pada masa demokrasi liberal karena berbagai


ketidakpuasan daerah atas penyelenggaraan pemerintahan di pusat sehingga mengganggu
keamanan dan memperburuk pertumbuhan ekonomi perekonomian. Ketidakpuasan
masyarakar menyebabkan emosi meluap dan kemudoan dilampiasakan pada tindakan
pemebeeontakam dan kerusuhan. Dampak yang dianggap berbahaya dan dapat mengancam
keutuhan NKRI.

Dampak demokrasi liberal secara positif dan negatif bagi bangsa Indonesia. Tentu dapat
menjadi sebuah pembelajaran dalam menerapkan sistem demokrasi yang dianut. Sepanjang
penerapannya di Indonesia, demokrasi liberal dianggap tidak cocok dan tidak dapat mewakili
kemajemukam dan keberagam negara ini. Sehingga kemudian pada akhirnya demokrasi yang
berlaku di negara kita hingga saat ini ialah demokrasi pancasila.

3.6 Dampak Positif dan Negatif dari Kebijakan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi
Terpimpin

Dampak positif pada masa demokrasi terpimpin, antara lain:


1. Pencetusan demokrasi terpimpin telah menyelamatkan negara Republik Indonesia dari
masalah perpecahan di antara para pemimpin Indonesia serta mampu mencegah krisis yang
berkepanjangan.

2. Pencetusan demokrasi terpimpin telah memberikan pedoman hidup bangsa Indonesia yang
jelas yakni Undang – Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

3. Pencetusan demokrasi terpimpin menjadi cikal bakal pembentukan lembaga tinggi negara
yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS).

Demokrasi Terpimpin setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini
sebenarnya muncul dari gagasan ABRI yang ingin kembali diterapkannya UUD 1945.
Harapannya dengan dikeluarkannya dekrit, pemerintahan Indonesia akan menjadi lebih stabil
dan integrasi Indonesia dapat terjaga. Konsepsi mengenai Demokrasi Terpimpin dicetuskan
oleh Presiden Soekarno. Beberapa kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Soekarno antara
lain:

 Pembentukan MPRS
 Pembentukan DPR-GR
 Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
 Pemasyarakatan Ajaran Nasakom
 Pembentukan Kabinet Kerja
 Pembentukan Front Nasional
 Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)

(Kebijakan Ekonomi pada Demokrasi Terpimpim)

Pada masa demokrasi terpimpin, kondisi perekonomian Indonesia sangat tidak stabil. Hal


tersebut dibuktikan dengan sejumlah permasalahan yang ada, seperti inflasi yang tinggi,
menipisnya cadangan devisi, kegiatan ekspor dan impor yang macet, hingga naiknya harga
kebutuhan pokok masyarakat. Buruknya perekonomian pada masa Demokrasi Terpimpin
membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang signifikan.

Beberapa kebijakan yang cukup dikenal yakni:

 Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)


 Penurunan nilai uang (devaluasi)
 Deklarasi Ekonomi (Dekon)
 Meningkatkan perdagangan dan perkreditan luar negeri
 Peleburan bank

Dampak negatif dari sistem demokrasi terpimpin yakni munculnya penyalahgunaan terhadap
kewenangan presiden. Karena adanya penyalahgunaan ini, mengakibatkan adanya
pemberontakan yang terjadi di mana-mana.

Penyimpangan atau dampak² nagatif yang muncul pada masa demokrasi terpimpin tahun
1959 sampai 1966 yaitu:

1. Menafsirkan Pancasila terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh

Periode Demokrasi Terpimpin didasarkan pada penafsiran dari sila keempat Pancasila, yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Tetapi, Presiden Soekarno saat itu menafsikan terpimpin dengan arti "pimpinan terletak di
tangan pemimpin besar revolusi."

2. Pengangkatan presiden seumur hidup

UUD 1945 mengatur presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun. Tetapi,
Ketetapan MPRS No. III/1965 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup,
seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, dan
Pencegahan Korupsi oleh A. Ubaedillah.

3. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955

Kebijakan ini membuat hilangnya pengawasan dari lembaga legislatif terhadap eksekutif.

4. Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)

5. Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin menjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden

Dalam pelaksanaan periode Demokrasi Terpimpin cenderung terjadi pemusatan kekuasaan


pada Presiden atau Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini menjadi pengingkaran terhadap nilai-
nilai demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada pemimpin,
serta hilangnya kontrol sosial.

6. Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang cenderung memihak komunis
Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi kecenderungan pemihakan pada Blok Timur atau
RRC.

7. Manipol USDEK yang dibuat Presiden menjadi GBHN

Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi


terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) Tahun 1960. USDEK dibuat oleh Presiden Soekarno, sedangkan
GBHN harusnya dibuat oleh MPR
BAB VI
KESIMPULAN
Demokrasi Terpimpin merupakan suatu periode pemerintahan yang berlangsung pada
tahun 1959-1965. Dalam periode tersebut, presiden memegang kendali penuh atas jalannya
pemerintahan. Sedangkan, Demokrasi Liberal adalah saat dimana presiden hanya merupakan
kepala negara sedangkan pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri. Munculnya
kebijakan- kebijakan pada masa-masa demokrasi liberal dan terpimpin dilakukan untuk
memajukan negara indonesia sendiri, namun beberapa mungkin melenceng dari tujuan
utamanya untuk memperbaiki politik dan ekonomi indonesia. Beberapa menimbulkan negatif
yang berdampak buruk terhadap Indonesia, yang seharusnya hal tersebut memberikan
dampak positif kepada negara

You might also like