You are on page 1of 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

DIAGNOSIS MEDIS “ HIV-AIDS ”

Dosen Pengampu: Ns.Tuti Anggriani S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 2 │ Semester 3│ Kelas A
1. Sherly Apriyani (F0H021021)
2. Destyastuti Tuni Utami (F0H021019)
3. Ria Dwi Anggraini (F0H021017)
4. Endang Sulistyana (F0H021018)
5. Losi Lustari (F0H021020)
6. Serly Pebrianty (F0H021016)
7. Nepri Noptalis Putra (F0H021023)
8. Fera Perpika S. (F0H021022)
9. Tiara Amelia (F0H021025)
10. Nepri Noptalis P (F0H021023)
11. Vinna Artia A (F0H021024)
12. Silviana Padila (F0H021026)
13. Rheza (F0H021027)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2022/2023
A. KONSEP HIV AIDS
1. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit
kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV
tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang
secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya
berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).

Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan
tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih,
definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif berulang


terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer
(misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil positif atau
laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen
p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV, deteksi asam
nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA
HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada
daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau
penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus
untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer
getahbening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau
ekstraparu
18) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum
teridentifikasi,diseminata atau ekstraparu
19) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
20) Pneumonia, rekuren
21) Leukoensefalopati multifokus progresif
22) Septikemia salmonela, rekuren
23) Toksoplasmosis otak
24) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2. Konsep Anatomi & Fisiologi HIV

Gambar 2.1 : Anantomi Fisiologi

Imunologi Sistem
▪ Sistem imun

Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan
bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal cells)
▪ Imunitas atu respon imun

Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya
Ada 2 macam RI, yaitu :

▪ RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.

▪ RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme

Sel-sel yang berperan dalam respon Imun

a. Sel B

Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu.
Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang ditemukan pada
ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe
usus, dan limpa.
Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe,
bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi
oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi
melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk
menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan
respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T

Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada antigen,
tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan
antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran
dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang
disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B
merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun.
Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam
sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel
prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi
dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.
Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
c. Sel T efektor :

▪ Sel T sitotoksik (sel T pembunuh)

Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada


permukaannya
▪ Sel T pembantu

Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh makrofag
antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk
pngenalan benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi
proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel
T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas).

d. Sel T supresor

Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
e. Makrofag

Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna


sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan
antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T
tertentu.

3. Penyebab (Etiologi)
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,
virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1
berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron
dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti
virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7
atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve
trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV
mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat,
rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus
yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui 6
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai
selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam
cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam
Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada
dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk
ke aliran darah pasangan seksual
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama
proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode
post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang
positif sekitar 10%

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS


Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril


Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV,
dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa
menular HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian


Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU
secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan
gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu
tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan
hubungan sosial yang lain.

4. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap
menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imuno


kompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas merupakan
penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang
deawasa selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala
nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-
kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam
jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid
perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Namum
segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap
virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T sitoksik CD8+
yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali
mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di
dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala
ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang
mengalami infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes
zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang
berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+
akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel

CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,
jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi
oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan onset fase “krisis”.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu


yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami
infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien yang
bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika
kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan
jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.

5. Manifestasi Klinis

Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah,
22–24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan
oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium.
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.

a. Gejala mayor :

❖ Penurunan berat badan lebih dari 10%


❖ Diare kronik lebih dari 1 bulan
❖ Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).

b. Gejala minor :

❖ Batuk lebih dari 1 bulan


❖ Dermatitis pruritik umum
❖ Herpes zoster rekurens
❖ Candidiasis oro-faring
❖ Limfadenopati umum
❖ Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2. AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :

❖ Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal


❖ Diare kronik lebih dari 1 bulan
❖ Demam lebih dari 1 bulan

b. Gejala minor :

❖ Limfadenopati umum
❖ Candidiasis oro-faring
❖ Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
❖ Batuk persisten
❖ Dermatitis umum
❖ Infeksi HIV maternal

Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang


mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan mungkn tidak sesuai untuk digunakan di
Indonesia. Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman
digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai
dengan hasil Inter-country Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31
Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan
sebagai AIDS kepada WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western
Blot.
6. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis (Komplikasi)
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar
luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang
berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi
dan atau efek langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi
pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling
sering ditemukan pada penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii
(PCP) yang merupakan penyakit oportunistik pertama yang dideskripsikan
berkaitan dengan AIDS.

Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu
antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-
tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif,
nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam
darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila
tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan
dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan. Penyakit kompleks Kompleks
Mycobacterium avium (MAC;Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok
baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga sering
dijumpai dalam traktus gastrointerstinal, nodus limfatik dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.

Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung


terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa
AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan
penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang,
perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum.

b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS,
diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan
berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan
cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan
untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh
darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit
yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi
Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah
mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan
dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.

Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema
serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap infeksi.

Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.

d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv
ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal
pasien-pasien ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV
didominasi olehsel-sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV
diyakini akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler
atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang
menyebabkan kerusakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai
oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda
dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi atau
efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.

Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan


berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.
Stadium lanjutmencangkup ganggua kognitif global kelambatan dalam respon verbal,
gagguan afektif seperti pandangan yang kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik,
psikologis, halusiansi, tremor, inkontenensia, serangan kejang, mutisme dan
kematian.

Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling sering


keempat yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling
sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus
ditandai dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan
(melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan status mental, dan kejang-kenjang.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf
pusat dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat
dimulai dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang akhirnya
mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis ringan) serta kematian.
Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan
HIV diperkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta
patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik dan impontensi.

e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi
yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam
yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.
Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai
dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti
ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia pneumocytis
carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus yang
disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan
kulit.

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
A. Serologis
1) Tes antibody serum

Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif,
tapi bukan merupakan diagnosa

2) Tes blot western

Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)

3) Sel T limfosit

Penurunan jumlah total

4) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>

5) T8 ( sel supresor sitopatik )

Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi

7) Kadar Ig

Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal

8) Reaksi rantai polimerase

Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler.
9) Tes PHS

Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin

positif

B. Neurologis

EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)

C. Tes Lainnya

a) Sinar X dada

Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau


adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal

Deteksi awal pneumonia interstisial


c) Skan Gallium

Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis

Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi


e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial

Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru

2. Tes HIV

Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi
setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan
untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial
untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya
belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara
khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di
negaranegara maju.

3. USG Abdomen

4. Rontgen Thorak

8. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan
preparat immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting
karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan
umum pasien; efek tersebut mencangkupmalnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan
imobilisasi dan perubahan status mental.

Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :


a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMP- SMZ
(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-
pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang diobati denganTMP-SMZ dapat mengalami efekyang
merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam,
leukopenia, trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.

Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.
Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex
(MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari
satu macam obat selam periode waktu yang lama.

Meningitis, Terapi primer yang muthakhir untuk meningitis kriptokokus adalah


amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan
pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari
amfoterisin B yang mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar,
gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil.

Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus


(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada penderita
penyakit AIDS.

Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang
mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan
ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adalah
serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat
infus dan nyeri punggung bawah.

Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi.
Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati
dengan Ketokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik somatostatin,
ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor
somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan
lainnya. Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup
motalisis gastrointerstinal dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri
akan memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi
oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makan
lewat sonde (terapi nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika
diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan
dengan lesi mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling
efektif tampaknya berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).
e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus HIV dengan cara meniru
salah satu substansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun
DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural
rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.

f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan
aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan
atau malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.

Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat

pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang
menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi
dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi
dan guded imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat
membantu mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV
AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun,
meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi zat gizi.Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka
harus diberikan makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta
cukup air.
i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV
Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang
(klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan
stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :

1. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular


seksual (IMS) dan HIV/AIDS
2. Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3. Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan
nilai yang dianut oleh konselor itu sendiri.
5. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan
pasangan maupun anggota keluarga klien.

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1) Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah prilaku.

Untuk mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan
informasi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat
menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti
jarum suntik, dan lain-lain.

2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologis, sosial, dan
ekonomi.
Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu
hidup secara positif.
Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog
yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk
mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan
lainnya kepada ODHA, keluarga, danlingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk
akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam, 2011)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang besar
bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi
ataupun kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah
emosional, sosial dan etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun
secara individual untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner &
Suddarth, 2013).
Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,pendidikan,
pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluhan
utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis
lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida
Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes
zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh
2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang


Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah :
pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian
lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja
di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).

3. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut
dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.

b. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup
drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.

d. Pola Istirahat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan
karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada
beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini
disebabkan mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun
lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.
f. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan
stres.

g. Pola sensori kognitif

Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan


penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan
berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.

h. Pola hubungan peran


Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri rendah
i. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan depresi
karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit,
yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
kontruksif dan adaptif.
j. Pola reproduksi seksual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena penyebab
utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena
mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai
dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting
dalam hidup pasien.

2. Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b) Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c) Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat

Pernafasan : ditemukan frekuensi pernafasan meningkat

Suhu : ditemukan Suhu tubuh meningkat karena demam.


BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
d) Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
e) Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik,pupil
isokor, reflek pupil terganggu,
f) Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
g) Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasi.
h) Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
i) Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
j) Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada pasien
AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
k) Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
l) Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral dingin.
m) Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda- tanda lesi (lesi sarkoma
kaposi).
2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

b. Pola nafas tidak Efektif berhubungan dengan kerusakan neorologis,ansietas, nyeri,


keletihan
c. Diare berhubungan dengan infeksi
d. defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungandengan faktor biologis,
ketidak mampuan menelan.

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera; biologis


f. Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju metabolisme
g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan, perubahan
pigmentasi, perubahan turgor, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, penurunan
imunologis
h. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
perubahan turgor kulit, kondisi ketidak seimbangan nutrisi, faktor imunologi
i. Resiko infeksi berhubungan dengan, imunosupresi, malnutrisi, kerusakan integritas
kulit.
j. Keletihan berhubungan dengan status penyakit, peningkatan kelelahan fisik,
malnutrisi, ansitas, depresi, stres

3. Intervensi Keperawatan ( Rencana Asuhan Keperawatan)

No Diagnosa Luaran Intervensi


dx Keperawatan Keperawatan Keperawatan

1. Hipovolemia bd.kehilangan cairan aktif Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hipovolemia


intervensi keperawatan
Observasi
selama 3 x24 jam,
diharapkan pasien : 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
(mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
SLKI : teraba lemah, tekanan darah menurun,
o Dipertahankan di level tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun,kering, volume urin menurun,
o Ditingkatkan level hematokrit meningkat, haus, lemah)
2. Monitor intake dan output cairan
 1: menurun
 2: cukup menurun Terapeutik
 3: sedang 1. Hitung kebutuhan cairan
 4: cukup meningkat 2. Berikan posisi modified Trendelenburg
 5: meningkat 3. Berikan asupan cairan oral
Dengan kriteria hasil : Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan
posisi mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis. glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
3. Kolaborasi pemberian cairan koloid
(mis, albumin, Plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian produk darah

2. Pola Nafas Tidak Efektif bd kerusakan Setelah dilakukan SIKI: Manajemen Jalan Napas
neorologis, ansietas, nyeri, keletihan intervensi keperawatan
selama 3 x24 jam, Tindakan Observasi
diharapkan pasien : 1. Monitor pola napas
(frekuensi,kedalaman,usaha napas)
SLKI : Pola Napas
2. Monitor bunyi napas tambahan
o Dipertahankan di level (mis.gurgling,mengi,wheezing,ronkhi
kering)
o Ditingkatkan level 3. Monitor sputum(jumah,warna,aroma)

 1: menurun
 2: cukup menurun Teraupeutik.
 3: sedang
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
 4: cukup meningkat dengan head-tilt dan chin lift(jawrusht
 5: meningkat jika curiga trauma servikal)
Dengan kriteria hasil : 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowter
3. Berikan minuman hangat
1. Ventilasi Semenit 4. Lakukan fisio terapi dada,jika perlu
2. Kapasitas Vital 5. Lakukan penghisapan lender kurang
3. Diameter Thoraks
dari 15 detik
Anterior-Posterior
6. Lakukan Hiperoksigenasi sebelum
4. Tekanan Ekspirasi
penghisapan endotrakeal
5. Tekanan Inspirasi 7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
o Dipertahankan di level 8. Berikan Oksigen,jika perlu
o Ditingkatkan level
 1: meningkat Edukasi
 2: cukup meningkat
 3: sedang 1. Anjurkan asupan cairan 2000
 4: cukup menurun ml/hari,jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
 5: menurun
Dengan kriteria hasil : Kolaborasi
1. Dispnea kolaborasi pemberian asupan cairan
2. Penggunaan Otot bantu 2000 ml/hari jika tidak kontradikasi.
napas
3. Pemanjangan
Faseekspirasi
4. Ortopnea
5. Pernapasan Pursed-lip
6. Pernapasan Cuping
hidung

o Dipertahankan di level
o Ditingkatkan level
 1: memburuk
 2: cukup memburuk
 3: sedang
 4: cukup membaik
 5: membaik
Dengan Kriteria Hasil :
1. Frekuensi Napas
2. Kedalaman Napas
3. Ekskursi dada
3. Defisit pengetahuan SLKI : Defisit SIKI : Manajemen Pencegahan
Definisi : ketiadaan atau kurangnya pengetahuan Infeksi
informasi kognitif yang berkaitan dapat teratasi dengan
Observasi
dengan topik tertentu kriteria hasil :
1. Periksa kesiapan dan kemampuan
1. Kemampuan menerima informasi Terapeutik
menjelaskan pengetahuan
tentang infeksi meningkat 2. Siapkan materi, media, tentang faktor
2. Prilaku sesuai anjuran – faktor penyebab,cara identifikasi dan
meningkat
pencegahan infeksi dirumah sakit
3. Verbalisasi kemauan ,maupun
mematuhi program
di rumah
edukasi meningkat
2. Jadwalkan waktu yang tepat untuk
Memberikan pendidikan kesehatan
sesuai dengan keadaan pasien dan
keluarga
3. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
lokal
dan sistemik
2. Informasikan hasil pemeriksaan
laboratorium (mis,leukosit, WBC)
3. Anjurkan mengikuti tindakan
pencegahan
sesuai kondisi
4. Anjurkan membatasi pengunjung
5. Ajarkan cara merawat kulit pada area
yang edema
6. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
7. Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan,
dan
istirahat
8. Anjurkan kecukupan mobilisasi dan
olahraga sesuai kebutuhan
9. Anjurkan mengelola antibiotik sesuai
resep
10. Ajarkan cara mencuci tangan
11. Ajarkan etika batuk
4. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan SIKI : MANAJEMEN NUTRISI
keperawatan selama 3 x 24
OBSERVASI
jam diharapkan status nutrisi
membaik 1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi -
SLKI : Status Nutrisi makanan
a. Porsi makanan 3. Identifikasi makanan yang disukai
yang di habiskan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
meningkat nutrient
5. Identifikasi perlunya penggunaan
b. Kekuatan otot selang nasogastric
menelan meningkat 6. Monitor asupan makanan Monitor berat
badan
c. Serum albumin 7. Monitor hasil pemeriksaan
meningkat laboratorium

d. Perasaan
cepat kenyang TERAPEUTIK
menurun
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan,
e. Sariawan menurun jika perlu
f. Diare menurun 2. Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
e. Nafsu makan 3. Berikan makanan tinggi serat untuk
membaik mencegah konstipasi
4. Berikan makanan tinggi kalori dan
Bising usus tinggi protein
5. Berikan suplemen makanan, jika perlu
membaik Membran
6. Hentikan pemberian makanan melalui
mukosa membaik
selang nasogastric jika asupan oral
dapat ditoleransi
EDUKASI
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
3. KOLABORASI
4. Kolaborasi pemberian medikasi
5. sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetic), jika perlu
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
7. nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

4. Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana


keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan,
pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-
tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah
dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan
mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya.
Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana
perawatan dalam tahap proses keperawatan berikitnya.
5. Evaluasi

Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang


diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan
kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Tahap akhir dari proses
keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.

You might also like