You are on page 1of 18

MAKALAH

“SADD AL-DZARI’AH DAN MADZHAB SHAHABI”


Disusun untuk memenuhi mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Yunik Rahmiyati, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 9
1. Deby Muslika 2111101028
2. Salsa Nopelinda 2111101032
3. Yenny Puspita 2111101087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, serta kemudahan yang diberikan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah guna untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah Ushul Fiqih dengan makalah yang berujudul “SADD AL – DZARI’AH” .

Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan


dikarenakan kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik agar dapat membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan pembelajaran.

Samarinda, 2 November 2022

Penyusun,
Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
1. Sadd Ad – Dzari’ah ............................................................................................... 2
a. Pengertian Sadd Ad-Dzari’ah .......................................................................... 2
b. Macam – macam Sadd Ad-Dzari’ah ............................................................... 3
c. Kehujjahan Sadd Ad-Dzari’ah ........................................................................ 4
2. Madzhab Shahabi .................................................................................................. 6
a. Keadaan para sahabat setelah Rasulullah wafat .............................................. 8
b. Pengertian Madzhab Shahabi ........................................................................... 8
c. Kehujjahan Madzhab Shahabi .......................................................................... 9

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 13


A. Kesimpulan ........................................................................................................ 13
B. Saran ................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar


pengambilan hukum yang behubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat
yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Jumhur ulama telah sepakat
bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil dan juga sepakat bahwa urutan
penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut pertama Al-Qur’an, kedua Al-
Sunnah, ketiga Al-Ijma’ dan keempat Al-Qiyas.

Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas
ulama islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara
mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hokum
syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan
pengunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hokum, beberapa
diantaranya Mazhab al-Shahabi, Syar’u Man Qoblana dan Sad Al-Dzari’ah.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Sadd Al-Dzari’ah dan Madzhab Shahabi?
2. Apa saja macam-macam Sadd Al-Dzari’ah?
3. Bagaimana Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah dan Madzhab Shahabi?
4. Bagaimana keadaan para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian Sadd Al-Dzari’ah dan Madzhab Shahabi
2. Menjelaskan macam-macam Sadd Al-Dzari’ah
3. Menjelaskan Kehujjahan Sadd Al-Dzari’ah dan Madzhab Shahabi
4. Menjelaskan keadaan para sahabat setelah Rasullah wafat

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sadd Al-Dzari’ah
a. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah
Kata Sadd ad-Dzariah terdiri bentuk paraphrase dari (idhafah) yang terdiri
dari dua kata, yaitu sadd dan ad-dzari’ah. Secara etimologis, kata as-sadd
tersebut merupakan kata benda abstrak (Mashdar) dari ‫ َسدَّ َي ُس ُّد َسدًّا‬. Kata as-sadd
tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.
Sedangkan adz-dzariah merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang
berarti jalan, sarana (wasilah) atau sebab terjadinya sesuatu. beberapa kitab usul
fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang
digunakan adalah sadd adz-dzara’i.1
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau
menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara. Dzari’ah berarti “jalan yang
menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan
pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan
mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh)
mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang
dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang
dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik
dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua
pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk
dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Sedangkan secara terminologi, Menurut al-Qarafi, sadd adz-
dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk

1 Intan Arafah, Pendekatan Sadd-Ad-dzari’ah, Al-Muamalat, Vol.5 No.1, Hal 68-69.

2
menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana
terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan
tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-
dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun
akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.

b. Macam – Macam Sadd Ad-Dzari’ah


Para ulama Ushul Fiqih membagi Dzari’ah berdasarkandua segi, yakni
dilihat dari segi kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan.
Dzari’ah dari Segi Kualitas kemafsadatan 2 :
1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti
(qath’i). Misalnya, menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu
malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh kedalam sumur tersebut.
Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan
sengaja. Perbuatan seperti ini dilarang, karena itu dilakukan dengan sengaja
untuk mencelakakan orang lain.
2. Perbuatan yang kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. seperti
menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk
perang atau paling tidak untuk membunuh. Selain itu, menjual anggur
kepada produsen minuman keras, sangat mungkin anggur tersebut akan
diproses menjadi minuman keras. Perbuatan tersebut dilarang karena
dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada

3
kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan
larangan terhadap perbuatan itu.
3. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti jual
beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asalnya karena tidak kontan).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah jual
beli ini dilarang atau diperbolehkan. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah,
jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah
terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar
kemahraman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut
dibolehkan. Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat
yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni dapat menimbulkan
riba. Dengan demikian Dzari’ah seperti itu tidak diperbolehkan.

Dzari’ah dari segi Jenis Kemafsadatan yang ditimbulkan, menurut Ibnu Qayim
Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain:
a. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti minum
minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah
perbuatan yang mafsadat.
b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi
dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik
disengaja maupun tidak disengaja, seperti seorang laki-laki menikahi
perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali
kepada suami pertamanya (nikah at-tahlil).

c. Kehujjahan Sadd Ad-Dzari’ah


Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
kehujjahan Sadd Ad-Dzari’ah sebagai dalil syara’Ulama’ Malikiyah dan

4
Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil
syara’.Adapun alasan mereka antara lain ialah 3 :
Firman Allah SWT dalam QS. Al-An’am : 108, artinya :
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan”.
Hadist Nabi SAW, antara lain :
“ Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua
orangtuanya, Lalu Rasulullah SAW, ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang telah melaknat ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW
menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya
akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka
oranglain pun mencaci maki ibunya” .
Ulama’ Hanafiyah,Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd ad-dzari’ah
dalam amsalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain.
Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur. Menurut Husain
Hamid, salah seorang guru besar ushul fiqih fakultas hukum , Ulama hanafiyah
dan syafi’iyh menerima sadd ad-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan
mucncul benar-benar tkan terjadi atau sekuang-kurangnya kemungkinan besar
akan terjadi. Dalam memandang dzari’ah , ada dua sisi yang dikemukakan oleh
para ulama ushul4 :
1) Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-
laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak 3 kali oleh
suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bias kembali pada
suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya
tidak dibenarkan syara’.

3 Anam, “Makalah Ushul Fiqih Madzhab Sahabi dan Dzari'ah”, 2013.


4 Intan Arafah, Pendekatan Sadd-Ad-dzari’ah, Al-Muamalat, Vol.5 No.1, Hal 68-69.

5
2) Dari segi dampaknya. Misalnya seorang muslim yang mencaci maki
sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan dicaci maki
Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti ini dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan
malikiyah dan hanabillah di pihak lain dalam beerhujjah dengan Sadd Ad-
Dzari’ah adalah niat dan akad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam
suatu transaksi , yang diliat adalah akad yang disepakati oleh orang yang
bertransaksi . Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi
tersebut dianggap sah.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran niat
dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun,
apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap
dianggap sah. tetapi ada, perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang
paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah. Apabila ada indikator yang
menunjukkan niatnya, dan niat itu bertentangan dengan tujuan syara’, maka
akadya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka
perbuatannya dianggap fasid (rusak),namun tidak ada efek hukumnya. (Al-
Jauziyyah, III : 114,119, dan IV : 400) .
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi
mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah
dan Hanabillah dapat mnerima sebagai fath ad -dzari’ah, sedangkan ulama
Syafi’iyah , Hanafiyah sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai
muqadimmah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah, Namun mereka sepakat
bahwa hal itu bias dijadikkan hujjah dalam menetepakan hukum. (Aj-Juhaili :
874).

6
2. Madzhab Shahabi
a. Keadaan para sahabat setelah Rasulullah wafat
Setelah Rasulullah wafat, ada banyak hal yang terjadi. Banyak peristiwa
yang terjadi sejak tahun 600 M sampai dengan 650 M. Peristiwa-peristiwa
tersebut mencakup fitnah dan perang sipil yang kemudian membentuk identitas
dan pemikiran Islam yang berkembang sejak saat itu. Nabi Muhammad Saw
tidak pernah menetapkan siapa yang akan menggantinya. Saat beliau wafat
pada tahun 632, para sahabat memelih seseorang pemimpin atau Imam dan
Khalifah pertama dalam Kekhalifahan Rasyidin yakni Abu Bakar As-Shiddiq5 .
Abu Bakar (632-634 M) adalah seseorang pemimpin yang sederhana.
Kepemimpinannya kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab, seorang tokoh
yang dihormati. Dibawah kepemimpinan Umar, pemerintahan umat islam
menaklukkan berbagai wilayah yang kelak menjadi jantung kekuasaan. Umar
menjelma menjadi tokoh yang menjadi subyek atau sumber bagi riwayat yang
penting. Umar kemudian diganti oleh Utsman Bin Affan pada 656 M. Tiga
khalifah tersebut berasal dari suku Quraisy. Umar dan Utsman dipilih oleh
sebuah dewan para tokoh terkemukakan. Sementara itu, ada kaum syiah yang
meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya pengganti Nabi
Muhammad saw yang sah berdasarkan pada ia yang telah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad saw sebagai penerusnya melalui penunjukkan atau nash.
Pada masa Bani Ummayah, ada beberapa aliran islam seperti Muktazillah
yang bersikap netral atas perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin
Affan. Aliran lain, Mujriah atau Kaum Menunda lebih memilih bersikap netral
dalam perselisihan tersebut. Muktazilah dan Murjiah adalah dua kelompok
Islam yang mengadopsi sebuah konsep keanggotaan yang toleran dan inklusif 6 .
Murjiah berpendapat bahwa seorang pendosa pun akan tetap Muslim.

5 Ayu Alfiah Jonas, “Setelah Rasulullah Wafat”, 2020.


6 Johas, “Setelah Rasulullah Wafat, Apa yang terjadi?” . Khazanah., 2013

7
Sementara Murjiah menyatakan bahwa pendosa besar berada dalam posisi iman
dan kafir. Kelompok Khawarij meyakini hal yang berlawanan dengan
Muktazilah dan Murjiah. Khawarij memiliki anggapan bahwa seseorang yang
menyimpang dari Iman atau tatanan moral akan menyebabkan orang tersebut
menjadi murtad. Banyak perbedaan pendapat yang muncul setelah Rasulullah
wafat. Perbedaan pendapat tersebut terjadi hingga saat ini dan tak jarang
menimbulkan perpecahan bagi sebagian kelompok.
Pasca wafatnya Nabi Muhammad, terjadi beberapa Beberapanya seperti
terpecahnya Islam menjadi Sunni dan Syiah; terjadinya Perang Sipil antar para
Sahabat Nabi pada Perang Saudara Islam I di tahun 656–661 M, di mana
beberapa pertempuran yang terjadi pada saat itu adalah antara kubu Aisyah
melawan kubu Ali bin Abi Tholib pada Perang Jamal; pertempuran pihak
Muawiyah (sepupu Utsman) melawan kubunya Ali; Perang Karbala di mana
cucu Nabi yaitu Hussain tewas dipenggal oleh pasukan Yazid bin Muawiyah,
dll. Kemudian dilanjutkan dengan Perang Saudara Islam II yang terjadi di tahun
680–692 M. Beberapa dari dampak yang diakibatkan oleh perang ini adalah
seperti hancurnya Ka'bah dua kali pada Pengepungan Makkah di tahun 683 dan
692, dan pecahnya batu Hajar Aswad menjadi tiga kepingan. Yang mana lalu
dilanjutkan dengan Perang Saudara Islam III pada tahun 744–747/750 M.
Selain itu, Setelah wafatnya Rasulullah SAW ia juga memberi fatwa kepada
kaum muslimin tentang hukum-hukum untuk disampaikan kepada umat,
melalui dari para sahabat . Mereka para sahabat mengetahui tentang fiqih dan
ilmu-illmu, dan menjadi pengikut Rasulullah selamanya, dan memahami Al-
Qur’an dan hukum-hukumnya. Dan dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai
peristiwa yang bermacam-macam. Dan sebagian riwayat itu dari para tabi’in
dan tabi’in tabi’in dengan riwayat yang using, sehingga bahwasannya mereka
itu tetap mengikuti sunnah-sunnah rasul.

8
b. Pengertian Madzhab Shahabi
Pengertian Madzhab Shahabi menurut Abdul Wakaf Khallaf, secara
defenitif dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat Madzhab Shahabi
ialah “fatwa sahabat secara perorangan” . Pertama, penggunaan kata
“Fatwa” dalam definisi ini mengandung arti bahwa fatwa itu merupakan suatu
keterangan atau penjelasan suatu hukum syara yang dihasilkan melalui usaha
ijtihad 7 . Dengan demikian apa yang disampaikan seorang sahabat dan yang
dijelaskannya adalah sebagaimana berasal dari Nabi.Tidak dinamakan
madzhab shahabi, tetapi disebut sunnah. Sedangkan usaha sahabat yang
menyampaikan itu disebut dengan periwayatan. Abu Zahra menguraikan
beberapa kemungkinan bentuk madzhab shahabi tersebut dalam kebeberapa
bentuk, yaitu:
1) Apa yang disampaikan sahabat adalah suatu berita yang didengar dari
Nabi, namun tidak dijelaskan bahwa berita itu sunnah.
2) Apa yang disampaikan sahabat ialah sesuatu yang didengar dari
seseorang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi tidak ada
penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya berasal dari
Nabi.
3) Apa yang disampaikan sahabat tersebut adalah pemahamannya tentang
ayat-ayat al-qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4) Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang sudah disepakati
lingkungannya, namun menyampaikannya hanyalah sahabat tersebut
seorang diri.
5) Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahamannya atas
dalil-dalil, karena kemampuannya dalam Bahasa dan dalam
penggunaan dalil lafadz.

7 Anam, “Makalah Ushul Fiqih Madzhab Sahabi dan Dzari'ah”, 2013.

9
Kedua, yang menyampaikan fatwa adalah seorang sahabat nabi. Ketiga,
penggunaan kata “secara perorangan” yang merupakan fasal kedua dalam
definisi diatas, memperingatkan secara jelas perbedaan madzhab shahabi dan
ijma shahabi. Karena ijma shahabi bukan pendapat perorangan tapi hasil
kesepakatan bersama tentang hukum.

c. Kehujjahan Madzhab Shahabi


Sepeninggal Rasulullah Saw banyak peristiwa dan kejadian baru yang
muncul di kalangan sahabat sehingga menuntut adanya madzhab shahabi.
Pengertian Kehujjahan disini ialah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan
oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana
berdosanya meninggalkan perintah Nabi Muhammad Saw. Kedudukan
Madzhab Shahabi sebagai sumber hukum yang dibagi menjadi tuga bagian,
yaitu berdasarkan sunah rasul (wajib ditaati), Madzhab Shahabi yang
berdasarkan Ijtihad dan sudah disepakati (ijma shahabi, ini dapat dijadikan
hujjah dan wajib ditaati), madzhab shahabi yang tidak mereka sepakati (tidak
bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati). 8
Menurut jumhur ulama, sahabat adalah orang yang bertemu dengan
Rasulullah Saw, serta iman kepadanya dan bersamanya dalam waktu yang
cukup lama dan ketika meninggal tetap dalam keadaan beriman. Dalam
Madzhab Shahabi terdapat kehujjahan madzhab. Para Ushul Fiqih sepakat
menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan ijtihad
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat
itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa
pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat
dinalar logika atau ijtuhad, dapat diterima sebagai hujjah. Para ulama juga

8Muhammad Taufiq, “MADZHAB SHAHABI DALAM PRESPEKTIF ILMU USUHUL FIQIH.”,


hal 94.

10
sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan
hukum dari masalah yang telah disepakati oleh para sahabat (Ijma’ ash-
shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (Ijma’ ash
sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada
pendapat yang brbeda dengan pendapat yang berkembang (Ijma’ as-sukuti),
yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab as-shahabi. Sebaliknya, para
ulama’ juga sepakat bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad
perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainnya. Sebab fakta sejarah
menunjukkan bahwa di kalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat
dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu.
Madzhab Shahabi secara mutlak tidak menjadi hujjag/dasar hukum atas
madzhab shahabi. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah,
Imam Syafi’i dalam madzhabnya (Syafi’yah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha
dari golongan hanafiyah, alasannya sebagai berikut:
1) Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain
halmya dengan seorang mujtahid yang bias berbuat kesalahan.
Mengenai keutamaan sahabat dengan ilmu dan takwanya, tidaklah
mewajibkan untuk mengikutinya.
2) Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
3) Bahwa ada sebagian tabi’in yang menyalahi madzhab/qaul sahabat.

Dalam penelurusan terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa


sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan
dalam ijtihad itu bukanlah suatu mustahil, karena ada jaminan bahwa mereka
tidak akan salah dalam melakukan ijtihad. Adakalanya para sahabat berbeda
pendapat dalam menetapkan hukum pada suatu kasus. Imam al-ghazali juga
mengatakan, : “terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu
kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bias dijadikan hujjah karena
mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para

11
sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar bin
Umar bin ibn Khattab membiarkan saja orang orang yang tidak sependapat
dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai
dengan ijtihadnya masing-masing”.
Meski tidak setuju qaul shahabi dijadikan hujjah (dalam qaul jadid), imam
syafi’i. menurut Musthafa Dib al-Bugha ternyata juga banyak mengambil
pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam
mentapkan hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping
hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hany aboleh
disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu al-qur’an dan sunnah. Pasalnya
madzhab/ qaul sahabat dianggap hujjah oleh sebagian besar ulama, namun di
tentang juga oleh sebagaian kecil ulama.
Madzhab/qaul/fatwa yang tidak keluar dari enam kemungkinan, yaitu :
1. Fatwa yang didengar sahabat dari Rasulullah Saw
2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar Rasulullah Saw.
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Qur’an yang agak
kabur pemahaman ayatnya bagi kita
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya,kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Rasulullah Saw
dan maksud-maksudnya. Kelima inilah masuk sebagai hujjah yang wajib
diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak dating dari nabi dan
ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak menjadi hujjah.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang tlah kami paparkan, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa secara Bahasa kata Sadd berarti menutup dan Adzariah
berarti wasilah atau jalanan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian
Sadd Ad-Dzari’ah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan,
Sedangkan menurut Imam Asy-Syatibi, sadd ad-dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan
tapi berakhir pada sesuatu kerusakan.
Dari penjelasan mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dinamakan dengan madzhab shahabi adalah perkataan sahabat
Rasulullah Saw, mengenai suatu masalah yang hukumnya tidak dapat
didapatkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dan mengenai
kehujjahannya terdapat sebagian ulama yang menerima madzhab shahabi
dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada juga sebagian ulama yang menolak
atas kehujjahan madzhab shahabi. Dan mungkin perbedaan tersebut
sangatlah wajar karena dilihat dari persepektif sudut pandang yang berbeda-
beda dan tentunya dengan alasan yang berbeda-beda pula.

B. Saran
Dalam makalah ini pemakalah sudah menjelaskan tentang pengertian,
macam-macam, kehujjahan Sadd Ad-Dzari’ah dan Madzhab Shahabi, dan
keadaan para sahabat setelah Rasulullah Saw wafat. Tetapi pemakalah
merasa masih terdapat kekurangan dan kelemahan, Oleh karena itu
pemakalah meminta kritikan yang berupa saran kepada teman-teman semua
terutama kepada dosen pembimbing untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anam. (2013, Januari 28). Makalah Ushul Fiqih Madzhab Sahabi dan Dzari'ah.
Arafah, I. (n.d.). PENDEKATAN SADD AD-DZARI'AH DALAM STUDI. Al-
Muamalatt : Hukum & Ekonomi Syariah.
Islam, D. (2018, November Minggu). Pengertian Madzhab Shahabi dan
penerapannya dalam Ushul Fiqh. Retrieved from Ushulfiqih:
https://www.dutaislam.com/2018/11/pengertian-madzhab-shahabi-dan-
penerapannya-dalam-usul-fiqih-pdf.html
Johas, A. A. (2020, November 18). Setelah Rasulullah Wafat, Apa yang terjadi? .
Khazanah.
Muhammad Taufiq, N. Y. (n.d.). MADZHAB SHAHABI DALAM PRESPEKTIF
ILMU USUHUL FIQIH. studi perbandingan abdul wahhab khallaf dan
abddul karim zaidan, p. 94.

14

You might also like