You are on page 1of 16

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

SEJARAH PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID

Dosen Pengampu:
Ari Abi Aufa, M.Phil

Disusun Oleh:
1. Bella Ayu Kusuma Hati (20014990)
2. Siti Nur Atiqoul Latifah (20015105)
3. Ana Murdiana (20014995)
4. Ali Fatah (20015046)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI
BOJONEGORO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sejarah Pemikiran Abdurrahman
Wahid ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima
kasih kepada Bapak Ari Abi Aufa, M.Phil selaku dosen mata kuliah Aswaja yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan kita tentang Sejarah
Pemikiran Abdurrahman Wahid. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa dipahami dengan baik oleh pembaca dan berguna
untuk semua. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang kurang berkenan dan kami
mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kebaikan di masa yang akan
datang.

Bojonegoro, 30 September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

a. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

a. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

b. Tujuan Penulisan............................................................................................................. 4

BAB II ........................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5

A. Biografi Singkat Abdurrahman Wahid ........................................................................... 5

B. Sejarah Pemikiran Abdurrahman Wahid ........................................................................ 6

C. Corak pemikiran Gus Dur. .............................................................................................. 7

D. Pemikiran Pemikiran Abdurrahman Wahid .................................................................... 8

a. Pribumisasi Islam ........................................................................................................ 8

b. Islam Kosmopolit ...................................................................................................... 10

c. Pluralisme .................................................................................................................. 11

d. Demokrasi ................................................................................................................. 12

e. Humanisme................................................................................................................ 13

BAB III .................................................................................................................................... 14

PENUTUP................................................................................................................................ 14

a. Kesimpulan ................................................................................................................... 14

b. Saran ............................................................................................................................. 15

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Lahir di Denayar, Jombang pada 7 September 1940, dan meninggal di Jakarta
pada 30 Desember 2009, kisah hidup anak sulung dari enam bersaudara, yang lahir dari
pasangan KH. Wahid Hasyim dan Hajjah Solecah seperti halaman buku yang tidak akan
pernah habis dibaca. Ia tidak hanya seorang ulama, tetapi juga seorang humanis,
penulis, cendekiawan, pengamat sepak bola, politisi, penikmat seni, humoris, aktivis
demokrasi, pencetus pluralisme, pembela minoritas dan banyak lainnya.
Tak heran jika banyak orang menyebutnya sebagai guru bangsa, tokoh
pluralisme, tokoh demokrasi, pahlawan kaum tertindas, bahkan waliyullah. Tampaknya
kata-kata itu tidak cukup untuk menggambarkan seorang K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) semasa hidupnya.1
Latar belakang pemikiran Gus Dur sebenarnya terkait dengan jaman tahun tujuh
puluhan, yang dibentuk oleh munculnya modernisasi sebagai paradigma fluktuasi
alternatif. Gus Dur mengemukakann dirinya dalam situasi di mana orang mulai tidak
menyukai model pembangunan top-down (model perencanaan yang dilakukan dari
atasan yang ditujukan kepada bawahannya). Di tingkat nasional, Gus Dur
memperkenalkan ide-ide alternatif yang berbeda dari pemerintahan. Pemikirannya
cenderung melawan arus, namun di sisi lain, pemikiran alternatifnya seolah menjadi
angin segar bagi situasi intelektual yang terkekang oleh paradigma perkembangan
model orde baru. Di tingkat Islam, di sisi lain, Gus Dur menolak anggapan mapan
tentang perbedaan pemikiran modern dan tradisional, yang menunjukkan bahwa ia
lebih rendah daripada kekayaan budaya yang jauh lebih fleksibel menjawab tantangan
zaman.2
a. Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan Sejarah Pemikiran-Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
b. Tujuan Penulisan
Menjelaskan tentang Sejarah Pemikiran-Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur

1
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta : Erlangga, 2010), hlm. 3
2
Mohammad AS Hikam, Negara dan Civil Society: Refleksi Atas Pemikiran Gus Dur dalam Akhmad Fathoni
Rodli (ed), Berguru Kepada Bapak Bangsa: Kumpulan Esai Menelusuri Jejak Pemikiran KH. Abdurrahman
Wahid (Jakarta : PP Gerakan Pemuda Ansor, 1999), hlm. xviii.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Abdurrahman Wahid


Abdurrahman "Addakhil", adalah nama lengkap Gus Dur saat masih kecil.
Secara leksikal, Addakhil berarti “Sang Penakluk”, nama ini diambil dari seorang
pelopor Dinasti Umayyah yang menanam landmark kejayaan Islam di Spanyol oleh
ayahnya. Belakangan, kata Addakhil tidak begitu dikenal dan diganti namanya menjadi
Wahid, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah
panggilan khas pesantren kepada anak kiai yang artinya mas. Abdurrahman Wahid,
yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah Presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur
menjabat sebagai presiden dari 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001.
Ia lahir di desa Denanyar, Jombang di pesantren kakek dari pihak ibu. kh. Bisri
Syansuri. Tanggal 4 Agustus 1940 adalah hari kelahirannya, walaupun ada yang
berbeda pendapat tentang hal itu, ada pula yang menyatakan bahwa Gus Dur lahir pada
tanggal 4 bulan 8 menurut penanggalan Islam, oleh karena itu Gus Dur lahir pada
tanggal 7 September. 1940. Tapi 4 Agustus adalah hari ulang tahun yang umumnya
dirayakan oleh keluarganya. Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Nama
ayahnya adalah KH. Wahid Hasyim menjadi menteri ibadah tahun 1949-1952.
Sedangkan ibunya Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang,
K.H. Bisri Syamsuri.
Gus Dur gemar membaca sejak kecil dan rajin menggunakan perpustakaan
pribadi ayahnya. Di usia belasan, Gus Dur sudah akrab dengan berbagai majalah, koran,
novel, dan buku. Selain membaca, ia juga menyukai sepak bola, catur, dan musik. Masa
remaja Gus Dur terutama terjadi di Yogyakarta dan Tegalrejo. perkembangan ilmu
pengetahuan semakin meningkat di kedua tempat tersebut. Masa selanjutnya Gus Dur
tinggal di Jombang, di Pondok Pesantren Tambak Beras, dan sampai kemudian
melanjutkan studinya di Mesir. Masa remaja Gus Dur terutama terjadi di Yogyakarta
dan Tegalrejo. perkembangan ilmu pengetahuan telah meningkat di kedua tempat
tersebut. Masa berikutnya Gus Dur tinggal di Jombang, di Pondok Pesantren Tambak
Beras, dan sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah menawarinya seorang putri, yaitu
Sinta Nuriyah, putri Haji Muh. Sakura. Pernikahan tersebut dirayakan saat Gus Dur
berada di Mesir. Dari pernikahannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat

5
orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita
Hayatunnufus dan Nayah Wulandari.
Setelah kembali dari pencarian ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih
menjadi guru. Pada tahun 1971, ia bergabung dengan Fakultas Ushuluddin Universitas
Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian, ia menjadi sekretaris pondok pesantren di
Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur menjadi penulis. Dia kembali ke
bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Berkat tulisan-tulisan tersebut, ide-ide Gus Dur
mulai menarik banyak perhatian. Pada tahun 1974 Gus Dur dinikahkan dengan
pamannya, K.H. Yusuf Hasyim, diajak membantu di Pondok Pesantren Tebu Ireng
Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari situ, Gus Dur mulai sering diundang menjadi
narasumber di sejumlah forum diskusi keagamaan dan pondok pesantren, baik di dalam
maupun di luar negeri.
Selain itu, Gus Dur juga terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES
bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek
pembangunan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dipimpin oleh
LP3ES. Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Awalnya ia adalah pelopor pondok
pesantren di Ciganjur. Sementara itu, pada awal 1980-an, Gus Dur dipercaya sebagai
wakil ketua PBNU Suriah. Di sini Gus Dur telah berpartisipasi dalam diskusi dan debat
serius tentang masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kelompok lintas
agama, etnis, dan disiplin ilmu. Gus Dur serius dalam menulis dan bergelut dengan
dunianya, baik dari segi budaya, politik, maupun pemikiran Islam. Karir yang dianggap
"menyimpang" dalam kapasitasnya sebagai tokoh agama sekaligus ketua PBNU.3

B. Sejarah Pemikiran Abdurrahman Wahid


Latar belakang pemikiran Gus Dur sebenarnya terkait dengan jaman tahun tujuh
puluhan, yang dibentuk oleh munculnya modernisasi sebagai paradigma fluktuasi
alternatif. Gus Dur mengemukakann dirinya dalam situasi di mana orang mulai tidak
menyukai model pembangunan top-down (model perencanaan yang dilakukan dari
atasan yang ditujukan kepada bawahannya). Di tingkat nasional, Gus Dur
memperkenalkan ide-ide alternatif yang berbeda dari pemerintahan. Pemikirannya
cenderung melawan arus, namun di sisi lain, pemikiran alternatifnya seolah menjadi
angin segar bagi situasi intelektual yang terkekang oleh paradigma perkembangan

3
Bimo76, “BIOGRAFI SINGKAT GUSDUR”, (Bimo76, 2016) (Bahar, 1999) , di akses 10 Oktober 2021

6
model orde baru. Di tingkat Islam, di sisi lain, Gus Dur menolak anggapan mapan
tentang perbedaan pemikiran modern dan tradisional, yang menunjukkan bahwa ia
lebih rendah daripada kekayaan budaya yang jauh lebih fleksibel menjawab tantangan
zaman.4
Dapat dikatakan bahwa cara pandang Gus Dur dalam menyikapi berbagai
permasalahan yang ada di Indonesia memiliki nuansa yang khas. Hal ini menunjukkan
bahwa Gus Dur memiliki perspektifnya sendiri, memiliki visi, dan juga jawaban sendiri
untuk semua jenis masalah.5

C. Corak pemikiran Gus Dur.


Dilihat dari skema ide dan pemikirannya, tampaknya Gus Dur dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemikir beraneka warna, Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan unik
yang dibangun atas dasar visi keagamaan, modernitas dan rasionalitas yang
membawanya menjadi pemikir ultra-tradisional, rasional, liberal dan sekaligus
kultural dan kekinian Ide dan Pikiran.
2. Neotradisional (bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba membangun
kesadaran akan pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan), selain mengkritisi
sistem tradisional dalam bidang pendidikan Islam, juga memberikan visi baru
sistem tradisional melalui revisi mendalam berbalik arah modernisasi pesantren,
dari visi, misi, Tujuan, Kurikulum, manajemen dan kepemimpinan di perguruan
tinggi Islam harus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan era globalisasi.
3. Humanis (orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya
pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi
kepentingan sesama umat manusia), dengan segala labelnya, baik intelektual,
ulama', politikus, budayawan, aktivis gerakan dll. Itu selalu didasarkan pada
pemikiran dan sikap kemanusiaan. Dia terbukti hampir digulingkan secara
politik oleh MPR dan belum ada bukti kesalahannya, ia juga memilih mundur
dari jabatan presiden karena alasan kemanusiaan. Karena jika tidak demikian,

4
Mohammad AS Hikam, Negara dan Civil Society: Refl (Nata, 2005) (Wahid, "Pribumisasi Islam" dalam
Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (Ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, 1989) (Abidin,
2012)eksi Atas Pemikiran Gus Dur dalam Akhmad Fathoni Rodli (ed), Berguru Kepada Bapak Bangsa:
Kumpulan Esai Menelusuri Jejak Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Jakarta : PP Gerakan Pemuda Ansor,
1999), hlm. xviii.
5
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik ; Abdurrahman Wahid, (Jakarta : Bina Utama, 1999), hlm 15

7
pasti akan terjadi perang saudara antara pihak Indonesia. Ia juga selalu berusaha
berbuat baik dan memanusiakan orang-orang yang menentangnya.
4. Modernis dan liberal|,Sebagai ilmuwan yang mengerti banyak tentang
pemikiran modern di Barat yang sekuler dan liberal. Keunikan terletak pada
sikapnya yang terkadang begitu kuat berpegang pada fatwa ulama kuno dan isu-
isu lain yang berada di luar aula dan paradigma sikap sebagai manusia modern.6

D. Pemikiran Pemikiran Abdurrahman Wahid


a. Pribumisasi Islam
Pribumi Islam, artinya Islam sebagai ajaran normatif bersumber dari Tuhan
yang mengadaptasi budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing. Islam Pribumi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
dengan segala keragaman Islam dan budaya di setiap bidang kehidupan yang
berbeda.
Oleh karena itu Islam tidak lagi dipandang tunggal, melainkan jamak, tidak ada
lagi anggapan bahwa Islam saya yang paling benar, karena Islam sebagai ajaran
mengalami cerita yang berkesinambungan.
AlQur`an Surah Ali Imron ayat 110 menjelaskan tentang ummat terbaik yang
memiliki tradisi, yaitu:

Artinya : “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di

6
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005),
hlm. 345.

8
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik”
Gagasan pribumisasi Islam atau indonesisasi Islam yang dikemukakan oleh Gus
Dur tidak lebih dari mengontekstualisasikan Islam sebagai doktrin sosial yang bisa
berkembang, bukan membawanya. Karena Islam adalah pandangan dan acuan
kehidupan sosial yang memiliki sejarah lokal budaya masing-masing. Dan inilah
yang perlu diketahui oleh masyarakat dan umat beragama.
Menurut Gus Dur, manusia tidak bisa beragama tanpa budaya, karena budaya
adalah kreativitas manusia yang dapat menjadi bentuk ekspresi keagamaan. Tetapi
tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah budaya. Pada keduanya tumpang
tindih dan lengkap pada tetapi masih memiliki perbedaan. Inilah yang disebut
indigenisasi yang intinya menegaskan kembali akar budaya , sambil tetap berusaha
menciptakan masyarakat yang taat beragama.7 Pribumisasi Islam sebagai upaya
mendamaikan Islam dengan kekuatan budaya lokal, agar budaya lokal tidak hilang.
Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau kebutuhan lokal dalam
merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.
Adapun karakteristik Islam pribumi sebagai berikut:
a. Kontekstual
Islam yang relevan kapanpun dan dimanapun, berkenaan dengan berbagai hal,
dan karena perubahan ada suatu hal yang pasti, maka perbrdaan waktu fan
wilayah menjadi kata kunci untuk karya tafsir dan ijtihad. Karena hanya dengan
Islam akan dapat terus memperbaharui dirinya dan bereaksi secara dinamis
terhadap perubahan zaman, dan Islam akan mampu berkomunikasi dengan
kondisi sosial yang berpindah dari satu sudut dunia ke sudut lain yang berbeda.
b. Toleran
Sikap toleran akan muncul pada fase kontekstualisasi Islam dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Kontekstualisasi Islam pada gilirannya akan
memunculkan pandangan dan interpretasi bahwa Islam yang berbeda (tanpa
kehilangan identitas aslinya) bukanlah suatu hal yang menyimpang. Pada tahap
ini akan muncul karakter toleran dalam Islam.

7
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Shaleh (Ed), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 81.

9
c. Menghargai tradisi
Tradisi adalah struktur kehidupan masyarakat dan nilai-nilai Islam
membutuhkan struktur yang akrab dengan kehidupan pemeluknya. Seperti
Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, dibangun di atas tradisi baik yang
membuktikan bahwa Islam tidak selamanya memusuhi tradisi lokal.
d. Progresif
Realitas kehidupan yang dinamis yang ditandai dengan perkembangan zaman yang
semakin berkembang menuntut Islam untuk menunjukkan karakternya yang progresif,
yaitu tidak menganggap bahwa kemajuan zaman merupakan ancaman, melainkan hal
yang positif untuk disikapi secara kreatif dan intens.
e. Membebaskan
Kenyataannya, Islam harus mampu membuktikan bahwa ia adalah rahmatan lil
alamin, yang notabene dekat dengan masalah manusia dan bisa memberikan
solusi konkrit, tidak hanya berbicara tentang dosa, pahala dan dunia gaib. Islam
harus berhadapan dengan fenomena sosial, seperti penindasan, kemiskinan,
keterbelakangan. Anarki sosial, dan lainnya dengan semangat pembebasan agar
gelar rahmatan lil alamin tidak hilang darinya.8

b. Islam Kosmopolit
Pemikiran akan muncul sebagai apa yang Gus Dur sebut sebagai pandangan
dunia "kosmopolit" yang toleran terhadap pengalaman keagamaan lain dan mau
membuka perspektif baru dalam konteks pengembangan pribadi.9
Menurut Gus Dur, dalam fase sejarah peradaban manusia, Islam hanyalah
salah satu dari mata rantai peradaban manusia. Oleh karena itu, kontribusi Islam
harus dilakukan dalam kerangka solidaritas dengan semua pihak, tidak hanya di
luar sejarah.
Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqoroh juga dijelaskan tentang masuk Islam
secara kaffah atau secara utuh, dan makna dalil ini bisa juga disebut Islam
sebagai agama universal.

8
NEGARA, T. H. I. D., & NURJATI, S. PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID. Hal. 73-127
9
Abdurrahman Wahid (Wahid, , “Islam, the state, and Development in Indonesia”, dalam Godfrey Gunatilleke,
Neelan Tiruchelvam dan Randika Coomaroswamy (Ed.), Ethical Dilemmas of Development in Asia ,
1983)(Toronto: Lexington Book, 1983), hlm. 44-45.

10
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 208)
Gus dur memaknai Assilmi kaffah sebagai perdamaian total, menuju
eksistensi universal, yang tidak perlu diterjemahkan dalam beberapa sistem,
termasuk sistem Islam, karena esensi pendidikan adalah perintah untuk masuk
sepenuhnya ke dalam kedamaian umat manusia, oleh karena itu ada tidak ada
kemanusiaan, tidak ada warga negara dan negara berada di urutan kedua. Islam
sebagai ajaran sosial harus dipahami secara universal oleh semua orang, tidak
perlu formal dan harus berbentuk lembaga dalam pelaksanaan ajarannya, yang
terpenting adalah nilai-nilai ajarannya untuk diwujudkan, karena agama itu
pribadi, tidak perlu dipromosikan, dan sebaliknya, akan kehilangan konten
Islamnya jika diformalkan.

c. Pluralisme
Secara bahasa, kata plural berasal dari bahasa Inggris jamak, yang berarti
jamak atau banyak dalam arti kebhinekaan dalam masyarakat, atau masih
banyak hal lain di luar kelompok kita yang perlu dikenali. Pluralisme bukan
hanya satu situasi atau fakta yaitu jamak, jamak, atau banyak. Lebih jauh,
pluralisme pada hakekatnya diwujudkan dalam sikap mengakui, menghormati,
menghargai, memelihara bahkan mengembangkan atau memperkaya situasi
yang plural, plural atau banyak.
Jika kita berbicara tentang pluralisme Gus Dur, tidak jarang ia
mengasosiasikannya dengan agama, karena agama ini sering dipolitisasi,
digunakan dan digunakan oleh mayoritas sebagai dalih untuk menindas dan
menindas secara sembunyi-sembunyi terhadap minoritas. Visi Gus Dur tentang
pluralisme tercermin dalam sikapnya yang terlalu sering membela minoritas,
termasuk etnis Tionghoa dan non-Muslim, memberi mereka kesempatan untuk
mengambil posisi strategis di negara ini. Oleh karena itu, Gus Dur memberikan

11
pelajaran kepada agar masyarakat menghormati kewenangan pengadilan dan
tidak menuntut sendiri.10
Julukan Gus Dur sebagai bapak pluralisme tidak lepas dari perjuangan Gus
Dur, yang berhasil menempatkan nilai ajaran Islam secara utuh dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur tidak segan-segan melawan arus,
melindungi yang lemah. Julukan bapak pluralisme dikenal tidak hanya di
Indonesia tetapi juga bapak pluralisme global karena dunia membutuhkan
tokoh-tokoh pluralisme dan didominasi oleh tokoh-tokoh eksklusif.

d. Demokrasi
Demokrasi, dari bahasa Yunani adalah demos dan kratos, yang berarti
kekuasaan atau kekuasaan rakyat. Kebebasan berpikir dan berekspresi harus
dipertahankan oleh rakyat dan pemerintah, karena sumber demokrasi adalah
rakyat, (kata rakyat rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) harus untuk
kepentingan rakyat . dan pemerintah, bukan kepentingan kelompok serta
golongan tertentu.
Bagi Gus Dur, demokrasi itu bukan ilegal, tapi wajib dalam Islam.
Pemeliharaan demokrasi adalah salah satu dari prinsip Islam, yaitu syuro. Dan
Gus Dur mengupayakan umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang
berwawasan luas, dapat memahami orang lain, berbagi kerukunan yang utuh
dengan semua pihak dan membela kebebasan sebagai sarana demokrasi.11
Menurut Gus Dur, ada tiga hal pokok tentang demokrasi, yaitu kebebasan,
keadilan, dan musyawarah. Kebebasan adalah kebebasan individu sebagai
warga negara dan hak kolektif masyarakat. Keadilan adalah dasar demokrasi,
dalam arti terbuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat untuk
mengatur kehidupan mereka sesuai dengan kehendak mereka. Asas ketiga
demokrasi adalah Syura atau musyawarah, atau suatu bentuk atau sarana
membela kebebasan dan memperjuangkan keadilan melalui garis
musyawarah.12

10
NEGARA, T. H. I. D., & NURJATI, S. PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID. Hal. 73-127
11
Fatoni, M. Sulton, dan Faried Wijdan FR. The wisdom of Gus Dur: butir-butir kearifan sang waskita. Imania,
2014. hlm. 158-159 .
12
Abdurrahman Wahid, “Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi,” dalam M. Masyhur Amin dan Moh. Najib (ed),
Agama Demokrasi dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: LKPSM, 1993), hlm. 90.

12
e. Humanisme
Humanisme merupakan gerakan yang memperjuangkan harkat dan
martabat manusia agar tetap memiliki nilai kemanusiaan yang sesungguhnya.
Sedangkan, Humanisme Gus dur didasarkan pada pengetahuan Islam yang
kokoh. Humanisme Gus dur ini sesuai dengan rasionalitas dan pandangan
bahwa dengan upaya rasional yang berkelanjutan, Islam akan lebih dari mampu
menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanisme Gus Dur
dihubungkan dengan humanisme Islam yang terkait dengan toleransi dan
kerukunan sosial tentang budaya Muslim yang mendorong umat Islam untuk
tidak takut dengan suasana plural yang ada dalam masyarakat modern,
sebaliknya harus merespon positif.13
Kerangka besar pemikiran Gus Dur adalah kemanusiaan. Karena bahkan
teks-teks agama adalah untuk seluruh umat manusia. Kemanusiaan adalah
upaya untuk menghargai manusia sebagai manusia. Tuhan bahkan
mengidentifikasi dirinya dalam diri manusia. Ketika manusia ditindas , Tuhan
menyertainya. Jika manusia mencintai sesamanya, Tuhan besertanya. Gus Dur
melihat ini. Gus Dur mencintai manusia karena mencintai Tuhan.14

13
NEGARA, T. H. I. D., & NURJATI, S. PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID. Hal. 73-127
14
Risya Islami, “Gus Dur Bukan Lagi Soal Minoritas”, dalam Fahmi, dkk. (eds), In Gus We Trust; Gus Dur
dan Pembelaan Terhadap Hak Kaum Minoritas, (Semarang: LKAP PMII Abdurrahman Wahid, 2014), hlm. 19.

13
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Gus Dur memiliki cara pandang tersendiri dalam menyikapi berbagai permasalahan
yang ada di Indonesia memiliki nuansa yang khas. Hal ini menunjukkan bahwa Gus
Dur memiliki perspektifnya sendiri, memiliki visi, dan juga jawaban sendiri untuk
semua jenis masalah. Latar belakang pemikiran Gus Dur sebenarnya terkait dengan
jaman tahun tujuh puluhan, yang dibentuk oleh munculnya modernisasi sebagai
paradigma fluktuasi alternatif.
Gus Dur memiliki Skema pemikiran yang unik yaitu:
1. Pemikir beraneka warna, Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan unik
yang dibangun atas dasar visi keagamaan, modernitas dan rasionalitas yang
membawanya menjadi pemikir ultra-tradisional, rasional, liberal dan sekaligus
kultural dan kekinian Ide dan Pikiran.
2. Neotradisional (bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba membangun
kesadaran akan pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan)
3. Humanis (orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya
pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi
kepentingan sesama umat manusia)
4. Modernis dan liberal

Adapun Beberapa Pemikiran Gus Dur adalah:

A. Pribumisasi Islam
Upaya mendamaikan Islam dengan kekuatan budaya lokal, agar budaya lokal
tidak hilang. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau
kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah
hukum itu sendiri.
B. Islam Kosmopolit
Islam sebagai ajaran sosial harus dipahami secara universal oleh semua orang,
tidak perlu formal dan harus berbentuk lembaga dalam pelaksanaan ajarannya,
yang terpenting adalah nilai-nilai ajarannya untuk diwujudkan, karena agama itu

14
pribadi, tidak perlu dipromosikan, dan sebaliknya, akan kehilangan konten
Islamnya jika diformalkan.
C. Pluralisme
Pada hakekatnya diwujudkan dalam sikap mengakui, menghormati, menghargai,
memelihara bahkan mengembangkan atau memperkaya situasi yang plural,
plural atau banyak
D. Demokrasi
Demokrasi itu bukan ilegal, tapi wajib dalam Islam. Pemeliharaan demokrasi
adalah salah satu dari prinsip Islam, yaitu syuro. Dan Gus Dur mengupayakan
umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang berwawasan luas, dapat
memahami orang lain, berbagi kerukunan yang utuh dengan semua pihak dan
membela kebebasan sebagai sarana demokrasi
E. Humanisme
Humanisme Gus Dur dihubungkan dengan humanisme Islam yang terkait
dengan toleransi dan kerukunan sosial tentang budaya Muslim yang mendorong
umat Islam untuk tidak takut dengan suasana plural yang ada dalam masyarakat
modern, sebaliknya harus merespon positif
b. Saran
Setelah kita mempelajari Biografi singkat serta Sejarah Pemikiran Gus Dur, sabagi
mahasiswa kita seharusnya lebih bisa semangat lagi untuk belajar dan terus belajar,
sebab dengan terus belajar kita bisa menjadi pribadi yang kritis yang bisa
mendompleng kehidupan kita dimasa depan yang kita sendiri tidak tau masalah apa
yang akan kita alami danti, selain itu kita sebagai mahasiswa juga harus bisa
mempraktekan serta mengaplikasikan segala pemikiran yang baik yang telah di
kemukakan oleh Gus Dur supaya Ketika kita terjun di masyarakat nanti kita sudah
tidak kaget dengan keadaan mereka yang beragam, dengan banyak pemikiran,
ormas, dan lain sebagainnya.

15
Daftar Pustaka
Bahar, A. (1999). Dalam Biografi Kiai Potik: Abdurrahman Wahid (hal. 15). Jakarta: Bina
Utama.

Bimo76. (2016, September 16). BIOGRAFI SINGKAT GUSDUR. Diambil kembali dari
https://brainly.co.id/tugas/7374298

FR, F. M. (2014). Dalam The Wishdom of Gus Dur: butir-butir kearifan sang waksita (hal.
158-159). Imania.

Hikam, M. A. (1999). Dalam Pemikiran Gus Dur dalam Akhmad Fathoni Rodli(ed), Berguru
Kepada Bapak Bangsa: Kumpulan Esai Menelusuri Jejak Pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid (hal. xviii). Jakarta: PP Gerakan Pemuda Ansor.

Islami, R. (2014). Dalam Gus Dur Bukan Lagi Soal Minoritas dalam Fahmi dkk. (eds), In Gus
We Truxt ; Gus Dur dan Pembelaan Terhadap Kaum Minoritas (hal. 19). Semarang:
LKAP PMII Abdurrahman Wahid .

Musa, A. M. (2010). Dalam Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (hal. 3). Jakarta: Erlangga.

Nata, A. (2005). Dalam Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (hal. 345).
Jakarta: PT Grafindo Persada.

NEGARA, T. H. (t.thn.). “PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID”., 73-127.

Wahid, A. (1983). Dalam , “Islam, the state, and Development in Indonesia”, dalam Godfrey
Gunatilleke, Neelan Tiruchelvam dan Randika Coomaroswamy (Ed.), Ethical
Dilemmas of Development in Asia (hal. 44-45). Toronto: Lexington Book.

Wahid, A. (1989). Dalam "Pribumisasi Islam" dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh
(Ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (hal. 81). Jakarta: P3M.

Wahid, A. (1993). Dalam "Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi" dalam M. Masyhur Amin dan
Moh. Najib (ed) Agama Demokrasi dan Transformasi Sosial (hal. 90). Yogyakarta:
LKPSM.

16

You might also like