You are on page 1of 11

MAKALAH

KONFLIK WILAYAH SIPRUS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Geografi Konflik

Dosen Pengampu: Thyas Tono Taufiq, S.Th.i M.Ag.

Disusun Oleh:
1. Ahmad Navi 1904036004
2. Muhammad Ulin Nuha Al Ajib 1904036044

JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGRI


WALISONGO

SEMARANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Republik Siprus merdeka pada 15 Agustus 1960 dari Inggris, konflik etnis
Yunani dan Turki masih berlanjut. Pada awal terbentuknya, pemerintahan Siprus dianggap
tidak mengakomodasi kepentingan etnis Turki-Siprus, di mana presiden dipegang oleh
Yunani-Siprus. Sebaliknya mayoritas parlemen dikuasai oleh Turki-Siprus, sehingga
muncul pengajuan sepuluh amandemen dari pihak Yunani-Siprus untuk menghapus
presentasi Turki-Siprus di parlemen, tetapi ditolak oleh parlemen.1

Pasca penolakan, etnis Yunani-Siprus menyerang etnis Turki-Siprus dengan “Rencana


Akritas”. Sehingga Yunani-Siprus berhasil mendominasi keseluruhan wilayah Siprus.
Turki yang memiliki kepentingan dan keterikatan saudara dengan sebagian warganya di
Siprus, merespon penyerangan etnis Yunani-Siprus dengan mengirimkan pesawat jet
untuk melumpuhkan mereka. Hal ini menegangkan hubungan bilateral antara Yunani dan
Turki. Namun pada 1964, pasukan PBB berhasil menghentikan perang kedua etnis dan
turut serta menjaga perdamaian.

Pergolakan terjadi dalam tubuh pemerintahan Yunani, terjadi penggulingan oleh


golongan kiri yaitu militer. Golongan ini memiliki strategi politik lebih keras dari
pemerintahan sebelumnya, mereka mendesak pemerintah Siprus yang dipimpin Makarios
untuk melakukan enosis (penggabungan Siprus dengan Yunani), tetapi usulan pemerintah
militer Yunani ditolak oleh Makarios. Penolakan tersebut dianggap telah mengkhianati
esksistansi penduduk YunaniSiprus. Maka dari itu, pada 1975 presiden Makarios
digulingkan, ia berhasil kabur ke London.2 Enam tahun kemudian pada 1981, Siprus
dipimpin oleh Nikos Sampson yang sealur dengan pemerintahan militer Yunani.

Pergantian kepemimpinan Siprus menarik perhatian Turki untuk kembali menginvasi


Siprus. Invasi ini berlangsung sebentar, sebab dilakukan gencatan senjata dan perundingan
yang dijaga oleh UNIFCYP atas mandat DK PBB, tetapi perundingan keduanya gagal.
Sehingga pada 1974 Turki kembali mengirim pasukan kedua, dijuluki dengan “Operasi
Atilla”, operasi ini berhasil menduduki 38% wilayah Siprus utara. Operasi ini memakan
banyak korban jiwa dari kedua etnis. Terjadi eksodus etnis Turki-Siprus dari selatan ke

1
Muzaffer Ercan Yilmaz, “Capturing the Complexity of the Cyprus Conflict”, Turkish Journal Politics 1,
(Summer 2010), 9.
2
Ibid., 10
Siprus utara. Namun, satu dasawarsa kemudian, yaitu pada 15 november 1983, Republik
Turki-Siprus utara (Kuzey Kibris Türk Cumhuriyeti) mendeklarasikan kedaulatannya.4
Deklarasi ini mendapat berbagai kecaman negara di dunia, khususnya Republik Siprus
sebagai pihak seteru Siprus utara. Berdirinya Siprus utara hanya diakui oleh penyokong
besarnya yaitu Turki. Meskipun keduanya telah berpisah, bukan tidak mungkin, sewaktu-
waktu eskalasi konflik akan terjadi kembali. Oleh karena itu, diperlukan peacekeeping,
peacemaking dan peacebulidng yang tepat dan efektif untuk konflik Siprus ini menuju
positive peace, terutama melalui PBB, sebagai pihak ketiga yang dianggap memiliki
kemampuan dalam menyatukan kedua etnis di Siprus.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Keadaan Republik Siprus dan Siprus Utara pasca merdeka?
2. Bagaimanakah peran PBB dalam konflik Siprus?
3. Bagaimana penyebab konflik Siprus dan proses peacemaking dan peacebuilding
melalui PBB?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Bagaimanakah Keadaan Republik Siprus dan Siprus Utara pasca merdeka
2. Mengetahui Bagaimanakah peran PBB dalam konflik Siprus
3. Mengetahui Bagaimana penyebab konflik Siprus dan proses peacemaking dan
peacebuilding melalui PBB
BAB II
Pembahasan

A. Republik Siprus
Pasca merdekanya Siprus atas Inggris, masih terdapat perselesihan internal antara dua
etnis terbesar di Siprus. Perselisihan ini akan memunculkan sebuah negara baru yang
didominasi etnis Turki-Siprus yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahan
Turki. Sebaliknya Siprus selatan mencoba memperbaiki pemerintahan dan
perekonomiannya secara mandiri, sebagaimana negara merdeka pada umumnya. Namun
tidak dipungkiri, keberlanjutan konflik internal dan munculnya Siprus utara menjadi
halangan perkembangan negara tersebut.

Saat perbaikan politik belum tertata dengan apik, tidak harmonisnya hubungan dua
etnis di pemerintahan maupun masyarakat, serta parlemen dan eksekutif dikuasai oleh dua
pihak yang berlawanan, bahkan pengaruh Yunani-Siprus lebih kuat daripada Turki-Siprus.
Semua itu menjadi alasan respon oleh Turki dengan invasi pada April 1974, dengan
mengatasnamakan perlindungan etnis Turki di Siprus, invasi ini juga akan melahirkan
Republik Siprus Utara.

Kurt Waldheim sebagai Sekertaris Jenderal PBB segera membentuk misi baru untuk
penghentian invasi tentara Turki. Hal itu baru terealisasi pada 12 februari 1977 setelah
banyaknya jatuh korban jiwa akibat invasi Turki kedua pada 1974, dan terjadinya eksodus
Turki-Siprus ke wilayah utara pulau Siprus. Dalam hal ini, PBB menjadi mediator dalam
pertemuan antara Makarios dari pihak Yunani dan Rauf Denkstash dari pihak Turki. 3
Pertemuan ini menghasilkan resolusi Siprus, yaitu satu negara federasi yang memisahkan
dua negara dan dua masyarakatnya dan harus diimplementasikan dalam pemerintahan
Siprus. Resolusi Siprus diterima oleh kedua belah pihak, akhirnya invasi pun terhenti dan
keadaan kembali stabil.

Pada 1979 Waldheim mengunjungi Siprus untuk mengajukan dua usul terhadap
perbaikan politik di Siprus yang dikhawatirkan eskalasi perang akan muncul kembali. Dua
usul tersebut yaitu demilitarisasi dan sebuah komitmen untuk menahan diri dari berbagai
aktivitas pengrusakan dan penghancuran. Usul ini disebut dengan Varosha.4 Yunani-
Siprus mendukung Varosha, Tetapi Turki-Siprus tidak ingin membicarakan usul tersebut.
Maka dari itu, terjadilah pembicaraan yang buntu atas penyelesaian Siprus ini. Hingga
3
Muzaffer Ercan Yilmaz, Op.cit., 11.
4
Ibid. 12
pada 15 November 1983 TurkiSiprus memilih untuk mendeklarasikan kemerdekaanya
dengan nama Turkish Republic of Northeren Cyprus (Republik Siprus Utara) sebagai
manifestasi kegagalan pembicaraan penyelesaian Siprus yang dimediasi oleh Kurt
Waldheim. Kemerdekaa Republik Siprus Utara hanya mendapatkan pengakuan oleh
sekutu besarnya yaitu Turki.

B. Republik Siprus Utara


Usulan Varosha pada awal 1979 yang diajukan Waldheim menemui jalan buntu karena
Turki-Siprus tidak menerimanya. Strategi Maldheim pun diubah, pada musim panas di
tahun yang sama, ia memperbaiki usulannya yaitu akan mengangkat perekonomian Turki-
Siprus serta mencabut embargo ekonominya, bahkan membawa perwakilan khusus PBB,
yaitu Hugo Gabbi dalam fokus penyelesaian konflik kedua etnis ini.5

Keberadaan Hugo Gabbi tidak membawa titik terang dalam penyelesaian konflik dua
etnis pulau Siprus. Turki-Siprus tetap pada pendiriannya menolak Varosha, mereka juga
menganggap satu-satunya solusi terbaik adalah kedua etnis bebas memilih kedaulatannya.
Secara implisit anggapan tersebut merupakan cara etnis Turki-Siprus agar lepas dari
Republik Siprus Selatan yang telah lebih dahulu berdiri. Pada 15 november 1983
terbuktilah keinginan Turki-Siprus untuk merdeka atas lawan etnisnya, karena
dominannya Turki-Siprus di wilayah utara pulau Siprus akibat eksodus terdahulu. Maka
mereka mendekalarasikan negara Turkish Republic of Northeren Cyprus (Republik Siprus
Utara) secara unilateral. Negara baru ini mendapatkan kecaman dari Dewan Keamanan
PBB. Tetapi mendapat dukungan penuh oleh Turki pada april 1984, dengan pembukaan
perwakilan diplomatik antara Turki dan Siprus Utara.

C. Peran PBB dalam konflik Siprus


Terbentuknya PBB tidak lepas dari trauma perang dunia kedua. Banyak negara-negara
mengalami kerugian dan kehancuran akibat perang tersebut. Di antaranya, kota Hiroshima
dan Nagasaki di Jepang. Kedua kota ini mengalami luluh lantah hampir tak berbekas
karena bom atom Amerika Serikat dan sekutunya. PBB dibentuk agar peristiwa Hiroshima
dan Nagasaki tidak terulang kembali. Sebagaimana yang tertuang dalam Piagam PBB Bab
I, berisikan tentang tujuan organisasi internasional dibentuk. Tujuannya adalah menjaga
perdamaian dan keamanan dunia. Apapun bentuk kekerasan seperti halnya perang yang
dilakukan oleh negara anggota PBB dan mengancam perdamaian dunia, dapat menjadikan

5
Ibid., 13.
landasan untuk PBB melakukan peacekeeping berdasarkan resolusi Dewan Keamanan
PBB, pemerintahan yang bersangkutan dan pihak yang berseteru.6

Realisasi PBB dalam piagamnya adalah peacekeeping di berbagai negara di dunia


yang berkonflik, termasuk di Siprus. Telah banyak peran PBB dalam menyelesaikan
konflik Siprus. Baik melalui peacekeeping ketika eskalasi konflik terjadi, maupun
mediator PBB yang telah melakukan langkah-langkah penyelesaian dalam menangani
konflik Siprus. Misi PBB pada 1964 di Siprus adalah UNFICYP (UN Peace-keeping
Force in Cyprus) yang berutujuan menghentikan serangan Turki untuk melindung etnis
Turki-Siprus melawan etnis Yunani-Siprus.

Dalam posisi peacemaking oleh sekjen PBB, dilaksanakan oleh Kurt Waldheim
dengan rencana Varosha pada 1974. Peacemaking sebagai solusi membawa pihak-pihak
yang bertikai secara soft telah diimplementasikan oleh PBB. Kurt Waldheim
mempertemukan Makarios dan Rauf Denktash pada 1976. Pertemuan ini membicarakan
persetujuan perjanjian berupa pembentukan negara federal, terdiri dari dua masyarakat
dan dua negara. Pemerintah pusatnya dibentuk dari kesatuan dua negara tersebut. 7
Keseluruhan isi perjanjian ini diusulkan oleh Waldheim. Tetapi hasilnya adalah nihil,
karena ketidaksepakatannya dari kedua belah pihak.

Pada awal 1979, Waldheim mendatangi Siprus kembali untuk mencoba pengulangan
peacemaking. Dalam kunjungannya, ia membawa sepuluh poin yang mengikat kedua
belah pihak. Juga ditambahkan perjanjian Varosha pada 1976. Usulan penting dalam
penyelesaian konflik Siprus yaitu demilitarisasi dan sebuah komitmen untuk menahan diri
dari berbagai aktivitas pengrusakan dan penghancuran. Pada kenyataannya usul Waldheim
untuk penghentian perang PBB gagal. Pihak Turki-Siprus merasa keinginannya tidak
difasilitasi dalam usul ini. Maka dari itu, Kemerdekaan Siprus Utara pada 1983
merupakan bukti nyata penolakan etnis Turki-Siprus untuk mematuhi usul PBB.
Meskipun Siprus Utara mendeklarasikan dirinya secara sepihak, namun PBB tidak pernah
lelah mengusahakan perdamaian mutlak untuk dua negara ini.

Pergantian Sekjen PBB pun terjadi, Kurt Waldheim digantikan oleh Javiar Perez de
Culliar. Langkah efektif dilakukan De Culliar dengan mencari cara agar dua negara Siprus
bertemu. Pembicaraan untuk mencari solusi di mediasi oleh De Culliar demi menemukan

6
Hillen, J., Blue Helmets: the strategy of UN military operations, (Washington, D.C.: International Peace
Institute, 2002), 25.
7
Muzaffer Ercan Yilmaz , op.cit., 11.
sebuah cara yang tepat. Perlu tiga kali pembicaran dengan kedua pihak agar menghasilkan
sebuah perjanjian. Tiga pertemuan ini pada 1984, 1985 dan 1986. Pada pertemuan
terakhir, berdasarkan hasil pertemuan yang telah ia pelajari. De Culliar menggagas
pembentukan “draft kerangka perjanjian”. Isinya adalah bi-zonal, bi-comunal dan non-
aligned.8

D. Penyebab Konflik Siprus dan proses penyelesaiannya

1.Faktor Penyebeb Konflik Siprus

Konflik Siprus disebabkan adanya perbedaan etnis. Sejarah merupakan faktor utama
yang melatarbelakangi penyebab perbedaan kedua etnis dalam pulau yang berada di laut
Mediterenia ini. Saling klaim akan satu-satunya penguasa juga menjadi alasan perang
tiada henti pada masa perang dingin. Sebagaimana model segitiga Galtung, perselisihan
timbul akibat perbedaan sikap dan perilaku. Sikap etnis Yunani-Siprus dan Turki-Siprus
yang tidak saling menghormati satu sama lain, sikap merasa etnisnya paling superpower,
dan juga tidak adanya sikap egaliterian yang disebut oleh Locke.

Perilaku juga menjadi tolak ukur konflik ini, perilaku kedua etnis saling melecehkan,
dengan dukungan negara tetangganya Turki dan Yunani, perilaku kedua etnis saling
menghabisi dan melarang menempati pemerintahan yang de facto jika bukan dari etnis
yang sama, kebijakan ini dilakukan semasa masih dalam kesatuan negara Siprus, dan
belum terpecahnya Siprus Utara. Maka dari itu, sikap dan perilaku yang sangat buruk
mendukung terjadinya konflik etnis di Siprus, titik temunya yaitu bila sikap dan perilaku
bertolak belakang dari nilai moral yang baik, adalah dispute. Teori segitiga Galtung ini,
mengidentifikasi setiap konflik pasti ada kesalahan dalam perilaku dan sikap dalam
masyarakat yang berimbas pada ketidakstabilan yaitu konflik.

2. Peacemaking melalui PBB

PBB sebagai organisasi internasional yang lahir setelah perang dunia kedua dianggap
sebagai rujukan terbaik penyelesaian konflik di antara negara anggotanya. Tertuang dalam
tujuan dan prinsip adanya PBB yaitu dalam pasal satu ayat satu, yang berbunyi “PBB
dibentuk untuk menjaga perdamaian dan kemananan internasional”. Pasal ini
menggambarkan bahwa konflik yang dilakukan oleh negara-negara anggotanya lalu

8
Ibid., 12
mengancam perdamaian dan keamanan internasional merupakan pelanggaran prinsip-
prinsip piagam dibentuknya PBB, terutama pasal dan ayat tersebut.

PBB berkepentingan melindungi keamanan dunia dengan mengirimkan pasukan melalui


peacekeeping untuk pencegahan eskalasi perang dan pewakilannya sebagai mediator
dalam percepatan penyelesaian konflik. Sejalan dengan cara penyelesaian konflik yang
dijelaskan oleh Ramsbotham dkk, bahwa perlunya bantuan dari pihak asing dalam
penyelesaian konflik.9 Namun tergantung pada kondisi tingkatan konflik tersebut.
Menurut identifikasi Hourglass terdapat empat step menuju perang, bila kondisi perang
telah terjadi, maka diperlukan peran bantuan pihak asing sebagai peacekeeper agar
eskalasi menurun. Dengan identifikasi ini, PBB selaku pihak asing yang diakui secara
internasional dalam pasukan penjaga perdamaian. PBB telah mengimplementasikan
identifkasi Horuglass di konflik Siprus, yaitu misi PBB pada 1964, UNFICYP (UN Peace-
keeping Force in Cyprus). Meskipun misi peacekeeper harus netral, tetapi misi ini
didominasi tujuan untuk melindungi etnis Yunani-Sirpus saat gencarnya serangan militer
Turki untuk membantu etnis Turki-Siprus. tetapi PBB tidak boleh menggunakan
kekerasan militer dalam membela salah satu pihak.

Misi UNFICYP PBB dijalankan dalam invasi Turki yang pertama pada 1964, kemudian
pada invasi Turki yang kedua pada 1974. Hal ini membuktikan peacekeeping PBB sebagai
pihak ketiga terbukti efektif dalam penghentian total serangan Turki jika level konflik
dalam tingkat perang. Tetapi cara ini tidak boleh dilakukan jika perang telah berakhir.

Pasca perang, tidak berarti penyelesaian konflik telah usai, sebab konflik terkadang
bersifat mengulang. Kemungkinan perang bisa terjadi, hal inilah yang terjadi di Siprus.
Setelah kemerdekaan Republik Siprus pada 15 Agustus 1960 dan Siprus Utara pada 15
November 1983, PBB lebih menggunakan soft power dengan mengirimkan
perwakilannya dalam menangani konflik Siprus, melalui mediator handal yang mampu
mencegah konflik kembali. Jika dikaitkan dengan identifikasi Hourglass dalam konflik,
PBB melaksanakan peacemaking yang dalam “tingkatan perang” ini ada pada posisi
kedua setelah perang yaitu agreement.

Misi PBB dalam dalam studi resolusi konflik setelah perang adalah peacemaking.
Peacemaking adalah suatu cara menyelesaikan konflik melalui pihak ketiga tanpa
kekerasan. Mereka adalah Waldheim dan De Cuellar, keduanya merupakan Sekretaris

9
Oliver Ramsbotham dkk, Op.cit., 23.
Jendral PBB, Waldheim periode 1972 hingga 1981. Ia menjalankan posisi peacemaking-
nya untuk Siprus dengan mengusulkan rencana “Varosha” yaitu membentuk negara
federal, demiliterasasi kedua Siprus dan menahan diri dari aksi pengrusakan terhadap etnis
yang berbeda dengannya.

Javier Perez De Cuellar adalah sekjen PBB periode 1981-1991. Bentuk peacemaker
dirinya untuk Siprus adalah “draft kerangka perjanjian” yang isinya bi-zonal, bi-comunal
dan non-aligned. Intinya adalah penyatuan dua karakter masyarakat berbeda dalam satu
zona dan satu masyarakat, tanpa merasa perbedaan ras, serta tidak beraliansi dengan
Yunani maupun Turki. Namun kedua peacemaker PBB itu berakhir gagal.

Pada 1997, Uni Eropa mencoba menyelesaikan konflik Siprus, tetapi gagal pula, karena
permasalahan Turki yang tidak diterima sebagai anggota Uni Eropa, padahal Siprus
Selatan merupakan anggota Uni Eropa. Turki menghalangi Tuki-Siprus untuk menerima
usulan Uni Eropa dalam konflik Siprus pasca perang. Pada 2004 muncul seorang mediator
yang handal dan efektif dalam penyelesaian Siprus. Ia adalah Kofi Annan, sekjen PBB
periode 1997-2006. PBB yang diwakili sekjennya Kofi Anann, mengusulkan Annan Plan
dalam positive peace Siprus, yang berisikan pasal-pasal penyatuan Siprus Utara dan
Selatan yaitu Republik Persatuan Siprus. AP direalisasikan dalam referendum yang diikuti
penduduk Yunani Siprus di Selatan dan TurkiSiprus di utara. Hasil referendum adalah
total suara semua wilayah di Siprus menolak usulan AP ini, dengan kata lain menolak
pengintegrasian Siprus Utara dan Selatan dalam Republik Persatuan Siprus. Jika ditilik
lebih jauh, hasil referendum sebesar 68,5 % menolak AP, mayoritas penolakan suara AP
adalah didominasi penduduk Yunani Siprus, sebab mereka mendominasi pulau Siprus
sebesar 80%. Oleh karena itu, kemenangan penduduk Yunani-Siprus ata TurkiSiprus
dalam penolakan referendum AP adalah wajar.
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Konflik Siprus Utara dan Selatan adalah konflik yang diletarbelakangi etnis, antara
Yunani-Siprus yang mayoritas menduduki Siprus Selatan dan Turki-Siprus yang menduduki
Siprus Utara. Konflik semakin pelik kedua negara tetangga Siprus, Yunani dan Turki saling
merasa memiliki ikatan darah, invasi Turki pada 1964, banyak menimbulkan korban jiwa dari
kedua belah pihak.

PBB langsung menurunkan pasukan peacekeeping dengan misi UNFICYP, agar penghentian
perang di Siprus, disusul proses peacemaking oleh Waldheim dan De Cuellar. Namun, kedua
belah pihak tidak mencapai titik temu. Demikian pula dilakukan oleh Kofi Annan dengan
Annan Plan, referendum pun hasilnya nihil, total suara sekitar 68,5 % yang mewakili kedua
etnis di Siprus menolak AP.

Proses PBB dalam Siprus tetap dibutuhkan, keadaan Siprus yang masih negative peace perlu
dirubah dengan peacebuilding PBB agar positive peace yaitu dalam bentuk rekonsiliasi dan
bantuan ekonomi. Bila kedua indikator itu sukses, maka Annan Plan dapat diuji coba kembali,
yang diharapkan penduduk Siprus lebih dewasa dan menerima AP. Sehingga proses positive
peacepun tercapai dengan terbentuknya Republik Persatuan Siprus. Jika PBB masih gagal,
perlu dibantu oleh NGO internasional yang konsen dalam konflik. Dengan bantuan mereka
diharapkan proses positive peace berjalan cepat dan terealisasi, serta dukungan negara
anggota PBB dan anggota DK PBB dalam penyelesaian konflik Siprus secara tuntas.
Daftar Pustaka

Muzaffer Ercan Yilmaz, “Capturing the Complexity of the Cyprus Conflict”, Turkish Journal Politics
1, (Summer 2010)

Hillen, J., Blue Helmets: the strategy of UN military operations, (Washington, D.C.: International
Peace Institute, 2002),

You might also like