You are on page 1of 6

Nama : Rahmad Joko Samudro

NIM : 122111433032
Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan

BIASNYA RASA KEKELUARGAAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG DI


PERKOTAAN

Kampung merupakan salah satu ciri dari wilayah pemukiman di Indonesia. Sebenarnya
tidak hanya di Indonesia, sebagian besar masyarakat Asia Tenggara yang berumpun Melayu pasti
tidak asing dengan yang namanya Kampung. Di Indonesia, Kampung sendiri memiliki dua arti
yang berbeda. Arti yang pertama, Kampung merupakan sebuah tempat yang umumnya terletak
jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan masih banyak lahan kosong. Sedangkan yang kedua, Kampung
memiliki arti sebuah tempat yang menjadi bagian dari sebuah kota besar. Dapat dikatakan bahwa
dalam pengertian Kampung yang kedua ini, dimaksudkan sebagai bentuk akibat dari adanya proses
urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar.

Pola dari pemukiman-pemukiman yang ada di kota tidak hanya yang berbentuk formal
saja, melainkan ada juga yang berbentuk informal (Nugroho, 2009). Dalam hal ini, pemukiman
formal adalah pemukiman yang memang telah direncanakan oleh pihak pengembang kota. Pada
saat kota tersebut telah dibangun dan ditinggali, secara natural pasti akan muncul pemukiman-
pemukiman yang dibangun mandiri oleh masyarakat, pemukiman inilah yang disebut sebagai
pemukiman informal. Pemukiman yang tidak ada di dalam rencana pembangunan tata kota.
Umumnya, pemukiman informal inilah yang disebut oleh orang-orang modern di Indonesia
sebagai Kampung. Memang pemukiman ini memiliki stigma negatif di sebagian benak masyarakat
(Shirleyana dkk., 2018). Karena pemukimam ini umumnya terdiri dari banyak rumah yang kurang
memerhatikan sisi kebersihan dan keindahan. Hal inilah yang menyebabkan nama Kampung
memiliki pandangan negatif bagi sebagian orang.

Namun, tidak semua Kampung yang ada di kota-kota besar merupakan kumpulan dari
rumah-rumah yang padat dan kumuh. Banyak juga Kampung yang masih memerhatikan unsur-
unsur keindahan dan kebersihan dalam proses perkembangannya. Dapat kita ambil contoh kota
Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua setelah ibukota Indonesia, Jakarta. Di Surabaya,
terdapat banyak Kampung yang memiliki lingkungan yang bersih dan layak untuk ditinggali.
Sekalipun pemukiman-pemukiman Kampung ini letaknya berada di tengah kota. Pada dasarnya,
Kampung adalah satu satu bentuk dari pemukiman tradisional yang berkembang dari dulu hingga
sekarang. Bahkan, dari tempat bernama Kampung inilah kadang kala kota di Indonesia terbentuk
(Nugroho, 2009).

Orang-orang yang tinggal di Kampung merupakan masyarakat yang memiliki ciri-ciri


campuran antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Ini sebagai akibat dari pengaruh
tempat yang mereka tinggali, yakni Kampung itu sendiri. Kampung yang terletak di kota membuat
masyarakat yang tinggal di dalamnya secara langsung terpengaruh oleh gaya hidup perkotaan.
Namun, di satu sisi mereka tetap memertahankan aspek-aspek yang ada pada masyarakat
pedesaan. Salah satunya adalah gaya bermasyarakat yang menjunjung rasa kekeluargaan. Oleh
sebab itu, masyarakat yang tinggal di Kampung perkotaan cenderung memiliki pemikiran yang
konservatif. Meskipun ada juga yang telah memiliki pemikiran seperti masyarakat perkotaan pada
umumnya, yaitu lebih moderat (Brint, 2001).

Terdapat adanya dua pemikiran yang digunakan pada masyarakat yang tinggal di Kampung
membuat mereka unik. Orang-orang yang memiliki pemikiran yang moderat cenderung lebih
pasif, daripada orang-orang yang memiliki pemikiran konservatif. Ini juga dipengaruhi oleh rasio
dari masyarakat yang berumur di atas 40 tahun lebih mendominasi di Kampung. Mereka yang
menjalankan sebagian besar aktivitas yang ada, sedangkan anak mudanya memiliki kecenderungan
untuk mengikuti di belakangnya. Dari pola pemikiran masyarakat yang sebagian besar masih
konservatif dan gaya bermasyarakat yang menjunjung rasa kekeluargaan membuat masyarakat ini
memiliki budayanya sendiri.

Budaya yang mereka miliki berbeda dengan apa yang dimiliki oleh masyarakat desa.
Perbedaan tersebut adalah sebagai hasil dari penyesuaian pola pemikiran dan gaya bermasyarakat
mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Seperti apa yang telah Parsudi Suparlan
ungkapkan mengenai apa itu budaya yaitu segenap pengetahuan yang manusia miliki digunakan
untuk menginterpretasikan yang mereka hadapi. Hal inilah yang masyarakat kampung lakukan
untuk bertahan hidup di kampung yang berada di kota. Pola pemikiran dan gaya bermasyarakat itu
mereka tunjukkan dengan adanya kegiatan yang dapat merepresentasikannya. Beberapa kegiatan
tersebut antara lain adalah kerja bakti yang biasa mereka lakukan ketika hari Minggu, kemudian
dalam menyambut hari-hari besar, baik dalam hal kebangsaan maupun keagamaan (Anggoro &
Widhiarso, 2015). Mereka pasti melakukan atau membuat suatu kegiatan yang melibatkan banyak
orang.

Dengan begitu, rasa kekeluargaan mereka dapat terpupuk dengan baik. Hal ini mereka
lakukan secara berkala, sesuai dengan dalam rangka apa acara tersebut dilakukan. Rasa
kekeluargaan inilah yang membuat mereka dapat hidup bermasyarakat dengan aman dan nyaman.
Mereka dapat saling membantu satu sama lain, seperti halnya apa yang terjadi pada masyarakat
yang tinggal di wilayah pedesaan. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di apartemen atau di
kompleks perumahan perkotaan yang cenderung memiliki gaya hidup yang individualis. Ini juga
disebabkan oleh berbagai faktor juga mengapa demikian. Terutama pada latar belakang ekonomi
masyarakatnya yang berbeda membuat mereka tidak dapat dibandingkan begitu saja.

Dengan adanya rasa kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung di perkotaan,
secara otomotis hubungan antar individu di dalamnya juga relatif baik. Kegiatan-kegiatan yang
diadakan di Kampunglah yang membuat hubungan antar individu atau warganya baik. Meskipun
hal ini juga dipengaruhi oleh sifat dari masing-masing orang. Karena pada dasarnya manusia
adalah makhluk yang heterogen atau beragam perilaku/kebiasaannya. Tidak dapat disamakan
antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Inilah yang membedakan antara manusia dan
hewan, sekalipun keduanya merupakan sama-sama makhluk hidup.

Namun, rasa guyub dan rukun dalam masyarakat Kampung tidak selamanya berjalan tanpa
adanya masalah. Pasti terdapat masalah, baik itu masalah antar individu maupun masalah yang
menyangkut kepentingan Kampung. Masalah tersebut dapat datang dari berbagai macam hal.
Salah satu masalah yang ironi dari masyarakat Kampung adalah biasnya rasa kekeluargaan yang
mereka miliki. Bias dalam hal ini memiliki makna mengaburnya atau tembus pandangnya rasa
kekeluargaan tersebut. Jadi, rasa kekeluargaan yang mereka miliki dan mereka junjung tinggi ini
pada kenyaataannya menjadi tidak jelas atau kabur. Hal ini tercermin dari sikap antar individu dari
setiap orang yang tinggal di Kampung perkotaan. Contohnya adalah menyepelekan sesuatu hal
dengan dalih ia saling mengenal dekat satu sama lain. Bagi sebagian orang memang hal ini
sangatlah remeh, tetapi apakah semua orang dapat menganggap hal seperti ini remeh? Belum tentu
demikian.
Kebiasaan menyepelekan tersebut sering kali dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di
Kampung. Salah satu alasan umum mengapa mereka melakukan hal ini, karena mereka telah
mengenal satu sama lain. Meskipun telah mengenal, alangkah baiknya jika kita menanyakan atau
mengomunikasikannya terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan. Menyepelekan ini dapat
berlaku dalam segala hal. Terutama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hal seperti ini
rentan sekali terjadi. Mengapa hal seperti ini dapat terjadi? Salah satunya adalah karena kebiasaan.
Koentjaraningrat dalam suatu bukunya mengatakan bahwa hal seperti menyepelekan ini sudah ada
sejak dari dahulu dan melekat di dalam mentalitas manusia Indonesia (Koentjaraningrat dalam
Umanailo, 2015).

Kebiasaan menyepelekan ini merupakan sisi negatif dari mentalitas atau karakter
masyarakat Indonesia. Mentalitas menyepelekan ini dapat kita temukan di kegiatan sehari-hari
masyarakat Kampung perkotaan. Salah satunya adalah ketika hari Minggu, ada beberapa orang
yang memainkan musik dengan keras sehingga tetangga kanan dan kirinya dapat mendengarnya.
Hal ini mungkin bagi sebagian orang tidak menganggapnya sebagai masalah. Namun, ada juga
orang yang mempermasalahkan hal ini, karena mereka merasa terganggu akan adanya suara dari
musik tersebut yang nyaring. Apalagi di hari Minggu yang pada umumnya orang-orang akan
beristirahat dari aktivitas sehari-harinya atau mereka yang mengisi hari Minggunya dengan
menghabiskan waktu bersama keluarga. Orang-orang yang memainkan musik dengan nyaring ini
mengenal tetangga kanan dan kirinya, tetapi mengapa mereka tidak dapat memahami apakah
tetangganya terganggu dengan apa yang ia lakukan.

Orang-orang tersebut cenderung menyepelekan sesuatu dengan berdalih mereka mengenal


baik orang-orang disekitarnya. Namun, jika mereka mengenal orang-orang disekitarnya
seharusnya mereka lebih memahami perasaan orang-orang disekitarnya. Rasa menghormati dan
menghargai seharusnya yang tumbuh, bukan rasa menyepelekan. Meskipun demikian, mereka
menganggap hal ini lumrah terjadi. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa rasa kekeluargaan yang
tumbuh di masyarakat Kampung perkotaan memiliki sifat yang bias. Mereka mengenal orang-
orang disekitarnya, namun mereka tidak dapat memahami dan menghargai orang disekitarnya.
Dengan begitu, mereka lebih memilih kepentingannya lebih penting daripada kepentingan atau
urusan orang lain. Hal ini secara tidak langsung rasa individualis dalam masyarakat yang
menjungjung tinggi rasa kekeluargaan juga muncul. Rasa Individualis dari masyarakat ini
bersembunyi dibalik rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang mereka miliki. Apabila mereka
dikatakan sebagai seseorang yang individualis, mereka tidak akan menerima hal tersebut.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat yang meninggali Kampung perkotaan pada
dasarnya adalah sama seperti masyarakat perkotaan pada umumnya, yang memiliki rasa atau
keinginan individualis yang tinggi. Namun, rasa dan keinginan tersebut diselimuti oleh rasa
kekeluargaan yang mereka junjung tinggi. Dan yang membuat hal tersebut menyebar ke seluruh
anggota masyarakat adalah adanya kelangsungan timbal balik. Orang yang tidak melakukan hal
yang menyepelekan menjadi melakukannya akibat dari pengaruh orang yang melakukan hal
menyepelekan. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk hidup yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Baik itu alam yang mempengaruhinya, maupun sesama
makhluk hidup.

Di samping itu, manusia modern cenderung melakukan segala sesuatu harus memiliki
keuntungan bagi dirinya (Umanailo, 2015). Hal inilah yang memicu hal-hal yang telah dibahas di
atas muncul di masyarakat. Namun, hal tersebut tidak boleh dilakukan secara terus menerus,
karena jika demikian maka masyarakat tersebut akan dengan mudah terpecah belah. Sebab, semua
orang berorientasi pada kepentingan pribadinya sendiri. Setiap orang berhak atas kepentingannya
masing-masing, tetapi ada hal yang tidak kalah penting, yakni kepentingan bersama. Hal inilah
yang harusnya lebih diutamakan ketika menyangkut permasalahan masyarakat, tidak
mengutamakan apa yang bagi dirinya sendiri lebih menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, W. J., & Widhiarso, W. (2015). Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris
Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi
Multitrait‐Multimethod. Jurnal Psikologi, 37(2), 176 – 188.
https://doi.org/10.22146/JPSI.7728
Brint, S. (2001). Gemeinschaft Revisited: A Critique and Reconstruction of the Community
Concept. Sociological Theory, 19(1), 1–23. https://doi.org/10.1111/0735-2751.00125
Nugroho, A. C. (2009). Kampung kota sebagai sebuah titik tolak dalam membentuk urbanitas dan
ruang kota berkelanjutan. Jurnal Rekayasa, 12(2), 1–10. http://ft-
sipil.unila.ac.id/ejournals/index.php/jrekayasa/article/viewFile/20/23
Shirleyana, S., Hawken, S., & Sunindijo, R. Y. (2018). City of Kampung: risk and resilience in the
urban communities of Surabaya, Indonesia. Dalam International Journal of Building
Pathology and Adaptation (Vol. 36, Issue 5, hlm. 543–568). Emerald Group Holdings Ltd.
https://doi.org/10.1108/IJBPA-02-2018-0025
Umanailo, M. C. B. (2015). ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (2 ed.). FAM Publishing.
https://doi.org/10.17605/OSF.IO/4HPWC

You might also like