You are on page 1of 20

MAKALAH

QIYAS
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu Yunik Rahmiyati, M.Pd

Disusun oleh:

Kelompok 6

1. Dini Rahmadani 2111101003


2. Ichsan Fizhof Alkahfi 2111101126
3. Mufid Nur Alif 2111101118

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, mari panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul Qiyas untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih
Penulis sangat menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan baik dari segi pemaparan, penyajian, penyampaian,
pemahaman, dan masih banyak lagi tentunya. Maka dari itu, penulis sangat
membutuhkan masukan, saran serta kritik yang membangun dari pembaca
sekalian demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya. Dalam proses
pembuatan makalah ini pun penulis mendapatkan banyak pembelajaran sehingga
penulis pun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua sehingga
menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat di terapkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Samarinda, 25 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5

A. Pengertian Qiyas .................................................................................. 5


B. Rukun Qiyas ......................................................................................... 6
C. Syarat QiyaS ........................................................................................ 9
D. Macam-macam Qiyas......................................................................... 14
E. Kehujjahan Qiyas ............................................................................... 15

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 19

A. Kesimpulan ........................................................................................ 19
B. Saran ................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama
setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ adalah Qiyas. Hal ini berarti bahwa,
apabila terjadi suatu peristiwa maka pertama kali yang harus dijadikan
sumber hukum adalah Al-Qur’an, apabila ditemukan hukum di dalamnya
maka hukum itu yang dilaksanakan. Namun, jika hukum atas peristiwa
tersebut tidak diketemukan di dalam Al-Qur’an, maka yang kedua di lihat
adalah hukum di dalam As-Sunnah dan apabila hukum atas peristiwa
tersebut ada di dalam As-Sunnah maka hukum itu yang dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Qiyas?
2. Apa saja Rukun Qiyas?
3. Apa saja Syarat Qiyas?
4. Apa Macam-macam Qiyas?
5. Apa kehujjahan Qiyas?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendefinisikan Pengertian Qiyas
2. Menganalisis Beberapa Rukun Qiyas
3. Menganalisis Syarat Qiyas
4. Untuk mengetahui Macam-macam Qiyas
5. Untuk Mengetahui Kehujjahan Qiyas
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya
mengukur.1 Selain “qasa” kata yang sama artinya dengan mengukur adalah at-
taqdir dan at-taswiyah yang bermakna menyamakan.2 Sedangkan secara istilah,
qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai menerangkan hukum sesuatu
yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash.3
Melalui cara/metode Qiyas, para mujtahid telah mengembalikan ketentuan
hukum sesuatu kepada sumbernya Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hukum Islam
seringkali sudah tertuang jelas dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, seringkali
juga masih bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Imam
Syafii mengatakan “setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan ummat Islam
wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya ysng
pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu
adalah Qiyas.4
Imam Al-Syafi’i yang dipandang seorang yang pertama menyusun metode
qiyas, tidak menggambarkan secara sistematis tentang defenisi qiyas. Namun, dari
beberapa statementnya yang menyangkut qiyas, dapat disimpulkan bahwa qiyas
adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan atau disinggung oleh nass
(Al-Qur’an dan Hadist) kepada sesuatu yang disebutkan dan telah ditetapkan

1 Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar al-Masriq, 1986), Hal. 665. secara luas Sya`ban
Muhammad Ismail mendeskripsikan pengertian Qiyas secara bahasa. Menurut beliau, kata Qiyas merupakan derivasi
(bentuk) dari qasa, yaqisa, qaisan, wa qiasan. Atau mungkin juga menurut sebagaian pendapat berasal dari kata qasa,
yaqusu, qausan, wa qiasan. Qiyas secara bahasa memiliki dua pengertian . pertama, at-taqdir (mengukur) . misalnya,
qasa al saub bi al mitr atau qasa al ard bi al-qasabah. Kata at taqdir juga bisa di pahami dalam pengertian al-muqaranah
(analogi atau membandingkan)antara dua hal. Misalnya, qoyastu baina al-`amudain. Kedua, al-musawat baina syaiain
(mencari persamaan antara dua hal), baik persamaan itu dilakukan secara hissiyah (inderawi atau empiris), maupun
ma`nawiyah (guessing atau non-empiris). Lebih lanjut lihat Sya`ban Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma wa
al-Qiyas (Mesir: Maktabah an-Nahdah, 1988), hal.153.
2 Darul Azka, Kholid Affandi, Nailul Huda. Jam’u Al-Jawami’ (Kajian dan Penjelasan Ushul Fiqh dan Ushuluddin).

Lirboyo Kediri: Santri Salaff Press. 2014. h.187


3 Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.336.
4 Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.336.

5
hukumnya, karena serupa makna hukum yang disebutkan.5 Artinya qiyas adalah
suatu metode penetapan hukum dengan cara menyamakan sesuatu kejadian yang
tidak tertulis hukumnya secara tekstual dengan kejadian yang telah ditetapkan
hukunya secara tekstual. Hal ini dimungkinkan dengan pertimbangan adanya
kesamaan’illat dalam hukumnya. Dengan demikian ketetapan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nash-nya dapat dikategorikan sebagai qiyas.
Definisi lain Qiyas menurut ulama ushul yaitu menyamakan sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan illat hukum. Al-‘Illat merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk
membentuk hukum pokok, dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang
(far’), maka al-,illat disamakan dengan pokonya dari segi hukum6.
Dari berbagai definisi Qiyas baik dari ulama klasik dan ulama
kontemporer mereka bersepakat bahwa proses penetapan hukum melalui metode
qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat al hukm wainn sya’uhu),
melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-izzhar
li-al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya di nash.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan
teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘illat-nya
sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap
kasus yang sedang dihadapi itu adalah hulkum yang telah ditentukan nash tersebut
(analogi).
B. Rukun Qiyas
Para ushul ulama fiqh menetapkan rukun qiyas ada 4 (empat) yaitu ashl
(wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan
ditetapkan hukumnya), i’llat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh
mujtahid pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash
atau ijma’).7
1. Ashl
Ashl atau Al-Ashl meupakan sumber hukum yang berupa nash-
nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber

5 Muhammad Abu Zahrah, Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi,
tt), Hal. 296.
6
Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama (Toha Putra Group). 2014. cet.2.
h.94
7
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.65
6
hukum. Al Ashl juga dapat dimaknai sebagai sumber yang menjelaskan
hukum yang dipergunakan sebagai qiyas dari Far’u (cabang) atau yang
mempunyai sasaran hukum. Al-Ashl atau sumber hukum yang
digunakan dalam Qiyas adalah nash (Al-Qur’an dan Hadits) atau
Ijma,. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa tidak
diperbolehkannya meng-qiyaskan sesuatu dengan hukum yang
ditetapkan melalui qiyas.8
Contoh Ashl: diharamkannya wisky atau minuman keras lainnya
dengan meng-qiyaskannya kepada khamar; maka Al-Ashl itu adalah
khamar yang telah ditetapkan hukumnya yaitu haram melalui nash QS.
Al-Maidah (3) ayat 90-91.
Pembatasan sumber hukum dalam qiyas berdasarkan:
a. Nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala
hukum. Sedangkan sumber hukum yang lain, apapun
bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan
demikian, nash hukum harus dijadikan sebagai dasar bagi
bangunan qiyas.
b. Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan
kandungannya mengandung isyarat adanya ‘Illat. Dengan
menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan
‘illat. Contoh ‘illat dalam khamar QS. Al-Maidah (3) ayat
90-91 dalam adalah: memabukkan sehingga dapat
menqiyaskan suatu hal yang bersifat memabukkan dengan
hukum khamar yaitu haram
c. Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan nash Al-
Qur’an, dan Al-Hadits.
2. Far’u
Far’u (cabang) adalah objek yang akan ditetapkan hukumnya,
yang tidak ada secara tegas hukumnya di nash (Al Qur,an dan Hadits)
maupun Ijma’. Al Far’u adalah kasus yang akan diketahui hukumnya
melalui qiyas. far’u memiliki beberapa persyaratan, diantaranya:19
1) Terwujudnya ‘Illat ashl secara sempurna dalam far’u baik
sama persis atau disertai tambahan.

8 Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008. Cet. Kedua. h.352
7
Contoh Illat ashl yang sama persis berupa memabukkan dalam
qiyas minuman keras dari perasan selain anggur (nabidz) pada
perasan anggur (khamar).
Contoh Illat ashl yang disertai tambahan adalah berupa
menyakiti dalam qiyas memukul orang tua dan berkata kasar.
2) Disyaratkan dalam far’u, tidak adanya dalil qath’i yang
bertentangan dengan far’u. Maksud persyaratan ini adalah
hukum dalam far’u tidak boleh bertentangan dengan dalil
qath’iy. Karenanya, qiyas tidak sah dilakukan manakala
ditemukan dalil qath’iy yang bertentangan.
3) Tidak hanya hadits ahad yang bertentangan., Menurut
mayoritas ulama, hukum dalam far’u tidak boleh bertentangan
dengan Khabar Ahad. Jika hal ini terjadi, maka Khabar Ahad
didahulukan daripada qiyas
4) Far’u menyamai Ashl dan hukum Far’u menyamai hukum
Ashl Maksud persyaratan ini adalah far’u harus menyamai Ashl
dalam ‘ain (bentuk) atau jenis ‘illat. Dan apabila berbeda,
maka qiyas menjadi rusak, karena ‘illat menjadi tidak ada pada
far’u.
5) Hukum Far’u tidak manshush (dijelaskan berdasarkan nash)
dengan hukum yang sesuai atau berbeda dengan qiyas

6) Hukum Far’u tidak boleh men dahului hukum Ashl

3. Illat
Secara etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat karena dengan
adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi
sakit.9Secara terminologi, ada beberapa definisi ‘Illat yang
dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyyah
Sebagai pengenal bagi suatu hukum, apabila terdapat suatu ‘illat
pada sesuatu, maka hukumpun ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah
hukum itu dikenal. Kalimat “sifat pengenal” dalam rumusan definisi

9
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.76
8
tersebut menurut mereka sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu
hukum.
4. Hukm Al Ashl
Hukm Al Ashl adalah hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl
(pokok) nya dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukun pada Far’u
(cabang) nya.10
Menurut para ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa syarat-syarat
hukum al-ashl adalah:
a. ukm al-ashl tidak bersifat khusus dalam artian tidak bisa
dikembangkan kepada far’u.11
b. tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u yang akan
ditentukan hukumnya sehingga tidak perlu qiyas.
c. hukm al-ashl lebih dahulu disyari’atkan dari far’u. Contoh,
tidak boleh mengqiyaskan wudhu dengan tayamum
walaupun ‘illat-nya sama

C. Syarat Qiyas
Pada hakekatnya membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat
syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas itu sendiri
Rukun-rukun atau unsur-unsur qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah12:
1. Maqis 'alaih
Dalam memberikan nama kepada maqis 'alaih itu terdapat beberapa
pendapat. yang menamakannya ashul (sesuatu yang dihubungkan kepadanya
sesuatu yang lain). Ada yang menggunakan istilah mahal al-hakim al-
musyabbah bih (wadah/tempat yang pada wadah itu terdapat hukum yang
akan disamakan kepada wadah lain). Ada juga yang menyebutnya dengan
dalil al-hukum (sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hukum).
Pendapat lain mengatakan bahwa magis 'alaih itu adalah hukm al-muhal
(hukum bagi wadah).
Dalam hal ini sangat sedikit sekali ulama yang memberikan persyaratan

10
Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama (Toha Putra Group). 2014. cet.2.
h.94
11
DR. Nasrun Haroen, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet. Kedua. h.74
24 Q.
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 180-190
9
persyaratan terhadap ashal/maqis 'alaih Hal ini mungkin karena jumhur ulama
sendiri tidak memberikan syarat apa-apa terhadap ashal ini. Meskipun
demikian ada juga ulama yang memberikan persyaratan tersebut, yaitu:13
a. Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan
sesuatu kepadanya, baik secara nau'i atau syakhsi (lingkungan yang
sempit atau maksud terbatas). Jumhur ulama menolak persyaratan ini
karena menurut mereka tidak ada dalil yang mensyaratkannya.
b. Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya illat pada ashulimaqis
'alaih Jumhur ulama menolak persyaratan ini. karena menurutnya tidak
ada dalil atau petunjuk yang mempersyaratkannya.

2. Magis
Untuk magis ini kebanyakan ulama menggunakan kata furu' (sesuatu yang
dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain). Ada yang mengatakan
bahwa magis adalah mahal al-musyabbah (wadah yang hukumnya diserupakan
dengan yang lain). Ada pula yang menyebutnya hukm al-mahal al-musyahhah
(hukum dan wadah yang disamakan). Tidak ada pendapat yang mengatakan
bahwa furu' itu adalah dalil hukum yang disamakan, karena yang menjadi dalil
tentang adanya hukum pada furu' adalah qiyas itu sendiri.
Untuk maqis ini terdapat beberapa syarat. Sebagian dari syarat itu
disepakati para ulama dan sebagian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu.
Syarat-syarat magis itu adalah sebagai berikut:14
a. Alat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang
terdapat pada ashal. Maksudnya, seluruh 'illat yang terdapat pada ashal
juga terdapat pada furu. Jumlah 'illar pada furu' itu bisa sebanyak yang
terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
b. Harus ada kesamaan antara furu' itu dengan ashul dalam hal 'illa!,
maupun hukum, baik yang menyangkut 'ain atau jenis, dalam arti sama
dalam 'ain illat atau jenis illat dan sama dalam 'ain hukum atau jenis
hukum. Bila di antara hal ini terdapat perbedaan, maka rusaklah qiyas,
karena tidak terdapat illat pada furu' (dalam hal berbedanya illut) atau

13
Amir Sayarifuddin, Ushul, I, h. 166. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberika sebanyak delapan syarat
bagi ashal, lihat al-Ghazali. al-Mustashfa, II. h. 325-326.
14
Amir Syarifuddin. Ushul. 1, h. 167. Al-Ghazali menyebutkan lima syarat bagi furu' 11 al-Ghazali, al-
Mustashfa, II, h. 330.
10
tidak adanya hukum ashal pada furu' (dalam hal berbedanya hukum).
c. Ketetapan hukum pada furu' itu tidak menyalahi dalil qathi
Maksudnya, tidak terdapat dalil quth'i yang isinya berlawanan dengan
furu Hal ini disepakati oleh ulama. Alasannya adalah bahwa qiyas
tidak dapat digunakan pada sesuatu selama masih ada dalil qath 'i yang
berlawanan dengannya.
d. Tidak terdapat penentang (hukum lain) yang lebih kuat terhadap
hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawanan dengan
'illat qiyas itu. Penentangnya itu bisa dalam bentuk nagid
(contradictory) atau dalam bentuk dhid (contrary)
e. Furu' itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu; baik
materi nash itu bersesuaian dengan hukum yang akan ditetapkannya
pada furu', atau berlawanan dengannya.
f. Furu' (sebagai magis) itu tidak mendahului ashal (sebagai maqis 'alaih)
dalam keberadaannya. Misalnya mengqiyaskan wudhu kepada
tayammum dalam menetapkan kewajiban niat. Wudhu itu lebih dahulu
adanya dari pada tayammum. Wudhu disyari'atkan sebelum hijrah,
sedangkan tayammum disyari'atkan sesudah hijrah. Lagi pula
ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudhu di saat
tidak dapat melakukan wudhu
3. Hukum ashal
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah magis 'alaih
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash; dan hukum itu pula yang akan
diberlakukan pada furu'.
Syarat bagi hukum ashal untuk dapat direntangkan kepada kasus lain
(furu) melalui qiyas adalah sebagai berikut:15
a. Hukum ashal itu adalah hukum syara', karena dari tujuan qiyas syar'i
adalah untuk mengetahui hukum syara' pada furu, baik dalam bentuk
itshat (adanya hukum) atau dalam bentuk nafi (tidak adanya hukum).
Scandainya hukum ashal itu bukan hukum syara' syara', maka tujuan
penggunaan qiyas tidak akan berhasil.
b. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas Satu
pendapat mengatakan, juga bukan karena uma. Alasan tidak bolehnya
15
Amu Syarifuddin. Ushul, I, h. 169-171.
11
hukum ashal ditetapkan dengan qiyas, karena berarti hukum ashal itu
pun pada mulanya merupakan furu' darı qiyas yang lain (pertama kali).
c. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang
telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashal itu
membangun (menetapkan) hukum. Alasannya ialah bahwa
perentangan hukum dari ashal kepada furu adalah didasarkan kepada
adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini sangat tergantung
kepada pandangan ( tibar) dari pembuat hukum kepada ashal tersebut
Sedangkan terhadap hukum ashal yang telah dimansukh, tidak lagi
pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu pada hukum
ashal tersebut.
d. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila
menyimpang dari ketentuan qiyas, maka tidak mungkin mengqiyaskan
sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalamn hukum ashal seperti itu
tidak ada daya rentang.
e. Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama, karena kalau belum
disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu
bagi ulama yang tidak menerimanya. Dalam hal ini, masalahnya akan
beralih dari menetapkan furu' kepada menetapkan hukum pada ashal.
Dengan demikian pembahasannya akan mengembang dan berlarut-
larut serta apa yang dituju pun akan luput
f. Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak
menjangkau kepada furu. Maksud hukum ashal yang menjangkau
kepada furu' adalah dalil hukum pada furu itu juga merupakan dalil
hukum ashal Karena kalau dalilnya telah terjangkau oleh dalil hukum
ashal, maka tidak perlu lagi ada qiyas, cukup dengan dalil hukum ashal
tersebut Menjadikan sebagian bentuk yang tercakup menjadi ashal
tidak akan lebih utama dari bagian yang lain.
4. 'Illat
Pada dasarnya hukum-hukum yang ditetapkan oleh suatu nash
mengandung maksud tertentu. Sehingga bila seseorang melaksanakan hukum
tersebut, maka apa yang dituju dengan ketetapan hukum itu akan tercapai. Tujuan
hukum itu dapat dicari dan diketahui dari teks atau nash yang menetapkannya,
yakni melalui sifat atau hal yang menyertai hukum itu. Dari sifat yang menyertai
12
hukum itu diketahui 'illat hukumnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan hakikat suatu illat ketika
melihat hubungannya dengan hukum:16
a. Ahlul Haq dan kelompok ulama Syi'ah mengatakan bahwa 'illut adalah
pemberi tahu bagi hukum. Bila dikatakan bahwa sifat memabukkan
menjadi 'illat bagi haramnya khamr, berarti sifat tersebut memberi tahu
atau merupakan pertanda bagi haramnya minuman yang memabukkan.
Berdasarkan pendapat ini, maka hukum ashal itu berlaku dengan
adanya sifat itu, bukan dengan adanya nash.
b. Ulama Hanafi berpendapat bahwa illat itu memang pemberi tahu akan
adanya hukum, namun menetapkan hukum adalah nash itu sendiri,
bukan 'illat yang menjadi pemberi tahu itu, karena nash itulah yang
menimbulkan hukum.
c. Ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa illat itu adalah sesuatu yang
dengan sendirinya mempengaruhi terhadap hukum yang didasarkan
kepada pandangan bahwa hukum itu mengikuti mashlahat dan
mafsadat. Bila ada sesuatu yang mengandung mashlahat, muncullah
keharusan berbuat, dan bila sesuatu itu mengandung unsur mafsadat,
muncullah keharusan untuk menjauhinya. meskipun nash dalam
bentuk wahyu belum datang.
d. Imam al-Ghazali hampir sama pendapatnya dengan Mu'tazilah dalam
melihat 'illat itu sebagai faktor yang mempengaruhi keberadaan
hukum, namun pengaruh 'illat terhadap hukum itu tidak berlaku
dengan sendirinya, tetapi karena ada izin Allah.
e. Al-Amidi berpendapat bahwa illat itu adalah pendorong terhadap
hukum. Maksudnya illat itu mengandung hikmah yang pantas menjadi
tujuan bagi pembuat hukum dalam menetapkan hukum. Ibn al-Subki
mengomentan pendapat al-Amidi tersebut, ini agaknya yang dimaksud
oleh Syafi'iyah yang mengatakan bahwa berlakunya hukum ashal
adalah karena adanya illat, artinya 'illat itu mendorong atas adanya
hukum. Ini juga yang dimaksud olch Hanafiyah yang berpendapat
bahwa nash memberi tahu adanya hukum. Masing-masing pendapat
tidak menyalahi yang lain.
16
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam. (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas, 1995) h 65
13
D. Macam-macam Qiyas
Ditinjau dari segi kekuatannya, ‘illat yang terdapat pada furu’ dibanding
dengan yang terdapat pada ashal, Qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu17:

1. Qiyas Aulawi: Merupakan suatu ‘illat hukum yang diberikan pada ashal lebih
kuat diberikan pada furu’, Sebagai contoh mengqiyaskan keharaman
memukul orang tua kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang
tua dengan ‘illat menyakiti. Ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
ٍّ ُ ‫فَ ََل تَقُل لَّ ُه َما ٓ أ‬
‫ف َو ََل تَ ْن َه ْرهُ َما َوقُل لَّ ُه َما قَ ْو اَل ك َِري اما‬
Artinya:…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia18
2. Qiyas Musawi: Yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan hukum, ataupun
mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang lain yang keduanya bersamaan
dalam keputusan menerima hukum tersebut. Contohnya menjual harta anak
yatim diqiyaskan pula dengan memakan harta anak yatim. Didalam Al-Qur’an
Allah berfirman:

‫ِيرا‬
‫سع ا‬َ َ‫صلَ ْون‬
ْ ‫س َي‬
َ ‫َارا ۖ َو‬ ُ ُ‫ظ ْل اما ِإنَّ َما َيأ ْ ُكلُونَ فِي ب‬
‫طو ِن ِه ْم ن ا‬ ُ ‫ِإ َّن الَّذِينَ َيأ ْ ُكلُونَ أ َ ْم َوا َل ْال َيت َا َم ٰى‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).19
3. Qiyas Adna: yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal
(pokok). Misalnya, sifat yang memabukkan yang ada dalam minuman keras
bir umpanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman
keras khamar yang diharamkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 90:

َ ٰ ‫ش ْي‬
َ‫ط ِن فَٱ ْجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬ َّ ‫ع َم ِل ٱل‬ ٌ ‫صابُ َو ْٱْل َ ْز ٰلَ ُم ِرج‬
َ ‫ْس ِم ْن‬ َ ‫ٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإنَّ َما ْٱل َخ ْم ُر َو ْٱل َم ْيس ُِر َو ْٱْلَن‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Group, cet. hal. 237-241. 2008
18
QS. Al-Isra’ (17): ayat 23
19
QS. An-Nisa’ (4): ayat 10
14
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.
Ditinjau dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum. Qiyas dibagi
menjadi 2 macam yaitu:
1. Qiyas Jali: Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan
hukum ashal atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan tidak
menimbulkan pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’.
Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti kedua orang
tua dengan perkataan kasar.
2. Qiyas Khafi: Qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah
pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram
maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram,
demikian jika sebaliknya. Salah satu contoh jenis qiyas satu ini adalah
hukum membunuh manusia baik dengan benda yang ringan maupun
berat. Dimana hukum keduanya adalah haram atau dilarang, sebab
membunuh adalah kejahatan sekaligus dosa karena mendahului
kehendak Allah SWT dalam menentukan umur makhluk hidup di dunia.

E. Kehujjahan Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqih dan para ulama pengikut madzhab yang
empat sependapat bahwa Qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah
dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Mereka baru akan melakukan
Qiyas apabila ada hal atau peristiwa tetapi setelah dikaji, tak ada satu yang
sesuai yang dapat dijadikan sebagai dasar. Hanya sebagian kelompok yang tidak
membolehkan pemakaian Qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu
cabang dari Madzhab Dzahiri dan Syi’ah.
Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika Qiyas memang boleh
tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib
memakai Qiyas. Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan
bahwa Qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan
karena mengamalkan Qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal
mereka dengan mengambil dalil dari Surat Al-Hujurat ayat 1:

‫علِي ٌم‬
َ ‫سمِ ي ٌع‬ َ َّ ‫ٱَّلل ۚ إِ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬ ۟ ُ‫سو ِلِۦه ۖ َوٱتَّق‬
َ َّ ‫وا‬ ِ َّ ‫ى‬
ُ ‫ٱَّلل َو َر‬ ِ َ‫وا بَيْنَ يَد‬ ۟ ُ‫ٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
۟ ‫وا ََل تُقَ ِد ُم‬
15
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
Mengenai dasar hukum Qiyas bagi yang memperbolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat sebagai
berikut:
A. Al-Qur’an

Allah SWT Berfirman dalam Al-Qur’an:


‫ٱَّلل‬ َ ‫سو َل َوأ ُ ۟ولِى ْٱْل َ ْم ِر مِ ن ُك ْم ۖ فَإِن ت َ ٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى‬
ِ َّ ‫ش ْىءٍّ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ ُ ‫ٱلر‬ ۟ ُ‫ٱَّلل َوأَطِ يع‬
َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫ٰ َٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا أَطِ يع‬
َ َّ ‫وا‬
‫يَل‬ َ ‫ٱل َءاخِ ِر ۚ ٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأ َ ْح‬
‫س ُن ت َأ ْ ِو ا‬ ْ ‫ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم‬
ِ َّ ِ‫سو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ ب‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫َو‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. 20
Dari keterangan ayat di atas maka dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT
memerintahkan kaum muslimin supaya menetapkan segala sesuatu berdasarkan
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits maka hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amri.
Jika tidak ada pendapat Ulil Amri, maka diperbolehkan untuk menetapkan
hukum dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu
dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang semisal
yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
B. Hadist
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, maka Rasulullah SAW bertanya kepada Mu’adz yang artinya:
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu
peristiwa kepadamu?” Lalu Mu’adz pun menjawab:” Akan aku tetapkan
berdasarkan al-Qur’an”. Lalu Rasulallah bertanya lagi: “Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur’an?” Mu’adz menjawab: “Akan aku tetapkan
dengan sunnah Rasulullah SAW”. Kemudian Rasulallah bertanya lagi: “Jika
engkau tidak menjumpainya dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab:

20
QS. An-Nisa’ (4): ayat 59
16
“Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-
sungguh”. Lalu Rasulullah-pun menepuk dadanya seraya berkata: “Segala puji
bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-
Nya.” (HR. Ahmad Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seseorang dibolehkan melakukan
ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukannya pada
ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan Qiyas.
C. Perbuatan Sahabat
Para sahabat Rasulallah SAW banyak yang melakukan Qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ditemukan nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar ra. Menurut para sahabat. Abu Bakar dianggap
lebih utama untuk diangkat sebagai Khalifah dibandingkan dengan sahabat-
sahabat yang lainnya, karena Abu Bakar yang diberi amanah oleh Nabi SAW
untuk mewakili beliau sebagai imam shalat ketika beliau SAW sedang sakit.
Apabila Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat,
sudah barang tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
kepala pemerintahan atau Khalifah.
D. Akal
Allah SWT menetapkan suatu syara’ sebenarnya untuk kemaslahatan bagi
manusia. Setiap peristiwa atau hal ada yang diterangkan penjelasannya di dalam
nash dan ada pula beberapa yang memang sengaja tidak diterangkan oleh Allah
SWT. Peristiwa atau hal yang tidak diterangkan penjelasannya di dalam nash atau
tidak dijumpai adanya nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang
illatnya sesuai dengan illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai ashalnya.
Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nashnya sebagai
dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash karena
terdapat persamaan illatnya, maka diduga kuat akan memberikan kemaslahatan
kepada hamba. Oleh karena itu, tepat apabila kiranya hukum dari peristiwa itu
ditetapkan dengan cara Qiyas.
Apabila kita perhatikan, maka akan tampak bahwa nash-nash di dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada pula yang
17
bersifat khusus.Ada yang mujmal dan ada pula yang mubayyan. Biasanya yang
bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam.
Banyak peristiwa atau hal yang terjadi sekarang belum pernah terjadi di masa
Rasulullah. SAW. Maka peristiwa tersebut perlu ditetapkan hukumnya. Padahal
tidak dijumpai nash secara khusus mengenai masalah tersebut yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya.
Namun prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu tertuang pada prinsip-
prinsip umum ajaran Islam yang harus dapat ditemukan di dalam al-Qur’an dan
Hadits. Dengan melakukan Qiyas yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits,
maka hukum dari setiap peristiwa atau hal yang terjadi dapat ditetapkan dengan
baik dan rasional.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa”
artinya mengukur. Selain “qasa” kata yang sama artinya dengan mengukur
adalah at-taqdir dan at-taswiyah yang bermakna menyamakan. Sedangkan
secara istilah, qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan
Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.
Rukun qiyas ada 4 (empat) yaitu ashl (wadah hukum yang
ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditetapkan
hukumnya), i’llat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid
pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau
ijma’
Syarat qiyas berarti membicarakan syarat syarat yang berlaku pada
setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas itu sendiri.
Qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu : Qiyas Aulawi, Qiyas
Musawi, Qiyas Adna
Mengenai dasar hukum Qiyas bagi yang memperbolehkannya
sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun. Kami sebagai penulis
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat di harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat di jadikan sumber referensi dan bermanfaat bagi para
pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Darul Azka, Kholid Affandi, Nailul Huda. Jam’u Al-Jawami’ (Kajian dan
Penjelasan Ushul Fiqh dan Ushuluddin). Lirboyo Kediri: Santri Salaff
Press. 2014.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu. Mesir:
Dar al-Fikr al-‘Arabi. Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2008.
al-Zarqa, Ahmad Ibn Syaikh Muhammad. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
Damaskus: Daar al-Qalam. 1989
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama Toha Putra
Group). 2014. cet.2.
Haroen, Nasrun, MA. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997.
cet.2
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Group. cet. Ke-4. hal.
237-241. 2008
Moh. Bahrudin. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.
2019
Kallaf, Abdul Wahab. Ilmu Usul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta. 2005
M. Zein, Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2017

20

You might also like