You are on page 1of 6

NAMA : SAHNUR RAHMAN

KELAS : XII

MATA PELAJARAN : GEOGRAFI

PENUGASAN 1

1. WILAYAH DESA
Etimologi istilah “desa” berasal dari bahasa Sansekerta dhesi yang berarti “tanah
kelahiran”. Istilah ini telah ada sejak tahun 1114 ketika Nusantara masih terdiri dari
beberapa kerajaan. Batasan pengertian desa sebagai suatu hasil perpaduan antara kegiatan
sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil perpaduan itu ialah suatu ujud atau
kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi , sosial, ekonomi,
politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur-unsur tersebut dan juga dalam
hubungannya dengan daerah lain. Dalam arti umum desa merupakan unit pemusatan
penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota.
Secara kehidupan sosial, karakteristik desa sebagai berikut:
a) Penduduk saling mengenal dalam pergaulan hidupnya dan masih memegang teguh
tradisi
b) Penduduk mempunyai ikatan perasaan yang sama tentang kebiasaan
c) Mata pencaharian penduduk pada bidang agraris sangat dipengaruhi faktor alam seperti
iklim dan topografi
d) Perbandingan manusia dan lahan cukup besar
e) Sarana dan prasarana komunikasi masih sederhana
2. POLA PEMUKIMAN DESA
Perkembangan kehidupan penduduk desa mempengaruhi karakteristik desa tersebut.
Berdasarkan perkembangan kehidupan penduduk, desa dapat dibedakan menjadi:
a. Desa tradisional atau pra desa yaitu tipe desa pada masyarakat terasing yang seluruh
kehidupannya tergantung pada alam sekitarnya. Ketergantungan itu misalnya dalam hal
cara bercocok tanam, cara membuat rumah, pengolahanmakanan dan lain-lainnya. Pada
desa semacam ini penduduk cenderung tertutup, atau kurang komunikasi dengan pihak
luar. Sistem perhubungan dan komunikasi tidak berkembang. Contoh: Desa pada Suku
Baduy.
b. Desa Swadaya, yaitu desa yang memiliki ciri-ciri penduduknya jarang, masih terikat
pada adat istiadat, lembaga sosial yang ada masih sederhana, tingkat pendidikan
masyarakatnya rendah, produktivitas tanah rendah, kegiatan penduduk dipengaruhi oleh
keadaan alam, topografi berupa pegunungan atau perbukitan, lokasi terpencil,
mayoritas penduduk sebagai petani, kegiatan ekonomi masyarakat bersifat subsisten,
masyarakt juga tertutup terhadap pihak luar, sehingga sistem perhubungan dan
transportasi kurang berkembang.
c. Desa Swakarya, yaitu desa yang sudah lebih berkembang maju, dengan ciri-ciri adat
istiadat mengalami perubahan, pengaruh dari luar mulai masuk sehingga masyarakatnya
mengalami perubahan cara berpikir, mata pencaharian mengalami diversivikasi,
lapangan kerja bertambah sehingga produktivitas meningkat, gotong royong lebih
efektif, pemerintah desa berkembang baik, masyarakat desa mampu meningkatkan
kehidupannya dengan hasil kerjanya sendiri, bantuan pemerintah hanya sebagai
stimulan saja.
d. Desa swasembada yaitu, desa yang telah maju dengan ciri-ciri Ikatan adat istiadat yang
ber kaitan dengan kegiatan ekonomi sudah tidak berpengaruh terhadap masyarakat,
Lokasi de sa swasembada biasanya dekat dengan kota, kecamatan, kota kabupaten, kota
provinsi, yang tidak masuk wilayah kelurahan, semua keperluan hidup pokok dapat
disediakandesa sen diri, alat teknis yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup
lebih modern, lembaga so sial ekonomi dan budaya sudah dapat menjaga kelangsungan
hidup penduduknya, mata pencaharian penduduk beragam, perdagangan dan jasa sudah
berkembang, pendidikan dan keterampilan penduduk sudah tinggi, hubungan dengan
daerah sekitarnya berjalan lancar, kesadaran penduduk mengenai kesehatan tinggi,
gotong royong masyarakat tinggi.
3. POTENSI DESA
Potensi desa merupakan kemampuan yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam
pembangunan desa, mencakup potensi alam, potensi manusia dan hasil kerja manusianya.
Potensi yang dimiliki suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah
tersebut. Wilayah yang memiliki potensi yang baik akan menjadi wilayah yang maju.
Bintarto membedakan potensi desa menjadi potensi fisik dan non fisik
a) Potensi fisik meliputi:
o Tanah sebagai sumber tambang dan mineral, sumber tanaman, bahan makanan dan
tempat tinggal
o Air, kondisis air untuk irigasi dan untuk keperluan hidup sehari-hari
o Iklim yang penting untuk kegiatan agraris
o Ternak sebagai sumber tenaga,bahan makanan dan sumber pendapatan
o Manusia, baik sebagai sumber tenaga kerja potensial, sebagai pengolah lahan dan
juga produsen bidang pertanian, juga sebagai tenaga kerja di bidang non pertanian.
b) Potensi non fisik, meliputi:
 Masyarakat desa yang hidup berdasarkan gotong royong;
 Lembaga-lembaga sosial, pendidikan dan organisasi-organisasi sosial yang dapat
membim bing memajukan masyarakat;
 Aparatur atau pamong desa, untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta
kelancaran pemerintahan desa.
Menurut Departemen Dalam Negeri RI komponen-komponen potensi desa terdiri atas:
a. Komponen alami yang mencakup faktor:
 Lokasi
 Luas desa
 Keadaan tanah
 Keadaan air
 Keadaan alam nabati dan hewani.
b. Manusia dengan memperhatikan faktor:
 Jumlah penduduk
 Penyebaran
 Karakteristiknya (umur, jenis kelamin, adat istiadat, organisasi kemasyarakatan,
pendidikan, kesehatan dan nutrisi, serta swadaya dan gotong royong masyarakat
desa).
c. Kegiatan ekonomi:
 Agraris (primer): pertanian,perikanan,peternakan, pengumpulan hasil hutan
 Industri/kerajinan (sekunder)
 Perdagangan dan jasa (tersier).
d. Prasarana yang ada:
 Perhubungan dan komunikasi
 Pengairan dan produksi
 Pemasaran
 Pendidikan dan kesehatan
4. STRUKTUR KERUANGAN DESA
Pola persebaran dan pemusatan penduduk desa dapat dipengaruhi oleh keadaan tanah,
tata air, topografi dan ketersediaan sumberdaya alam yang terdapat di desa yang
bersangkutan. Pola persebaran permukiman desa dalam hubungannya dengan bentang
alamnya, dapat dibedakan atas:
a) Pola Terpusat
Desa dengan pola terpusat memiliki bentuk permukiman yang mengelompok (aglome
rated, compact rural settlement). Pola seperti ini banyak dijumpai didaerah yang
memiliki tanah subur, daerah dengan relief sama, misalnya dataran rendah yang menjadi
sasaran penduduk bertempat tinggal. Banyak pula dijumpai di daerah dengan per
mukaan air tanah yang dalam, sehingga ke tersediaan sumber air juga merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap bentuk pola permukiman ini. Demikian pula di daerah yang
keamanan belum terjamin, penduduk akan lebih senang hidup bergerombol atau
mengelompok.

b) Pola Tersebar atau Terpencar


Desa dengan pola tersebar atau terpencar memiliki bentuk permukiman yang terpencar,
menyebar di daerah pertaniannya (farm stead), merupakan rumah petani yang terpisah
tetapi lengkap dengan fasilitas pertanian seperti gudang mesin pertanian, penggilingan,
kAndang ternak,penyimpanan hasil panen dan sebagainya. Bentuk ini jarang ditemui di
Indonesia, umumnya terdapat di negara yang pertaniannya sudah maju. Namun
demikian, di daerah-daerah dengan kondisi geografis tertentu, bentuk ini dapat
dijumpai, misalnya daerah banjir yang memisahkan permukiman satu sama lain,daerah
dengan topografi kasar, sehingga rumah penduduk tersebar, serta daerah yang kondisi
air tanah dangkal sehingga memungkinkan rumah penduduk dapat didirikan secara
bebas.

c) Pola Memanjang atau Linier


Pola memanjang memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang di kiri kanan
jalan atau sungai yang digunakan untuk jalur transportasi, atau mengikuti garis pantai.
Bentuk permukiman seperti ini dapat dijumpai di dataran rendah. Pola atau bentuk ini
terbentuk karena penduduk bermaksud mendekati prasarana tran sportasi, atau untuk
men dekati lokasi tempat bekerja se perti nelayan di sepanjang pinggiran pantai.

d) Pola Mengelilingi Pusat Fasilitas Tertentu


Bentuk permukiman seperti ini umumnya dapat ditemukan di daerah dataran rendah,
yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas umum yang dimanfaatkan penduduk
setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya mata air, waduk dan fasilitas
lainnya.

BAHAN PENGAYAAN

HUBUNGAN DESA KOTA SERTA TATA RUANG

Desa dan kota merupakan dua wilayah yang saling bergantungan dan tidak dapat
dipisahkan. Namun dari sisi sosial ekonomi, desa dan kota memiliki perbedaan yag sangat jelas.
Sumber pangan dan tenaga kerja di desa relatif lebih murah dibandingkan dengan di kota. Profesi
penduduk di desa didominasi oleh petani, berbeda dengan di kota yang profesi penduduknya
lebih banyak bergerak di sektor perdagangan dan jasa. Desa semakin terperangkap pada posisi
yang rentan, karena sulitnya bersaing dengan kota. Akses yang terbatas, rasio lahan pertanian
dan petani yang mengecil, serta kebutuhan akan uang tunai yang semakin meningkat
menyebabkan kondisi desa semakin terpuruk. Oleh karena itu, desa masih sangat bergantung
terhadap subsidi pemerintah. Bahasan desa-kota ini membuka webinar Seri ke-11 dalam Kongres
Kebudayaan Desa yang dimoderatori oleh Mahditia Paramita, mengundang lima narasumber
untuk berdiskusi tentang “Tata Ruang Desa dan Infrastruktur Lingkungan Permukiman:
Menegosiasikan Ulang Peta Ruang dan Lingkungan Permukiman Desa. Bapak Dr. Sunaryo
membuka diskusi dengan bahasan memaknai bagaimana kota, desa, dan dikaitkan dengan
kehadiran tata ruang desa.
Jika dilihat dari sistem yang ada di desa, permasalahan yang kerap dihadapi oleh
pemerintah desa ialah birokrasi dan administrasi yang rumit, tidak ada energi yang mengelola,
serta pengaturan lahan yang masih menggunakan sistem sewa tanah bersama secara turun
temurun. Banyaknya kebutuhan uang tunai yang semakin naik di desa menjadi kesempatan
investor untuk membeli tanah desa. Konversi lahan pertanian tidak dapat dielakkan lagi. Fungsi
lahan pertanian yang bergeser membuat pemanfaatan ruang pertanian semakin berkurang.
Kemudian, bagaimana tata ruang desa dijalankan? Nalar tata ruang desa sesungguhnya
sebuah nalar yang modernis, developmentalis, dan sebagai bagian dari pasar yang bersifat
konsumerisme. Ruang desa dahulu berbasis pada sistem ekologi yang bersifat siklus, berorientasi
ke dalam dan berelasi secara langsung dengan seluruh sumber daya. Ruang desa merupakan
sebuah lansekap dari kedaulatan pengelolaan sumber daya tersebut. Melalui sejarah yang
panjang dari kolonialisme hingga pergantian rezim, basis ruang ekologi desa tergerus secara
terus menerus ke dalam arus besar masyarakat konsumen. Sekarang, ekologi ruang desa tersebut
mulai berangsur-angsur hilang. Untuk itu perlu adanya penataan dan pengelolaan tanah bersama.
Pengelolaan tanah seharusnya selalu dikoneksikan dengan kebutuhan hajat orang banyak dan
pasar. Namun, kerumitan birokrasi inilah yang menjadi hambatan dalam pengelolaan tanah desa.
Ruang desa yang berbasis ekologi juga dirampas melalui penyerahan pemenuhan
kebutuhan pokok kepada negara, kemudian muncul konsepsi kewajiban dan hak warga. Selain
itu, batas-batas hak milik yang beragam, aturan hukum yang diwariskan kolonial, dan privatisasi
tanah bersama semakin menggerus ruang desa. Imajinasi realitas desa hanya terfokus pada sektor
pertanian saja. Oleh karena itu, kita perlu menghadirkan infrastruktur desa sehingga dapat
mencari dana pembangunan.
Dalam konteks momen pembangunan infrastuktur inilah tata ruang desa hadir di tengah
masyarakat. Tata ruang desa ini dihadirkan untuk mengatur fungsi lain diluar lahan pertanian dan
menjadi respon untuk mengurangi kemiskinan di dunia pertanian serta mendorong perlindungan
aset desa. Namun, realisasinya tata ruang desa ini diwujudkan dalam pembangunan fisik yaitu
infrastruktur yang dianggap dapat meningkatkan hasil pertanian (listrik, jalan selokan, balai, dll)
dan infrastruktur yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat petani (rumah, dapur, teknologi
tepat guna, dll). Evaluasi dari tata ruang desa saat ini yang dapat dipelajari di tengah pandemi,
tata ruang yang berwatak tersentralisme saat ini harus dihentikan karena menyebabkan
kemandirian wilayah berkurang sehingga semakin menciptakan ketergantungan. Kedaulatan
kewenangan desa seharusnya dibuka seluas-luasnya sehingga dapat menumbuhkan kemandirian
desa.
Pengaturan tata ruang desa tidak hanya sekedar infrastruktur saja, namun perlu ada upaya
sistem pengelolaan yang baik, tidak sekedar jumlah lahan pertanian dalam memenuhi kebutuhan
pangan.  Pengelolaan sistem pertanian menyebabkan sistem pasar tidak menghendaki distribusi
yang secara menyeluruh, sehingga perlu adanya integrasi kebijakan terhadap produk pertanian
yang beredar. Program tata ruang desa juga seharusnya lebih difokuskan pada pemenuhan
pangan sandang dan papan yang sama rata dan berkeadilan.
Kemudian jika dilihat dari sistem pengambilan keputusan dalam pengaturan tata ruang,
pemerintah desa masing menggunakan sistem voting dalam pengambilan keputusan sehingga
terdapat konflik kepentingan dan kekuasaan yang lebih luas. Berbeda dengan kampung atau
padukuhan yang masih menggunakan sistem musyawarah mufakat sehingga partisipasi
masyarakat lebih didengar dan menjadi kontrol dari masyarakat. Penyadaran sebagai subyek
politik di tingkat padukuhan juga lebih mudah karena mempunyai sumbang roso dibandingkan
dengan desa. Sistem pengambilan keputusan pada tingkat padukuhan mempunyai tingkat rasa
yang tinggi dan sesuai dengan realita yang ada di lapangan. Namun, kekuatan hitam di atas putih
yang lebih kuat menyebabkan desa memiliki kewenangan yang lebih kuat dibanding
padukuhan/kampung. Secara administrasi, desa juga lebih bertanggungjawab terhadap kebijakan
yang berlaku, sehingga kerap kali ketika mengambil keputusan, desa menganggap dusun tidak
mempunyai kewenangan akan hal tersebut. Untuk itu, yang dibutuhkan untuk meluruskan hal ini
ialah keotentikan musyawarah masyarakat dari bawah sampai ke atas.
Dari pembahasan webinar sesi pertama yang dimoderatori dengan apik oleh Mahditia
Paramita ini, dapat disimpulkan bahwa kita perlu memperkuat hubungan antara desa dan kota. Di
sisi lain, desa juga perlu memperpendek rantai ketergantungan sehingga bisa diusulkan
memperbanyak putaran uang yang ada di desa. Selain itu, diperlukan juga memperbanyak lahan
untuk penggunaan ruang bersama serta mengembalikan ekologi ruang desa sesuai tata ruang desa
sehingga dapat dimanfaatkan untuk hajat hidup orang banyak. (SRNF dan MEIP).

You might also like