Professional Documents
Culture Documents
K.3 Geografi Konflik
K.3 Geografi Konflik
Disusun Oleh:
1. Ahmad Navi 1904036004
2. Muhammad Ulin Nuha Al Ajib 1904036044
SEMARANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak Republik Siprus merdeka pada 15 Agustus 1960 dari Inggris, konflik etnis
Yunani dan Turki masih berlanjut. Pada awal terbentuknya, pemerintahan Siprus dianggap
tidak mengakomodasi kepentingan etnis Turki-Siprus, di mana presiden dipegang oleh
Yunani-Siprus. Sebaliknya mayoritas parlemen dikuasai oleh Turki-Siprus, sehingga
muncul pengajuan sepuluh amandemen dari pihak Yunani-Siprus untuk menghapus
presentasi Turki-Siprus di parlemen, tetapi ditolak oleh parlemen.1
1
Muzaffer Ercan Yilmaz, “Capturing the Complexity of the Cyprus Conflict”, Turkish Journal Politics 1,
(Summer 2010), 9.
2
Ibid., 10
Siprus utara. Namun, satu dasawarsa kemudian, yaitu pada 15 november 1983, Republik
Turki-Siprus utara (Kuzey Kibris Türk Cumhuriyeti) mendeklarasikan kedaulatannya.4
Deklarasi ini mendapat berbagai kecaman negara di dunia, khususnya Republik Siprus
sebagai pihak seteru Siprus utara. Berdirinya Siprus utara hanya diakui oleh penyokong
besarnya yaitu Turki. Meskipun keduanya telah berpisah, bukan tidak mungkin, sewaktu-
waktu eskalasi konflik akan terjadi kembali. Oleh karena itu, diperlukan peacekeeping,
peacemaking dan peacebulidng yang tepat dan efektif untuk konflik Siprus ini menuju
positive peace, terutama melalui PBB, sebagai pihak ketiga yang dianggap memiliki
kemampuan dalam menyatukan kedua etnis di Siprus.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Keadaan Republik Siprus dan Siprus Utara pasca merdeka?
2. Bagaimanakah peran PBB dalam konflik Siprus?
3. Bagaimana penyebab konflik Siprus dan proses peacemaking dan peacebuilding
melalui PBB?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Bagaimanakah Keadaan Republik Siprus dan Siprus Utara pasca merdeka
2. Mengetahui Bagaimanakah peran PBB dalam konflik Siprus
3. Mengetahui Bagaimana penyebab konflik Siprus dan proses peacemaking dan
peacebuilding melalui PBB
BAB II
Pembahasan
A. Republik Siprus
Pasca merdekanya Siprus atas Inggris, masih terdapat perselesihan internal antara dua
etnis terbesar di Siprus. Perselisihan ini akan memunculkan sebuah negara baru yang
didominasi etnis Turki-Siprus yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintahan
Turki. Sebaliknya Siprus selatan mencoba memperbaiki pemerintahan dan
perekonomiannya secara mandiri, sebagaimana negara merdeka pada umumnya. Namun
tidak dipungkiri, keberlanjutan konflik internal dan munculnya Siprus utara menjadi
halangan perkembangan negara tersebut.
Saat perbaikan politik belum tertata dengan apik, tidak harmonisnya hubungan dua
etnis di pemerintahan maupun masyarakat, serta parlemen dan eksekutif dikuasai oleh dua
pihak yang berlawanan, bahkan pengaruh Yunani-Siprus lebih kuat daripada Turki-Siprus.
Semua itu menjadi alasan respon oleh Turki dengan invasi pada April 1974, dengan
mengatasnamakan perlindungan etnis Turki di Siprus, invasi ini juga akan melahirkan
Republik Siprus Utara.
Kurt Waldheim sebagai Sekertaris Jenderal PBB segera membentuk misi baru untuk
penghentian invasi tentara Turki. Hal itu baru terealisasi pada 12 februari 1977 setelah
banyaknya jatuh korban jiwa akibat invasi Turki kedua pada 1974, dan terjadinya eksodus
Turki-Siprus ke wilayah utara pulau Siprus. Dalam hal ini, PBB menjadi mediator dalam
pertemuan antara Makarios dari pihak Yunani dan Rauf Denkstash dari pihak Turki. 3
Pertemuan ini menghasilkan resolusi Siprus, yaitu satu negara federasi yang memisahkan
dua negara dan dua masyarakatnya dan harus diimplementasikan dalam pemerintahan
Siprus. Resolusi Siprus diterima oleh kedua belah pihak, akhirnya invasi pun terhenti dan
keadaan kembali stabil.
Pada 1979 Waldheim mengunjungi Siprus untuk mengajukan dua usul terhadap
perbaikan politik di Siprus yang dikhawatirkan eskalasi perang akan muncul kembali. Dua
usul tersebut yaitu demilitarisasi dan sebuah komitmen untuk menahan diri dari berbagai
aktivitas pengrusakan dan penghancuran. Usul ini disebut dengan Varosha.4 Yunani-
Siprus mendukung Varosha, Tetapi Turki-Siprus tidak ingin membicarakan usul tersebut.
Maka dari itu, terjadilah pembicaraan yang buntu atas penyelesaian Siprus ini. Hingga
3
Muzaffer Ercan Yilmaz, Op.cit., 11.
4
Ibid. 12
pada 15 November 1983 TurkiSiprus memilih untuk mendeklarasikan kemerdekaanya
dengan nama Turkish Republic of Northeren Cyprus (Republik Siprus Utara) sebagai
manifestasi kegagalan pembicaraan penyelesaian Siprus yang dimediasi oleh Kurt
Waldheim. Kemerdekaa Republik Siprus Utara hanya mendapatkan pengakuan oleh
sekutu besarnya yaitu Turki.
Keberadaan Hugo Gabbi tidak membawa titik terang dalam penyelesaian konflik dua
etnis pulau Siprus. Turki-Siprus tetap pada pendiriannya menolak Varosha, mereka juga
menganggap satu-satunya solusi terbaik adalah kedua etnis bebas memilih kedaulatannya.
Secara implisit anggapan tersebut merupakan cara etnis Turki-Siprus agar lepas dari
Republik Siprus Selatan yang telah lebih dahulu berdiri. Pada 15 november 1983
terbuktilah keinginan Turki-Siprus untuk merdeka atas lawan etnisnya, karena
dominannya Turki-Siprus di wilayah utara pulau Siprus akibat eksodus terdahulu. Maka
mereka mendekalarasikan negara Turkish Republic of Northeren Cyprus (Republik Siprus
Utara) secara unilateral. Negara baru ini mendapatkan kecaman dari Dewan Keamanan
PBB. Tetapi mendapat dukungan penuh oleh Turki pada april 1984, dengan pembukaan
perwakilan diplomatik antara Turki dan Siprus Utara.
5
Ibid., 13.
landasan untuk PBB melakukan peacekeeping berdasarkan resolusi Dewan Keamanan
PBB, pemerintahan yang bersangkutan dan pihak yang berseteru.6
Dalam posisi peacemaking oleh sekjen PBB, dilaksanakan oleh Kurt Waldheim
dengan rencana Varosha pada 1974. Peacemaking sebagai solusi membawa pihak-pihak
yang bertikai secara soft telah diimplementasikan oleh PBB. Kurt Waldheim
mempertemukan Makarios dan Rauf Denktash pada 1976. Pertemuan ini membicarakan
persetujuan perjanjian berupa pembentukan negara federal, terdiri dari dua masyarakat
dan dua negara. Pemerintah pusatnya dibentuk dari kesatuan dua negara tersebut. 7
Keseluruhan isi perjanjian ini diusulkan oleh Waldheim. Tetapi hasilnya adalah nihil,
karena ketidaksepakatannya dari kedua belah pihak.
Pada awal 1979, Waldheim mendatangi Siprus kembali untuk mencoba pengulangan
peacemaking. Dalam kunjungannya, ia membawa sepuluh poin yang mengikat kedua
belah pihak. Juga ditambahkan perjanjian Varosha pada 1976. Usulan penting dalam
penyelesaian konflik Siprus yaitu demilitarisasi dan sebuah komitmen untuk menahan diri
dari berbagai aktivitas pengrusakan dan penghancuran. Pada kenyataannya usul Waldheim
untuk penghentian perang PBB gagal. Pihak Turki-Siprus merasa keinginannya tidak
difasilitasi dalam usul ini. Maka dari itu, Kemerdekaan Siprus Utara pada 1983
merupakan bukti nyata penolakan etnis Turki-Siprus untuk mematuhi usul PBB.
Meskipun Siprus Utara mendeklarasikan dirinya secara sepihak, namun PBB tidak pernah
lelah mengusahakan perdamaian mutlak untuk dua negara ini.
Pergantian Sekjen PBB pun terjadi, Kurt Waldheim digantikan oleh Javiar Perez de
Culliar. Langkah efektif dilakukan De Culliar dengan mencari cara agar dua negara Siprus
bertemu. Pembicaraan untuk mencari solusi di mediasi oleh De Culliar demi menemukan
6
Hillen, J., Blue Helmets: the strategy of UN military operations, (Washington, D.C.: International Peace
Institute, 2002), 25.
7
Muzaffer Ercan Yilmaz , op.cit., 11.
sebuah cara yang tepat. Perlu tiga kali pembicaran dengan kedua pihak agar menghasilkan
sebuah perjanjian. Tiga pertemuan ini pada 1984, 1985 dan 1986. Pada pertemuan
terakhir, berdasarkan hasil pertemuan yang telah ia pelajari. De Culliar menggagas
pembentukan “draft kerangka perjanjian”. Isinya adalah bi-zonal, bi-comunal dan non-
aligned.8
Konflik Siprus disebabkan adanya perbedaan etnis. Sejarah merupakan faktor utama
yang melatarbelakangi penyebab perbedaan kedua etnis dalam pulau yang berada di laut
Mediterenia ini. Saling klaim akan satu-satunya penguasa juga menjadi alasan perang
tiada henti pada masa perang dingin. Sebagaimana model segitiga Galtung, perselisihan
timbul akibat perbedaan sikap dan perilaku. Sikap etnis Yunani-Siprus dan Turki-Siprus
yang tidak saling menghormati satu sama lain, sikap merasa etnisnya paling superpower,
dan juga tidak adanya sikap egaliterian yang disebut oleh Locke.
Perilaku juga menjadi tolak ukur konflik ini, perilaku kedua etnis saling melecehkan,
dengan dukungan negara tetangganya Turki dan Yunani, perilaku kedua etnis saling
menghabisi dan melarang menempati pemerintahan yang de facto jika bukan dari etnis
yang sama, kebijakan ini dilakukan semasa masih dalam kesatuan negara Siprus, dan
belum terpecahnya Siprus Utara. Maka dari itu, sikap dan perilaku yang sangat buruk
mendukung terjadinya konflik etnis di Siprus, titik temunya yaitu bila sikap dan perilaku
bertolak belakang dari nilai moral yang baik, adalah dispute. Teori segitiga Galtung ini,
mengidentifikasi setiap konflik pasti ada kesalahan dalam perilaku dan sikap dalam
masyarakat yang berimbas pada ketidakstabilan yaitu konflik.
PBB sebagai organisasi internasional yang lahir setelah perang dunia kedua dianggap
sebagai rujukan terbaik penyelesaian konflik di antara negara anggotanya. Tertuang dalam
tujuan dan prinsip adanya PBB yaitu dalam pasal satu ayat satu, yang berbunyi “PBB
dibentuk untuk menjaga perdamaian dan kemananan internasional”. Pasal ini
menggambarkan bahwa konflik yang dilakukan oleh negara-negara anggotanya lalu
8
Ibid., 12
mengancam perdamaian dan keamanan internasional merupakan pelanggaran prinsip-
prinsip piagam dibentuknya PBB, terutama pasal dan ayat tersebut.
Misi UNFICYP PBB dijalankan dalam invasi Turki yang pertama pada 1964, kemudian
pada invasi Turki yang kedua pada 1974. Hal ini membuktikan peacekeeping PBB sebagai
pihak ketiga terbukti efektif dalam penghentian total serangan Turki jika level konflik
dalam tingkat perang. Tetapi cara ini tidak boleh dilakukan jika perang telah berakhir.
Pasca perang, tidak berarti penyelesaian konflik telah usai, sebab konflik terkadang
bersifat mengulang. Kemungkinan perang bisa terjadi, hal inilah yang terjadi di Siprus.
Setelah kemerdekaan Republik Siprus pada 15 Agustus 1960 dan Siprus Utara pada 15
November 1983, PBB lebih menggunakan soft power dengan mengirimkan
perwakilannya dalam menangani konflik Siprus, melalui mediator handal yang mampu
mencegah konflik kembali. Jika dikaitkan dengan identifikasi Hourglass dalam konflik,
PBB melaksanakan peacemaking yang dalam “tingkatan perang” ini ada pada posisi
kedua setelah perang yaitu agreement.
Misi PBB dalam dalam studi resolusi konflik setelah perang adalah peacemaking.
Peacemaking adalah suatu cara menyelesaikan konflik melalui pihak ketiga tanpa
kekerasan. Mereka adalah Waldheim dan De Cuellar, keduanya merupakan Sekretaris
9
Oliver Ramsbotham dkk, Op.cit., 23.
Jendral PBB, Waldheim periode 1972 hingga 1981. Ia menjalankan posisi peacemaking-
nya untuk Siprus dengan mengusulkan rencana “Varosha” yaitu membentuk negara
federal, demiliterasasi kedua Siprus dan menahan diri dari aksi pengrusakan terhadap etnis
yang berbeda dengannya.
Javier Perez De Cuellar adalah sekjen PBB periode 1981-1991. Bentuk peacemaker
dirinya untuk Siprus adalah “draft kerangka perjanjian” yang isinya bi-zonal, bi-comunal
dan non-aligned. Intinya adalah penyatuan dua karakter masyarakat berbeda dalam satu
zona dan satu masyarakat, tanpa merasa perbedaan ras, serta tidak beraliansi dengan
Yunani maupun Turki. Namun kedua peacemaker PBB itu berakhir gagal.
Pada 1997, Uni Eropa mencoba menyelesaikan konflik Siprus, tetapi gagal pula, karena
permasalahan Turki yang tidak diterima sebagai anggota Uni Eropa, padahal Siprus
Selatan merupakan anggota Uni Eropa. Turki menghalangi Tuki-Siprus untuk menerima
usulan Uni Eropa dalam konflik Siprus pasca perang. Pada 2004 muncul seorang mediator
yang handal dan efektif dalam penyelesaian Siprus. Ia adalah Kofi Annan, sekjen PBB
periode 1997-2006. PBB yang diwakili sekjennya Kofi Anann, mengusulkan Annan Plan
dalam positive peace Siprus, yang berisikan pasal-pasal penyatuan Siprus Utara dan
Selatan yaitu Republik Persatuan Siprus. AP direalisasikan dalam referendum yang diikuti
penduduk Yunani Siprus di Selatan dan TurkiSiprus di utara. Hasil referendum adalah
total suara semua wilayah di Siprus menolak usulan AP ini, dengan kata lain menolak
pengintegrasian Siprus Utara dan Selatan dalam Republik Persatuan Siprus. Jika ditilik
lebih jauh, hasil referendum sebesar 68,5 % menolak AP, mayoritas penolakan suara AP
adalah didominasi penduduk Yunani Siprus, sebab mereka mendominasi pulau Siprus
sebesar 80%. Oleh karena itu, kemenangan penduduk Yunani-Siprus ata TurkiSiprus
dalam penolakan referendum AP adalah wajar.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Konflik Siprus Utara dan Selatan adalah konflik yang diletarbelakangi etnis, antara
Yunani-Siprus yang mayoritas menduduki Siprus Selatan dan Turki-Siprus yang menduduki
Siprus Utara. Konflik semakin pelik kedua negara tetangga Siprus, Yunani dan Turki saling
merasa memiliki ikatan darah, invasi Turki pada 1964, banyak menimbulkan korban jiwa dari
kedua belah pihak.
PBB langsung menurunkan pasukan peacekeeping dengan misi UNFICYP, agar penghentian
perang di Siprus, disusul proses peacemaking oleh Waldheim dan De Cuellar. Namun, kedua
belah pihak tidak mencapai titik temu. Demikian pula dilakukan oleh Kofi Annan dengan
Annan Plan, referendum pun hasilnya nihil, total suara sekitar 68,5 % yang mewakili kedua
etnis di Siprus menolak AP.
Proses PBB dalam Siprus tetap dibutuhkan, keadaan Siprus yang masih negative peace perlu
dirubah dengan peacebuilding PBB agar positive peace yaitu dalam bentuk rekonsiliasi dan
bantuan ekonomi. Bila kedua indikator itu sukses, maka Annan Plan dapat diuji coba kembali,
yang diharapkan penduduk Siprus lebih dewasa dan menerima AP. Sehingga proses positive
peacepun tercapai dengan terbentuknya Republik Persatuan Siprus. Jika PBB masih gagal,
perlu dibantu oleh NGO internasional yang konsen dalam konflik. Dengan bantuan mereka
diharapkan proses positive peace berjalan cepat dan terealisasi, serta dukungan negara
anggota PBB dan anggota DK PBB dalam penyelesaian konflik Siprus secara tuntas.
Daftar Pustaka
Muzaffer Ercan Yilmaz, “Capturing the Complexity of the Cyprus Conflict”, Turkish Journal Politics
1, (Summer 2010)
Hillen, J., Blue Helmets: the strategy of UN military operations, (Washington, D.C.: International
Peace Institute, 2002),