You are on page 1of 20

MAKALAH

KEPEMIMPINAN YANG IDEAL DALAM ADAT MELAYU

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok

mata kuliah Tamaddun Melayu

Disusun oleh

KELOMPOK 2
1. ALIVIA HALIZA
2. DIMAS SYAHPUTRA S.
3. GALWINA
4. RAHMAYANI
5. RESTINA SAFITRI
6. SRI NINGSIH

Dosen Pengampu

DENI SURYANTO,M. Pd

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM TAFAQQUH FIDDIN DUMAI

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat TuhanYang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga kami

dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini adalah

“KEPEMIMPINAN YANG IDEAL DALAM ADAT MELAYU”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas dari bapak Deni
Suryanto,M. Pd pada bidang studi tamaddun melayu. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang kepemimpinan yang ideal dalam adat melayu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Deni Suryanto,M. Pd. Selaku dosen
bidang studi tamaddun melayu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan juga wawasan.

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 4
A. Latar Belakang....................................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................................. 6
C. Tujuan ................................................................................................................................................... 6
BAB II........................................................................................................................................................... 7
ISI.................................................................................................................................................................. 7
A. KEPEMIMPINAN BANGSA MELAYU ............................................................................................ 7
B. FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA MELAYU ..................................................................... 10
BAB III ....................................................................................................................................................... 18
PENUTUP .................................................................................................................................................. 18
A. Kesimpulan ......................................................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Melayu termasuk di antara bangsa-bangsa yang tertua di dunia. Lebih dari

10.000 tahun silam, bangsa ini sudah ada dan membentuk suatu komunitas masyarakat,

khususnya di wilayah pulau Sumatera hingga di Semenanjung Melayu. Lalu, khususnya

di wilayah Jambi, maka sejak dahulu kala telah dihuni oleh beberapa etnis Melayu seperti

Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Duabelas, Suku Penghulu, dan Suku Kubu atau

Suku Anak Dalam. Pada masa lampau mereka ini telah melatarbelakangi perkembangan

bahasa Melayu, budaya Melayu, maupun pasang surut kerajaan-kerajaan di daerah Jambi.

Sejarah telah membuktikan bahwa kepemimpinan raja-raja masyarakat Melayu

pernah mengalami masa kejayaannya. Perdagangan yang dijalankan oleh masyarakat

Melayu mampu merambah berbagai belahan dunia pada masanya. Bahkan pada era

Sultan Iskandar Muda berkuasa di Aceh, kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan

terbesar di dunia. Kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, Malayu-Jambi, Aceh dan Malaka tak

dapat dipungkiri menjadi tonggak kebesaran rumpun Melayu. Semua itu tidak bisa terjadi

kecuali kepemimpinan dalam tradisi Melayu saat itu sudah memiliki jati diri yang kuat,

mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan, berdaya tahan tinggi dan berperan aktif

dalam kesinambungan kehidupan bangsa.

4
Sejarah Melayu juga banyak mencatatkan kearifan kepemimpinan dalam perspektif

budaya Melayu. Sehingga ditengah krisis kepemimpinan yang melanda negeri ini,

sebenarnya tradisi budaya Melayu sejak dahulu telah menawarkan model kepemimpinan

yang kiranya pas untuk Indonesia di tengah masalah yang kerap dihadapi saat ini. Dan

jika melihat sifat pemimpin ideal yang ada dalam tradisi budaya Melayu, maka akan

sangat relevan dengan model kepemimpinan transformasional pada masa kini.

Kepemimpinan transformasional berkaitan dengan nilai-nilai yang relevan bagi proses

pertukaran (perubahan), seperti kejujuran, keadilan dan tanggung jawab.

5
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kepimpinan ideal adat melayu?

2. Apa saja kriteria-kriteria yang baik sesuai falsafah kepemimpinan melayu?

3. Bagaimana menjadi pemimpin ideal adat melayu?

C. Tujuan

Melaksanakan tugas makalah tentang kepemimpinan ideal adat melayu yang diberikan

oleh pak Denny Suryanto, M.Pd Agar masyarakat khusus nya melayu itu sendiri

mengetahui bagaimana pentingnya kepemimpinan ideal adat melayu itu dan menerapkan

didalam kehidupan nya.

6
BAB II

ISI

A. KEPEMIMPINAN BANGSA MELAYU

Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu adalah sosok manusia yang lebih daripada
lainnya, sakti, kuat, gigih, dan tahu banyak hal. Para pemimpin juga merupakan manusia-
manusia yag jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas (suku, bangsa,
negara) merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai.
Karena itu, sebelum abad Masehi etnis Melayu, khususnya di Jambi telah
mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu pra sejarah di wilayah pegunungan dan
dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan ini antara lain adalah Suku Kerinci.
Orang Kerinci diperkirakan sudah menempati kaldera Danau Kerinci sekitar 10.000 SM.
Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti yang ada pada kebudayaan
Neolitikum. Pada zaman dahulu yang dimaksudkan dengan wilayah Kerinci adalah
mencakup daerah yang disebut dengan Kerinci Tinggi/Atas dan Kerinci Rendah/Bawah.
Sementara istilah Kerinci itu sendiri berawal dari kata Korintji yang berarti negeri di atas
bukit.

Lalu, dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang
diberi kelebihan untuk mengurusi kepentingan orang banyak. Arti raja atau penguasa bagi
orang Melayu dimaknai lewat pepatah lama berikut ini:
Yang didahulukan selangkah
Yang ditinggikan seranting
Yang dilebihkan serambut
Yang dimuliakan sekuku
Pepatah tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa seorang raja haruslah sosok
manusia yang dapat dijangkau oleh rakyat biasa. Penguasa harus berada di tengah-tengah
rakyatnya, mengerti kondisi warganya, dan tahu apa yang diinginkan oleh mereka. Raja

7
bukanlah dewa yang tak tersentuh oleh manusia, melainkan sosok yang hanya diberi
beberapa kelebihan seperti di atas.

Jadi, eksistensi suatu negara ditentukan oleh tiga hal penting yaitu pemimpin, rakyat
dan wilayah. Pada masa lampau kerajaan-kerajaan juga mensyaratkan adanya pemimpin
atau raja. Oleh sebab itu keberadaan raja adalah sebuah keniscayaan. “Raja itu umpama
akar, dan rakyat adalah pohon. Jikalau tidak ada akar, maka pohon tidak dapat berdiri”.
Sebuah ungkapan mengenai pentingnya seorang pemimpin. Dan pada masa kerajaan
Melayu terdapat raja-raja yang berjaya dan mampu membawa kerajaannya pada masa
keemasan.

Ya. Dalam tradisi orang Melayu, para pemimpin itu adalah manusia-manusia yang
lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu tentang banyak hal. Bahkan di masa lalu,
seorang pemimpin bangsa Melayu juga haruslah sosok yang sakti mandraguna demi
melindungi wilayah dan rakyatnya dari ganguan binatang buas, penjahat, penjajah dan
makhluk halus (jin, siluman, setan, dll). Karena itulah, para pemimpin yang sejati juga
merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu
komunitas orang Melayu menjadi penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang
hendak dicapai bersama.

Untuk itu, salah satu sumbangan terbesar dari kebudayaan Melayu adalah turut
mewujudkan dan membentuk jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Dan tak berlebihan
apabila akhirnya kebudayaan Melayu disebut sebagai akar dari jati diri bangsa ini.
Pengaruh Melayu bagi bangsa Indonesia pada umumnya meliputi banyak hal, di
antaranya adalah khazanah dalam budaya politiknya.

Kepemimpinan Melayu, baik Melayu Tua (pra-Hindu-Buddha-Islam) maupun


Melayu Muda (era Hindu-Buddha-Islam) terdiri dari pemangku adat (sebagai pemimpin
formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun atau orang pintar sebagai pemimpin
informal. Untuk Melayu Tua (Pra Hindu-Buddha-Islam), maka lebih jelasnya kami

8
berikan contoh struktur kepemimpinan formal yang ada pada masyarakat Kerinci kuno,
yaitu:
1. Sigindo
(pemimpin beberapa Luhak/Lurah/Depati)
2. Luhak
(pemimpin para Kelebu yang kini lazim disebut sebagai Lurah atau Depati)
3. Kelebu
(pemimpin para Tengganai yang kini lazim disebut sebagai Ninik Mamak)
4. Tengganai
(pemimpin Perut/keluarga seketurunan)
5. Perut
(kepala keluarga seketurunan)
6. Tumbi
(kepala rumah tangga)

Setiap masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-


sendiri, yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati
norma dan ketentuan adat negeri demi kebaikan mereka sendiri. Melalui strata
kemasyarakatan di atas, maka segala bentuk kebijakan pemerintahan negeri disampaikan
secara beranting ke bawah. Tetapi setelah Melayu Muda (era agama) membentuk
beberapa kerajaannya dengan dasar agama (Hindu, Buddha, Islam), maka muncullah
pemegang kendali kerajaan yang disebut dengan Datu, Raja, Sultan atau Pertuah.
Kehadiran agama itu juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut dengan Buya
atau Ulama. Dengan demikian kehidupan Melayu Muda ini dipandu oleh Raja,
buya/ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi.

Untuk lebih memahami tentang konsep dan prinsip kepemimpinan dalam tradisi dan
budaya Melayu, kita dapat membacanya dalam kitab mahakarya budaya-politik-
peradaban Melayu yang berjudul Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Al-
Jauhari pada tahun 1630. Buku ini merupakan panduan untuk memerintah bagi raja-raja
Melayu (khususnya di era Islam) seperti Kedah dan Johor. Kitab Taj al-Salatin memberi

9
sumbangan penting bagi pembentukan tradisi dan kultur politik Melayu dengan memberi
rincian tentang syarat-syarat menjadi seorang raja (mencakup syarat yang bersifat
jasmaniyah dan rohaniah). Kitab ini bahkan juga digunakan oleh beberapa penguasa di
pulau Jawa pada abad ke 17-18. Dan kitab Taj al-Salatin ini begitu berpengaruh hingga
abad ke-19 ketika Munsyi Abdullah mencoba mengenal atau mengetahui watak Raffles
dari air mukanya berdasarkan ilmu firasat di dalam buku tersebut. Dalam bukunya Kisah
Pelayaran Abdullah ke Negeri Kelantan, Abdullah telah menasihatkan raja-raja di negeri
itu supaya membaca Taj al-Salatin untuk mengetahui tanggung jawab sebagai seorang
raja.

Selain itu, tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat.
Dalam beberapa hal pola ini bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua
pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks sejarah Melayu dalam
beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling
merusak posisi masing-masing. Teks tersebut memperkenalkan konsep musyawarah,
yang memang sudah ada di negeri ini sejak ribuan tahun lalu, sebagai aturan dalam
sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.

B. FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA MELAYU

Wahai saudaraku. Para pemimpin itu harus menjadi penentu arah perjalanan sebuah
bangsa. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan, akan tetapi kenyataan
membuktikan bila tanpa kehadiran pemimpin – disini artinya pemimpin sejati, bukan
sekedar ketua – suatu bangsa akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah alias
kacau balau.

Melihat itu semua, maka tampak jelas bahwa bangsa ini semakin terpuruk tatkala
para pemimpinnya berlomba-lomba memainkan peran buruk dalam dunia politik.
Definisi politik sebagai pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan
masyarakat umum secara menyeluruh dan memihak rakyat, tampak sekali tak mendapat

10
tempat di negeri ini. Para elite politik bahkan tak lagi berusaha memperjuangkan
kehidupan rakyat atau membimbing rakyat kepada kebenaran dan kejayaan, melainkan
berlomba-lomba menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Etika politik
hanya menjadi barang langka yang sulit ditemukan dalam wajah para politikus Indonesia.
Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan.

Untuk itu, khazanah Melayu sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika,
termasuk etika politik. Sifat-sifat kepemimpinan yang ideal telah banyak dijabarkan
dalam karya-karya sastra Melayu. Maka dari itu, sangatlah tepat apabila kita mencoba
untuk menggali, mempelajari, dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Sebab Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang
berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai politik, kelompok
tertentu, investor dan pihak asing (11egara lain).

Ya. Khazanah politik dan kepemimpinan Melayu banyak menawarkan konsep


kepemimpinan yang ideal tersebut. Banyak pepatah lama dan karya-karya sastra yang
berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pemaparan-pemaparan mengenai konsep
kepemimpinan yang baik dan relevan. Prinsip bagi raja-raja Melayu pun banyak
mencerminkan kriteria-kriteria yang baik, seperti dibawah ini:

1. Sebagai pemimpin banyak tahunya

Tahu duduk pada tempatnya


Tahu tegak pada layaknya
Tahu kata yang berpangkal
Tahu kata yang berpokok

Artinya: Seorang pemimpin yang baik haruslah mempunyai banyak pengetahuan.


Penguasa harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus berfikir,
bagaimana kondisi rakyatnya, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Hal ini

11
dimaksudkan untuk mempermudah penguasa dalam menyelesaikan setiap permasalahan
yang ada sekaligus mencegah munculnya permasalahan yang baru. Tanpa pengetahuan
yang memadai, sang penguasa akan kesulitan untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan yang ada.

Pengetahuan mutlak diperlukan seorang pemimpin untuk menunjang pelaksanaan


tugas-tugasnya. Pemerintahan 12egara dapat dipastikan berjalan 12egara apabila seorang
raja mengetahui apa yang baik untuk rakyatnya dan apa yang harus dihindari karena tidak
baik untuk rakyatnya. Penguasa akan mudah dalam memimpin apabila ia tahu apa yang
harus dikerjakan dan apa yang tak boleh dilakukan. Tanpa pengetahuan, seorang
pemimpin tak akan memiliki visi yang besar. Kalaupun ia memiliki visi besar, pastilah ia
akan kesulitan merealisasikannya.

2. Sebagai pemimpin banyak arifnya

Di dalam tinggi ia rendah


Di dalam rendah ia tinggi
Pada jauh ianya dekat
Pada yang dekat ianya jauh

Artinya: Dalam tradisi Melayu terdapat pengertian yang berbeda antara arif dan
bijaksana. Arif lebih merujuk kepada kemampuan pembawaan diri dalam proses
sosialisasi, sedangkan bijaksana lebih mengarah kepada pengolahan pengetahuan dengan
sebaik-baiknya. Karena itu, dalam tradisi Melayu seorang raja atau pemimpin baru akan
lebih dihormati apabila ia memiki kearifan dalam bertindak. Kearifan yang dimiliki
pemimpin akan menambah rasa kepercayaan rakyat bahwa ia memang benar-benar
12egara yang cocok untuk memimpin.

3. Sebagai pemimpin banyak bijaknya

12
Bijak menyukat sama papat
Bijak mengukur sama panjang
Bijak menimbang sama berat
Bijak memberi kata putus

Artinya: Kebijaksanaan adalah sifat yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin.
Oleh karena itu, tradisi Melayu selalu memposisikan sifat bijak sebagai salah satu sifat
utama yang harus dimiliki oleh seorang raja atau penguasa. Kebijaksanaan sangat erat
kaitannya dengan ketepatan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, akhirnya
kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada baik atau buruknya pemerintahan yang
sedang berlangsung. Tanpa kebijaksanaan, pemimpin akan mudah sekali terjerumus
dalam tindakan dan keputusan yang sewenang-wenang.

4. Sebagai pemimpin banyak cerdiknya

Cerdiknya mengurung dengan lidah


Cerdik mengikat dengan adat
Cerdik menyimak dengan syarak
Cerdik berunding sama sebanding
Cerdik mufakat sama setingkat
Cerdik mengalah tidak kalah
Cerdik berlapang dalam sempit
Cerdik berlayar dalam perahu bocor
Cerdik duduk tidak suntuk
Cerdik tegak tidak bersundak

Artinya: Selain memiliki pengetahuan yang cukup, seorang pemimpin harus


mencerminkan diri sebagai orang yang cerdik. Kecerdikan disini dapat diartikan sebagai
proses pengolahan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai keputusan yang paling
tepat dalam menangani masalah. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti berkutat dengan
permasalahan-permasalahan yang kompleks. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah

13
kecerdikan untuk menghasilkan solusi yang tepat. Tanpa kecerdikan, seorang pemimpin
akan rentan menghasilkan kebijakan yang tidak efekif. Kebijakan yang salah atau tidak
efektif tentu akan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan. Inilah
yang menjadi 14egara14 mengapa kecerdikan diperlukan dalam proses memimpin.

5. Sebagai pemimpin banyak pandainya


Pandai membaca tanda alamat
Pandai mengunut mengikuti jejak
Pandai menyimpan tidak berbau
Pandai mengunci dengan budi

Artinya: Pengetahuan dan kecerdikan tidaklah lengkap apabila tidak dilengkapi dengan
sifat pandai. Kepandaian dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kemampuan analisis
yang baik terhadap masalah-masalah yang ada. Dengan ditunjang adanya pengetahuan
yang cukup, ditambah dengan kepandaian dalam analisis, maka pemimpin harus cerdik
dalam mengambil setiap keputusan. Analisis adalah bagian terpenting dalam usaha
penyelesaian masalah. Oleh karena itu, kemampuan analisis yang baik sangat dibutuhkan
untuk menjadi pemimpin yang baik. Pepatah lama mengatakan: “Bagi yang pandai, mana
yang kusut akan selesai; orang yang pandai pantang memandai-mandai”. Tampak sekali
bahwa kepandaian sangat berperan besar dalam mengurai “benang kusut”. Tanpa
kepandaian, benang kusut tersebut takkan pernah selesai untuk diurai, kalaupun dapat di
lakukan pastinya akan memakan waktu yang lama.

6. Sebagai pemimpin mulia budinya

Berkuasa tidak memaksa


Berpengetahuan tidak membodohkan
Berpangkat tidak menghambat

Artinya: Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahgunakan


kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang licik dan sewenang-wenang. Pemimpin

14
adalah seseorang yang ditunjuk untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan
seseorang yang minta dilayani atau hanya diberi kekuasaan untuk memuaskan ambisi
pribadinya. Oleh karena itu, bagi orang Melayu, sifat sewenang-wenang dalam
memerintah pantang untuk dilakukan.

7. Sebagai pemimpin banyak relanya

Rela berkorban membela kawan


Rela dipapak membela yang hak
Rela mati membalas budi
Rela melangas karena tugas
Rela berbagi untung rugi
Rela beralah dalam menang
Rela berpenat menegakkan adat
Rela terkebat membela adat
Rela binasa membela bangsa

Artinya: Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus
rela dalam banyak hal demi terpenuhinya kepentingan warganya. Pepatan di atas
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus
rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam kesulitan ketika
rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa
15egara15log juga ditanamkan di sini, karena bela 15egara memang sangat dianjurkan
alias wajib. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta
rela berpenat dan terkebat dalam membela adatnya. Bagaimanapun seorang pemimpin
memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak.

8. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya

Ikhlas menolong tak harap sanjung


Ikhlas berbudi tak harap puji

15
Ikhlas berkorban tak harap imbalan
Ikhlas bekerja tak harap upah
Ikhlas memberi tak harap ganti
Ikhlas mengajar tak harap ganjar
Ikhlas memerintah tak harap sembah

Artinya: Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela
adalah sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada
pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau pemimpin
tidak ikhlas, banyaklah niat yang akan terkandas”. Artinya, keikhlasan seorang pemimpin
dalam bertindak akan sangat mempengaruhi output dari proses pelaksanaan niat tersebut.
Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan
hilang. Ini bahkan 16ega menimbulkan musibah dan bencana bagi rakyat yang sedang ia
pimpin.

9. Sebagai pemimpin banyak tahannya

Tahan berhujan mau berpanas


Tahan bersusah berpenat lelah
Tahan berlenjin tak kering kain
Tahan berteruk sepepak teluk

Artinya: Penggalan syair di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah


memiliki mental “bertahan” yang baik. Ketabahan dan kesabaran menjadi salah satu sifat
dari pemimpin ideal untuk menjamin tetap terjaganya komitmen dari sang pemimpin.
Selain itu, sikap tawakkal (berserah diri) juga dianjurkan di sini. Tawakkal berarti pasrah,
namun bukan berarti menyerah pada masalah. Kepasrahan tersebut dilakukan setelah
melakukan usaha yang maksimal. Dengan kata lain, orang Melayu memaknai
16egara16logy tawakkal sebagai penyerahan hasil kepada Tuhan dari usaha yang
dilakukan manusia.

16
Kritik-kritik tajam dan keluhan-keluhan akan banyak ditemui oleh seorang
pemimpin. Terlebih apabila kekuasaannya memiliki oposan yang cukup kuat. Kritik
tajam akan sangat tidak tepat apabila direspon dengan sikap arogan. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah ketahanan untuk menerima semua itu dan memikirkannya secara
mendalam. Pemimpin yang buruk biasanya akan marah apabila dikritik. Ia akan mencari
seribu dalih untuk mengelak dari kritik tersebut. Bahkan, terkadang kritik-kritik tersebut
ditanggapi dengan emosi. Lebih buruk lagi apabila kritik itu justru dianggap sebagai
fitnah untuk menjatuhkannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan semua itu. Ia akan
menerima kritik dengan lapang dada dan menghargainya sebagai sebuah nasihat dan
bahan intropeksi diri.

10. Sebagai pemimpin banyak taatnya

Taat dan takwa kepada Allah


Taat kepada janji dan sumpah
Taat memegang petua amanah
Taat memegang suruh dan teguh
Taat kepada putusan musyawarah
Taat memelihara tuah dan meruah
Taat membela negeri dan rakyatnya

Artinya: Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh rakyat terhadap
pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri. Budaya politik
Melayu menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan
yang dipimpin. Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus
menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi warganya, terlebih apabila suara
itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat pada kewajibannya untuk membela
17egara dan rakyatnya. Selain itu, yang paling penting juga adalah bahwa ia harus taat
pada Tuhan, karena bagaimanapun ia adalah hamba Tuhan di muka bumi.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Budi pekerti dan moralitas harus dijunjung tinggi oleh penguasa yang sedang
memimpin. Banyaknya kebobrokan politik dan ekonomi di dunia khususnya
Indonesia disebabkan karena rendahnya moralitas yang dimiliki oleh para
pemimpinnya. Bahkan dalam kancah perpolitikannya, etika dan kejujuran dalam
berperilaku sehari-hari sudah tidak penting, bahkan tidak ada. Alhasil, banyak
kerugian yang dialami oleh berbagai pihak; sedangkan keuntungan yang sifatnya
sementara hanya dialami oleh sebagian kecilnya saja. Banyak pemimpin yang
berkuasa tetapi sesungguhnya tidak memimpin. Sebab, memimpin berarti
memberikan arah politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan keamanan yang jelas
secara mandiri.

Sehingga, tidak berlebihan jika apa yang sudah ada di dalam tradisi Melayu,
khususnya tentang kepemimpinan menjadi layak untuk diikuti lagi. Itu adalah bukti
kejayaan peradaban leluhur kita, sudah terbukti ribuan tahun dan seharusnya tetap
kita pegang dan jadikan pedoman hidup. Karena apa yang sudah ada itu takkan
lekang oleh waktu dan sangat sesuai dengan karakter bangsa kita. Dan ketika
memang bangsa ini mau kembali menerapkannya secara sadar dan keteguhan hati,
maka bangsa ini akan segera bangkit, keluar dari keterpurukannya dan bisa
memimpin dunia sekali lagi.

18
B. Saran

Mari kita semua menyadari bahwa kepemimpinan adalah suatu amanah yang harus
kita pertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun kita dan
dimanapun kita berada serta apapun jabatan kita, kiranya kita harus menyadari semua
ini.
Sebuah ungkapan budaya Melayu yang sangat familiar, mungkin patut kita renungkan
bersama: Pemimpin adalah orang yang didahulukan selangkah, yang ditinggikan
seranting, dilebihkan serambut, dimuliakan sekuku dan dituakan oleh orang banyak.
Bila Amanah sudah dipegang, Ikhlaskan hati dan dada hendaklah lapang, Kalau
amanah sudah diterima, Ikhlaskan Hati dan jagalah nama.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://www.riauone.com/riau/Kepemimpinan-Ideal-Dalam-Tradisi-Melayu
https://m.halloriau.com/read-131910-2020-06-28-pemimpin-yang-ideal-menurut-
perspektif-budaya-melayu.html

20

You might also like