You are on page 1of 14

PERPAJAKAN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pengantar PPN

Fakultas : FBIS
Program studi : Akuntansi

Tatap Muka

09
Kode Matakuliah : W1219009

Disusun oleh : Islamiah Kamil, SE., M.Ak, CAPM, CAPF


ABSTRAK TUJUAN
Motivasi penggantian Pajak Setelah membaca modul ini, mahasiswa
Penjualan (PPn) dengan Pajak diharapkan mampu untuk :
Pertambahan Nilai (PPN)
disebabkan PPN memiliki Kemampuan komunikasi dan argumentasi
sesuai konsep teori
beberapa legal karakter positive
yang tidak dimiliki oleh Pajak
Penjualan. Sejak UU Nomor 8
Tahun 1983 diubah dengan UU
Nomor 11 Tahun 1994 yang
kemudian diubah untuk yang
kedua kalinya dengan UU
Nomor 18 Tahun 2000 mulai 1
Januari 2001, objek pajak yang
semula diatur hanya dalam
Pasal 4, ditambah dengan objek
pajak yang bersifat spesifik
yang diatur dalam Pasal 16C
dan Pasal 16D UU PPN 1984.
Pajak Pertambahan Nilai

1. PENDAHULUAN
1.1. Pengantar
Sejak 1 April 1985 mulai berlaku UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah . UU Nomor 8 Tahun
1983 ini telah mengalami perubahan dua kali, yaitu :
a. perubahan pertama mulai berlaku sejak 1 Januari 1995, dengan UU Nomor 11 Tahun
1994, Pasal 1 sampai dengan Pasal 17 UU Nomor 8 Tahun 1983 ini diubah.
b. Perubahan kedua mulai berlaku 1 Januari 2001, dengan UU Nomor 18 Tahun 2000,
Pasal 1 sampai dengan Pasal 16C diubah. Dan yang terakhir UU Nomor 42 Tahun
2010
Sebagaimana diketahui, UU Nomor 8 Tahun 1983 diundangkan untuk menggantikan
UU Darurat Nomor 19 Tahun 1951 jo UU Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak
Penjualan yang dinamakan UU Pajak Penjualan (PPn) 1951.
Motivasi penggantian Pajak Penjualan (PPn) dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
disebabkan PPN memiliki beberapa legal karakter positive yang tidak dimiliki oleh Pajak
Penjualan.
Salah satu karakter positive PPN adalah tidak menimbulkan dampak kumulatif
meskipun bersifat multi stage levy. Di samping itu baik Pajak Penjualan maupun Pajak
Pertambahan Nilai memiliki karakter sebagai Pajak Tidak Langsung.
Karakter PPN sebagai pajak tidak langsung acapkali kurang mendapat perhatian dalam
penyusunan kebijakan di kalangan pengambil keputusan di Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak. Demikian pula legal karakter PPN sebagai pajak atas konsumsi yang
membedakan dari Pajak Penghasilan sebagai pajak atas kegiatan bisnis. Sebagai pajak
objektif, unsur objek pajak menempati posisi strategis di PPN sehingga penentuan
objek pajak sangat relevan.
Sejak 1 April 1985 mulai berlaku UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang kemudian sejak
1
Januari 1995 Pasal 1 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang ini diubah dengan UU
Nomor 11 Tahun 1994. Perubahan kedua dilakukan lagi dengan UU Nomor 18 Tahun
2000 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2001. Namun demikian nama Undang-undang
ini tidak mengalami perubahan melainkan tetap disebut UU Pajak Pertambahan Nilai
1984 sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983,.

Sebagaimana diketahui, UU Nomor 8 Tahun 1983 diundangkan untuk menggantikan


UU Darurat Nomor 19 Tahun 1951 jo UU Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak
Penjualan yang dinamakan UU Pajak Penjualan (PPn) 1951.

Motivasi penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


disebabkan PPN memiliki beberapa legal karakter positive yang tidak dimiliki oleh Pajak
Penjualan.

Salah satu karakter positive PPN adalah tidak menimbulkan dampak kumulatif
meskipun
bersifat multi stage levy.
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

a. Latar Belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai

Dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Pajak Penjualan berlaku di


Indonesia sejak 1 Oktober 1951. Undang-undang ini dinamakan UU PPn 1951.
Kemudian dengan UU Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat tersebut ditetapkan menjadi
Undang-undang. UU PPn 1951 yang sudah memberikan dedikasinya selama lebih dari
30 tahun, dalam .Reformasi Sistem Perpajakan

Nasional 1983. yang lebih dikenal dengan sebutan .Tax Reform 1983., diganti dengan
Pajak Pertambahan Nilai. Adapun latar belakang penggantian ini, adalah :

1) UU PPn 1951 telah berulang kali diubah sehingga sulit dipahami sehingga sulit
dilaksanakan;
2) dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda
sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan di dalam negeri
maupun internasional;
3) mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu
menyelenggarakan pembukuan menggunakan .self assessment system.
sedangkan bagi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan
menggunakan .official assessment system..
4) variasi tarif yang cukup banyak, sampai 9 macam tarif, menyulitkan tindakan
pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.

Sisi negatif PPn ini, terutama pengenaan pajak berganda mendorong wajib pajak untuk
menghindar dari pengenaan PPn bahkan kalau perlu mereka melakukan penggelapan
pajak. Menghindar dari pengenaan pajak (tax avoidance) masih tergolong sebagai
tindakan legal misalnya beberapa perusahaan dalam satu rangkaian beberapa mata
rantai jalur produksi atau distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga
beberapa mata rantai produksi atau distribusi lolos dari pengenaan PPn. Misalnya
perkebunan kapas, pabrik benang, pabrik tekstil, perusahaan garmen meleburkan diri
menjadi satu perusahaan garmen terpadu. Dengan demikian, maka penyerahan bahan
baku antar divisi tersebut tidak dapat dikenakan PPn karena berada dalam satu
perusahaan terpadu. Bagi pengusaha yang lain yang lebih suka mengambil jalan
pintas, lebih memilih menyelundupkan/menggelapkan pajak dengan cara melaporkan
jumlah peredaran bruto lebih rendah dari pada yang sebenarnya.

b. Legal Karakter Pajak Pertambahan Nilai

Untuk memahami Pajak Pertambahan Nilai khususnya PPN Indonesia, maka perlu
dipahami legal karakter PPN Indonesia yang dapat dirinci dan diuraikan sebagai
berikut:

1) Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung dan Pajak Objektif

Karakter PPN sebagai pajak tidak langsung ini menimbulkan konsekuensi yuridis
bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas
penyetoran pajak ke kas negara berada pada pihak-pihak yang berbeda. Pemikul
beban pajak ini berada pada pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa
Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pelaporan/penyetoran pajak ke
kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP
atau pengusaha JKP selaku pengusaha yang menyerahkan JKP. Oleh karena itu
apabila terjadi penyimpangan pemungutan PPN, fiskus akan meminta
pertanggungjawaban kepada Penjual BKP atau Pengusaha JKP tersebut, bukan
kepada pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai PKP.
dua sudut pandang sebagai berikut:

a) Sudut pandang ilmu ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu
pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi obyek pajak.
b) Sudut pandang ilmu hukum, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas
negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang
ilmu hukum ini membawa konsekuensi filosofis bahwa :
1) apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang
kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakekatnya sama dengan
telah membayar pajak tersebut ke kas negara.
2) dalam hal (PKP) penjual tidak memungut pajak dari pembeli dengan
alasan apapun, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan
tanggung jawab pembeli.

Oleh karena itu, PKP Penjual/Pengusaha Jasa tidak dapat menghindar dari
pertanggungjawaban ini dengan berargumentasi bahwa pembeli tidak mau membayar
PPN sehingga ia tidak berhasil memungut PPN yang terutang. Berhasil atau tidak
berhasil memungut PPN yang terutang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual.
Kelalaian PKP Penjual/Pengusaha Jasa tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab
Pembeli atau Penerima Jasa.

Selain sebagai pajak tidak langsung, PPN juga memiliki legal karakter sebagai pajak
objektif yang bermakna bahwa timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh tatbestand
yaitu peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut
objek pajak.

Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. PPN tidak membedakan antara
konsu-men orang pribadi dengan konsumen berbentuk badan, antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka
mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama.
Sebagai pajak objektif PPN menimbulkan dampak regresive yaitu semakin tinggi
kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah
kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul.
Untuk mengurangi dampak regresif ini, terhadap konsumen yang mengonsumsi BKP
yang tergolong mewah dikenakan PPnBM di samping PPN.

Sebagai contoh dapat dikemukakan andaikata ada seorang SATPAM membeli sepatu
kanvas warna hitam di sebuah toko sepatu, demikian pula direktur dari perusa-haan
tempat SATPAM bekerja, membeli sepatu yang jenisnya sama di toko sepatu yang
sama. Harga sepatu tersebut misalnya Rp 100.000,00, maka baik SATPAM mau-pun
direktur tersebut dikenakan PPN dalam jumlah yang sama yaitu 10% x Rp100.000,00 =
Rp10.000,00. Bagi SATPAM uang sejumlah Rp 10.000,00 memiliki nilai yang relatif
cukup berarti apabila dibandingkan dengan nilai uang tersebut bagi direktur.
Dari contoh ini dapat diketahui bahwa bagi satpam yang tingkat kemampuannya jauh
lebih rendah dari pada direktur, memikul beban pajak yang lebih berat. Sebaliknya bagi
direktur yang tingkat kemampuannya jauh lebih tinggi dari pada SATPAM, memikul
beban pajak yang lebih ringan. Untuk mengurangi dampak regresive, apabila pada
suatu ketika direktur tersebut membeli .play station. untuk anaknya, maka di samping
dikenakan PPN 10% juga dikenakan PPnBM sebagai pungutan tambahan sebesar
20%.

2) Multi Stage Levy namun Non Kumulatif.

Multi stage tax adalah karakteristik PPN yang mempunyai makna PPN dikenakan pada
setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang
yang menjadi obyek PPN mulai dari tingkat pabrikan (manufacturer) kemudian ditingkat
pedagang besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat
pedagang pengecer (retailer) dikenakan PPN.

Penyerahan benang ke pabrik tekstil adalah objek PPN, demikian pula penyerahan
tekstil ke pengusaha garmen. Selanjutnya PPN juga dikenakan atas penyerahan
garmen kepada pedagang besar oleh pengusaha garmen. Demikian seterusnya sampai
dengan penyerahan garmen oleh pedagang eceran kepada konsumen yang merupakan
sasaran PPN yang sebenarnya.

Meskipun memiliki karakter multi stage levy, PPN tidak menimbulkan dampak kumulasi.
Dampak kumulasi ini dapat dihindari karena dalam penghitungan pajak terutang yang
wajib disetor ke kas negara, PPN menerapkan indirect subtraction method (metode
pengurangan tidak langsung). Ketika PKP membeli BKP dari PKP lain selaku Penjual,
PKP Pembeli membayar PPN kepada PKP Penjual. PPN yang dibayar oleh PKP
Pembeli ini disebut Pajak Masukan (input tax). Apabila kemudian oleh PKP yang
semula sebagai pembeli, BKP tersebut dijual, maka PKP ini wajib memungut PPN dari
pembeli yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Berdasarkan indirect subtraction
method, PPN yang disetor ke kas negara merupakan hasil pengurangan Pajak
Keluaran yang dipungut dengan Pajak Masukan yang dibayar. Metode ini acapkali
disebut .invoice method. atau .credit method.

Dari perbandingan antara Pajak Penjualan yang kumulatif dengan PPN yang non
kumulatif dalam gambar tersebut, dapat dihitung beban pajak yang dipikul oleh
konsumen sebagai berikut:
 dalam mekanisme PPN yang menggunakan indirect subtraction method.
Jumlah PPN yang disetor ke kas negara = 150.000
Harga Jual yang dibayar oleh konsumen = 1.500.000
Beban pajak yang dipikul oleh konsumen = 150/1.500 x 100% = 10%

 dalam mekanisme PPn yang menggunakan pola konvensional.


Jumlah PPN yang disetor ke kas negara = 100.000 + 140.000 + 170.000 =
410.000
Harga Jual yang dibayar oleh konsumen = 1.700.000
Beban pajak yang dipikul oleh konsumen = 410/1700 x 100% =24,11%

Karena menimbulkan dampak kumulatif (cascade effect), maka beban pajak yang
dipikul oleh konsumen lebih tinggi dari pada tarif PPn.
3) Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan indi-
rect subtraction method

UU PPn 1951 mewajibkan Penjual atau Pengusaha Jasa untuk menyetorkan ke kas
Negara seluruh PPn yang dipungut dari Pembeli atau Penerima Jasa. UU PPN 1984
menganut mekanisme yang berbeda ketika menentukan jumlah PPN yang wajib disetor
ke kas negara.

PPN yang dipungut dari Pembeli atau Penerima jasa tidak selalu harus disetor ke kas
negara. Ketika PKP menyerahkan JKP Penjual atau PKP Pengusaha Jasa memungut
PPN yang terutang, Indirect Subtraction Method adalah metode penghitungan PPN
yang akan disetor ke kas Negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan
dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa.
Untuk menghitung PPN atas nilai tambah dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu :

a) Subtraction method (metode pengurangan secara langsung), yaitu dengan cara


mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga beli.
b) Indirect subtraction method (metode pengurangan secara tidak langsung), yaitu
dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha
jasa atas penyerahan barang atau jasa, dengan PPN yang dibayar kepada
penjual atau pengusaha jasa lain atas perolehan barang atau jasa.
c) Addition method (metode penghitungan nilai tambah), yaitu mengalikan tarif PPN
dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah.

Diantara tiga metode tersebut, UU PPN Indonesia menganut .indirect subtraction


method. (metode pengurangan tidak langsung). Untuk mendeteksi atau menguji
kebenaran jumlah pajak yang terutang atas perolehan dan jumlah pajak yang terutang
atas penyerahan tersebut diperlukan suatu dokumen pendukung. Dokumen ini
dinamakan .tax invoice. (Faktur Pajak), oleh karena itu metode ini dinamakan
juga .Invoice Method..

Oleh karena itu Faktur Pajak merupakan persyaratan mutlak dalam indirect subtraction
method. Dalam hukum pajak, kegiatan mengurangkan pajak dengan pajak
dinamakan .tax credit., oleh karena itu metode ini juga dinamakan .credit method. yaitu
mengkreditkan pajak yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa yang
dinamakan .Pajak Masukan. (input tax) dengan pajak yang dipungut dari pembeli atau
penerima jasa yang dinamakan .Pajak Keluaran. (output tax). Dalam kalimat yang lebih
sederhana dan populer adalah mengreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.
Dalam UU PPN diatur dengan lugas kriteria Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
4) Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
sehingga memiliki kedudukan netral.

Karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri mengandung dua makna,
yaitu:
a) .Pajak atas konsumsi. mengandung makna bahwa :
(1) PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis.
(2) Pemikul beban pajak adalah konsumen.

Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak
atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumption expenditure) baik yang
dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan
Pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa yang dibebankan pada
APBN/APBD. Karena konsumen tidak semata-mata mengonsumsi barang tetapi juga
mengonsumsi jasa, maka PPN selain dikenakan atas konsumsi barang juga dikenakan
atas konsumsi jasa.

Karakteristik PPN yang seperti ini menempatkan PPN pada posisi netral yaitu netral
baik
atas pola konsumsi, pola produksi maupun pola distribusi.
Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor yaitu :
1) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.
2) Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination
principle).

b) Spesifikasi .dalam negeri., merupakan refleksi dari prinsip destinasi (destination


principle) yang diadopsi dalam UU PPN 1984.

Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas
konsumsi
BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi impor
dikenakan PPN dengan persentase yang sama dengan produk domestik.
Dalam kaitan dengan arus barang atau jasa yang melintas batas wilayah negara (cross
border area), PPN mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu :
(1) Prinsip tempat asal (origin principle);
(2) Prinsip tempat tujuan (destination principle).
Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut ditempat asal barang
atau jasa yang akan dikonsumsi. Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN
dipungut ditempat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip ini sangat besar
pengaruhnya terhadap kedudukan PPN dalam perdagangan internasional.

Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN dibidang perdagangan internasional, maka
prinsip yang dianut adalah prinsip tempat tujuan (destination principle). Dalam prinsip
ini, komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi
dalam negeri.

Karena kedua jenis komoditi tersebut sama-sama dikonsumsi di dalam negeri, maka
akan dikenakan pajak dengan beban yang sama. Dengan demikian maka kompetisi
antara komoditi impor dengan produk domestik tidak dipengaruhi oleh PPN melainkan
dipengaruhi oleh faktor-faktor spesifik bisnis. Sebaliknya barang produksi dalam negeri
yang akan diekspor tidak dikenakan PPN di negara asal melainkan dikenakan PPN
dinegara tujuan barang yaitu negara tempat komoditi ekspor tersebut akan dikonsumsi.
Meskipun demikian, supaya daya saing komoditi ekspor Indonesia dengan produk
domestic negara pengimpor tidak dipengaruhi oleh PPN Indonesia, masih diperlukan
sarana lain berupa pengenaan PPN atas komoditi ekspor dengan tarip 0%.

5) PPN Indonesia menerapkan tarif tunggal (single rate)

Pasal 7 ayat (1) UU PPN 1984 mengatur bahwa atas penyerahan BKP dikenakan PPN
dengan tarif 10%. Kemudian dalam ayat (3) ditentukan bahwa dengan Peraturan
Pemerintah tarif tersebut pada ayat (1) dapat dinaikkan setinggi-tingginya 15% atau
diturunkan serendah-rendahnya 5%. Sedangkan tarif ekspor BKP yang ditentukan pada
ayat (2) sebesar 0% bukan tarif riil melainkan tarif teknis yang dibuat dengan maksud
memenuhi aspek filosofis yaitu menjaga netralitas PPN tanpa mengorbankan aspek
ekonomi yaitu PPN tetap menjaga daya saing komoditi ekspor di luar negeri (negara
tujuan).

6) PPN Indonesia termasuk tipe konsumsi (Consumption Type VAT)


Dalam conpsumtion type value added tax semua pembelian yang digunakan untuk
produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai
tambah. Jadi dasar pengenaan pajaknya terbatas pada pembelian untuk keperluan
konsumsi. Tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal,
karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini
memberi sifat netral PPN terhadap pola produksi. Pengusaha bebas memilih apakah
mau menggunakan sistem produksi padat modal atau padat karya, PPN tidak akan ikut
menentukan.
Dalam hal penghitungan pajak terutang menggunakan credit method, maka seluruh
Pajak Masukan yang dibayar atas pembelian Barang Modal dan bahan boleh
dikreditkan. PPN tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
1) Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pembelian
BKP yang digunakan dalam proses produksi (dalam arti luas) segera dapat
dikre-ditkan.
2) Menunjang iklim investasi yang sehat.
3) Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenesari alat produksi
barang modal karena dikenakan pajak tidak lebih dari satu kali.
4) Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersifat non kumulasi).

Daftar Pustaka

BUKU:

Sukardji, Untung. “Modul Pajak Pertambahan Nilai”, BPPK, Widyaiswara Pusdiklat


Pajak

Waluyo,(2010).Perpajakan Indonesia: Buku 1 dan Buku 2.Jakarta: Salemba Empat

Wardoyo, Teguh Hadi dan Sapto Windi Argo.(2010). Pajak Terapan A dan B. Jakarta: TaxSys

INTERNET:

www.pajak.go.id
www.ortax.org

You might also like