Professional Documents
Culture Documents
Asuhan Keperawatan Hiv Aids LP
Asuhan Keperawatan Hiv Aids LP
Disusun Oleh :
Kelompok 2 │ Semester 3│ Kelas A
1. Sherly Apriyani (F0H021021)
2. Destyastuti Tuni Utami (F0H021019)
3. Ria Dwi Anggraini (F0H021017)
4. Endang Sulistyana (F0H021018)
5. Losi Lustari (F0H021020)
6. Serly Pebrianty (F0H021016)
7. Nepri Noptalis Putra (F0H021023)
8. Fera Perpika S. (F0H021022)
9. Tiara Amelia (F0H021025)
10. Nepri Noptalis P (F0H021023)
11. Vinna Artia A (F0H021024)
12. Silviana Padila (F0H021026)
13. Rheza (F0H021027)
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan
tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih,
definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).
Imunologi Sistem
▪ Sistem imun
Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan
bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal cells)
▪ Imunitas atu respon imun
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya
Ada 2 macam RI, yaitu :
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu.
Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang ditemukan pada
ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe
usus, dan limpa.
Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe,
bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi
oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi
melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk
menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan
respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada antigen,
tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan
antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran
dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang
disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B
merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun.
Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam
sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel
prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi
dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.
Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
c. Sel T efektor :
Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh makrofag
antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk
pngenalan benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi
proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel
T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas).
d. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
e. Makrofag
3. Penyebab (Etiologi)
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,
virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1
berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron
dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti
virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7
atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve
trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV
mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat,
rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus
yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui 6
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai
selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam
cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam
Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada
dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk
ke aliran darah pasangan seksual
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama
proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode
post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang
positif sekitar 10%
4. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap
menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala
ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang
mengalami infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes
zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang
berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+
akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel
CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,
jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi
oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan onset fase “krisis”.
5. Manifestasi Klinis
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah,
22–24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan
oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium.
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui
seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
b. Gejala minor :
b. Gejala minor :
❖ Limfadenopati umum
❖ Candidiasis oro-faring
❖ Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
❖ Batuk persisten
❖ Dermatitis umum
❖ Infeksi HIV maternal
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode waktu
antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan tanda-
tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk non produktif,
nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam
darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami
penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila
tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan
dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan. Penyakit kompleks Kompleks
Mycobacterium avium (MAC;Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok
baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga sering
dijumpai dalam traktus gastrointerstinal, nodus limfatik dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS,
diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya penurunan
berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan keseimbnagan
cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan ketidakmampuan
untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh
darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit
yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi
Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah
mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan
dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema
serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap infeksi.
Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv
ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal
pasien-pasien ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV
didominasi olehsel-sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV
diyakini akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler
atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang
menyebabkan kerusakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai
oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda
dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi atau
efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi
yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam
yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.
Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai
dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti
ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia pneumocytis
carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus yang
disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan
kulit.
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
A. Serologis
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif,
tapi bukan merupakan diagnosa
3) Sel T limfosit
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
7) Kadar Ig
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler.
9) Tes PHS
positif
B. Neurologis
C. Tes Lainnya
a) Sinar X dada
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-
paru
2. Tes HIV
Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi
setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan
untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial
untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya
belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara
khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di
negaranegara maju.
3. USG Abdomen
4. Rontgen Thorak
8. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan
preparat immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting
karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan
umum pasien; efek tersebut mencangkupmalnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan
imobilisasi dan perubahan status mental.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.
Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex
(MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari
satu macam obat selam periode waktu yang lama.
Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang
mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan
ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adalah
serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat
infus dan nyeri punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi.
Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati
dengan Ketokonazol atau flukonazol.
d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan
dengan lesi mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling
efektif tampaknya berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).
e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus HIV dengan cara meniru
salah satu substansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun
DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural
rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.
f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan
aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan
atau malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini
mencangkup tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan
terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang
menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi
dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24 jam. Teknik relaksasi
dan guded imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat
membantu mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.
h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV
AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun,
meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi zat gizi.Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka
harus diberikan makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta
cukup air.
i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV
Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang
(klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan
stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
Untuk mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan
informasi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat
menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti
jarum suntik, dan lain-lain.
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologis, sosial, dan
ekonomi.
Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu
hidup secara positif.
Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog
yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk
mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan
lainnya kepada ODHA, keluarga, danlingkungannya (Nursalam, 2011).
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk
akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam, 2011)
b. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup
drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b) Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c) Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
2. Pola Nafas Tidak Efektif bd kerusakan Setelah dilakukan SIKI: Manajemen Jalan Napas
neorologis, ansietas, nyeri, keletihan intervensi keperawatan
selama 3 x24 jam, Tindakan Observasi
diharapkan pasien : 1. Monitor pola napas
(frekuensi,kedalaman,usaha napas)
SLKI : Pola Napas
2. Monitor bunyi napas tambahan
o Dipertahankan di level (mis.gurgling,mengi,wheezing,ronkhi
kering)
o Ditingkatkan level 3. Monitor sputum(jumah,warna,aroma)
1: menurun
2: cukup menurun Teraupeutik.
3: sedang
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
4: cukup meningkat dengan head-tilt dan chin lift(jawrusht
5: meningkat jika curiga trauma servikal)
Dengan kriteria hasil : 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowter
3. Berikan minuman hangat
1. Ventilasi Semenit 4. Lakukan fisio terapi dada,jika perlu
2. Kapasitas Vital 5. Lakukan penghisapan lender kurang
3. Diameter Thoraks
dari 15 detik
Anterior-Posterior
6. Lakukan Hiperoksigenasi sebelum
4. Tekanan Ekspirasi
penghisapan endotrakeal
5. Tekanan Inspirasi 7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
o Dipertahankan di level 8. Berikan Oksigen,jika perlu
o Ditingkatkan level
1: meningkat Edukasi
2: cukup meningkat
3: sedang 1. Anjurkan asupan cairan 2000
4: cukup menurun ml/hari,jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
5: menurun
Dengan kriteria hasil : Kolaborasi
1. Dispnea kolaborasi pemberian asupan cairan
2. Penggunaan Otot bantu 2000 ml/hari jika tidak kontradikasi.
napas
3. Pemanjangan
Faseekspirasi
4. Ortopnea
5. Pernapasan Pursed-lip
6. Pernapasan Cuping
hidung
o Dipertahankan di level
o Ditingkatkan level
1: memburuk
2: cukup memburuk
3: sedang
4: cukup membaik
5: membaik
Dengan Kriteria Hasil :
1. Frekuensi Napas
2. Kedalaman Napas
3. Ekskursi dada
3. Defisit pengetahuan SLKI : Defisit SIKI : Manajemen Pencegahan
Definisi : ketiadaan atau kurangnya pengetahuan Infeksi
informasi kognitif yang berkaitan dapat teratasi dengan
Observasi
dengan topik tertentu kriteria hasil :
1. Periksa kesiapan dan kemampuan
1. Kemampuan menerima informasi Terapeutik
menjelaskan pengetahuan
tentang infeksi meningkat 2. Siapkan materi, media, tentang faktor
2. Prilaku sesuai anjuran – faktor penyebab,cara identifikasi dan
meningkat
pencegahan infeksi dirumah sakit
3. Verbalisasi kemauan ,maupun
mematuhi program
di rumah
edukasi meningkat
2. Jadwalkan waktu yang tepat untuk
Memberikan pendidikan kesehatan
sesuai dengan keadaan pasien dan
keluarga
3. Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
lokal
dan sistemik
2. Informasikan hasil pemeriksaan
laboratorium (mis,leukosit, WBC)
3. Anjurkan mengikuti tindakan
pencegahan
sesuai kondisi
4. Anjurkan membatasi pengunjung
5. Ajarkan cara merawat kulit pada area
yang edema
6. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
7. Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan,
dan
istirahat
8. Anjurkan kecukupan mobilisasi dan
olahraga sesuai kebutuhan
9. Anjurkan mengelola antibiotik sesuai
resep
10. Ajarkan cara mencuci tangan
11. Ajarkan etika batuk
4. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan SIKI : MANAJEMEN NUTRISI
keperawatan selama 3 x 24
OBSERVASI
jam diharapkan status nutrisi
membaik 1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi -
SLKI : Status Nutrisi makanan
a. Porsi makanan 3. Identifikasi makanan yang disukai
yang di habiskan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
meningkat nutrient
5. Identifikasi perlunya penggunaan
b. Kekuatan otot selang nasogastric
menelan meningkat 6. Monitor asupan makanan Monitor berat
badan
c. Serum albumin 7. Monitor hasil pemeriksaan
meningkat laboratorium
d. Perasaan
cepat kenyang TERAPEUTIK
menurun
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan,
e. Sariawan menurun jika perlu
f. Diare menurun 2. Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
e. Nafsu makan 3. Berikan makanan tinggi serat untuk
membaik mencegah konstipasi
4. Berikan makanan tinggi kalori dan
Bising usus tinggi protein
5. Berikan suplemen makanan, jika perlu
membaik Membran
6. Hentikan pemberian makanan melalui
mukosa membaik
selang nasogastric jika asupan oral
dapat ditoleransi
EDUKASI
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
3. KOLABORASI
4. Kolaborasi pemberian medikasi
5. sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetic), jika perlu
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
7. nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
4. Implementasi