You are on page 1of 21

Terapi suportif

a. Pengertian

Terapi suportif adalah bentuk psikoterapi yang dapat diterapkan secara individu maupun
kelompok (Fitriani, 2018) yang berfokus pada pikiran disfungsional, perasaan, dan
perilaku. bersifat eklektik dan tidak tergantung pada satu konsep atau teori, serta
menggunakan psikodinamik untuk memahami perubahan perilaku akibat faktor
biopsikososial dengan penekanan pada respon koping maladaptif (Stuart, 2016).

Kelompok terapi suportif memiliki nilai bagi klien dari segala usia, baik yang
didiagnosis secara medis maupun kejiwaan.

Terapi ini juga bertujuan utama membantu anggota mengatasi stres kehidupan (Stuart et
al., 2016), memperkuat fungsi psikologis subjek agar lebih sehat dan diharapkan
muncul pola-pola perilaku yang lebih adaptif, mengurangi konflik intrapsikis yang
seringkali berdampak pada munculnya gejala-gejala gangguan mental (Fitriani, 2018).
Terapi suportif memberikan tempat yang nyaman bagi anggotanya untuk
mengekspresikan perasaan frustasi, kejenuhan, atau perasaan tidak bahagia serta
mendiskusikan masalah yang biasa dihadapi dan kemungkinan solusinya.

b. Indikasi Terapi

Menurut Fitriani (2018), terapi suportif dapat diindikasikan pada kondisi seseorang
yang mengalami stress, kecemasan, depresi, gangguan kepribadian, gangguan hubungan
interpersonal, gangguan kognitif serta gangguan perilaku.

c. Prinsip Pelaksanaan Terapi

Terapi suportif terdiri atas 4 Sesi (Keliat et.al, 2019):


a. Sesi 1 : Identifikasi masalah dan sumber pendukung didalam dan diluar keluarga
b. Sesi 2 : Mengatasi masalah kedua dan menggunakan sumber pendukung didalam
dan diluar keluarga
c. Sesi 3 : Mengatasi masalah ketiga dan menggunakan sumber pendukung di
dalam dan diluar keluarga
d. Sesi 4 : Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber pendukung
Beberapa teknik yang digunakan dalam menerapkan terapi suportif (Mutiara, 2017)
antara lain sebagai berikut:
a. Guidance/Bimbingan
b. Manipulasi lingkungan
c. Eksternalisasi perhatian
d. Sugesti-prestis
e. Reassurance (meyakinkan kembali)
f. Dorongan dan paksaan
g. Persuasi
h. Pengakuan dan penyaluran
i. Terapi kelompok yang berfungsi sebagai pemberi inspirasi dari klien-klien
lainnya yang memiliki problem sejenis
Efektifitas Terapi

Terapi suportif dapat menurunkan depresi pada lansia (Sucipto & Rinawati, 2019),
mengurangi dorongan bunuh diri pada pasien skizofrenia (Pardede, 2017). Terapi
suportif yang dikombinasikan dengan Thought Stopping efektif dalam menurunkan
Postpartum Blues dan kecemasan pada ibu yang memiliki bayi prematur (Laela et al.,
2018), terapi suportif dapat mengendalikan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia
yang memiliki permasalahan terkait perilaku kekerasan (Agustina, 2017). Terapi
suportif yang diberikan pada klien dengan kecemasan dan depresi mampu
meningkatkan secara signifikan pengetahuan perawatan diri dan menurunkan
kecemasan serta gejala depresi (Doornbos et al., 2018), terapi suportif merupakan salah
satu terapi yang dapat berpengaruh pada keterampilan sosialisasi pada penderita
skizofrenia (Harkomah et al., 2018).
Terapi Kelompok Teraupetik Anak Sekolah
a. Pengertian
Terapi kelompok terapeutik pada anak usia sekolah adalah suatu bentuk terapi
kelompok yang memberikan stimulasi perkembangan pada anak usia sekolah
dengan cara berbagi pengalaman, saling membantu dalam menyelesaikan masalah
dan mengajarkan cara mengendalikan stress (Townsend, 2015). Anak usia sekolah
adalah masa dimana anak berusia 6 sampai 12 tahun.
b. Tujuan
Agar anak mampu mengenal dan menstimulasi aspek perkembangan dalam
dirinya, mampu menyelesaikan masalah, membantu anak dalam memulihkan dan
memperkuat pertahanan dirinya (Sadock, 2014) dan membantu anak dalam
mengatasi permasalahannya dengan cara menyelesaikan masalah bersama dalam
kelompok dan saling berbagi pengalaman untuk mencapai tugas perkembangan
anak usia sekolah (Wetik, 2016) .
c. Tugas Perkembangan
Ericson menyatakan bahwa tugas perkembangan anak usia sekolah adalah tugas
perkembangan industry vs inferiority atau fase industri vs rendah diri (Erickson,
1950 dalam Wong et al., 2009). Pada masa ini berkembang kemampuan
psikososial anak usia sekolah yaitu kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi
dan berprestasi dalam belajar, jika anak usia sekolah tidak mampu mencapai
perkembangan tersebut maka anak sekolah akan cenderung menjadi
minder/rendah diri (Keliat, Hamid, Putri, et al., 2019)

Tugas perkembangan anak usia sekolah (industri), yaitu menyelesaikan tugas


(sekolah atau rumah) yang diberikan, mempunyai rasa bersaing (kompetisi),
senang berkelompok dengan teman sebaya dan mempunyai sahabat karib dan
berperan dalam kegiatan kelompok (Keliat et al., 2007). Dengan adanya teman
sebaya anak belajar cara memimpin dan hubungan sosial (Anderson & Mcfarlane,
2011).

d. Prinsip Pelaksanaan Terapi Kelompok Terapeutik Anak Usia Sekolah


Prinsip terapi kelompok terapeutik harus memperhatikan prinsip-prinsip yaitu
segera menolong klien, melibatkan dukungan keluarga dan sistem sosial, berfokus
pada kondisi sekarang, menurunkan stress dengan cara memberikan dukungan,
menggunakan tehnik klarifikasi dan pemecahan masalah, membantu pasien untuk
mengatasi krisis dimasa yang akan datang dan secepatnya mencari pertolongan
bila mengalami masalah (Rockland, 1989 dalam Trihadi, 2009). Karakteristik
terapi kelompok terapeutik adalah kelompok kecil dengan jumlah 7-10 orang,
anak usia sekolah, berpartisipasi penuh, memiliki otonomi, keanggotaan sukarela
dan saling membantu dalam berbagi pengalaman untuk memenuhi tugas
perkembangan anak usia sekolah.

e. Pelaksanaan Terapi Kelompok Terapeutik Anak Sekolah


Adapun pelaksanaan terapi kelompok terapeutik anak sekolah dalam setiap sesi
antara lain (Keliat, dkk., 2019; Susanti dkk, 2016) :
a. Sesi 1 : Identifikasi tentang perkembangan anak usia sekolah (industri)
b. Sesi 2 : Stimulasi perkembangan aspek motoric
Aspek motoric kasar yaitu naik turun tangga, melompat jauh, loncat tali,
berjingkat dan merubah arah dengan cepat, naik sepeda, berlari, dapat
mengenakan pakaian tanpa dibantu, senam, berenang, menggunakan alat-alat
olahraga, baris berbaris.
Aspek motoric halus dapat distimulasi dengan menulis dengan tulisan
sambung, menggambar dengan pola atau objek, memotong kertas dengan
mengikuti pola, melempar,menangkap bola, serta memainkan benda-benda
atau alat-alat mainan.
c. Sesi 3 : Stimulasi perkembangan aspek kognitif dan bahasa
Aspek kognitif dengan cara anak bisa membedakan antara khayalan dan
kenyataan, lebih efisien dalam membangun strategi dan pengkodean, anak
memahami sebab dan akibat, kemampuan menilai dari berbagai sudut
pandang meningkat, kemampuan berhitung meningkat seperti;
menjumlahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi.
Aspek Bahasa dapat distimulus dengan cara anak dapat memperkenalkan diri,
anak menceritakan kembali cerita pendek, gemar membaca dan mampu
menceritakan pengalamannya.
d. Sesi 4 : Stimulasi perkembangan aspek emosional dan kepribadian
Aspek emosional : anak mampu mengenal emosinya sendiri, mengenal
penyebab perasaan yang timbul, mampu mengungkapkan perasaan marah,
mampu mengendalikan perilaku agresif yang merugikan diri sendiri dan
orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stress, memiliki perasaan
positif tentang diri sendiri,sekolah dan keluarga, memiliki rasa tanggung
jawab, dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain, memiliki sikap
bersahabat, dan bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain
Aspek Kepribadian : kemantapan gender tercapai, mampu menilai
kekurangan dan kelebihan, mampu menilai prestasi yang diperoleh secara
realistis, mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawab, dan realistis
dalam mencapai tujuan.
e. Sesi 5 : Stimulasi perkembangan aspek moral dan spiritual
aspek moral ; anak sudah mengenal konsep moral (baik dan buruk), anak
dapat mengikuti peraturana dari orang tua, sekolah dan lingkungan sosial
lainnya, agresi terutama jenis permusuhan sudah berkurang, penalaran moral
semakin dipandu oleh rasa keadilan.
aspek perkembangan spiritual : sikap keagaamaan anak bersifat resertif dan
pengertian, pandangan dan paham kebutuhan diperoleh secara rasioanl
berdasarkan kaidah logika, penghayatan rohani semakin mendalam, dalam hal
ini tidak juga hanya sebagai kegiatan keagamaan tapi menyangkut masalah
spirituan seperti: hormat kepada orang tua atau orang yang lebih tua, guru dan
teman, memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan pertolongan,
menyayangi fakir miskin, memelihat kebersihan
f. Sesi 6 : Stimulasi perkembangan aspek psikososial
anak usia sekolah biasanya mengalami konflik dengan saudara kandung,
persahabatan semakin luas dan menjadi semakin intim, mulai membentuk
ikatan baru dengan teman sebaya, kesanggupan menyesuaikan diri terhadap
orang lain atau dapat bekerja sama dengan orang lain. Berminat terhadap
kegiatan teman sebaya bahkan sampai membentuk kelompok (gang) sendiri.
Biasanya anak lebih mementingkan teman dari pada keluarga.
g. Sesi 7 : Monitoring dan evaluasi pengalaman dan manfaat Latihan
Setiap sesi menggunakan enam metode yaitu diskusi terkait pengalaman anak
mengenai topik yang akan dibahas, penjelasan dari terapis tentang topik bahasan,
role model oleh terapis terkait cara melakukan stimulasi, tindak lanjut terkait
tugas yang harus dilakukan oleh anak setelah terapi yaitu melakukan latihan dan
mencatat dalam buku kerja.

f. Efektivitas Terapi
Penelitian terhadap perkembangan industri anak usia sekolah di panti sosial
asuhan anak Kota Bandung yang dilakukan oleh Walter, Keliat dan Hastono
(2010) menunjukkan bahwa terapi kelompok teraupetik mampu meningkatkan
secara bermakna perkembangan industri anak sekolah sebesar 58,6%. Namun
penelitian ini belum optimal karena tidak melibatkan guru dan orang tua. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Nova, Keliat dan Mustikasari (2019) dengan
melibatkan keluarga, guru dan kader kesehatan jiwa didapatkan adanya
peningkatan pada kemampuan industri anak usia sekolah dan kemampuan
keluarga dalam melakukan stimulasi aspek perkembangan anak. Selain itu,
penelitian dilakukan oleh Istiana, Keliat dan Nurani (2011) juga menunjukkan
adanya peningkatan perkembangan industri anak sekolah setelah diberikan terapi
kelompok terapeutik di sekolah. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dengan
terapi kelompok terapeutik yang dilakukan pada anak, orang tua dan guru mampu
meningkatkan pengetahuan, psikomotor dan perkembangan industri anak sekolah
dibandingkan dengan terapi kelompok terapeutik yang diberikan pada anak saja
(Sunarto, Keliat & Pujasari, 2011).

Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam terapi kelompok
terapeutik anak usia sekolah menjadi penting karena berpengaruh dalam
pencapaian perkembangan anak usia sekolah. Orang Tua atau guru akan
membantu dalam melakukan stimulasi anak usia sekolah sebagai pendamping di
rumah atau di sekolah.

g. Yang Perlu Diperhatikan Dalam TKT Anak Usia Sekolah


a. Terkadang tidak memberikan informasi kepada anak usia sekolah tentang
tujuan TKT, hanya kepada orang tua atau guru. Hal ini dapat membuat anak
merasa cemas dengan kelompok baru dan saat pelaksanaan terapi anak
menunjukkan penolakan karena merasa tidak nyaman sehingga kurang mampu
mengikuti kegiatan dalam setiap sesi terapi (Siepker & Kandaras, 2018)
b. Kemampuan anak usia sekolah dalam menghadapi situasi atau kondisi tertentu.
Anak usia sekolah mengalami peningkatan pada aspek emosional dan setiap
anak mempunyai respons yang beragam sesuai tingkat usia karena
berhubungan dengan kematangan dalam berpikir (Susanti dkk, 2016)
c. Dalam pelaksanaan terapi, melibatkan orang tua secara langsung tidak selalu
penting untuk mengikuti kegiatan terapi karena hal tersebut dapat dilakukan
melalui komunikasi lewat telepon (Siepker & Kandaras, 2018)
d. Jumlah anggota kelompok adalah 5 -7 orang, apabila lebih dari jumlah tersebut
anak tidak merasakan manfaat dari terapi (Siepker & Kandaras, 2018)

Pembahasan Terapi Kelompok Teapeutik Anak Usia Sekolah


Dalam pelaksanaan terapi kelompok terapeutik anak sekolah penting untuk
memperhatikan prinsip pelaksanaan terapi yaitu jumlah anggota kelompok 5-7
orang dapat memberikan manfaat terapi kepada anak sedangkan jika lebih dari
jumlah tersebut, anak tidak akan merasakan manfaat terapi. Dijelaskan oleh
Siepker & Kandaras (2018) bahwa jumlah kelompok yang lebih dari 7 orang
akan membuat terapis tidak dapat memberikan stimulasi dengan baik kepada
anak. Pada pelaksanaan terapi pada 23 anak usia sekolah dengan pembagian 3
kelompok, dapat dilakukan dengan baik karena melibatkan kader kesehatan
jiwa sehingga dapat membantu perawat dalam melakukan stimulasi pada setiap
sesi tahap perkembangan anak (Susanti, Hamid & Putri, 2016).
Keterlibatan orang tua dalam pelaksanaan terapi juga dapat mempengaruhi
keberhasilan anak dalam menerima stimulasi yang diberikan secara optimal.
Melibatkan orang tua secara langsung dalam terapi dapat meningkatkan
kemampuan orang tua dalam membantu melakukan stimulasi pada anaknya
sehingga sangat berpengaruh dalam pencapaian tugas perkembangan industri
anak usia sekolah (Nova, Keliat & Mustikasari, 2019). Namun terkadang
banyak orang tua yang tidak dapat mendampingi anaknya karena kesibukan
dalam pekerjaan. Hal ini dijelaskan dalam hasil penelitian bahwa anak setelah
sampai di rumah jarang melakukan latihan karena tidak ada yang
mendampingi, orang tua memiliki kesibukan dengan pekerjaan masing-masing
sehingga tidak cukup waktu dalam mendampingi anaknya melatih stimulus di
rumah (Susanti, Hamid, & Putri, 2016). Oleh karena itu, menurut Siepker &
Kandaras (2018) dalam pelaksanaan terapi tidak perlu melibatkan orang tua
secara langsung. Pendekatan kepada orang tua dapat dilakukan melalui telepon
sehingga pelaksanaan terapi dapat tetap diberikan kepada anak tanpa harus
menunggu orang tua hadir dalam pelaksanaan terapi tersebut.
Dalam melakukan terapi kelompok terapeutik pada anak usia sekolah,
terkadanag tujuan dari terapi kelompok terapeutik tidak disampaikan kepada
anak yang akan mengikuti kegiatan terapi tersebut karena dianggap telah
disampaikan kepada keluarga atau sekolah. Akan tetapi, hal ini bisa
menyebabkan timbulnya perasaan cemas pada anak karena merasa tidak akan
diterima oleh kelompok baru atau teman sebaya yang baru. Perasaan cemas
yang dialami oleh anak akan menimbulkan perilaku seperti penolakan atau
perlawanan. Saat anak menunjukkan perilaku tersebut, anak tidak bisa
mengikuti dengan baik setiap sesi dalam terapi kelompok terapeutik karena
anak akan merasa tidak nyaman dan tidak tertarik (Siepker & Kandaras, 2018).
Anak usia sekolah memiliki kemampuan dalam menilai sesuatu dari berbagai
sudut pandangnya, membuat suatu alasan mengapa sampai terjadi sesuatu dan
mampu untuk memecahkan masalah yang sederhana (Susanti, Hamid, & Putri,
2016).
Dijelaskan juga oleh Susanti, Hamid, & Putri (2016) bahwa sesi 4 merupakan
sesi yang cukup sulit dilakukan dalam pelaksanaan terapi kelompok terapeutik
anak usia sekolah dan harus dilakukan sebanyak dua kali. Pada sesi ini anak
hanya akan mengungkapkan perasaannya jika ditanya dan belum mempunyai
keberanian untuk menyampaikan pendapat atau perasaannya secara mandiri
sehingga dibutuhkan suatu pendekatan secara interpersonal yang lebih pada
anak. Apabila kemampuan pada sesi ini tidak dilatih secara terus-menerus,
kemungkinan akan membuat anak mengalami kesulitan untuk berinteraksi
dengan teman sebaya dan dapat menyebabkan perilaku menyimpang pada
anak. Perkembangan emosi dan kognitif akan berbarengan dengan
perkembangan perilaku anak. Sehingga perlu untuk diketahui bahwa anak usia
sekolah mengalami peningkatan emosi dan memiliki respons yang beragam
tergantung pada kemampuan anak dalam menghadapi stressor (Affrunti &
Borden, 2016). Untuk itu, dalam memberikan terapi pada anak usia sekolah
perlu melihat bagaimana kondisi atau perasaan anak walaupun anak sudah
mengikuti terapi. Rasa aman dan nyaman yang dirasakan oleh anak akan
memudahkan dalam pelaksanaan terapi. Selain itu, anak usia sekolah lebih
senang berkelompok dengan teman sebaya yang sesuai dengan karakternya
(Siepker & Kandaras, 2018).
Lingkungan keluarga, sekolah, dan kelompok teman sebaya memberi pengaruh
terhadap pencapaian perkembangan anak usia sekolah. Penelitian telah banyak
menjelaskan bahwa perkembangan industri anak usia sekolah akan meningkat
dengan melibatkan keluarga, dan sekolah. Lingkungan keluarga, sekolah atau
pun teman sebaya saling mempengaruhi satu dengan lainnya untuk
menciptakan perkembangan industri pada anak usia sekolah. Perilaku anak usia
sekolah dipengaruhi oleh lingkungannya terutama guru dan teman sekolah
(Roseberg, 2011 dalam Susanti, dkk, 2016). Namun, meskipun anak usia
sekolah lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebaya, intensitas
keterlibatan keluarga dan interaksi keluarga dengan anak sangat membantu
dalam meningkatkan tugas perkembangan industri anak. Hal ini menjelaskan
bahwa pencapain tugas perkembangan industri anak usia sekolah pada
lingkungan keluarga dan sekolah saling mempengaruhi karena stimulasi
perkembangan industri anak akan tetap dilanjutkan di rumah setelah anak
selesai di sekolah.
Terapi Kelompok Teraupetik Remaja
a. Pengertian
Remaja adalah usia 12-18 tahun (Keliat, Hamid, PUTRI, et al., 2019). Terapi
Kelompok Terapeutik (TKT) Remaja adalah salah satu terapi modalitas pada
remaja untuk membantu mereka untuk mengenali tahap “identity” yang
merupakan tugas utama perkembangannya (Leader, 1991). TKT remaja adalah
terapi yang dapat membantu remaja dalam memenuhi kebutuhannya secara
positif, mencari makna dalam kelompok sebaya dan pembentukan identitas diri
(Stuart et al., 2016). Jadi TKT Remaja adalah salah satu terapi modalitas pada
remaja yang dapat membantu remaja dalam memenuhi kebutuhannya secara
positif, mencari makna dalam kelompok sebaya dan pembentukan identitas diri.
b. Tujuan
Usia remaja seringkali menjadi sasaran utama dalam pelaksanaan satu terapi
karena tahapan perkembangan mereka dapat memicu gejala, ketegangan
hubungan, memperburuk masalah sebelumnya, atau menghasilkan perilaku
beresiko. Tujuan utama dari TKT remaja adalah mendorong keberhasilan dalam
negosiasi pada masa transisi yang menjadi tonggak perkembangannya (Haen &
Weil, 2010).
c. Indikasi
Indikasi dilakukannya Terapi Kelompok Terapeutik pada remaja antara lain
(Kymissis, 1996 dalam Fleitmen, n.d.; Rawlins, Williams dan Beck, 1998):

a. Mengalami berbagai kesulitan dengan orang tua dan tekanan kelompok


sebaya
b. Masalah komunikasi di lingkungan rumah, sekolah dan sosial
c. Memelihara hubungan dengan orang tua dan saudara
d. Strategi koping yang tidak efektif dan gangguan keterampilan komunikasi
e. Permasalahan hubungan dengan orang lain seperti orang tua, guru dan sebaya
f. Klien yang mengalami stres emosional karena sakit fisik, krisis pertumbuhan
dan perkembangan
g. Ketidakmampuan penyesuaian sosial
d. Tugas perkembangan
Tugas perkembangan remaja yaitu mencapai identitas diri versus bingung peran.
Tugas perkembangan remaja bertujuan untuk pencapaian identitas diri agar kelak
remaja menjadi individu dewasa yang memiliki sense of self yang sesuai dan
dapat berperan di lingkungan masyarakat (Papalia, et al. 2009).

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya sikap dan


meninggalkan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk kemampuan
bersikap dan perilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa
remaja, menurut Hurlock (1990) dalam Asrori (2009) yaitu remaja berusaha:

a. Mampu menerima keadaan fisiknya


b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa
c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis
d. Mencapai kemandirian emosional
e. Mencapai kemandirian ekonomi
f. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang sangat diperlukan
untuk melakukan peran sebagai anggota anggota masyarakat
g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua
h. Mengembakan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa
i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan
j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

e. Prinsip dan pelaksanaan


Stuart (2019), menyatakan bahwa terdapat komponen kelompok kecil dalam
terapi kelompok terapeutik yang meliputi; struktur, ukuran kelompok yang terdiri
dari 6-10 anggota, lamanya sesi, adanya komunikasi dan umpan balik, peran,
kekuasaan, norma, dan kohesif.

Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak hingga dewasa ditandai
perkembangan aspek biologi, psikologi, dan sosial. Remaja juga dihadapkan pada
proses perubahan kognitif emosional, moral, dan psikososial (Kholifah et al.,
2020). Erik Erikson (1968) berpendapat bahwa remaja menghadapi krisis antara
kebingungan identitas dan peran. Krisis ini terjadi akibat keinginan untuk
mencoba banyak hal tentang diri dan kebutuhan untuk memilih satu identitas diri.
Remaja yang berhasil mecapai identitas diri telah dipersiapkan dengan baik untuk
menghadapi tantangan perkembangan berikutnya yaitu membangun keintiman,
berbagi hubungan dengan orang lain (Glowiak & Mayfield, 2016). TKT remaja
memberikan tempat untuk berbagi pengalaman antar remaja dalam kelompok
yang membantu remaja untuk melakukan evaluasi ulang secara kritis tentang
nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua. Selain itu TKT ini membantu remaja
untuk menghubungkan kejadian masa lalu, saat ini dan yang akan datang sehingga
menjadi sadar tentang perilaku dan kepribadian baru dari teman sebaya. Remaja
akan menerima dukungan positif dari teman sebaya dan belajar satu sama lain
sehingga dapat membentuk identitas diri yang positif (Kholifah et al., 2020;
Leader, 1991)

Terapi Kelompok Teraupetik merupakan tindakan keperawatan pada kelompok


yang mempunyai rentang usia yang sama dan di lakukan oleh perawat spesialis.
Tahapan pelaksanaan TKT Remaja menurut Keliat, dkk (2019), yaitu :

a. Sesi 1 : Stimulasi perkembangan aspek biologis dan psikoseksual


b. Sesi 2 : Stimulasi perkembanga aspek kognitif dan bahasa
c. Sesi 3 : Stimulasi perkembangan aspek moral dan spiritual
d. Sesi 4 : stimulasi perkembangan aspek emosional dan psikososial
e. Sesi 5 : Stimulasi perkembangan aspek bakat dan kraetifitas
f. Sesi 6 ; monitoring dan evaluasi pengalaman dan manfaat pelatihan.

f. Efektivitas TKT Remaja


a. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Maryatun (2013) menjelaskan bahwa TKT
yang di laksanakan pada remaja mampu meningkatkan kemampuan
perkembangan diri remaja meningkat secara kognitif, emosi, moral dan
psikososial dibandingakn remaja yang tidak di berikan Terapi kelompok
teraupetik. TKT dapat membantu remaja untuk merubah prilaku maladaptif.
b. Terapi kelompok terapeutik dapat meningkatkan perkembangan psikososial
dan emosi pada anak remaja, pada penelitian ini dijelaskan tkt yang diberikan
adalah melakukan stimulasi perkembangan psikososial untuk menumbuhkan
kepercayaan diri yang positif serta tkt yang diberikan efektif untuk
mengendalikan stres emosional, memberikan kesempatan pada remaja untuk
mengespresikan emosi atau masalah prilaku dan saling memberikan umpan
balik terhadap prilaku yang menjengkelkan atau menyenangkan, belajar
toleransi dan mencegah tempramental (Arifudin dan Helena P, 2021).

c. Penelitian yang dilakukan Yunita A.H dan Keliat B.A (2022) menjelaskan hasil
bahwa setelah dilakukan Terapi Kelompok Teraupetik terjadi peningkatan
aspek perkembangan remaja secara signifikan dan peningkatan pencapaian
tugas perkembangan remaja sebanyak 8,8-10 point. TKT terbukti efektif dan
dapat direkomendasikan sebagai salah satu terapi modalitas dalam
peningkatan aspek dan pencapaian tugas perkembangan pada remaja.

d. Terapi Kelompok Teraupetik merupakan pilihan yang ideal dan penting dalam
mengatasi masalah perkembangan yang dihadapi remaja, dengan dilakukannya
TKT remaja menjadi mampu belajar satu sama lain sesuai perkembangannya,
TKT juga dapat memenuhi kebutuhan remaja secara positif, bermakna bagi
kelompok sebaya dan pembentukan identitas diri remaja (Wardiyah D, dkk,
2021).

g. Pembahasan Terapi Kelompok Terapeutik Remaja


Ketika perawat spesialis kesehatan jiwa melakukan intervensi Terapi Kelompok
Teraupetik (TKT) pada remaja, harus memperhatikan aspek perkembangan
psikologis yang terjadi di fase usia remaja, agar tujuan dari TKT tercapai yaitu para
remaja dapat terstimulasi dalam meningkatkan aspek perkembangannya. Masa
remaja digambarkan sebagai masa perubahan yang ditandai dengan perubahan yang
signifikan perubahan fisik, kognitif, emosional, sosial dan moral (American
Psychological Association, 2002; Fisher, 2011; Malekoff, 2014; Pojman, 2009).
Tugas perkembangan utama masa remaja termasuk pemisahan dari keluarga,
pematangan biologis dan seksual, perkembangan identitas pribadi termasuk sistem
moral atau nilai-nilai, membangun kemandirian atau otonomi dalam masyarakat
dan mempersiapkan masa depan (Christie & Viner, 2005; Garrison & Felice, 2009;
Malekoff, 2014). Meskipun masa remaja adalah bagian dari perkembangan normal,
mungkin juga merupakan masa dimana para remaja sering mengalami guncangan
dalam kehidupan dan perilaku pengambilan keputusan berisiko (APA, 2002; Fisher,
2011; Malekoff, 2014; Pojman, 2009). Perubahan yang terjadi selama masa remaja
dan pengalaman mengenal diri sendiri serta orang lain, sementara pada saat yang
sama mengembangkan rasa identitas pribadi dan tempat di dunia, dapat membawa
kecemasan, kerentanan dan tantangan pada diri remaja.

Meskipun ini adalah masa perkembangan yang dinamis, remaja lebih berisiko jika
mereka memiliki harga diri yang rendah, kesulitan sosial, gangguan dalam interaksi
interpersonal, atau tidak dapat mempercayai orang lain (Patel, et al., 2007;
Remschmidt, et al., 2007). Juga, Patel et al. (2007) menyoroti bahwa remaja lebih
rentan terhadap masalah kesehatan mental jika mereka memiliki keterbatasan
secara intelektual, belajar, sensorik atau fisik. Selain itu, ketika remaja mengalami
tekanan dan konflik eksternal dengan keluarga mereka, kelompok sebaya, sekolah
atau organisasi sosial, dan hubungan, mereka mungkin mengalami kesulitan
menguasai perkembangan normal yang sehat (Fisher, 2011). Misalnya, ketika
remaja merasa seolah-olah mereka “tidak cocok,” dan terisolasi dari kelompok
sebaya mereka, atau percaya bahwa keluarga mereka "tidak mengerti," rasa
penolakan dapat berkembang dan secara signifikan berdampak pada kesehatan
mental mereka (Pingitore, 2015).

Remaja tidak mudah menerima TKT, karena mereka tidak terampil untuk dapat
berfungsi sebagai anggota kelompok, kurang dari aspek bahasa dalam
mengungkapkan perasaan, dan sering kurang motivasi untuk menjalani suatu proses
terapi (Shechtman,2007). Mereka cenderung pemarah, antagonis, dan resisten
(Shechtman, 2017). Terkadang beberapa remaja dalam keluarganya diajarkan sejak
usia muda untuk menjaga masalah pribadi dan masalah keluarga (Haj-Yahia, 2003).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan beberapa literatur yang
berbeda dari segi komposisi peserta TKT remaja. Malekoff (2014) menyatakan
“kelompok remaja” 5-9 anggota biasanya ideal, namun kelompok yang lebih kecil
atau lebih besar dapat bekerja juga. Dalam penelitian Pingitore (2015),
direkomendasikan 4-6 sebagai ukuran ideal kelompok. Ini adalah rekomendasi
yang kuat untuk TKT remaja. Mereka lebih suka kelompok yang lebih kecil karena
mereka merasa memberikan lebih banyak kesempatan bagi semua anggota untuk
berbicara sebanyak yang mereka butuhkan. Juga, ukuran kelompok yang lebih kecil
terasa lebih intim dan remaja dapat terhubung lebih cepat satu sama lain karena
jumlah mereka lebih sedikit. Menurut Modul TKT Remaja FIK UI tahun 2019,
ukuran anggota peserta TKT remaja dapat berjumlah 6-10 anggota, yang bersumber
dari teori Stuart & Laraia (2005).

Hambatan dalam melakukan TKT pada remaja antara lain remaja belum paham
dengan kegiatan yang akan dilakukan dan keluarga mengatakan belum pernah
mendorong pencapaian perkembangan identitas diri pada remaja, belum tahu
bagaimana cara melakukan stimulasi, merasa kesulitan. Remaja juga terkadang
mengalami peningkatan konflik dengan orang tua, tidak mau diatur, perubahan
suasana hati/ perasaan meningkat, dan tidak jarang bersikap kekanak- kanakan jika
mengalami stres (Ali & Ansori, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Addington J, Marshall C, and French P. (2012). Cognitive Behavioral Therapy in


Prodromal Psychosis.the Centre for Mental Health Research and Education,
University of Calgary. Retieve from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4356485/
Affrunti & Borden. (2016). Negative Affect and Child Internalizing Symptoms: the
Mediating Role of Perfectionism. Child Psychiatry Hum Dev, 47: 358-368.
DOI 10.1007/s10578-015-0571-x
Ali, M. dan Asrori, M. (2009). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta:
PT Bumi Aksara
American Psychological Association (2002). Developing adolescents: A reference for
professionals. Washington, DC: American Psychological Association
Anderson & McFarlane. (2011). Community as Partner. Theory and Practice in Nursing
6th ed. Lippincott Williams & Wilkins Health: Philadelphia.
Arifudin, Helena. P. (2021). Pengaruh Kelompok Teraupetik terhadap perkembangan
psikososial dan emosi pada remaja. Madago Nursing Journal, 15-21.
Asrori, M. (2009). Psikologi remaja perkembangan peserta didik.Jakarta: PT Bumi
Aksara
BKKBN. (2011). kajian profil penduduk remaja 10-24 tahun: ada apa dengan remaja ?
Policity Brief Puslitbang Kependudukan, BKKBN seri 1 no 6/Pusdu-
BKKBN/desember 2011.
BKKBN. (n.d.). BKKBN (2011). Kajian Profil Penduduk Remaja 10 – 24 Tahun : Ada
apa.
Christie, D. & Viner, R. (2005). Adolescent development. British Medical Journal, 330
(7486), 301- 304
Cleodora, C. (2016). Pengaruh Terapi Kelompok Terapeutik Terhadap Self-Efficacy
Anak Usia Sekolah dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.
Tesis. FIK UI : Tidak dipublikasikan
Departemen kesehatan RI. (2018). Infodatin Pusat data dan Informasi KemKes RI.
Situasi kesehatan Reproduksi Remaja, www.depkes.go.id/../structure-
publikasi-infodatin.htm.
Depkes.(2007). Buku pedoman kesehatan jiwa. Jakarta: Depkes
Fisher, J. (2011). Adolescence: Developmental stage and mental health morbidity.
International Journal of Social Psychiatry, 57 (S1), 13-19
Fleitmen, M (n.d). (2010). Group therapy for adolescents (age 13-18).
http://www.revitalizing psychiatry.com/contactus.html.
Fortinash, Katherine M., and Patricia A. Holoday Worret. 2012. Psychiatric Mental
Health Nursing. 3rd Edition. USA: Mosby
Garrison, W. & Felice, M. (2009). Adolescence. In Cary, Crocker, Coleman, Elias &
Feldman (Eds). Developmental-Behavior al Pediatrics (4th ed.). (pp.62- 72)
Garland, Caroline. The Groups Book : Psychoanalytic Group Therapy: Principles and
Practice, Taylor & Francis Group, 2010. ProQuest Ebook Central,
https://www.proquest.com/legacydocview/EBC/689921?accountid=17242.
Hurlock, E.B. (1990). Development psycology : A. Lifespon Approach (Terjemahan
oleh Istiwidayanti). Jakarta: Erlangga Gunarsa
Ishak, N.-A., T. Jdaitawi, M., Saleh Ibrahim, Y., & T. Mustafa, F. (2011). Moderating
Effect of Gender and Age on the Relationship between Emotional Intelligence
with Social and Academic Adjustment among First Year University Students.
International Journal of Psychological Studies, 3(1).
https://doi.org/10.5539/IJPS.V3N1P78
Istiana, D., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2011). Pengaruh Terapi Kelompok Terapeutik
Anak Usia Sekolah pada Anak-Orang Tua dan Anak-Guru terhadap
Perkembangan Mental Anak Usia Sekolah di Kota Depok. Universitas
Indonesia. Tidak dipublikasikan
Jonson, B. (1995). Child, adolescence, and family psychiatric nursing. Philadelphia: J.B
Lippincott Company.
Keliat, Daulima, N. H. C., & Farida, P. (2007). Manajemen Keperawatan Psikososial
dan Kader Kesehatan Jiwa: CMHN intermediate course. Jakarta: EGC.
Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., Wardani, I. Y.,
Susanti, H., Hargiana, G., & Panjaitan, R. U. (2019). Asuhan Keperawatan
Jiwa. Jakarta: EGC.
Malekoff, A. (2014). Group work with adolescents. (3rd ed.). New York: The Guilford
Press.
Maliati Silalahi, dkk. (2021). Terapi kelompok teraupetik dan terapi kognitif prilaku
efektif menurunkan prodroma remaja dengan orang tua bercerai. Jurnal
Kesehatan Holistic, vol 5 no 2.
Maryatun, S. (2013). Pengaruh terapi kelompok terupetik terhadap perkembangan
remaja di panti sosial Marsudi Putra Dharmapala Inderalya Sumatera Selatan.
jurnal ilmu kesehatan masyarakat.
Mutyah, D., Kirana, S. A. C., & Dharmayanti, N. (2020). Hubungan karakteristik
individu (jenis kelamin dan usia) terhadap perkembangan psikososial
mahasiswa keperawatan di Surabaya. Journal of Health Sciences, 13(01), 58–
65. https://doi.org/10.33086/jhs.v13i01.1317
Nova, R., Keliat, B. A., & Mustikasari. (2019). Penerapan Terapi Kelompok Terapeutik
Terhadap Perkembangan Industri Anak dengan Pemberdayaan Keluarga, Guru
dan Kader Kesehatan Jiwa. Konferensi Nasional (KONAS) XVI Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
Papalia, Diane E, Old Sally Wendkos and Feldman, Ruth Duskin. (2008). Human
development (psikologi Perkembangan) bagian V s/d IX edisi kesembilan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Patel, V., Flisher, A., Hetrick, S. & McGorry, P. (2007). Mental health of young people:
A global public health challenge. Lancet, 369 (9569), 1302-1313.
Pojman, A. (2009). Adolescent group psychotherapy: Method, madness and the basics.
New York: American Group Psychotherapy Association, Inc.
Remschmidt, H., Nurcombe, B., Belfer, M., Sartorius, N. & Okasha, A. (2007). The
mental health of children and adolescents. Chichester: Jon Wiley and Sons
Salvendy, J. (1999). Ethnocultural considerations in group psychotherapy. International
Journal of Group Psychotherapy, 49, 429-464.
Santrock, J.W (2007). Child Development, 11 th edition (terjemahan oleh : Mila
Rahmawati & Anna Kuswanti). Jakarta: Erlangga
Shechtman, Z. (2007). Group counseling and psychotherapy with children and
adolescents: Theory, research, and practice. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Shechtman, Z. (2017). Group intervention with aggressive children and youth through
bibliotherapy. International Journal of Group Psychotherapy, 67(1), 47–67.
doi:10.1080/00207284.2016.1202682
Siepker, B. B., & Kandaras, C. S. (2018). Group Therapy with Children and
Adolescents: A treatment manual. International Psychotherapy Institute.
https://freepsychotherapybooks.org.
Stuart G.W, K. B. (2019). prinsip dan praktek keperawatan jiwa buku 2 Edisi Indonesia.
Singapore: Elsevier.
Stuart. (2009). Principle and practice of psychiatric nursing (8th ed.). Missouri:
Elsevier Mosby.
Stuart & Laraia. (2005). Principle and practice of psychiatric nursing (8th ed.)
Missouri: Elsevier Mosby
Sunarto, M., Keliat, B. A., & Pujasari, H. (2011). Pengaruh Terapi Kelompok
Terapeutik Anak Usia Sekolah pada Anak, Orang tua dan Guru Terhadap
Perkembangan Mental Anak di Kelurahan Pancoran Mas. FIK UI: Tesis.
Susanti, A., Hamid, A. Y. S., & Putri, Y. S. (2016). Peningkatan Pencapaian Tugas
Perkembangan Industri Pada Anak Usia Sekolah Menggunakan Pendekatan
Model Konseptual Hildegard Peplau dan Erickson di RW 06 Kelurahan Kebon
Kalapa Bogor Tengah. Tesis. FIK UI Depok: Tesis. Tidak dipublikasikan.
Townsend, C.M. (2009). Essentials of psychiatric mental health nursing (5th ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company.
Townsend, M. C. (2014). Essential of psychiatric mental health nursing: concept of care
in evidence based practice. Philadephia: F.A. Davis Company
Usraleli, Magdalena. (2021). Pengaruh Terapi Kelompok Terapeutik dan Pendidikan
Kesehatan Terhadap Kecemasan Menghadapi Menarche pada Siswi. jurnal
alamiah universitas batanghari Jambi, 818-824.
Utami et al., (2016). Etika Keperawatan dan Keperawatan Profesional. Jakarta: Pusdik
SDM Kesehatan
Walter, Keliat, B. A., Hastono, S. P., & Susanti, H. (2010). Pengaruh Terapi Kelompok
Terapeutik terhadap Perkembangan Industri Anak Usia Sekolah di Panti Sosial
Asuhan Anak Kota Bandung. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Wardiyah D, dkk. (2021). Optimalisasi Perkembangan Remaja melalui Terapi
kelompok Teraupetik. jurnal pengabdian masyarakat multidisiplin, vol 4 no 2.
Widiyawati. (2020). Keperawatan Jiwa. Kepanjen, Malang: Literasi Nusantara
Widodo et al. (2022). Keperawatan Jiwa. Medan: Yayasan Kita Menulis
Yalom, I. D., & Leszcs, M. (2005). The theory and practice of group psychotherapy (5th
ed.). New York: Basic Books

You might also like