You are on page 1of 4

4

UJUNG-UJUNG jerami yang menyembul dari lengan mantel hitam bergesekan pada tengkukku.

Aku memekik.

"Dia hidup!" teriakku panik. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan kabur sambil merangkak.

Setelah yakin keadaan sudah aman, aku berbalik dan memandang ke arah Mark dan Stanley. Mereka
menatapku dengan tenang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Apakah mereka tidak melihat orang-orangan sawah itu hendak mencekikku?

Kemudian anak laki-laki Stanley, Sticks, muncul dari balik orang-orangan sawah sambil nyengir lebar.

"Sticks...! Dasar brengsek!" aku berseru dengan gusar. Aku langsung tahu bahwa dialah yang
menggerakkan lengan orang-orangan sawah itu.

"Hahaha, ternyata anak kota nyalinya gampang ciut," Sticks berkomentar, dan senyumnya semakin
lebar. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. "Kaupikir orang-orangan sawah itu ber-
gerak sendiri, ya kan, Jodie!" dia berkata dengan nada menuduh.

"Aku bisa membuat orang-orangan sawah bergerak sendiri," ujar Stanley. Dia kembali mengenakan topi
bisbolnya. "Aku bisa membuat mereka jalan sendiri. Aku sudah pernah coba. Semuanya ada di dalam
buku."

Senyum di wajah Sticks mendadak lenyap. Sorot matanya pun tiba-tiba meredup. "Yeah, tentu, Dad," dia
bergumam.

Sticks berusia enam belas tahun. Dia jangkung dan kerempeng. Tangan dan kakinya panjang dan kurus.
Karena itu dia memperoleh julukan Sticks, yang artinya 'tongkat'.

Dia berusaha agar kelihatan sangar. Rambutnya yang hitam dibiarkan tumbuh panjang, sampai melewati
kerah baju, dan jarang dicuci. Dia selalu memakai T-shirt ketat dan celana jeans kotor yang lututnya
sudah robek-robek. Dia suka mencemooh, dan matanya yang hitam seakan-akan selalu menertawakan
kita.

Mark dan aku selalu disebutnya sebagai 'anak-anak kota'. Dan dia selalu mengatakannya dengan nada
mencemooh. Sepertinya dia agak iri pada Mark dan aku. Aku rasa masa kecilnya memang kurang
menyenangkan, karena dia dibesarkan di tanah pertanian dan harus tinggal di pondok kecil bersama
ayahnya.

Aku bukannya mau menjelek-jelekkan Stanley, tapi kenyataannya tingkah lakunya lebih seperti anak-
anak daripada seorang ayah.
"Aku sudah tahu, kok, kalau kau bersembunyi di situ," Mark berkata kepada Sticks.

"Huh, bukannya kasih tahu aku!" aku menggerutu, lalu kembali berpaling kepada Sticks. "Dan kau
rupanya belum berubah sedikit pun."

"Hei, aku juga senang ketemu lagi denganmu, Jodie," dia menyahut dengan sinis. "Anak-anak

kota datang lagi untuk berlibur dengan orang-orang kampung!"

"Sticks... kenapa sih kau ini?" aku berseru.

"Jangan bertengkar," Stanley bergumam. "Jagung punya telinga."

Kami semua menatap Stanley. Apakah dia bermaksud melucu? Terus terang, aku tidak bisa
memastikannya.

Roman mukanya tetap serius. Matanya yang besar menatapku dengan tajam. "Jagung punya telinga,"
dia mengulangi, "Roh-roh berkeliaran di sini."

Sticks menggelengkan kepala dengan prihatin. "Dad, Dad terlalu banyak membaca buku takhayul," dia
bergumam.

"Bukunya benar," balas Stanley. "Semuanya benar."

Sticks menendang gundukan tanah di hadapannya, lalu menoleh ke arahku. Dia kelihatan sedih sekali.
"Semuanya sudah berubah di sini," dia berbisik.

"Hah?" Aku tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

Sticks berpaling kepada ayahnya. Stanley membalas tatapannya sambil memicingkan mata.

Sticks angkat bahu dan tidak berkata apa-apa. Dia meraih lengan Mark dan meremasnya. "Hah, kau
masih loyo seperti dulu," dia berkata. "Mau main lempar-lemparan bola nanti sore?"

"Udaranya agak panas," jawab Mark. Dia menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangan.

Sticks langsung mencibir. "Sekali penakut, tetap penakut, heh?"

"Siapa yang takut?!" Mark protes. "Enak saja! Aku cuma bilang udaranya agak panas."

"Eh... di punggungmu ada sesuatu," Sticks memberitahu Mark. "Coba berbalik."

Mark berbalik dengan patuh.

Sticks cepat-cepat membungkuk, memungut bonggol jagung bercacing tadi, dan menyelipkannya ke
dalam T-shirt Mark.

Mau tidak mau aku tertawa ketika adikku berlari ke rumah sambil menjerit-jerit.
Acara makan malam berlangsung dalam suasana tenang. Ayam goreng buatan Nenek Miriam tetap lezat
seperti biasa. Dan benar kata-katanya tentang jagungnya. Rasanya manis sekali. Mark dan aku masing-
masing menghabiskan dua bonggol jagung berlumur mentega.

Aku sangat menikmati masakan nenekku. Tapi aku juga agak bingung karena kakek dan nenekku begitu
berubah. Kakek Kurt biasanya tak pernah berhenti bercerita. Beliau selalu punya selusin kisah lucu
mengenai para petani di sekitar rumah mereka. Dan beliau selalu tahu lelucon-lelucon baru.

Malam ini Kakek nyaris tidak mengucapkan se- patah kata pun.

Nenek Miriam terus mendesak Mark dan aku agar makan lebih banyak. Dan terus bertanya apakah kami
menyukai masakannya. Tapi beliau pun kelihatan lebih pendiam.

Kedua-duanya tampak tegang. Kikuk.

Kedua-duanya berulang kali melirik ke arah Stanley yang sedang makan dengan lahap. Aku melihat
mentega menetes-netes dari dagunya.

Sticks duduk di seberang ayahnya. Dia tampak muram dan tampangnya bahkan lebih kencang dari
biasanya.

Stanley-lah satu-satunya orang di meja makan yang kelihatan gembira. Dia melahap ayam goreng
buatan Nenek Miriam, dan sudah dua kali menambah kentang.

"Bagaimana, Stanley?" tanya Nenek Miriam sambil menggigit bibir. "Enak?"

Stanley bersendawa dan tersenyum. "Lumayan," katanya.

Kenapa semuanya terasa begitu berbeda? aku bertanya-tanya. Apakah cuma karena Kakek dan Nenek
mulai tua?

Sehabis makan malam, kami pindah ke ruang duduk yang besar dan nyaman. Kakek Kurt berayun-ayun
di kursi goyangnya yang antik di samping tempat perapian.

Udaranya terlalu panas untuk menyalakan api. Tapi sambil berayun-ayun Kakek Kurt memandang ke
perapian, dan sepertinya dia sedang termenung-menung.

Nenek Miriam duduk di kursi favoritnya, sebuah kursi malas besar berwarna hijau, yang berhadapan
dengan kursi goyang Kakek Kurt. Di pangkuannya ada majalah pertamanan yang belum dibuka.

Sticks, yang sejak pertama hanya mengucapkan satu-dua patah kata, menghilang. Stanley bersandar di
dinding sambil mencungkil-cungkil gigi dengan tusuk gigi.

Mark mengambil tempat di sofa yang panjang dan juga berwarna hijau. Aku duduk di ujung sofa yang
satu lagi dan memandang ke seberang ruangan.

"Ih. Sampai sekarang aku tetap merinding setiap kali melihat beruang itu!" aku berseru.
Di ujung ruangan ada beruang cokelat yang sudah diawetkan. Dia berdiri tegak lurus, dan tingginya kira-
kira dua setengah meter. Kakek Kurt menembaknya bertahun-tahun lalu, ketika sedang berburu. Kedua
kaki depan beruang besar itu terangkat tinggi-tinggi, seakan-akan siap menyambar.

"Itu beruang pembunuh," Kakek Kurt mengenang. Sambil bergoyang-goyang beliau menatap binatang
buas berwajah garang itu. "Dia menyerang dua pemburu sebelum Kakek menembaknya. Kakek
menyelamatkan nyawa mereka."

Aku merinding dan berpaling dari beruang itu. Aku benar-benar benci melihatnya. Aku tidak tahu
kenapa Nenek Miriam mengizinkan Kakek Kurt memajangnya di ruang duduk!

"Ceritakan kisah seram, dong!" aku berusaha membujuk Kakek Kurt.

Kakek membalas tatapanku, tapi sorot matanya yang biru tiba-tiba meredup.

"Yeah, kami sudah kangen pada cerita-cerita Kakek," Mark menimpali. "Cerita yang ini saja, deh, yang
tentang anak tanpa kepala di dalam lemari.

"Jangan. Yang baru saja," aku mendesak.

Kakek Kurt mengusap-usap dagu. Matanya beralih kepada Stanley yang berdiri di seberang ruangan.
Kemudian beliau berdeham dengan gugup.

"Kakek agak capek, anak-anak," katanya pelan-pelan. Rasanya Kakek mau tidur saja."

Ta... tanpa cerita? aku memprotes.

Kakek kembali menatapku dengan matanya yang redup. "Kakek tidak punya cerita untuk kalian,
gumamnya. Perlahan-lahan beliau berdiri, lalu menuju kamarnya.

Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Ada apa sebenarnya?

You might also like