You are on page 1of 2

WATU BLOROK

Di Mojokerto ada beberapa legenda yang dipercaya masyarakat desa setempat hingga
terkadang dijadikan ritual untuk masyarakat sekitarnya bahkan dari luar daerah. Saat ini tidak
jarang kita temui benda-benda atau tempat yang memiliki cerita mistis, namun ada juga
masyarakat yang menganggap cerita tersebut hanyalah fiktif belaka. Seperti tempat saat ini tak
jarang diketahui oleh masyarakat Mojokerto, yaitu Watu Blorok. Watu blorok merupakan nama
suatu tempat yang berlokasi di Desa Kupang Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto, lebih
tepatnya di daerah perbukitan hutan kayu putih. Watu blorok ini lebih dikenal dengan Wana
Wisata Watu Blorok saat ini sudah dijadikan wisata yang memiliki luas kurang lebih 2 hektar.
Diberi nama Watu Blorok karena diambil dari bongkahan sebuah batu yang berwarna abu-abu
karena faktor geologi dan di batu tersebut terdapat corak atau bercak berwarna abu-abu tua
(Blorok). Namun, Watu Blorok juga dipercaya sebagai benda yang menyimpan cerita misteri dan
dipercaya keramat juga sejarah pada zaman dahulu.

Dari cerita yang beredar di masyarakat, terdapat mitos yang turun temurun sudah tersebar
yaitu adanya sosok Roro Wilis dan Joko Welas yang menetap di batu tersebut. Masyarakat
percaya bahwa sosok terseut merupakan keturunan ksatria Majapahit yang kemudian dikutuk
menjadi batu hingga saat ini. Hutan yang berada di Watu Blorok dahulu dikenal dengan Hutan
Mojoroto. Cerita tersebut berlatar belakang pada zaman Majapahit. Dikisahkan pada saat itu
terdapat seorang ksatria yang bernama Wiro Bastam. Sang permaisuri ingin memakan jantung
kijang emas, sehingga raja memberi Wiro pekerjaan berburu. Konon kijang itu hanya menghuni
Hutan Mojoroto. Namun pencarian Wiro tidak berhasil. Tombak Wiro masih berada di tubuh
kijang emas sebagai dia melarikan diri.

"Anak-anak Wiro Bastam, seorang anak lelaki bernama Joko Welas dan seorang gadis bernama
Roro Wilis, berusaha membantu ayah mereka menemukan jejak kijang emas yang terkena
tombak." Katanya.

Karena miskomunikasi, Joko Welas berduel dengan para pertapa di sebuah mata air
dalam perjalanannya menuju Hutan Mojoroto. Ia mengklaim bahwa mata air tersebut berada di
Desa Jolotundo di Kecamatan Jetis. Sementara itu, adiknya, Roro Wilis, dijebak oleh seorang
nenek tua dan jatuh ke dalam sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo. Setelah terendam di
sumur beracun, kulit seluruh tubuh Roro Wilis menghitam dan putih (blorok). Joko Welas tidak
percaya bahwa wanita itu adalah saudara kandungnya sampai mereka berdua bertemu. Wiro
Bastam datang kepada mereka setelah beberapa waktu. Dia bertanya ketika dia mengamati dua
anaknya berdebat satu sama lain. Mereka diam dalam sejuta bahasa. Dia melanjutkan, "Wiro
Bastam marah dan mengutuk kedua anaknya menjadi batu." Legenda diceritakan oleh salah satu
tetua Dusun Pasinan Sauji dengan caranya sendiri. Sejak Maret 1965, pria berusia 86 tahun ini
tinggal di desa ini. Dia telah tinggal di desa ini sejak tahun 1967, ketika dia mulai bekerja di
Perhutani KPH Mojokerto .
“Watu Blorok bukanlah jelmaan manusia, menurut cerita dari para sesepuh di sini dan
kepercayaan saya. Kakek empat cucu ini memulai ceritanya dengan mengatakan, “Karena tidak
masuk akal dengan kondisi di sekitarnya.”

Watu Blorok konon merupakan bukti pelarian Raja Majapahit Jayanegara dari
pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319 M, menurut ayah dua anak ini. Ra Kuti adalah salah
satu Dharmaputra Majapahit, pegawai istimewa kesayangan raja. Jayanegara dikawal oleh
pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada saat melarikan diri. Hutan Mojoroto, yang
sekarang dikenal sebagai Hutan Watu Blorok, berfungsi sebagai tempat persembunyian
rombongan raja.

Selain itu, ada juga kepercayaan masyarakat yang saat melewati batu tersebut harus
membunyikan klakson. Hal ini dipercaya untuk menghormati para penghuni yang ada di batu
tersebut. Warga setempat juga masih percaya bahwa mengirim sesajen ke Watu Blorok saat
menggelar acara, acara tersebut akan berjalan dengan lancar.

You might also like