Professional Documents
Culture Documents
Dosen Pengampu:
Hendrik E.S Samosir, SE,Ak.,M.Ak.,CA
DISUSUN OLEH:
MAZMUR WALLTER SIMANJUNTAK
19510259
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang akan membahas lebih jauh
mengenai “PPN DAN PPNBM”.
Makalah ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perencanaan Perpajakan, serta agar dapat menambah wawasan sekaligus pemahaman
terhadap materi yang penulis bawakan. Penulis sangat berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah ini Bapak Hendrik E.S Samosir, SE,Ak.,M.Ak.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta
bimbingan dari dosen demi penyempurnaan dimasa-masa yang akan datang, semoga
karya tulis ini bermanfaat bagi semuanya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISIii
BAB I PENDAHULUAN1
BAB II PEMBAHASAN3
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................14
3.2 Saran...............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena
pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam
pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda. Pengenaan PPN
sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat
yang merupakan objek dari PPN tersebut.
1
2
PEMBAHASAN
Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM)
merupakan dua jenis pajak yang berbeda meski memiliki sejumlah unsur yang sama.
Dari pengertiannya saja, kita bisa simpulkan jika PPN dan PPNBM merupakan
dua hal yang berbeda. PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan
nilai yang muncul karena pemakaian faktor-faktor produksi oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang menyiapkan, menghasilkan dan memperdagangkan Barang Kena Pajak
(BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Sementara, PPNBM merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang masuk
golongan barang mewah. Pengenaan PPNBM dibebankan pada produsen atau PKP yang
menghasilkan atau mengimpor barang mewah.
Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa PPN dan PPNBM merupakan jenis
pajak yang berbeda, meski metode penerbitan faktur pajak dan pelaporan SPT-nya
menggunakan mekanisme pelaporan yang sama.
Merupakan pajak tidak langsung. Artinya, beban pajak dialihkan kepada pihak
lain, yakni pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek
pajak. Selain itu, tanggung jawab penyetoran pajaknya tidak berada di pihak
yang memikul beban pajak.
Merupakan pungutan yang sifatnya objektif. Kewajiban untuk membayar PPN
ditentukan oleh objek pajak, sehingga kondisi subjek pajak tidak diperhitungkan
sama sekali. Kondisi seseorang sebagai subjek pajak, terlepas dari gender, status
3
4
sosial ataupun daya beli semuanya sama di mata PPN sehingga dikenakan
besaran pungutan yang sama.
Multi stage tax. Artinya, PPN dikenakan pada seluruh rantai produksi dan
distribusi. Setiap barang yang menjadi objek PPN mulai dari pabrikan ke
pedagang besar hingga ke pengecer atau ritel, semuanya dikenakan PPN.
Dihitung dengan metode indirect substraction. Pajak yang dipungut PKP penjual
tidak langsung disetorkan ke kas negara. PPN terutang yang harus dibayarkan ke
kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar
kepada PKP lain yang dinamakan pajak masukan dengan PPN yang dipungut
dari pembeli yang dinamakan pajak keluaran.
Merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri. PPN hanya dikenakan
pada konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena
itu, komoditas impor juga dikenai PPN dengan besaran sama dengan komoditas
lokal.
Bersifat netral. Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yakni dikenakan atas
konsumsi barang maupun jasa dan menganut prinsip tempat tujuan (destination
principle) dalam pemungutannya.
Tidak menimbulkan pajak berganda. Kemungkinan adanya pajak berganda dapat
dihindari karena PPN hanya dipungut atas nilai tambah saja.
Hanya dikenakan satu kali. PPNBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat
impor/penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan pabrikan yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah.
Tidak dapat dikreditkan. Karena sasaran PPNBM adalah konsumen, maka tujuan
memberi beban pajak tambahan tidak akan tercapai apabila PPNBM dapat
dikreditkan karena PPNBM yang dibayar akan masuk kembali ke kas
perusahaan pedagang besar. Oleh karena itu, PPNBM akan dibebankan sebagai
biaya oleh PKP yang menyerahkan BKP pada mata rantai distribusi yang kedua,
sehingga akan menjadi unsur harga jual yang diminta dari pembeli, yaitu PKP
pada jalur berikutnya atau konsumen yang secara langsung membeli dari
pedagang besar.
Jika diekspor, PPNBM yang dibayar pada saat perolehan dapat diminta kembali.
Meski PPNBM tidak dapat dikreditkan, tetapi apabila BKP yang tergolong
mewah diekspor, maka PPNBM yang dibayar berkaitan dengan perolehan BKP
yang tergolong mewah yang berhubungan langsung dengan BKP, dapat diajukan
permintaan restitusi.
Perbedaan PPN dan PPNBM
Berdasarkan masing-masing karakteristiknya, secara garis besar terdapat tiga
poin perbedaan PPN dan PPNBM, yakni:
Jenis pungutan. Pada PPN, jenis pungutan yang dibebankan adalah pungutan
atas nilai tambah barang. Sementara, PPNBM merupakan pungutan tambahan
yang dikenakan selain PPN kepada barang yang sifatnya mewah.
Pengenaan Pajak. PPN dikenakan di setiap mata rantai jalur produksi maupun
jalur distribusi, mulai dari tingkat pabrikan, tingkat pedagang besar hingga
tingkat pedagang pengecer. Sementara, PPNBM hanya dikenakan satu kali,
yakni saat impor atau saat penyerahan BKP di dalam negeri oleh pabrikan yang
menghasilkannya.
Pengkreditan. PPN dapat dikreditkan melalui mekanisme pajak masukan dan
pajak keluaran. Sementara, PPNBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau
PPNBM lainnya.
6
Yang wajib membayar atau menyetor dan melapor PPN dan PPNBM :
Oleh PKP
PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan pajak masukan dan pajak
keluaran , yang disetor adalah selisih pajak masukan dan pajak keluaran bila
pajak masukan lebih kecil dari pajak keluaran
PPNBM yang dipungut oleh PKP pabrikan barang kena pajak yang tergolong
mewah
PPN yang ditetapkan oleh dirjen pajak dalam SKPKB (Surat ketetapan pajak
kurang bayar) , dan surat tagihan pajak (STP)
Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak
Kantor Pos dan Giro
Bank Persepsi
Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPNBM
PPN dan PPNBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
PPN dan PPNBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,
dan STP tersebut.
7
OBJEK PPN
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri tidak dalam lingkungan kegiatan/usaha
8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
SUBJEK PPN
Subjek pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.
Dengan demikian, pembeli atas BKP/JKP yang terkait wajib membayar ke PKP
penjual sebesar harga jual ditambah PPN terutang. Tarif PPN sebesar 10%.
1. Rekanan memiliki kewajiban dalam membuat faktur pajak dan Surat Setoran
Pajak (SSP) atas tiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena
Pajak (JKP) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
2. Faktur pajak dibuat sesuai ketentuan di bidang perpajakan.
3. Mencantumkan NPWP dan identitas rekanan dan melakukan penandatanganan
SPP yang dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan tersebut.
4. Atas penyerahan BKP, selain terutang PPN, yakni terutang pula PPNBM, maka
rekanan mencantumkan pula jumlah PPNBM terutang pada faktur pajak.
5. Faktur pajak dibuat rangkap 3. Lembar pertama untuk BUMN, lembar kedua
untuk rekanan, dan ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN.
6. SSP dibuat rangkap 5. Lembar pertama untuk rekanan, kedua untuk KPPN lewat
bank persepsi atau kantor pos, ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT
Masa PPN, keempat untuk bank persepsi atau kantor pos, kelima untuk BUMN
yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
10
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena
pajak sehingga dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) kecuali, jenis barang dan jasa
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4A UU NO.8 tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana
telah beberapa kali di ubah terakhir dengan UU NO.42 tahun 2009.
PKP badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat
kegiatan usaha karena bagi PKP badan di kedua tersebut dianggap melakukan
penyerahan BKP atau JKP ( Penjelasan pasal 12 ayat 1UU PPN) Ketentuan bagi PKP
badan yang memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha yang terdaftar di satu
wilayah kerja KPP yang sama ada di UU PPN NO.42 tahun 2009 pasal 12 ayat 1.
Untuk menghitung PPN, kita harus menggunakan rumus yakni: tarif PPN x Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) atau 10% x DPP.
Contoh kasus:
PT. Indah merupakan PKP yang menjual BKP pada PT. ABC dengan harga
Rp50.000.000. Maka, PPN terutang yang perlu disetorkan adalah:
Jadi, PPN Rp 5.000.000 menjadi pajak keluaran yang dipungut PT. Indah dari PT ABC
adalah Rp 5.000.000.
1. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPNBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPNBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
2. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPNBM dengan tarif
misalnya 35%. Oleh karena PPNBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor
tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPNBM sebesar Rp1.000.000dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan
sebagai biaya. Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka
penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 50.000.000
13
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual
beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang
mendapat status Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atau sering kali disebut Pajak Barang
Mewah adalah pajak yang dikenakan atas transaksi Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun diimpor.
3.2 Saran
Dari uraian di atas kami menyarankan kepada pembaca sekalian agar manfaat dari
pembahasan mengenai pajak penghasilan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah
dapat memberikan wawasan positif. Kami juga meminta kritik dan saran yang
membangun agar bisa dijadikan sebagai bahan perbaikan kedepannya.
14
15
DAFTAR PUSTAKA