Professional Documents
Culture Documents
Rangkuman Terapi Supportif, Anak Sekolah Dan Remaja
Rangkuman Terapi Supportif, Anak Sekolah Dan Remaja
a. Pengertian
Terapi suportif adalah bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan secara individu maupun
kelompok (Fitriani, 2018) yang berfokus pada pikiran disfungsional, perasaan, dan
perilaku. bersifat eklektik dan tidak tergantung pada satu konsep atau teori, serta
menggunakan psikodinamik untuk memahami perubahan perilaku akibat faktor
biopsikososial dengan penekanan pada respon koping maladaptif (Stuart, 2016).
Kelompok terapi suportif memiliki nilai bagi klien dari segala usia, baik yang
didiagnosis secara medis maupun kejiwaan.
Terapi ini juga bertujuan utama membantu anggota mengatasi stres kehidupan (Stuart et
al., 2016), memperkuat fungsi psikologis subjek agar lebih sehat dan diharapkan
muncul pola-pola perilaku yang lebih adaptif, mengurangi konflik intrapsikis yang
seringkali berdampak pada munculnya gejala-gejala gangguan mental (Fitriani, 2018).
Terapi suportif memberikan tempat yang nyaman bagi anggotanya untuk
mengekspresikan perasaan frustasi, kejenuhan, atau perasaan tidak bahagia serta
mendiskusikan masalah yang biasa dihadapi dan kemungkinan solusinya.
b. Indikasi Terapi
Menurut Fitriani (2018), terapi suportif dapat diindikasikan pada kondisi seseorang
yang mengalami stress, kecemasan, depresi, gangguan kepribadian, gangguan hubungan
interpersonal, gangguan kognitif serta gangguan perilaku.
Terapi suportif dapat menurunkan depresi pada lansia (Sucipto & Rinawati, 2019),
mengurangi dorongan bunuh diri pada pasien skizofrenia (Pardede, 2017). Terapi
suportif yang dikombinasikan dengan Thought Stopping efektif dalam menurunkan
Postpartum Blues dan kecemasan pada ibu yang memiliki bayi prematur (Laela et al.,
2018), terapi suportif dapat mengendalikan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia
yang memiliki permasalahan terkait perilaku kekerasan (Agustina, 2017). Terapi
suportif yang diberikan pada klien dengan kecemasan dan depresi mampu
meningkatkan secara signifikan pengetahuan perawatan diri dan menurunkan
kecemasan serta gejala depresi (Doornbos et al., 2018), terapi suportif merupakan salah
satu terapi yang dapat berpengaruh pada keterampilan sosialisasi pada penderita
skizofrenia (Harkomah et al., 2018).
Terapi Kelompok Teraupetik Anak Sekolah
a. Pengertian
Terapi kelompok terapeutik pada anak usia sekolah adalah suatu bentuk terapi
kelompok yang memberikan stimulasi perkembangan pada anak usia sekolah
dengan cara berbagi pengalaman, saling membantu dalam menyelesaikan masalah
dan mengajarkan cara mengendalikan stress (Townsend, 2015). Anak usia sekolah
adalah masa dimana anak berusia 6 sampai 12 tahun.
b. Tujuan
Agar anak mampu mengenal dan menstimulasi aspek perkembangan dalam
dirinya, mampu menyelesaikan masalah, membantu anak dalam memulihkan dan
memperkuat pertahanan dirinya (Sadock, 2014) dan membantu anak dalam
mengatasi permasalahannya dengan cara menyelesaikan masalah bersama dalam
kelompok dan saling berbagi pengalaman untuk mencapai tugas perkembangan
anak usia sekolah (Wetik, 2016) .
c. Tugas Perkembangan
Ericson menyatakan bahwa tugas perkembangan anak usia sekolah adalah tugas
perkembangan industry vs inferiority atau fase industri vs rendah diri (Erickson,
1950 dalam Wong et al., 2009). Pada masa ini berkembang kemampuan
psikososial anak usia sekolah yaitu kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi
dan berprestasi dalam belajar, jika anak usia sekolah tidak mampu mencapai
perkembangan tersebut maka anak sekolah akan cenderung menjadi
minder/rendah diri (Keliat, Hamid, Putri, et al., 2019)
f. Efektivitas Terapi
Penelitian terhadap perkembangan industri anak usia sekolah di panti sosial
asuhan anak Kota Bandung yang dilakukan oleh Walter, Keliat dan Hastono
(2010) menunjukkan bahwa terapi kelompok teraupetik mampu meningkatkan
secara bermakna perkembangan industri anak sekolah sebesar 58,6%. Namun
penelitian ini belum optimal karena tidak melibatkan guru dan orang tua. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Nova, Keliat dan Mustikasari (2019) dengan
melibatkan keluarga, guru dan kader kesehatan jiwa didapatkan adanya
peningkatan pada kemampuan industri anak usia sekolah dan kemampuan
keluarga dalam melakukan stimulasi aspek perkembangan anak. Selain itu,
penelitian dilakukan oleh Istiana, Keliat dan Nurani (2011) juga menunjukkan
adanya peningkatan perkembangan industri anak sekolah setelah diberikan terapi
kelompok terapeutik di sekolah. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dengan
terapi kelompok terapeutik yang dilakukan pada anak, orang tua dan guru mampu
meningkatkan pengetahuan, psikomotor dan perkembangan industri anak sekolah
dibandingkan dengan terapi kelompok terapeutik yang diberikan pada anak saja
(Sunarto, Keliat & Pujasari, 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam terapi kelompok
terapeutik anak usia sekolah menjadi penting karena berpengaruh dalam
pencapaian perkembangan anak usia sekolah. Orang Tua atau guru akan
membantu dalam melakukan stimulasi anak usia sekolah sebagai pendamping di
rumah atau di sekolah.
Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak hingga dewasa ditandai
perkembangan aspek biologi, psikologi, dan sosial. Remaja juga dihadapkan pada
proses perubahan kognitif emosional, moral, dan psikososial (Kholifah et al.,
2020). Erik Erikson (1968) berpendapat bahwa remaja menghadapi krisis antara
kebingungan identitas dan peran. Krisis ini terjadi akibat keinginan untuk
mencoba banyak hal tentang diri dan kebutuhan untuk memilih satu identitas diri.
Remaja yang berhasil mecapai identitas diri telah dipersiapkan dengan baik untuk
menghadapi tantangan perkembangan berikutnya yaitu membangun keintiman,
berbagi hubungan dengan orang lain (Glowiak & Mayfield, 2016). TKT remaja
memberikan tempat untuk berbagi pengalaman antar remaja dalam kelompok
yang membantu remaja untuk melakukan evaluasi ulang secara kritis tentang
nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua. Selain itu TKT ini membantu remaja
untuk menghubungkan kejadian masa lalu, saat ini dan yang akan datang sehingga
menjadi sadar tentang perilaku dan kepribadian baru dari teman sebaya. Remaja
akan menerima dukungan positif dari teman sebaya dan belajar satu sama lain
sehingga dapat membentuk identitas diri yang positif (Kholifah et al., 2020;
Leader, 1991)
c. Penelitian yang dilakukan Yunita A.H dan Keliat B.A (2022) menjelaskan hasil
bahwa setelah dilakukan Terapi Kelompok Teraupetik terjadi peningkatan
aspek perkembangan remaja secara signifikan dan peningkatan pencapaian
tugas perkembangan remaja sebanyak 8,8-10 point. TKT terbukti efektif dan
dapat direkomendasikan sebagai salah satu terapi modalitas dalam
peningkatan aspek dan pencapaian tugas perkembangan pada remaja.
d. Terapi Kelompok Teraupetik merupakan pilihan yang ideal dan penting dalam
mengatasi masalah perkembangan yang dihadapi remaja, dengan dilakukannya
TKT remaja menjadi mampu belajar satu sama lain sesuai perkembangannya,
TKT juga dapat memenuhi kebutuhan remaja secara positif, bermakna bagi
kelompok sebaya dan pembentukan identitas diri remaja (Wardiyah D, dkk,
2021).
Meskipun ini adalah masa perkembangan yang dinamis, remaja lebih berisiko jika
mereka memiliki harga diri yang rendah, kesulitan sosial, gangguan dalam interaksi
interpersonal, atau tidak dapat mempercayai orang lain (Patel, et al., 2007;
Remschmidt, et al., 2007). Juga, Patel et al. (2007) menyoroti bahwa remaja lebih
rentan terhadap masalah kesehatan mental jika mereka memiliki keterbatasan
secara intelektual, belajar, sensorik atau fisik. Selain itu, ketika remaja mengalami
tekanan dan konflik eksternal dengan keluarga mereka, kelompok sebaya, sekolah
atau organisasi sosial, dan hubungan, mereka mungkin mengalami kesulitan
menguasai perkembangan normal yang sehat (Fisher, 2011). Misalnya, ketika
remaja merasa seolah-olah mereka “tidak cocok,” dan terisolasi dari kelompok
sebaya mereka, atau percaya bahwa keluarga mereka "tidak mengerti," rasa
penolakan dapat berkembang dan secara signifikan berdampak pada kesehatan
mental mereka (Pingitore, 2015).
Remaja tidak mudah menerima TKT, karena mereka tidak terampil untuk dapat
berfungsi sebagai anggota kelompok, kurang dari aspek bahasa dalam
mengungkapkan perasaan, dan sering kurang motivasi untuk menjalani suatu proses
terapi (Shechtman,2007). Mereka cenderung pemarah, antagonis, dan resisten
(Shechtman, 2017). Terkadang beberapa remaja dalam keluarganya diajarkan sejak
usia muda untuk menjaga masalah pribadi dan masalah keluarga (Haj-Yahia, 2003).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan beberapa literatur yang
berbeda dari segi komposisi peserta TKT remaja. Malekoff (2014) menyatakan
“kelompok remaja” 5-9 anggota biasanya ideal, namun kelompok yang lebih kecil
atau lebih besar dapat bekerja juga. Dalam penelitian Pingitore (2015),
direkomendasikan 4-6 sebagai ukuran ideal kelompok. Ini adalah rekomendasi
yang kuat untuk TKT remaja. Mereka lebih suka kelompok yang lebih kecil karena
mereka merasa memberikan lebih banyak kesempatan bagi semua anggota untuk
berbicara sebanyak yang mereka butuhkan. Juga, ukuran kelompok yang lebih kecil
terasa lebih intim dan remaja dapat terhubung lebih cepat satu sama lain karena
jumlah mereka lebih sedikit. Menurut Modul TKT Remaja FIK UI tahun 2019,
ukuran anggota peserta TKT remaja dapat berjumlah 6-10 anggota, yang bersumber
dari teori Stuart & Laraia (2005).
Hambatan dalam melakukan TKT pada remaja antara lain remaja belum paham
dengan kegiatan yang akan dilakukan dan keluarga mengatakan belum pernah
mendorong pencapaian perkembangan identitas diri pada remaja, belum tahu
bagaimana cara melakukan stimulasi, merasa kesulitan. Remaja juga terkadang
mengalami peningkatan konflik dengan orang tua, tidak mau diatur, perubahan
suasana hati/ perasaan meningkat, dan tidak jarang bersikap kekanak- kanakan jika
mengalami stres (Ali & Ansori, 2010).
DAFTAR PUSTAKA