You are on page 1of 15

GAMBARAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA REMAJA YATIM

PIATU YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN PEMBERDAYA UMMAT


KOTA BANDUNG

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Seminar Proposal


Pada Program Studi Psikologi

Dosen Pembimbing Akademik


Diah Puspasari, M.Psi, Psikolog

Oleh :
Rosiana
NIM: 1156000140

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
Latar Belakang Masalah
Masa remaja menunjukkaan masa transisi atau peralihan karena remaja
belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak (Kartono,
Kartini, 1986:26). Masa remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak
anak hingga masa awal dewasa, rentang usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir
pada usia 18 tahun hingga 22 tahun (Kartono, Kartini, 1986: 25). Masa remaja
dibagi 4 yaitu masa pra remaja 10-12 tahun, masa remaja awal 12-15 tahun, masa
remaja pertengahan 15-18 tahun, dan masa remaja akhir 18-21 tahun.
(Soekanto,1987:44). Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami
perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan
permasalahan (Hurlock, 1998). kadang-kadang sekolah juga penyebab dari
timbulnya kenakalan remaja. Hal ini mungkin bersumber dari guru, fasilitas
pendidikan, norma-norma tingkah laku. (Sofyan S Willis, 2005: 114)

Pada masa ini remaja mulai mencari identitas diri, sehingga remaja akan
sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan, baik itu yang positif maupun yang
negatif. Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
aspek yaitu: 1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:
perkelahian, permerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain; 2)
Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan,
pemerasan, dan lain-lain; 3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di
pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks bebas; 3)
Kenakalan yang melawan status anak sebagai pelajar dengan cara membolos,
kabur dari rumah, dan membantah perintah orang tua.

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup dan tinggal sendirian,
mereka membutuhkan orang lain untuk tetap hidup. Begitu juga pada
perkembanga fase remaja yang mulai melihat dunia sebagai suatu fenomena yang
kompleks akan dipengaruhi oleh lingkungan dan support sistem yang mereka
miliki. Salah satu lingkungan yang sangat berpengaruh bagi individu adalah
keluarga, orang tua didalam keluarga berperan sebagai support sistem. Kehadiran
orang tua dapat membantu anak dalam fase remaja terutama untuk memahami
dunia lebih baik. Orang tua dapat membantu remaja memahami masalah melalui
dua sisi sudut pandang yang berbeda sekaligus dapat menyeimbangkan antara
tuntutan dan responsif yang perlu dimunculkan oleh anak melalui pola asuh
(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kehadiran orang tua dapat memberikan
dorongan bagi anak untuk percaya diri dan berani. Pengaruh orang tua mampu
membangun kemampuan kognitif remaja lebih cepat dewasa seperti mempertajam
kemampuan anak dalam berpikir secara multidimensi. Kemampuan berpikir
multidimensi pada remaja ini, juga membantu mereka memahami apa itu
sarkasme (Steinberg, 2017). Steinberg (1988; Santrock, 2016) menjelaskan
melalui berbagai temuan bahwa pada fase remaja hubungan kekeluargaan antara
orang tua dan anak mengalami puncak perselisihan dan berbagai konflik selama
pertumbuhan. Kondisi ini disebabkan adanya penolakan atau pemberontakan yang
dilakukan anak terhadap harapan orang tua karena perbedaan pendapat dan
keyakinan. Kebanyakan konflik antara remaja dan orang tua memiliki lebih
banyak dampak positif terhadap hubungan mereka meski sebagian perselisihan
berakhir dengan buruk, hal tersebut berkaitan dengan ketidak mampuan anak
beradaptasi terhadap hasil perselisihan (Adam & Laursen, 2001 dalam Lerner &
Steinberg, 2004) Berbagai konflik dan permasalahan ini dapat lebih banyak
ditemukan pada remaja yang dewasa lebih cepat dibandingkan dengan remaja
yang matang terlambat atau tidak tepat waktu ( Collins & Steinberg, 2006;
Santrock, 2016).
Setiap manusia menginginkan hidupnya bahagia. Hal tersebut menjadi
harapan terbesar bagi setiap orang baik itu dari usia, tempat tinggal, status sosial,
ataupun agama. Kebahagiaan menjadi faktor yang sangat penting dan menjadi
tujuan akhir dalam kehidupan seseorang, hidup akan terasa tidak lengkap jika
belum merasakan kebahagiaan. Orang dahulu percaya jika kebahagiaan itu
bukanlah sesuatu yang dicapai, tapi sebuah anugerah yang diberikan Tuhan
kepada hambanya atau sebuah kemurahan hati dari yang maha kuasa (Dea Febri
Hapsari, 2015). Kebahagiaan dikenal pula dengan istilah subjective well being
dalam psikologi positif. Subjective well-being merupakan istilah ilmiah yang
mewakili kebahagiaan. Diener & Suh (1997) membagi tiga elemen subjective
well-being, yaitu kepuasan hidup, perasaan yang menyenangkan (afek positif) dan
perasaan
tidak menyenangkan (afek negatif). Kepuasan hidup adalah penilaian
kognitif dari kehidupan seseorang secara keseluruhan. Afek positif adalah
perasaan yang menyenangkan dan afek negatif yaitu perasaan tidak bahagia
dalam hidup. Hal-hal yang tidak menyenangkan meliputi emosi negatif
seperti rasa cemas, marah dan rasa takut (Diener, 2005)
Secara umum kebahagiaan adalah pengalaman internal tentang pikiran
positif yang dapat diperoleh melalui berbagai cara dalam kehidupan sehari-hari
(Lu & Shih, 1997). Kebahagiaan merupakan salah satu bagian dari psikologi
positif yang dipandang penting untuk diteliti karena dapat menjadi indikator
pelayanan kesehatan mental yang dibutuhkan individu. Lebih luas lagi
kebahagiaan merupakan kondisi yang sangat diidamkan setiap individu dalam
rentang kehidupannya (Carr, 2004).
Kebahagiaan yaitu suatu perasaan yang dapat dialami oleh semua orang,
tetapi cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu berbeda-beda tergantung
bagaimana orang tersebut mempersepsikan kebahagiaan itu (Harmaini dan Alma,
2014). Jadi dari perbedaan persepsi itu ada yang mengatakan apabila sudah
memiliki banyak uang maka dapat merasa bahagia, atau akan bahagia apabila
sudah memiliki mobil pribadi, ada juga yang mengatakan bahwa bahagia jika
mendapatkan segala yang diinginkan.
Aspek psikologi sering menyebut kebahagiaan itu dengan well-being,
Menurut Hurlock (1980), kebahagiaan ialah suatu keadaaan sejahtera dan
kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang muncul bila kebutuhan
dan harapan tertentu seseorang itu telah terpenuhi (Siti dan Rini, 2012). Oleh
karena itu, sangat jelas bahwa apabila terpenuhinya kesejahteraan seseorang maka
kebahagiaan akan mereka rasakan.
Menurut Diener, Scollon dan Lucas, istilah subjective well-bieng (SWB)
adalah istilah ilmiah dari happiness (kebahagiaan) yang terbagi atas dua
komponen di dalamnya. Kedua komponen tersebut adalah komponen afektif dan
komponen kogntif. Istilah tersebut lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan,
karen istilah happiness sudah diperdebatkan definisinya selama berabad-abad
(Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Kesejahteraan subjektif meliputi tingkat
kebahagiaan individu tingkat kepuasan seorang individu terhadap kehidupannya
secara menyeluruh (Diener, 2006; Dieneret al.,2015). Seligman (2005)
menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kebahagiaan,
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang
berasal dari luar yakni uang, pernikahan, kehidupan sosial, kesehatan, agama,
usia, pendidikan, iklim, ras, dan gender. Sedangkan faktor internal yaitu faktor
yang berasal dari dalam yakni character strengh atau kekuatan karakter, kepuasan
terhadap masa lalu, optimis terhadap masa depan, serta kebahagiaan pada masa
sekarang (Husna Sholihah, 2018).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Seligman (dalam Luthans, 2006),
dalam praktik, SWB lebih ilmiah untuk mengartikan istilah kebahagiaan. Setiap
individu memiliki tingkat subjective well-being yang berbeda-beda demikian pula
dengan remaja anak yatim piatu.

Beberapa penelitian terdahulu mengenai Subjective Well-Being yaitu


Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Subjective Well-Being Pada
Narapidana Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan ‘‘X” (Azhima & Indrawati,
2018), Terapi Zikir Al-Fatihah untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif
Pecandu Narkoba dalam Masa Rehabilitasi (Mudzkiyyah et al., 2017), Studi
Fenomenologis Tentang Pengalaman Kesepian dan Kesejahteraan Subjektif Pada
Janda Lanjut Usia” (Sessiani, 2018), Gambaran Subjective Well-Being Pada
Mualaf (Ramadhan, 2018). Studi Mengenai Gambaran Subjective Well-Being
pada Ibu Pekerja Selama Masa Pandemi Covid-19 (Pratiwi, Y. P. (2021), Terapi
Menulis Ekspresif untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Remaja dengan
Lupus (Rovieq, Nashori, & Astuti, 2021).
Dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bagaimana Subjective
Well-Being berhubungan positif dengan variabel psikologis lainnya dan cara
meningkatkan Subjective Well-Being dengan berbagai cara. Adapun bagaimana
gambaran Subjective Well-Being pada remaja tengah yang tinggal di Panti Asuhan
belum ada penelitian secara khusus.
Hasil penelitian Aziz dan kawan-kawan, dijumpai para remaja yatim piatu
yang mengalami problem emosional cenderung minder, kehilangan harga diri dan
kepercayaan diri menurun, sehingga mereka tidak berani bercita-cita yang tinggi
untuk masa depannya (Wargadinata, 2021). Bhat mengemukakan adanya dampak
negatif yang dialami oleh para remaja yatim piatu karena kematian orangtuanya
antara lain rasa kesepian dan depresi (NM, 2014). Juga diteguhkan dalam
penelitian Wetarini dan kawan-kawan, bahwa persoalan keluarga, seperti
kematian orangtua dapat berakibat buruk pada kesehatan emosional remaja.
Mereka mengalami depresi dan kehilangan figur serta kasih sayang orangtua
(Lesmana, 2018). Seorang yang mengalami stres atau depresi yang diikuti dengan
rasa marah dapat menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat
sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif yang merugikan (Nasution, 2007).
Remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan umumnya tidak sepenuh
nya dicintai dan mendapat kasih sayang yang utuh seperti anak-anak pada
umumnya (Arieska & Rinaldi, 2019).

Beberapa penelitian yang bersinggungan dengan subjective well-being


yaitu penelitian yang dilakukan oleh Casares (dalam Nurasiah, 2017)
di Namibia Afrika Selatan penilaian tentang anak atau remaja yatim piatu,
bahwa lebih dari 19 anak dan remaja yatim piatu terkena tekanan psikologis
dan kesehatan mental, mudah terkena depresi diantara satu dari enam anak
dan remaja mudah terkena depresi diantara satu dari enam anak
dan remaja. Nurhidayati dan Chairani (2014) menunjukkan bahwa
makna kematian orang tua bagi remaja adalah kehilangan. Adapun kehilangan
yang dirasakan oleh remaja meliputi sosok pemberi perhatian dan kasih sayang,
kehilangan model, kehilangan sumber rasa aman, dan kehilangan teman
berbagi.

Maka peneliti tertarik untuk meneliti Gambaran Subjective Well Being


pada anak yatim piatu yang tinggal Di Panti Asuhan. Penelitian ini bertujuan
untuk memahami gambaran serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan subjective well-being pada anak yatim piatu yang tinggal di Panti
Asuhan Pemberdaya Ummat.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran Subjective Well Being pada remaja yatim piatu yang
tinggal di Panti Asuhan Pemberdaya Ummat
2. Bagaimana faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukkan subjective
well-being pada remaja yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan
Pemberdaya Ummat

Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk menggali Gambaran Subjective Well Being
Pada remaja Yatim Piatu yang Tinggal di Panti Asuhan.
2. Penelitian ini bertujuan untuk menggali faktor apa saja yang
mempengaruhi pembentukkan subjective well-being pada remaja yatim
piatu yang tinggal di Panti Asuhan Pemberdaya Ummat

Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Kegunaan teoritis diharapkan bisa memberikan manfaat untuk
pengembangan ilmu di bidang Psikologi Positif terutama mengenai Subjective
Well Being Pada Remaja.
b. Memberikan gambaran subjective well being pada remaja bagi para
pembina maupun anak yatim yang tinggal di panti asuhan pemberdaya ummat
2. Kegunaan Praktis
a. dalam penelitian ini diharapkan Lembaga panti asuhan pemberdaya
ummat lebih memperhatikan dan memahami gambaran Subjective Well Being
pada remaja
b. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan dapat menjadi bahan referensi mengenai gambaran Subjective Well
Being pada remaja di panti asuhan.

Kerangka Pemikiran
Menurut Hurlock (2003) masa remaja merupakan masa transisi dari masa
kanak ke masa dewasa umumnya ditandai perubahan baik dari fisik maupun
psikologis. Masa transisi adalah masa peralihan di mana masalah banyak
terjadi. Tidak semua orang dapat melalui peristiwa kehidupan dengan baik,
karena penilaian terhadap apa yang dialami pada setiap orang sangat
subjektif dan pengalaman itu akan dinilai secara subjektif (Diener, 2002).
Penilaian yang dilakukan oleh masing-masing orang terhadap kehidupannya
secara subjektif disebut subjective well-being (Diener, 2003).
Diener & Suh (1997) membagi tiga elemen subjective well-being, yaitu
kepuasan hidup, perasaan yang menyenangkan (afek positif) dan perasaan
tidak menyenangkan (afek negatif). Kepuasan hidup adalah penilaian
kognitif dari kehidupan seseorang secara keseluruhan. Afek positif adalah
perasaan yang menyenangkan dan afek negatif yaitu perasaan tidak bahagia
dalam hidup. Hal-hal yang tidak menyenangkan meliputi emosi negatif
seperti rasa cemas, marah dan rasa takut (Diener, 2005).
Menurut Teja (dalam Nurasiah, 2017) ketidakhadiran keluarga dapat
mempengaruhi setiap individu. Salah satu masalah psikologis adalah
rendahnya subjective well-being yang dimiliki seseorang, hal ini
ditunjukkan dalam beberapa penelitian bahwa rata-rata remaja panti asuhan
memiliki subjective well-being rendah, ditandai dengan perasaan marah,
sedih, iri dan pesimis (Imelda dalam Nurasiah, 2017). Menurut Dewi dan
Utami (2008) emosi negatif muncul dari harapan dan keinginan yang tidak
sesuai dengan situasi yang dihadapi sehingga menimbulkan reaksi
psikologis tertentu. Sependapat dengan Teja (dalam Nurasiah, 2017) yang
berpendapat bahwa keadaan psikologis anak panti asuhan sangat dipengaruhi oleh
keterikatan emosional dengan pengasuh utama(orang tua/keluarga terdekat).
peran pengasuh memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan psikologis anak, yang diperkuat oleh pendapat Dalimunthe
(2009) yang mengemukakan bahwa pengasuh panti asuhan umumnya tidak
dapat berpartisipasi secara maksimal dengan anak-anak di panti asuhan
karena keterbatasan pengetahuan pengasuh, kesenjangan jumlah pengasuh
dan anak asuh serta kendala lainnya.
Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti dapat menggambarkan kerangka
berpikir sebagai berikut:
Panti Asuhan

Remaja

Aspek Kognitif Aspek Afektif (Positif) Aspek Afektif (Negatif)

Subjective Well-Being

Metode Penelitian
a. Rancangan Penelitian

Penelitian ini emnggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Creswell,


adalah: “Whereas a biography reports the life of a single individual, a
phenomenological study describes the meaning of the live experiences for several
individuals about a concept or the phenomenon” (Creswell, 1998:51). Dengan
demikian, studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan
makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala,
termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri. Peneliti
berusaha untuk menemukan makna/arti dari sebuah fenomena yang terjadi pada
beberapa individu dengan menggali gambaran subjective well being pada anak
yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.

b. Fokus Penelitian

Definisi konseptual

Subjective well being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang


tentang hidupnya (Diener, 2009). Penelitian berfokus menggali gambaran
subjective well being pada remaja yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan
Pemberdaya Ummat dan Faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukkan
subjective well-being pada remaja yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan
Pemberdaya Ummat. Diener & Suh (1997) membagi tiga elemen subjective well-
being, yaitu kepuasan hidup, perasaan yang menyenangkan (afek positif) dan
perasaan tidak menyenangkan (afek negatif).

c. Subjek penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini yaitu yatim piatu berjenis kelamin
laki-laki berjumlah 2 orang diantaranya A usia 15 tahun dan R usia 18 tahun.
Kedua nama partisipan tersebut merupakan inisial untuk menjaga nama baik dan
melindungi privasi subjek penelitian. Subjek ini adalah remaja pertengahan
rentang usia 15-18 tahun (Soekanto,1987:44). Masa remaja merupakan masa
dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya
dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga
penuh dengan masalah masalah (Hurlock, 1998). kadang-kadang sekolah juga
penyebab dari timbulnya kenakalan remaja. Hal ini mungkin bersumber dari guru,
fasilitas pendidikan, norma-norma tingkah laku. (Sofyan S Willis, 2005: 114).
Menjadi alasan pemilihan partisipan.
Tempat penelitian yaitu Panti Asuhan Pemberdayaan Ummat. Panti
Asuhan Pemberdayaan Ummat adalah panti asuhan yang dibentuk dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat melalui penyelenggaraan
pendidikan dan kegiatan sosial agama. Panti asuhan ini berlokasi di Jalan
Cilengkrang 2, Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung dan didirikan pada
tahun 2000. Saat ini jumlah anak yang diasuh ada 35 anak (15 putra dan 20 putri)
dari usia 5 hingga 20 tahun. Kegiatan anak-anak panti diisi dengan pendidikan
formal di sekolah umum dan pendidikan keagamaan yaitu mengaji Al-Quran. Para
pengurus panti asuhan berharap anak-anak dapat menjadi sosok yang Qurani,
mandiri serta terampil.

d. Teknik Pengumpul Data

Penelitian ini akan mengumpulkan data dari subjek yang diteliti. Teknik
pengumpulan data ini adalah cara yang paling mudah dalam penelitian. Karena
dalam penelitian memiliki tujuan utama yaitu menghasikan data dari subjek.
Menurut Ahmadi ( 2014 ) metode pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti dalam penelitian kualitatif adalah wawancara, observasi dan dokumentasi
yang dijelaskan sbb :
Wawancara merupakan kegiatan tanya jawab antara pewawancara dengan
yang diwawancarai yang memiliki maksud tujuan. Penelitian ini menggunakan
wawancara mendalam dimana peneliti telah menyiapkan pertanya-pertanyaan
yang sudah disusun. Peneliti akan mewawancarai 2 orang subjek remaja tengah
yang berjenis kelamin 2orang laki-laki. Observasi adalah Ketika peneliti terjun
langsung kelapangan untuk mengamati prilaku dan aktivitas apa saja yang muncul
saat berada di lapangan ( Creswell, 2006 ). Menurut Herdiansyah, (2010) ”Studi
dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif
untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media
tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang
bersangkutan”. Dalam teknik ini, peneliti mengumpulkan data (informasi) tertulis
profil Panti Asuhan Pemberdaya Ummat.

e. Teknik Analis Data


Analisis data dilakukan sesuai dengan panduan analisis data untuk
penelitian fenomenologi, yakni membangun data berdasarkan pertanyaan
penelitian, kemudian menganalisis data melalui data (transkrip interview), dan
menyoroti kalimat pertanyaan yang signifikan (Creswell. J. W., 2007). Tahapan
analisis interaktif yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan (Huberman dan Miles (1994).

Jadwal Penelitian
2022

No. Kegiatan September Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Seminar Proposal

Revisi Ppoposal
1.
Pengajuan SK
Pembimbing Skirpsi
2. Penyusunan Bab I-III

Panduan wawancara
3. dan Pengumpulan
Data dari Partisipan

Pengolahan Data

4. Penyusunan Bab IV

Penyusunan Bab V

5. Sidang Skripsi
Daftar Pustaka

Ahmadi, R. ( 2014 ) Metode penelitian kualitatif. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Arieska, R., & Rinaldi, R. (2019). Hubungan Antara Hardiness dengan Optimisme
pada Remaja Penghuni Panti Asuhan Kota Bukittinggi. Jurnal Riset
Psikologi, 2019(1).

Azhima, D. D., & Indrawati, E. S. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial


Keluarga Dengan Subjective Well-Being Pada Narapidana Perempuan Di
Lembaga pemasyarakatan ‘“ X ,”’ 7(April), 308–314.

Carr, A. (2004). Positive Psychology : The Science of Happiness and Human


Strengths. London : Psychology Press
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing
Among Five Traditions. USA: Sage Publications Inc.
Creswell, J. W. (2016). Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitaif, dan Campuran. 4th ed. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing


among Five Approaches (2nd Edition). Sage Publications.

Dalimunthe, K. L. (2009). Kajian mengenai kondisi psikososial anak yang


dibesarkan di panti asuhan. Artikel. Bandung: tidak diterbitkan Sosial
Remaja Panti Asuhan Nur Hidayah Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas
Maret. Surakarta: tidak diterbitkan.

Dea Febri Hapsari (2015). “Hubungan Antara Religiustas Dengan Kebahagiaan


Pasa Siswa Siswi Di SMA Muhammadiyah 1 Klaten.” Skripsi, Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dewi, P.S., & Utami, M. S. (2008). Subjective Well-Being Anak dari Orang Tua
yang Bercerai. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 35 No. 2, 194-
212.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2015). National accounts of
subjective well-being. American Psychologist, 70(3), 234-242.
Diener, Ed, Christie Napa Scollon, dan Richard E. Lucas. (2003). “The Evolving
Concept of Subjective Well-Being: The Multifaceted Nature of Happiness”
Vol. 15.
Diener, E. (2006). Guidelines for national indicators of subjective well-
being and ill-being. Journal of Happiness Studies, 7(4), 397-404.
https://doi.org/10.1007/s10902-006-9000-y.
Diener, Suh, dan Oishi. (1997). Recent Findings on Subjective Well‐ Being.
Indian Journal of Clinical Psychology, March, 1997. @
www.psych.uiuc.edu.
Diener, Ed. (2009). The Science of Well-Being: The Collected Works of Ed
Diener. New York City:Springer Science.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, Elizabeth B (1980). Psiklologi Perkembangan. Edisi Kelima. Jakarta:


Erlangga.
Lesmana, K. W. ; C. B. J. (2018). Gambaran depresi dan faktor yang
memengaruhi pada remaja yatim piatu di Denpasar. E-Jurnal Udayana
Medika,7(2), 82–86. https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum.

Luthans, F. (2006). Perilaku organisasi (edisi kesepuluh). Yogyakarta: Andi.


Lu, L., & Shih, J. Bin. (1997). Sources of happiness: A qualitative approach. The
Journal of Social Psychology, 137(2), 181–187.
https://doi.org/10.1080/00224549709595429.
Kartono, Kartini. (1986) Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta :
Rajawali.
Mudzkiyyah, L., Nashori, F., & Sulistyarini, R. I. (2017). Terapi Zikir Al-Fatihah
Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Pecandu Narkoba Dalam
Masa Rehabilitasi. Jurnal Intervensi Psikologi (JIP), 6(2)
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol6.iss2.art2.

Nasution, I. K. (2007). Stres Pada remaja. Universitas Sumatera Utara.

NM, B. (2014). A study of emotional stability and depression in orphan secondary


school student. International Journal of Education and Psychological
Research, 3(2), 95–100.

Nurasiah, N. (2017). Latihan Mindfulness Untuk Peningkatan Subjective Well


Being Pada Remaja Panti Asuhan (Doctoral dissertation, Universitas
Mercu Buana Yogyakarta)

Nurhidayati, & Chairani, L. (2014). Makna Kematian Orang tua bagi remaja.
jurnal psikologi, 41.

Sarwono, S.W. (2008). Psikologi Remaja (ed. Rev.). Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development
(Eleventh). McGraw-Hill. https://id1lib.org/book/5474918/379a8d.
Pratiwi, Y. P. (2021). Studi Mengenai Gambaran Subjective Well-Being pada Ibu
Pekerja Selama Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Riset Psikologi, 1(2),140-
146.

Ramadhan, S. (2018). Gambaran Subjective Well-Being Pada Mualaf. An-


Nafs, 12(1), 22-33.

Rovieq, F. A., Nashori, F., & Astuti, Y. D. (2021). Terapi Menulis Ekspresif
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Remaja dengan
Lupus. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 6(1), 79-92.

Santrock, J. W. (2016). Adolescence (16th ed.). In McGraw-Hill (Sixteenth).


McGraw-Hill Education. https://id1lib.org/book/5004016/62a05e.

Sessiani, L. A. (2018). Studi Fenomenologis tentang Pengalaman Kesepian dan


Kesejahteraan Subjektif pada Janda Lanjut Usia Lucky Ade Sessiani.
SAWWA: Jurnal Studi Gender, 13(2), 203–236.
https://doi.org/10.21580/sa.v13i2.2836.

Steinberg, L. (2017). Adolescene (Eleventh). McGraw-Hill Education.


https://id1lib.org/book/5010380/8505cb.

Wargadinata, R. A. E. N. W. A. Y. E. W. (2021). Membangun Sikap Optimis


Remaja Yatim/Piatu Melalui Pelatihan Wirausaha di Dusun Sendang Biru
Kabupaten Malang. E-DIMAS: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,
11(3), 260–266. http://journal.upgris.ac.id/index.php/e-dimas.

Willis, Sofyan. (2005). S, Remaja dan Masalahnya : Mengupas Berbagai Bentuk


Kenakalan Remaja, Seperti Narkoba, Free Sex dan Pencegahannya.
Bandung: Alfabeta.

You might also like