Ketika menteri pendidikan punya kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan berdasarkan jarak lokasi domisili dengan sekolah; konsekuensinya, 1. Penyebaran sekolah negeri harus merata di tiap kecamatan sesuai potensi data penduduk. 2. Begitu pula harus dipertimbangkan keberadaan pendidikan swasta. 3. Data jumlah lulusan tiap jenjang sangat penting dijadikan rujukan penerimaan. Dinas pendidikan kota/ kabupaten benar- benar melakukan kajian tersebut. Baru dibuatlah aplikasi sebagai sarana teknologi yang diharapkan lebih memudahkan pelaksanaan PPDB. Satu hal yang menyebabkan sistim penerimaan peserta didik baru, adalah; wali murid yang masih memiliki persepsi lembaga pendidikan unggulan? Pendidikan adalah proses menemukan DIRI, dengan segala kelemahan dan kelebihan anak. Sehingga sebenarnya sebelum anak menyelesaikan jenjang sekolahnya dan akan meneruskan jenjang selanjutnya, orang tua harus tahu DIRI ANAKNYA. Barangkali psikolog, ahli yang paling bisa memberikan rekomendasi pada orangtua dan siswa. Tentu pertimbangannya bukan hanya nilai pelajaran ( kognitif/ faktor intelektual), namun ada faktor afektif yang terangkum dalam prilaku; adab dan bagaimana berprilaku sesuai adab kesopanan sampai pada etos kerja (psikomotorik). Banyak orang sukses dalam bernisnis; namun dulunya dia gagal secara akademis, begitu pula sebaliknya. Itu karena faktor psikomotorik-nya lebih dominan, dan pada gilirannya yang muncul pada saat menemukan dirinya adalah ketrampilan kerja. Banyak anak sukses akademis-nya, lemah di hubungan sosial kemasyarakatan-nya. Pola pendidikan di tahun sebelum tahun 70an sd 80an; lebih banyak faktor afektif dan psikomotorik, dan bisa dirasakan serta dibandingkan dengan anak kita sekarang. Dulu kita daftar sekolah smp, berangkat sendiri dan mengurus semua persyaratan. Orang tua hanya melihat hasil akhirnya. Bandingkan dengan anak kita yang mau masuk smp.....jauh kan? #hanya_catatan