Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 3
Kelompok 3
Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah
pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat
dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut
daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang
dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku.
Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam
Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan
guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna,
Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami
kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!
Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal,
temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami
berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah
harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan
belantara.
“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.
“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok
kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji
Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat
kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena
dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP.
Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai
Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke
kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa
memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan
mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak
pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan
Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu,
Jang?”
Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang
bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan
berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”
ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini.
Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang
Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa
membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak
pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk
mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku
bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari
“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan
“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi.
Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak
“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau
menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah,
hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan
cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua
orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!