You are on page 1of 5

Opsi terbaik menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Muflihati Chairunnisa
2110412062
Hubungan Internasional - C
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UPNVJ

Pendahuluan
Konflik yang berlangsung antara Israel dengan Palestina telah menyita banyak perhatian
masyarakat internasional. Pasalnya, konflik tak kunjung surut dan tidak menemui titik tengah
agar segera teratasi. Konflik Israel-Palestina termasuk ke dalam konflik terlama sepanjang
sejarah dunia Internasional yang masih berlangsung hingga saat ini. Konflik ini bukanlah konflik
sederhana yang dengan mudah diselesaikan. Banyak sekali kompleksitas dan kepentingan dari
pihak tertentu yang dibawa pada konflik ini. Selain itu, adanya perasaan tidak puas terhadap hasil
keputusan PBB sebagai organisasi internasional sebagai penengah dalam upaya mencapai titik
perdamaian kedua belah pihak. Hal ini karena adanya perbedaan pandangan dari negara Israel
dan Palestina sendiri.
Konflik antara Israel dan Palestina didasari pada banyaknya aspek yang berkaitan, seperti
agama yang dianut kedua negara, dimana Israel menganut agama Yahudi dan Palestina menganut
agama Islam. Selain itu, aspek perekonomian, politik, hingga ideologi juga dikaitkan dari
peristiwa konflik ini. Konflik ini seolah menjadi babak film yang tak pernah mencapai ending
yang memuaskan.
Latar belakang sejarah dari konflik ini yaitu ketika saat itu kawasan Timur Tengah tengah
berada dibawah kekuasaan Turki Usmani Ottoman, termasuk negara Israel dan Palestina. Akan
tetapi, kekuasaan tersebut runtuh pada 1917 pasca Perang Dunia I sehingga jatuh ke tangan
Inggris. Oleh karena itu, terjadi perebutan kekuasaan wilayah antara Israel dengan Palestina.
Bangsa Arab memberontak kepada Inggris yang saat itu menjanjikan untuk membentuk
pemerintahan yang independen. Perjanjian ini dikenal sebagai Hussein-Mac Mahon
Correspondence, dimana dihadiri oleh Pejabat Tinggi Inggris bernama Sir Mac Mahon dan tokoh
bangsa Arab yang bernama Sharif Hussein. Akan tetapi, janji Inggris kepada Arab seakan hanya
omong kosong belaka. Pasalnya, Inggris malah mengedepankan keinginan negara-negara Barat,
khususnya Inggris untuk menyebarkan ideologi zionisme.
Awalnya, pada 1897 Inggris mendirikan suatu organisasi yang bernama Judenstat atau
saat ini lebih dikenal sebagai State of Israel di tanah Palestina. Organisasi ini diharapkan dapat
menjadi sentral sebagai negara Yahudi. Hal ini juga didukung dan mendapatkan simpati dari
masyarakat Yahudi lainnya yang tinggal di negara lain. Mereka akhirnya memutuskan untuk
bergerak pindah dari yang sebelumnya tinggal di Eropa menuju kawasan Timur Tengah. Inggris
juga memperkuat dukungan perpindahan ini dengan membentuk suatu deklarasi yang bernama
Balfour. Deklarasi ini diharapkan dapat mewujudkan suatu negara yang dapat dimiliki secara
mereka bagi Yahudi yang kemudian dinamakan sebagai Israel.
Janji Inggris yang diberikan kepada kedua belah pihak menyebabkan adanya rasa
kepemilikan terhadap wilayah palestina, baik Israel dan Palestina sendiri. Oleh karena itu,
adanya perebutan wilayah tentang siapa yang berhak memilikinya. Hal ini lah yang membawa
Israel dan Palestina kepada konflik yang berkepanjangan.

Perjuangan Palestina Menjadi Negara Utuh


Pada awalnya, organisasi Internasional PBB telah berupaya untuk mendamaikan konflik
antara Israel dan Palestina. Hal ini terbukti dengan dibentuknya proposal perdamaian atau
dikenal dengan nama lain UN Partition Plan pada 1948, dimana isi proposalnya menyebutkan
bahwa adanya pembagian wilayah Palestina kepada negara Arab sebesar 45%, sementara negara
Israel mendapatkan porsi sebesar 55% wilayah. Akan tetapi, negara Arab menentang proposal ini
karena dirasa tidak masuk akal, dimana saat itu penduduk Israel yang menduduki hanya sekitar
31,5% di Palestina. Menurut bangsa Arab, Israel telah menunjukkan arogansinya secara
terang-terangan untuk menduduki Palestina seutuhnya. Akibatnya, timbul amarah dan protes dari
masyarakat Palestina. Keamarahan tersebut bertambah ketika bangsa Yahudi mendapatkan
pengakuan dari negara Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk memproklamasikan terbentuknya
negara Israel. Akhirnya, peperangan pun terjadi dan tidak dapat dihindari.
Hadirnya Israel di tanah Palestina telah melibatkan banyak negara di kawasan Timur
Tengah untuk berupaya membebaskan diri dari cengkraman kekuasaan Israel. Hal ini terbukti
dengan munculnya organisasi-organisasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina, seperti
PLO (Palestin Liberation Organizations) tahun 1988. Organisasi ini merupakan bentuk gerakan
yang dilakukan oleh masyarakat Palestina sebagai wadah perjuangan. Selain itu, organisasi ini
juga diharapkan dapat membangkitkan kesadaran bahwa Israel merupakan negara yang harus
dilawan karena adanya tempat-tempat suci yang telah dikuasai oleh Israel, seperti Bait
Al-Maqdis. PLO telah membangkitkan semangat perjuangan warga Palestina.
Sejak PLO terbentuk, Palestina mulai diizinkan untuk hadir dalam beberapa konferensi
perdamaian yang diwakilkan secara tidak resmi bersama dengan negara-negara yang memiliki
kekuatan yang lebih besar melalui forum internasional, seperti Amerika Serikat. Hal ini terbukti
dengan hadirnya Palestina melalui Madrid Conference pada 1991, yang kemudian dilanjutkan
pada 1993 melalui konferensi Oslo Accords. Konferensi tersebut merupakan konferensi yang
diharapkan dapat menghasilkan perdamaian yang tetap, akan tetapi konferensi tersebut tidak
membuahkan hasil. Akan tetapi, pada perjanjian Oslo, hal ini dianggap sebagai kemenangan bagi
Palestina. Pasalnya, Palestina diberikan hak dan otoritas untuk membentuk pemerintahannya
sendiri secara sementara. Lebih lagi, baik Israel dan Palestina diharapkan dapat mengakui
eksistensi kedaulatan kedua negara untuk mengakhiri konflik meskipun hal ini tidak
dilaksanakan secara nyata. Akan tetapi, perjanjian ini berakhir ketika dibunuhnya mantan
Perdana Menteri Israel yang bernama Yitzak Rabin sebagai tokoh yang menandatangani
perjanjian tersebut. Dengan itu, perang antara kedua pihak berlanjut dan berbagai upaya
perdamaian pun telah ditawarkan.

Upaya Menciptakan Perdamaian Israel dengan Palestina


Menurut saya, prospek dari terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina tidak
tercapai karena adanya hambatan, baik yang datang dari eksternal maupun eksternal. Dari pihak
Israel, posisi Israel semakin menguat karena adanya semangat untuk menyebarkan agama Yahudi
dari sisi internal dan dukungan yang diberikan terus-menerus oleh Amerika Serikat dari sisi
eksternal. Sedangkan pada pihak Palestina yaitu melemahnya semangat mencapai kemerdekaan
dari sisi Internal dan melemahnya persatuan Liga Bangsa Arab dari pihak eksternal. Banyak
sekali kepentingan golongan dan kekuatan politik yang ditonjolkan.
PBB, sebagai organisasi internasional akhirnya berhasil memperkuat posisi Palestina
pada 2012. Hal ini karena adanya putusan yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB bahwa
menyatakan negara Palestina secara resmi diakui kedaulatannya di mata internasional.
Perjuangan Palestina akhirnya membawakan hasil, dimana selama 65 tahun menunggu untuk
diakui kedudukannya. Selain itu, PBB juga dinilai berhasil menciptakan kemajuan dalam rangka
mewujudkan perdamaian dunia. Palestina berhasil mendapatkan suara sebanyak 193 negara
anggota dari PBB melalui jalur diplomatik yang ditempuh.
Proses perdamaian antara Israel dengan Palestina menempuh jalan yang panjang.
Oleh karena itu, dalam mencapai perdamaian yang adil, akhirnya membawa putusan dari hasil
negosiasi bahwa solusi dua negara (bi-national state) merupakan solusi yang dapat
diimplementasikan secara nyata.
Solusi dua negara sendiri merupakan solusi yang ditawarkan melalui perundingan forum
internasional untuk membagi dua wilayah kepada negara Palestina dengan Israel. Konflik antara
Israel dengan Palestina dianggap dapat berakhir apabila kedua negara tersebut membentuk dua
negara baru untuk dua bangsa, dimana Israel merupakan negara dengan masyarakat Yahudi
sedangkan Palestina merupakan negara dengan masyarakat Palestina. Sebenarnya, solusi ini
sudah pernah diungkapkan PBB dulu melalui proposal Arab, akan tetapi solusi ini tidakdisetujui
karena adanya perasaan tidak adil dalam pembagian wilayah tersebut yang membawa pada
konflik hingga sekarang. Dengan kata lain, pihak Palestina tidak merasa diuntungkan dengan
solusi ini. Perdebatan pada solusi ini juga terlihat dalam agenda menentukan realisasi batas-batas
negara kedua pihak yang bersengketa. Israel tetap berpegang teguh pada pendirian bahwa
wilayah bekas jajahan Inggris atas Palestina merupakan territorial dan menjadi milik negara
tersebut.
Akan tetapi, solusi dua negara merupakan suatu alternatif yang realistis untuk
mempercepat terciptanya perdamaian. Setidaknya, masing-masing negara diakui dan dapat
menentukan sendiri masa depan serta pemerintahannya. Selain itu, sudah banyak korban jiwa
yang gugur akibat dari perang yang terjadi dari kedua pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan
persetujuan dan negosiasi ulang dari kedua belah pihak dalam batas pembagian penyerahan
wilayah sehingga solusi ini berhasil.

REFERENSI
Amal, I. (2020). The Future of Israel-Palestinian Conflict: Either One State or Two? Masa Depan
Konflik Israel dan Palestina: Diantara Satu Negara atau Dua Negara. Jurnal Global dan
Strategis, 14(1), 63-76. https://e-journal.unair.ac.id/JGS/article/view/17929
Firdaus, A. Y., & Yani, Y. M. (2020). FAKTOR PENGHAMBAT PERDAMAIAN KONFLIK
PALESTINA–ISRAEL. Jurnal Sosial dan Humaniora, 5(1), 104-110.
Muchsin, M. A. (2015). PALESTINA DAN ISRAEL: Sejarah, Konflik dan Masa Depan. Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman, 39(2), 390-406.
https://media.neliti.com/media/publications/155247-ID-palestina-dan-israel-sejarah-konfl
ik-dan.pdf
Muhamad, S. V. (2013). PERUNDINGAN PERDAMAIAN PALESTINA-ISRAEL. INFO
SINGKAT HUBUNGAN INTERNASIONAL, 5(15), 5-8.
https://berkas.dpr.go.id/sipinter/files/sipinter-1525-342-20200730122049.pdf
Putri, P. K. (n.d.). Menuju Solusi Dua-Negara Israel-Palestina ala PBB. 1-7.
https://erepo.unud.ac.id/id/eprint/24119/1/1162fa31c6c0a729c5fdd039a251417f.pdf
Wirajaya, A. C., Nainggolan, M. G., & Aguw, Y. O. (2020). PENYELESAIAN SENGKETA
PALESTINA DAN ISRAEL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDY
KASUS PERAMPASAN WILAYAH PALESTINA DI ISRAEL). Lex Et Societatis,
VIII(4), 45-52.

You might also like