You are on page 1of 18

Jurnal Tugas Akhir

ANALISIS PERBANDINGAN METODE BINA MARGA DAN


METODE AASHTO SEBAGAI NILAI RANCANG TEBAL LAPIS
PERKERASAN LENTUR JALAN
(Studi kasus jalan akses Bandar Udara Internasional Lombok)

Tugas Akhir
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat S-1 Jurusan Teknik Sipil

Oleh :

DIYAQ ULHAQ
F1A 110 056

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
2015
ii
iii
ANALISIS PERBANDINGAN METODE BINA MARGA DAN
METODE AASHTO SEBAGAI NILAI RANCANG TEBAL LAPIS
PERKERASAN LENTUR JALAN
(Studi kasus jalan akses Bandar Udara Internasional Lombok)
Diyaq Ulhaq1, Desi Widianty2, Rohani2

ABSTRAK
Pada umunya konstruksi perkerasan yang biasa digunakan di Indonesia yaitu lapis
perkerasan lentur. Lapis perkerasan lentur merupakan perkerasan yang menggunakan aspal sebagai
bahan pengikat yang terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah
dipadatkan. Untuk mendesain suatu lapis perkerasan khususnya perkerasan lentur, terdapat berbagai
macam metode seperti metode Bina Marga dan metode AASHTO.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil perencanaan tebal perkerasan
lentur yang dihitung dengan Metode Bina Marga (SNI 03-1732-1989) dan Metode AASHTO 1993.
Penelitian ini dilakukan pada studi kasus jalan Sulin –Simpang Penujak Kabupaten Lombok Tengah.
Data sekunder berupa, data lalu lintas tahun 2014, data curah hujan, data pertumbuhan lalu lintas dan
gambar rencana jalan(existing), sedangkan data primer berupa data CBR tanah dasar. Data yang
diperoleh, dianalisa menggunakan Metode Bina Marga (SNI 03-1732-1989) dan Metode AASHTO
1993.
Dari hasil analisa data diperoleh hasil untuk metode Bina Marga dengan lapis permukaan
menggunakan LASTON setebal 13 cm, lapis pondasi menggunakan batu pecah CBR 100% setebal
20 cm, dan lapis pondasi bawah menggunakan bahan butiran sirtu/pitrun CBR 50% setebal 25 cm.
Untuk AASHTO diperoleh hasil dengan lapis permukaan sejenis LASTON setebal 16 cm, lapis
pondasi atas batu pecah CBR 100% setebal 20 cm, dan lapis pondasi bawah berupa bahan butiran
sirtu/pitrun CBR 50% setebal 25 cm. Hasil tersebut merupakan penyesuaian dari kondisi yang ada
saat ini dilapangan.

Kata Kunci : Tebal perkerasan, Metode Bina Marga, Metode AASHTO

PENDAHULUAN lapisan pondasi atas (base course), lapisan


Latar Belakang pondasi bawah (subbase course), dan lapisan
Jalan merupakan salah satu aspek tanah dasar (subgrade). Fungsi lapisan tersebut
penting dalam kehidupan manusia sehari – hari. yaitu untuk menerima beban lalu lintas dan
Dengan adanya jalan, manusia dapat berpergian menyebarkannya menuju lapisan yang ada
kemana saja menuju tempat aktifitasnya. dibawahnya. Dikarenakan fungsi demikian,
Kondisi jalan yang baik diperlukan untuk terdapat beberapa kerusakan yang diakibatkan
mendukung kelancaran manusia beraktifitas. dari fungsi tersebut. Kerusakan jalan yang biasa
Untuk mewujudkan kondisi tersebut diperlukan terjadi pada perkerasan lentur antara lain
perencanaan konstruksi lapis perkerasan yang timbulnya rutting (lendutan pada jalur roda),
baik agar dapat meningkatkan kenyamanan dan jalan bergelombang, dan timbul tegangan dalam
keamanan manusia dalam berlalu lintas di yang kecil. Hal demikian diakibatkan oleh
atasnya. repetisi beban, penurunan tanah dasar, dan
Pada umunya konstruksi perkerasan perubahan temperature (Sukirman Silvia,
yang biasa digunakan di Indonesia yaitu lapis 1999).
perkerasan lentur. Lapis perkerasan lentur Untuk mendesain suatu lapis
merupakan perkerasan yang menggunakan perkerasan khususnya perkerasan lentur,
aspal sebagai bahan pengikat yang terdiri dari terdapat berbagai macam metode seperti
lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah metode Bina Marga dan metode AASHTO.
dasar yang telah dipadatkan. Lapisan tersebut Kedua metode ini dalam perencanaannya
antara lain lapisan permukaan (surface course), memiliki perbedaan yang menyebabkan hasil

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 1


perencanaan yang tak sama. Salah satunya yaitu a. Perencanaan tebal lapis perkerasan lentur
nilai faktor regional (FR) yang dipergunakan jalan raya dengan umur rencana 10 tahun,
Bina Marga dan AASHTO yang b. Nilai LHR tahun 2014 akses jalan Bandar
mempergunakan reliability, faktor lingkungan, Udara Internasional Lombok,
dan serviceability. c. Lokasi pengujian DCP pada jalan Sulin-
Di Indonesia umumnya untuk Simpang Penujak, Lombok Tengah, Nusa
perkerasan lentur, metode yang biasa digunakan Tenggara Barat,
yaitu metode Bina Marga dan metode d. Metode yang digunakan ialah metode Bina
AASHTO. Kedua metode ini dirasakan Marga (SNI 03-1732-1989) dan metode
menyediakan kemampuan yang lebih baik dan AASHTO 1993.
juga dirasakan cukup banyak digunakan untuk
perencanaan perkerasan jalan dibandingkan Tujuan Perencanaan
dengan metode yang lain (Pedoman Perkerasan Ada pun tujuan perencanaan ini adalah :
Jalan Lentur No. 002/P/BM/2011). a. Mengetahui tebal perkerasan lentur
Saat ini jalan Bandar Udara dengan metode Bina Marga dan metode
Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat AASHTO pada jalan akses Bandara
yang dibangun semenjak tahun 2009 dengan Internasional Lombok,
panjang 21,3 kilometer, berbentuk empat lajur b. Mengetahui besar perbedaan tebal lapis
dua arah dengan median (4/2 D) mengalami perkerasan dari kedua metode tersebut,
kerusakan. Kerusakan yang terjadi berupa jalan c. Membandingkan tebal perkerasan yang
yang bergelombang dan retak pada Sta 5+000 didapat dengan kondisi lapangan.
km hingga 5+850 km dari Bundaran Giri
Menang Square menuju Bandar Udara Manfaat Perencanaan
Internasional Lombok. Keadaan tersebut Manfaat yang diperolah dari perencanaan
didapati secara visual/pengamatan langsung di ini adalah :
lapangan. a. Sebagai salah satu referensi dalam
Dengan keadaan tersebut sebagai dasar merencanakan tebal lapis perkerasan jalan
pemilihan lokasi perencanaan, maka timbul bagi seorang perencana yang nantinya akan
suatu pola pemikiran untuk melakukan suatu merencanakan perkerasan jalan,
“ANALISIS PERBANDINGAN METODE b. Bagi penulis sebagai ilmu pengetahuan,
BINA MARGA DAN METODE AASHTO pengalaman dan menambah wawasan
SEBAGAI NILAI RANCANG TEBAL mengenai metode Bina Marga dan
LAPIS PERKERASAN LENTUR JALAN“ AASHTO sebagai parameter perencanaan
guna memperlihatkan parameter masing – perkerasan jalan,
masing metode yang digunakan dalam c. Bagi rekan – rekan mahasiswa dapat
perencaan tebal lapis perkerasan. dijadikan sebagai referensi tambahan
dalam menyusun tugas akhir dan bahan
Perumusan Masalah kuliah yang berhubungan dengan
Sesuai dengan latar belakang yang telah perencanaan tebal perkerasan.
dijabarkan diatas, maka masalah yang dapat
diidentifikasi sebagai berikut : Lokasi Perencanaan
a. Seberapa tebal perkerasan lentur ( Perencanaan ini berlokasikan pada akses
Flexible Pavement ) dengan metode Bina masuk Bundaran Giri Menang Square menuju
Marga dan metode AASHTO pada Bandar Udara Internasional Lombok pada km
perencanaan jalan akses Bandara 5+000 – 5+850.
Internasional Lombok ?
b. Seberapa besar perbedaaan tebal DASAR TEORI
perkerasan lentur jalan dari kedua metode Tinjauan Pustaka
tersebut ? Desain perkerasan pada dasarnya adalah
penentuan ketebalan bahan berlapis yang akan
Batasan Perencanaan memberikan kekuatan dan perlindungan untuk
Untuk mencapai tujuan dan manfaat tanah dasar yang lunak, perkerasan yang
perencanaan,penulis membatasi permasalahan dirancang untuk menghindari kerusakan
pada : langsung pada tanah dasar. Para Insinyur
menggunakan pengalaman berdasarkan
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 2
keberhasilan dan kegagalan dari pekerjaan Lintas ekivalen akhir dihitung dengan
sebelumnya, menjadi pengalaman dan menggunakan LHR pada akhir umur
mengembangkannya menjadi beberapa metode rencana.
seperti metode perencanaan perkerasan LEA = LHRakhir x C x E…………….. (2-6)
berdasarkan kekuatan geser tanah dasar - Lintas ekivalen tengah (LET)
(Schwartz , Charles W. & Carvalho Regis L. Nilai lintas ekivalen tengah didapat dengan
2007). merata – ratakan nilai lintas ekivalen awal
dan lintas ekivalen akhir. Nilai LET
Metode Bina Marga/Analisa Komponen ( dihitung sebagai berikut :
SNI 1732-1989-F)
= ……………………. (2-7)
Metode Analisa Komponen SNI 1732-
Nilai lintas ekivalen rencana dapat dihitung
1989-F merupakan metode yang bersumber dari
setelah nilai LET didapatkan. Nilai LER
AASHTO 1972 yang disesuaikan dengan
didapat dengan mengalikan LET dan faktor
kondisi jalan di Indonesia. Selain itu, metode
penyesuaian (FP). Faktor penyesuaian
ini juga merupakan penyempurnaan dari
ditetapkan dengan menggunakan umur rencana
Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur
(UR) 20 tahun adalah sebagai berikut :
Jalan Raya no. 01/PD/B/1983. Rumus dasar
LER = LET x FP…………………….......(2-8)
metode Analisa Komponen diambil dari
LER=LET x ...………………………. (2-9)
AASHTO 1972 revisi 1981 dengan beberapa
penyesuaian. Metode Analisa Komponen
Daya Dukung Tanah (DDT)
merupakan metode empirik yang dibuat
Rumusan untuk nilai DDT dapat
berdasarkan penelitian terhadap jalan yang
dipergunakan pada persamaan Bina Marga
sudah ada. Faktor – faktor yang
sebagai berikut :
dipertimbangkan pada metode empirik juga
DDT= 4,3 log CBR + 1,7………………. (2-10)
sangat bervariatif.
Indeks Permukaan (IP)
Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Indeks permukaan (IP) adalah suatu angka
Lintas ekivalen rencana merupakan jumlah
yang dipergunakan untuk menyatakan
lintas ekivalen yang akan melintasi jalan
kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan
tersebut selama masa pelayanan, dari saat
jalan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan
dibuka sampai akhir umur rencana.
bagi lalu lintas yang lewat.
Tahapan-tahapan perhitungan nilai lintas
ekivalen rencana yang perlu dilakukan adalah Faktor Regional (FR)
sebagai berikut : Faktor regional (FR) adalah faktor
a. Lalu lintas harian rata-rata (LHRt) dihitung setempat, menyangkut keadaan lapangan dan
dengan persamaan : iklim, yang dapat mempengaruhi keadaaan
LHRt = LHR0 x (1 + i)UR……........... (2-3) pembebanan, daya dukung tanah dasar dan
b. Koefisien distribusi kendaraan perkerasan.
Besarnya koefisien distribusi kendaraan
(C) didasarkan pada jenis kendaraan, Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
jumlah arah dan jumlah lajur. Indeks tebal perkerasan (ITP) merupakan
c. Angka ekivalen (E) beban sumbu fungsi dari daya dukung tanah, faktor regional,
kendaraan berat. lintas ekivalen rencana, dan indeks permukaan.
Angka ekivalen untuk setiap kelompok Nilai ITP didapat dengan menggunakan
sumbu juga dapat dihitung dengan persamaan nomogram – nomogram yang disesuaikan
berikut : dengan nilai IPo dan IPt.
4
E = …………………….. (2-4)
Jika nilai ITP melebihi dari nilai nomogram
- Lintas ekivalen permulaan (LEP)
yang tersedia yaitu 15, maka digunakan
Lintas ekivalen permulaan dihitung dengan
persamaan berikut :
menggunakan LHR pada awal umur
rencana. LogWt18 = 9,36 log + 1 − 0,20 +
,
LEP = LHRawal x C x E……………… (2-5)
, ,
- Lintas ekivalen akhir (LEA) + 0,372(DDT − 3) (2-11)
, ,
,

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 3


dimana : Persyaratan dasar yang perlu diperhatikan
LogWt18 = Log (LER x 365 x 10 x FR). dalam perencanaan tebal lapis perkerasan lentur
menggunakan metode AASHTO adalah jalan
harus memiliki permukaan yang tetap, rata,
Tebal Masing - Masing Lapis Perkerasan kuat dapat memberikan keamanan dan
Tebal lapis perkerasan ditentukan kenyamanan bagi pengguna jalan dan bernilai
berdasarkan bahan yang dipakai dan nilai ITP ekonomis.
hasil ploting pada nomogram. Untuk masing- Untuk memenuhi persyaratan tersebut
masing lapisan, tebalnya memiliki standar AASHTO memberikan persamaan dasar
minimum yang ditunjukkan sesuai dengan berikut.
nailai ITP.
= 9,36 log( + 1) −
Tebal lapis permukaan (ITP) ditentukan 18

dengan rumus : , ,
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3……………… (2-12) 0,20 + + 2,32 log −
, ,
( )

Metode AASHTO 1993 8,07………………………………….. (2-15)


Metode AASHTO termasuk metode SN = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3............ (2-16)
empirik mekanistik merupakan perpaduan dari
metode empirik dan mekanistik. Dengan Faktor ESAL
metode ini faktor-faktor empiris diperhitungkan AASHTO menghitung angka ekivalen (Ex)
tetapi juga disesuaikan dengan persamaan dasar sebagai perbandingan umur perkerasan akibat
mekanistik. beban lalu lintas standar (18 kips) terhadap
umur perkerasan akibat beban lalu lintas non
Faktor Pertumbuhan standar (x kips), dan besarnya tergantung dari
Pertumbuhan lalulintas dihitung dengan jenis sumbu, indeks pelayanan akhir (pt), serta
persamaan : besarnya angka structural number. Sebelum
( )
menghitung faktor ESAL, beban sumbu
ℎ = ………….. (2-13) kendaraan diubah dari satuan ton ke dalam kips
terlebih dahulu.
Tingkat Pelayanan Fungsi logaritma dari perbandingan antara
Tingkat pelayanan dibagi menjadi dua kehilangan tingkat pelayanan dari p0 sampai pt
yaitu tingkat pelayanan awal (p0) dan tingkat dengan kehilangan tingkat pelayanan p0 = 4,2
pelayanan akhir (pt). Tingkat pelayanan awal dan pt = 1,5 dinyatakan sebagai nilai G. Untuk
berdasarkan AASHTO diharuskan sama atau menentukan faktor ESAL, nilai G dihitung
lebih dari 4,0. Nilai tingkat pelayanan awal (p0) dengan persamaan :
,
yang direkomendasikan oleh AASHTO Road = log ……………………. (2-17)
, ,
Test adalah 4,2.
Untuk menghitung ∆PSI dapat dihitung Persamaan yang digunakan untuk
dengan persamaan : menghitung nilai βx untuk kendaraan golongan
∆PSI = p0 – pt…………………………... (2-14) 2 & 3 yang memiliki berat sumbu depan 2,2046
kips (1 ton) :
Standar Deviasi , ×( )
,
Standar deviasi keseluruhan (S0) adalah = 0,4 + , , …….. (2-18)
( ) ×
gabungan simpangan standar dari perkiraan lalu
lintas dan pelayanan perkerasan. Besarnya nilai
standar deviasi keseluruhan pada AASHTO ini Nilai Wx/W18 dapat dihitung setelah niali
tergantung jenis perkerasan dan variasi lalu G, β18, dan βx diketahui. Perhitungan Wx/W18
lintas. Kisaran standar deviasi (S0) yang adalah sebagai berikut :
disarankan untuk perkerasan lentur adalah 0,35-
0,45. Untuk perkerasan lentur dengan 4,79 4,33
= [ 2 ] (2-19)
mempertimbangkan variasi lalu lintas
digunakan standar deviasi keseluruhan (S0)
sebesar 0,45. Nilai faktor ESAL (LEF) dapat dihitung
setelah Wx/W18 diketahui menggunakan
SN Rencana (Structural Number) persamaan :

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 4


= ……………………….. (2-20) Pelaksanaan Studi
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan langkah awal
Persamaan yang digunakan untuk yang dilakukan untuk mendapat gambaran
menghitung total LEF : sementara mengenai lokasi yang akan dijadikan
Total LEF = LEFDepan + LEFBelakang……. (2-21) sebagai lokasi perencanaan, pengumpulan
1. Lalu Lintas Rencana ESAL literature dan referensi yang akan menjadi
Untuk menghitung lalu lintas rencana landasan teori serta pembuatan proposal
ESAL menggunakan persamaan : pelaksanaan. Dengan adanya tahap persiapan
Lalu-lintas Rencana = LHR x GF x 365 ini akan memberikan gambaran tentang
……………………………………... (2-22) langkah-langkah yang akan diambil
Lalu-lintas Rencana ESAL = Lalu-lintas selanjutnya.
Rencana x LEF…………………….. (2-23)
Pengumpulan Data
Setelah menetapkan nilai faktor distribusi Adapun data – data yang dibutuhkan dalam
arah dan faktor distribusi lajur, untuk perencanaan tebal perkerasan ini diantaranya :
mendapatkan lalu lintas rencana kumulatif 1. Data Primer :
(W18) dihitung dengan persamaan : a. Data CBR tanah dasar.
W18 = DD x DL x W18……………… (2-24) 2. Data Sekunder :
b. Data alinemen verikal (kelandaian
2. Reliabilitas jalan),
Reliabilitas adalah nilai probabilitas dari c. Data hidrologi (curah hujan),
kemungkinan tingkat pelayanan yang d. Data LHR tahun 2014.
dipandang dari sudut pemakai jalan. Dapat juga e. Data tingkat pertumbuhan lalu lintas.
diartikan sebagai cara menggabungkan
beberapa tingkat kepastian pada proses Analisa Data
perencanaan untuk memastikan bahwa berbagai a. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
alternatif rencana akan bertahan pada periode menganalisa tebal lapis dengan metode Bina
analisa. Marga adalah sebagai berikut :
1. Menentukan besarnya nilai DDT,
3. Modulus Resilent Tanah Dasar
2. Menentukan besarnya Faktor Regional
Karakteristik mutu tanah dasar pada
(FR),
perencanaan perkerasan lentur ditentukan oleh
3. Menentukan besarnya LER,
nilai resilent modulus (MR). Resilent Modulus
4. Menentukan Indeks Permukaan Awal dan
adalah nilai hubungan dinamis antara tegangan
Akhir umur rencana,
dan regangan yang mempunyai karakteristik
5. Menentukan jenis lapis perkerasan
nonlinier. Dengan menggunakan persamaan
(digunakan LASTON modulus 2000 MPa),
dari Heukelom and Klomp (1962) korelasi
koefisien kekuatan relatif,
antara nilai CBR Corps of Engineer dan nilai
6. Menentukan tebal perkerasan.
resilent modulus (MR) dihitung seperti berikut :
MR(psi) = 1500 x CBR…………………. (2-25)
b. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
menganalisa tebal lapis dengan metode
4. Faktor Drainase
AASHTO adalah sebagai berikut :
Sistem drainase jalan sangat
1. Menentukan besarnya LER selama umur
mempengaruhi kinerja jalan, termasuk tingkat
rencana,
kecepatan pengeringan air yang jatuh atau
2. Menentukan reliabilitas standar baku
terdapat pada struktur lapis keras bersama
keseluruhan,
beban lalu lintas dan kondisi permukaan jalan.
3. Menentukan Indeks Permukaan awal dan
akhir,
METODE PERENCANAAN
4. Menentukan besarnya SN (Structural
Lokasi Penelitian
Number),
Studi ini mengambil lokasi pada jalan
5. Menentukan jenis lapis perkerasan
akses Bandar Udara Internasional Lombok Sta
(digunakan LASTON modulus 2000 MPa)
5+000 hingga 5+850 km Nusa Tenggara Barat.
, koefisien kekuatan relatif, dan koefisien
drainse,
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 5
6. Menentukan tebal perkerasan. Bagan Alir Metode AASHTO
Mulai
Bagan Alir Perencanaan
Perencanaa ini dilakukan sesuai dengan bagan
Parameter Perencanaan
alir (flow chart) sebagai berikut :
Beban Lalu Lintas
- Lintas ekivalen Tentukan SN asumsi
komulatif selama
Persiapan UR

Pengumpulan Data
Reliabilitas Standar Baku
Keseluruhan

Data Primer Data Sekunder

- Nilai CBR yang didapat - Data LHR tahun 2014


dengan pengujian DCP - Curah hujan
lapangan - Kelandaian jalan Kriteria Kinerja Jalan
- Gambar kondisi lapangan - IPt
- IPo

Analisa Data

Daya Dukung Tanah Dasar TentukanTebal Koefisien Jenis


Lapisan Kekuatan Lapisan
Perencanaan Tebal Perencanaan Tebal Perkerasan Relatif Perkerasan

Metode Bina Marga Metode AASHTO

Selesai

Pengkajian dan
Pemilihan Hasil Gambar 3.4 Bagan alir metode AASHTO
Perencanaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selesai
Analisa Data
Gambar 3.2 Bagan alir perencanaan Metode Bina Marga/Analisa Komponen (SNI
1732-1989-F)
BaganAlir Metode Bina Marga 1. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Mulai
Tahapan – tahapan perhitungan nilai lintas
ekivalen rencana yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut :
Kekuatan tanah dasar Input parameter
perencanaan
a. Lalu lintas harian rata – rata (LHRT) tahun
Daya Dukung Tanah
Dasar ( DDT )
2026 (akhir umur rencana )
LHR 2016 yang telah dihitung digunakan untuk
Faktor Regional ( FR )
- Intensitas curah hujan
mendapatkan LHR 2026 dalam memperkirakan
- Kelandaian jalan lintas harian rata – rata pada akhir umur
- % kendaraan berat
perkerasan. Untuk golongan 2, 3, dan 4 dihitung
dengan persamaa :
Beban lalu lintas LER
LHRTmp =LHRT0mp x (1+imp)UR
pada jalur rencana LHRT2026 mp =LHRT2016 x (1+imp )UR
Tentukan ITP
selama UR
LHRT2026 mp =5930 x (1+0,055)10 = 10130
kendaraan/hari
Untuk perhitungan selanjutnya dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Jenis Jenis LHR 2016 Persentase (%) LHR 2026
Indeks permukaan
Awal – IPo Kendaraan Golongan (Kendaraan/ Pertumbuhan (Kendaraan/
Akhir – Ipt Hari) Kendaraan Hari)
MP 2,3&4 5930 5,5 10130
Bus 5a 257 1,3 292
Jenis lapisan Koefisien kekuatan Tentukan tebal Bus 5b 649 1,3 738
perkerasan relatif lapis perkerasan
Truk 6a 205 5,0 334
Truk 6b 761 5,0 1239
Truk 7a 249 5,0 406
Selesai Truk 7b 40 5,0 65
Truk 7c 45 5,0 74
Gambar 3.3 Bagan alir metode Bina Marga

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 6


b. Koefisien distribusi kendaraan LEP = 5930 x 0,30 x 0,00046
Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) LEP = 0,8183
didasarkan pada jenis kendaraan, jumlah arah e. Lintas ekivalen akhir (LEA)
dan jumlah lajur. Jalan Sulin-Simpang Penujak Lintas ekivalen akhir dihitung dengan
Sta 5+300 – 5+500 Km terdiri dari 4 lajur dan 2 menggunakan LHR pada akhir umur rencana
arah dengan median. Besarnya koefisien (LHR 2026), sebagai contoh perhitungan LEA
distribusi kendaraan (C) dapat dilihat pada untuk golongan 2,3&4 adalah sebagai berikut :
Tabel dibawah ini. LEA = LHR2026 x C x E
Jumlah Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **) LEA = 10130 x 0,30 x 0,00046
1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
Lajur
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
LEA = 1,3979
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,50 Hasil perhitungan nilai lintas ekivalen
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475 permulaan (LEP) dan lintas ekivalen akhir
4 Lajur - 0,30 - 0,45
5 Lajur - 0,20 - 0,425
(LEA) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
6 Lajur - 0,10 - 0,40
Jenis LHR 2016 LHR 2026 Koef. Angka Lintas Lintas
Kendaraan (kend/hari/ (kend/hari/ Distribusi Ekivalen Ekivalen Ekivalen
2 arah) 2 arah) Kendaraan (E) Permulaan Akhir
(C) (LEP) (LEA)
Sesuai dengan Tabel diatas maka besarnya Gol 2,3&4 5930 10130 0,30 0.00046 0.8183 1.3979
koefisien distribusi kendaraan sebesar 0,30 Gol 5a 257 292 0,30 0.01173 0.9042 1.0273
Gol 5b 649 738 0,45 0.94994 277.4306 315.4758
untuk kendaraan ringan dan 0,45 untuk Gol 6a 205 334 0,45 0.05937 5.4770 8.9235
Gol 6b 761 0,45
kendaraan berat. Gol 7a 249
1239
406 0,45
2.31919
2.42701
794.2083
271.9466
1293.0671
443.4149
Gol 7b 40 65 0,45 1.09425 19.6964 32.0067
Gol 7c 45 74 0,45 0.64791 13.1201 21.5753
c. Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan Total 1383.6016 2116.8886

Angka ekivalen setiap jenis kendaraan


berbeda – beda tergantung jumlah sumbu, f. Lintas ekivalen tengah (LET)
beban, dan konfigurasi sumbunya. Angka Nilai lintas ekivalen tengah didapat dengan
ekivalen untuk setiap kelompok sumbu juga merata – ratakan nilai lintas ekivalen awal dan
dapat dihitung dengan persamaan berikut dan lintas ekivalen akhir. Nilai LET dihitung
sebagai contoh perhitungan untuk sumbu gol sebagai berikut :
2,3, &4 (sumbu depan 50%, sumbu belakang LET =
50%) : , ,
LET =
4
E2,3&4= ( ) LET = 1750,2451
, 4 Nilai lintas ekivalen rencana dapat dihitung
E2,3&4 sumbu depan = 1( ) = 0,00023
, setelah nilai LET didapatkan. Nilai LER
, 4
E2,3&4 sumbu belakang = 1( ) = 0,00023 didapat dengan mengalikan LET dan faktor
,
penyesuaian (FP). Faktor penyesuaian
sumbu tunggal = 1,0 tandem = 0,086 tridem =
ditetapkan dengan menggunakan umur rencana
0,021
(UR) 10 tahun adalah sebagai berikut :
Nilai total angka ekivalen adalah
LER = LET x FP
penjumlahan angka ekivalen sumbu depan dan
belakang. Hasil perhitungan angka ekivalen dan LER = LET x
konfigurasi beban untuk setiap jenis kendaraan LER = 1750,2451 x
dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. LER = 1750,2451
Jenis GVW Konfigurasi Beban Angka Ekivalen Total
Kendaraan (ton) Depan Belakang Depan Belakang
Gol 2,3&4 2 50% 50%
Gol 5a 4 34% 66%
0.00023
0.00077
0.00023
0.01096
0.00046
0.01173
2. Daya Dukung Tanah (DDT)
Gol 5b
Gol 6a
12
6
34%
34%
66%
66%
0.06250 0.88744 0.94994 Daya dukung tanah (DDT) adalah suatu
0.00391 0.05547 0.05937
Gol 6b
Gol 7a
15
25
34%
25%
66%
75%
0.15259 2.16661 2.31919 skala yang digunakan dalam nomogram
Gol 7b 31,4 18% 82%
0.02960
0.23017
2.39741
0.86408
2.42701
1.09425
penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan
Gol 7c 26,2 18% 82%
0.11157 0.53634 0.64791
kekuatan tanah dasar. Daya dukung tanah dapat
d. Lintas ekivalen permulaan (LEP) dihitung dengan cara grafis dan analitis. Nilai
Lintas ekivalen permulaan dihitung dengan DDT dapat ditentukan menggunakan
menggunakan LHR pada awal umur rencana nomogram dengan menarik garis lurus CBR
(LHR 2016), sebagai contoh perhitungan LEP terhadap DDT. Perhitungan nilai daya dukung
untuk golongan 2,3&4 adalah sebagai berikut : tanah (DDT) dihitung dengan memasukkan
nilai CBR rencana yang sebelumnya telah
LEP = LHR2016 x C x E
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 7
dihitung sebesar 5% pada persamaan sebagai Jenis Berat Kategori LHR Jumlah Persentase
Kendaraan Kendaraan Kendaraan 2014 Kendaraan
berikut : (ton) *) (%)
cara grafis Gol 2,3&4 2 Ringan 5328
5578 75,491
Gol 5a 4 Ringan 250
Gol 5b 12 Berat 632
Gol 6a 6 Berat 186
Gol 6b 15 Berat 690
1811 24,509
Gol 7a 25 Berat 226
Gol 7b 31,4 Berat 36
Gol 7c 26,2 Berat 41
Total 7389 7389 100

Berdasarkan Tabel 4.28, didapat persentase


DDT = 4,7 kendaraan berat sebesar 24,509%. Kelandaian
jalan ditentukan berdasarkan alinemen vertikal
yang sebelumnya telah dianalisa sebesar
0,414% sehingga tergolong kelandaian I (<
6%). Sesuai dengan Tabel 2.9 maka nilai FR
Gambar 4.5 Korelasi DDT dengan CBR
ditentukan sebesar 1,5.
cara analitis Tabel 2.9 Faktor regional (FR)
DDT = 4,3 logCBR + 1,7 Curah Kelandaian I(< 6%) Kelandaian II(6-10 %) Kelandaian III(> 10%)

DDT = 4,3 log5 + 1,7 Hujan % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
< 30% > 30% < 30% > 30% < 30% > 30%
DDT = 4,706 4,7 Iklim I 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
< 900
3. Indeks Permukaan (IP) mm/th

Indeks permukaan (IP) adalah suatu angka Iklim I 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
> 900
yang dipergunakan untuk menyatakan mm/th
kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan (Sumber : SNI 1732-1989-F)
jalan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan
bagi lalu lintas yang bergerak diatasnya. Nilai 5. Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
IP dan pengertiannya ditunjukkan pada Tabel Indeks tebal perkerasan (ITP) merupakan
2.6. fungsi dari daya dukung tanah, faktor regional,
Nilai indeks permukaan perkerasan lentur lintas ekivalen rencana, dan indeks permukaan.
dibagi menjadi dua yaitu pada awal umur Perkerasan tidak menggunakan metode
rencana dan akhir umur rencana. Penentuan konstruksi bertahap, maka nilai ITP dapat
indeks permukaan tersebut adalah sebagai langsung dihitung. Dari perhitungan
berikut. sebelumnya didapatkan IP0 > 4 dan IPt 2,5.
a. Indeks permukaan awal umur rencana (IP0) Nilai ini digunakan untuk menentukan
Nilai IP0 ditentukan berdasarkan jenis lapis nomogram yang digunakan, kemudian nilai
perkerasan yang digunakan. Nilai IP0 dapat DDT (4,7) dan LER (1750,2451) digunakan
dilihat pada Tabel 2.7. untuk mendapatkan nilai ITP dan selanjutnya
Karena jenis lapis perkerasan yang digunakan dikoreksi dengan FR (1,5) untuk mendapatkan
menggunakan aspal beton (LASTON), maka ITP seperti pada gambar dibawah ini.
besarnya IP0 adalah > 4. Cara Grafis
b. Indeks permukaan akhir umur rencana (IPt)
Nilai IPt ditentukan berdasarkan nilai lintas
ekivalen rencana (LER) dan klasisfikasi kelas
jalan. Nilai IPt dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Berdasarkan perhitungan sebelumnya didapt
LER sebesar 1750,2451 dan jalan termasuk
LER = 1750,2451
kelas jalan arteri sehingga didapt nilai IPt FR = 1,5

sebesar 2,5.

4. Faktor Regional (FR)


Berdasarkan data curah hujan sebesar 2348 DDT = 4,7
mm/tahun sehingga dipilih untuk kolom curah
hujan termasuk iklim I > 900 mm/th.
Perhitungan persentase kendaraan berat dapat Gambar 4.6 Ploting data pada nomogram IPt = 2,5 : IP0 > 4
dilihat pada tabel dibawah ini.
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 8
Sehingga dengan memplotting nilai DDT -Lapis pondasi atas dengan ketebalan
sebesar 4,7, LER sebesar 1750,2451 dan FR minimum yang sesuai dengan nilai ITP
sebesar 1,5 pada gambar 4.6 didapatkan ITP yaitu 10,8, digunakan 20 cm (Tabel
sebesar 10,8. 2.11)
Penentuan nilai ITP dengan persamaan 2- - Lapis pondasi bawah dengan ketebalan
11 sebagai berikut : minimum untuk setiap nilai ITP adalah
Cara Analitis 10 cm.
ITP log
, ,
Dengan menggunakan nilai D1 dan D2 yang
LogWt18 = 9,36 log + 1 − 0,20 + telah ditentukan sesuai dengan kondisi lapangan
2,54 0,4 + ,
, maka nilai lapis permukaan (D3) didapat:
+ 0,372(DDT − 3) ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
LogWt18 = Log (LER x 365 x 10 x FR) 10,8 = (0,4 x 11) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
LogWt18 = Log (1750,2451 x 365 x 10 x FR) , [( , ) ( , )]
D3 =
LogWt18 = 7 ,
, [( , ) ( , )]
Sehingga, =
. ,
10.8 log = 30 cm
, ,
6,981 = 9,36 log + 1 − 0,20 +
2,54 0,4 + . , Dengan hasil diatas, maka tebal masing –
,
masing lapis perkerasan digambarkan sebagai
+ 0,372(4,7 − 3)
6,981= 6,748 berikut :
Dengan memasukkan nilai ITP sebesar
10,8 seperti yang didapatkan dengan cara grafik
kedalam persamaan penentuan nilai ITP dengan
cara analitis, menunjukkan bahwa nilai ITP
yang diperoleh baik itu dengan cara analitis dan
grafik menghasilkan nilai yang relatif sama.
.
Gambar 4.8 Hasil perencanaan tebal tiap lapisan metode Bina Marga (redesign)
6. Tebal Masing – Masing Lapis
Perkerasan (redesign) 7. Tebal Masing – Masing Lapis
Tebal lapis perkerasan ditentukan Perkerasan (existing)
berdasarkan bahan yang digunakan dan nilai Tebal lapis perkerasan ditentukan
ITP hasil ploting pada nomogram. Untuk berdasarkan bahan yang sama dengan bahan
masing – masing lapisan, tebalnya memiliki perkerasan yang ada pada lapangan. Sehingga
standar minimum yang berbeda ditentukan tebal untuk masing – masing lapis disesuaikan
sesuai dengan besarnya nilai ITP. dengan kondisi lapangan saat ini. Ini dilakukan
Jenis lapis perkerasan yang digunakan : untuk mendapatkan ketebalan lapis permukaan
- Lapis permukaan dengan bahan jika lapis pondasi atas dan bawah mengikuti
berjenis LASTON, koefisien kekuatan ketebalan yang ada dilapangan.
bahan (a1) sebesar 0,4 (Tabel 2.12) Jenis lapis perkerasan yang digunakan :
- Lapis pondasi atas dengan bahan - Lapis permukaan dengan bahan
berjenis batu pecah (kelas A), stabilitas berjenis LASTON, koefisien kekuatan
tanah dengan semen dan koefisien bahan (a1) sebesar 0,4.
kekuatan bahan (a2) untuk batu pecah - Lapis pondasi atas dengan bahan
CBR 100% sebesar 0,14 (Tabel 2.12) berjenis batu pecah (kelas A),
- Lapis pondasi bawah dengan bahan koefisien kekuatan bahan (a2) untuk
berjenis sirtu/pitrun (kelas B) dengan batu pecah CBR 100% sebesar 0,14.
koefisien kekuatan bahan (a3) CBR - Lapis pondasi bawah dengan bahan
50% sebesar 0,12 (Tabel 2.12). berjenis sirtu/pitrun (kelas B) dengan
koefisien kekuatan bahan (a3) CBR
Tebal minimum tiap lapis perkerasan : 50% sebesar 0,12.
- Lapis permukaan dengan ketebalan Dengan menggunakan nilai D2 dan D3 yang
minimum yang sesuai dengan nilai ITP telah ditentukan sesuai dengan kondisi lapangan
yaitu 10,8, digunakan 11 cm (Tabel maka nilai lapis permukaan (D1) didapat :
2.10) ITP = a1D 1 + a2D2 + a3D3
10,8= (0,4 x D1) + (0,14 x 20) + (0,12 x 25)

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 9


, [( , ) ( , )] disebut LHR, data LHR yang digunakan ialah
D1 =
, data LHR pada akhir umur rencana.
, [( , ) ( )]
=
,
= 12,5 cm  13 cm
Jenis Jenis GVW (ton) LHR 2014 LHR 2016
Kendaraan Golongan (Kendaraan/ (Kendaraan/
Hari) Hari)
MP 2,3&4 2 5328 5930
Bus 5a 4 250 257
Bus 5b 12 632 649
Truk 6a 6 186 205
Truk 6b 15 690 761
Truk 7a 25 226 249
Truk 7b 31,4 36 40
Truk 7c 26,2 41 45
Gambar 4.9 Hasil perencanaan tebal tiap lapisan metode Bina Marga (existing) Total “Average Daily Traffic” 7389 8136

Metode AASHTO 1993 Nilai indeks pelayanan akhir (pt) ditetapkan


Metode AASHTO 1993 termasuk metode berdasar volume lalu lintas ADT sebesar 8136
empirik mekanistik merupakan perpaduan dari dengan pt = 2,5 (Tabel 2.13). Selanjutnya ∆PSI
metode empiric dan mekanistik. Dengan dapat dihitung dengan persamaan sebagai
metode ini faktor – faktor empiris masih berikut :
diperhitungkan tetapi juga disesuaikan dengan ∆PSI = p0 - pt
persamaan dasar metode mekanistik. ∆PSI = 4,2 – 2,5
1. Faktor Pertumbuhan = 1,7
Besarnya pertumbuhan lalu lintas telah 3. Standar Deviasi
ditetapkan sebelumnya untuk mobil penumpang Standar deviasi (S0) yang disarankan untuk
sebesar 5,5%, bus sebesar 1,3%, dan truk perkerasan lentur menurut AASHTO 1993
sebesar 5,0% selama umur rencana. adalah 0,35 – 0,45. Nilai (S0) yang digunakan
Pertumbuhan lalu lintas dihitung dengan ialah 0,45.
persamaan :
( ) 4. Faktor ESAL
Growth Factor = Beberapa tahapan dalam menentukan nilai
( , )
faktor ESAL seperti yang tertulis dibawah ini.
Growth Factor = = 10,606
, ,
(untuk bus) G = log
, ,
( , ) , ,
= = 12,875 G = log
, ,
,
(untuk mobil penumpang) G = -0,2
( , )
Fungsi desain dan variasi beban sumbu
= = 12,578 kendaraan yang menyatakan jumlah perkiraan
,
(untuk truk) banyaknya sumbu kendaraan yang akan
diperlukan sehingga permukaan perkerasan
2. Tingkat Pelayanan mencapai tingkat pelayanan = 1,5 dinyatakan
Tingkat pelayanan dibagi menjadi dua sebagai β. Nilai SN diginakan untuk
yaitu tingkat pelayanan awal (p0) dan tingkat menghitung βx dan β18. Persamaan yang
pelayanan akhir (pt). Tingkat pelayanan awal digunakan untuk menghitung nilai βx untuk
berdasar AASHTO diharuskan sama atau lebih kendaraan golongan 2, 3&4 yang memiliki
dari 4,0. Nilai tingkat pelayanan awal (p0) yang berat sumbu depan 2,2046 kips (1 ton) :
,
, ( )
direkomendasikan AASHTO Road Test sebesar βx = 0,4 + , ,
4,2. (( ) )
Salah satu kriteria dalam menentukan ,
, ( , )
tingkat pelayanan terendah pada akhir umur β2,2046 = 0,4 + , ,
(( ) )
rencana (pt) dapat didasarkan dari volume lalu
lintas. = 0,400
Untuk mengetahui besar nilai Average Hasil perhitungan nilai β18 dengan SN 5
Daily Traffic (ADT) atau yang umumnya adalah sebagi berikut :

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 10


, = 0,0005
, ( )
β18 = 0,4 + , , Hasil perhitungan total faktor ESAL (LEF)
(( ) )
,
setiap jenis kendaraan dapat dilihat pada tabel
, ( )
β18 = 0,4 + dibawah ini.
, , LEF
(( ) ) Jenis
GVW (ton) Total LEF
Kendaraan Depan Belakang

β18 = 0,500 Gol 2,3&4


Gol 5a
2
4
0.00025
0.0007
0.00025
0.0092
0.0005
0.0099
Gol 5b 12 0.0560 0.8857 0.9418
Nilai Wx/W18 dapat dihitung setelah nilai Gol 6a 6 0.0033 0.0494 0.0527
Gol 6b 15 0.1437 2.1179 2.2616
G, β18, dan βx didapat. Sebagai contoh Gol 7a 25 0.3368 4.3741 4.7109
Gol 7b
perhitungan Wx/W18 untuk kendaraan golongan Gol 7c
31.4
26.2
0.2213
0.1033
4.2055
1.8960
4.4268
1.9992
2,3&4 adalah sebagai berikut :
/β 5. Lalu Lintas Rencana ESAL
4,79 4,33 LHR pada awal jalan dibuka yaitu LHR
= /β
[L2x]
pada tahun 2016. Lalu lintas rencana dikali
, / , dengan faktor ESAL total untuk mendapatkan
4,79 4,33
= , / ,
[1] lalu lintas rencana dalam ESAL. Sebagai
,
contoh perhitungan untuk gol 2,3&4 sebagai
= 5041,655 x 0,795 x 1 berikut :
= 4007,970 LL rencana = LHR x GF x 365
Nilai faktor ESAL (LEF) dapat dihitung LL lintas rencana = 5930 x 12,875 x 365
setelah Wx/W18 didapat. sebagai contoh, LEF LL lintas rencana = 27.867.293,75
untuk kendaraan golongan 2,3&4 adalah LL rencana ESAL = LL rencana x LEF
sebagai berikut : LL rencana ESAL = 27.867.293,75 x
LEF = 0,0005
/
Lalu lintas rencana ESAL = 13.905,94
LEF = Hasil dari perhitungan total lalu lintas
,
= 0,00025 rencana ESAL dapat dilihat pada tabel dibawah
dengan : LEF = Faktor ESAL ini.
= Perbandingan ekivalen sumbu x Jenis
LHR 2016 GF
Lalu Lintas Faktor Lalu Lintas
Kendaraan Rencana ESAL Rencana ESAL
terhadap sumbu standar
Gol 2,3&4 5930 12,875 27867293.75 0.0005 13905.94
Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) Gol 5a 257 10,606 994895.83 0.0099 9876.59

untuk sumbu depan dapat dilihat pada tabel Gol 5b


Gol 6a
649
205
10,606
12,578
2512402.31
941148.85
0.9418
0.0527
2366142.40
49615.33
dibawah ini. Gol 6b 761 12,578 3493728.17 2.2616 7901414.70
Gol 7a 249 12,578 1143151.53 4.7109 5385291.44
Jenis Beban Depan
L2 βx β18 Wx/W18 LEF Gol 7b 40 12,578 183638.80 4.4268 812931.08
Kendaraan ton kips Gol 7c 45 12,578 206593.65 1.9992 413030.82
Total 16952208.31
Gol 2,3&4 1 2.2046 1 0.400 0.500 4007.970 0.00025
Gol 5a 1.36 2.9983 1 0.401 0.500 1390.067 0.0007
Gol 5b 4.08 8.9948 1 0.413 0.500 17.844 0.0560
Faktor distribusi arah ditetapkan sebesar
Gol 6a
Gol 6b
2.04
5.1
4.4974
11.2435
1
1
0.402
0.424
0.500
0.500
303.461
6.961
0.0033
0.1437
0,5 dan faktor distribusi lajur sebesar 0,8 untuk
Gol 7a 6.25 13.7788 1 0.444 0.500 2.969 0.3368 mendapatkan lalu lintas rencana kumulatif
Gol 7b 5.652 12.4604 1 0.433 0.500 4.518 0.2213
Gol 7c 4.716 10.3969 1 0.419 0.500 9.684 0.1033 (W18). Perhitungannya adalah sebagai berikut :
W18 = DD x DL x W18
Jenis Beban Belakang
Kendaraan ton kips
L2 βx β18 Wx/W18 LEF W18 = 0,5 x 0,8 x 16.952.208,31
Gol 2,3&4 1 2.2046 1 0.400 0.500 4007.970 0.00025 = 6.780.883,323
Gol 5a
Gol 5b
2.64
7.92
5.8201
17.4604
1
1
0.404
0.491
0.500
0.500
108.603
1.129
0.0092
0.8857
6. Reliabilitas
Gol 6a 3.96 8.7302 1 0.412 0.500 20.234 0.0494 Berdasarkan Tabel 2.15 untuk jalan arteri
Gol 6b 9.9 21.8255 1 0.581 0.500 0.472 2.1179
Gol 7a 18.75 41.3363 2 0.553 1.508 0.229 4.3741 pada daerah urban, maka nilai reliabilitas
Gol 7b 56.7640 2 0.809 1.508 0.238 4.2055
Gol 7c
25.748
21.484 47.3636 2 0.633 1.508 0.527 1.8960
berkisar antara 80 – 99 %. Dengan pendekatan
nilai rencana ESAL antara 16.952.208,31 sesuai
Nilai faktor ESAL yang telah didapat Tabel 2.16 nilai reliabilitas dapat ditetapkan
sebelumnya kemudian dijumlahkan untuk sebesar 95%. Untuk nilai reliabilitas 95% sesuai
mendapatkan faktor ESAL total dari setiap jenis pada Tabel 2.17 maka nilai ZR sebesar -1,645.
kendaraan. Sebagai contoh perhitungan faktor
ESAL (LEF) untuk golongan 2,3&4 adalah
sebagai berikut :
total LEF2,3&4 = LEFDepan + LEFBelakang
= 0,00025 + 0,00025
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 11
Tabel 2.17 Deviasi standar normal (ZR) yang mewakili tingkat reliabilitas (R)
Reliabilitas Deviasi Standar Reliabilitas (R) Deviasi Standar
(R) Normal (ZR) Normal (ZR)
50 -0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750
(Sumber : AASHTO, 1993) W18 = 6,7 x 106
R = 95%
7. Modulus Resilent Tanah Dasar So = 0,45
MR = 7500 psi
Karakteristik mutu tanah dasar pada ∆psi = 1,7
perencanaan perkerasan lentur ditentukan oleh SN = 5
9. Tebal Masing – Masing Lapisan
nilai resilent modulus (MR). Resilent Modulus
Perkerasan (redesign)
adalah nilai hubungan dinamis antara tegangan
Menurut AASHTO 1993 nilai tebal
dan regangan yang mempunyai karakteristik
minimum setiap lapis perkerasan seperti yang
nonlinier. Dengan menggunakan persamaan
ditunjukkan pada Tabel 2.20, sehingga material
dari Heukelom and Klomp (1962) korelasi
yang digunakan oleh setiap lapisan antara lain
antara nilai CBR Corps of Engineer dan nilai
adalah sebagai berikut :
resilent modulus (MR) dihitung seperti berikut :
Jenis lapis permukaan yang digunakan :
MR(psi) = 1500 x CBR
- Lapis permukaan dengan bahan Sand
= 1500 x 5
Asphalt sejenis LASTON, koefisien
= 7500 psi
kekuatan bahan (a1) 0,40 (Tabel 2.21)
8. SN (Structural Number) Rencana
- Lapis pondasi atas dengan bahan
SN yang sebelumnya digunakan untuk
Crushed Stone/batu pecah Modulus
menentukan faktor ESAL (LEF) dimasukkan
30000 Psi koefisien kekuatan bahan
pada persamaan dasar AASHTO untuk
(a2) dengan CBR 100% Kelas A
menentukan SN rencana. Apabila tidak
sebesar 0,14 (Gambar 4.10)
memenuhi maka nilai SN ditentukan ulang dari
- Lapis pondasi bawah dengan bahan
SN yang digunakan untuk menentukan faktor
butiran Modulus 18000 Psi koefisien
ESAL (LEF). Pembuktian nilai SN memenuhi
bahan (a3) dengan CBR 50% Kelas A
persamaan dasar AASHTO dengan
sebesar 0,125 (Gambar 4.11).
memasukkan nilai dan asumsi yang telah
ditentukan sebelumnya adalah sebagai berikut :
= + 9,36 log( + 1) − 0,20
18

, ,
+
0,40 + ,
( )

+ 2,32 log − 8,07


6780883,323 = −1,645 0,45 + 9,36 log(5 + 1)
,
, ,
− 0,20 +
0,40 + , Gambar 4.10 Nilai kekuatan relatif bahan butiran untuk pondasi atas (a2)
( )

+ 2,32 log(7500) − 8,07


6,8 = 6,8  ( nilai SN 5 memenuhi
persamaan dasar AASHTO)
Dengan menggunakan nomogram pada
gambar 2.5 didapat nilai SN sebesar 5. 0,125

Gambar 4.11 Nilai kekuatan relatif bahan butiran untuk pondasi bawah (a3 )

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 12


Hasil perhitungan niali koefisien kekuatan
relatif a2 dan a3 menggunakan persamaan 2-26
dan 2-27.
a2 = 0,249 x LogEBS – 0,977
a2 = 0,249 x Log30000 – 0,977
a2 = 0,137  0,14
dan untuk nilai koefisien kekuatan relatif a3
sebesar : Gambar 4.12 Hasil perencanaan tebal tiap lapisan metode AASHTO (redesign)
a3 = 0,227 x LogESB – 0,839 10. Tebal Masing – Masing Lapisan Perkerasan
a3 = 0,227 x Log18000 – 0,839 (existing)
a3 = 0,126 Jenis dan tebal lapis perkerasan yang
Untuk kedua nilai a2 dan a3 memnuhi nilai digunakan sesuai dilapangan :
yang didapat dengan menggunakan nomogram - Lapis permukaan dengan bahan Sand
pada gambar 4.9 dan 4.10. Asphalt sejenis LASTON, koefisien
Tebal minimum tiap lapis perkerasan : kekuatan bahan (a1) 0,40 (Tabel 2.21),
- Lapis permukaan dengan ketebalan - Lapis pondasi atas dengan bahan Crushed
minimum sebesar 4 inch (10 cm) Stone/batu pecah kelas A Modulus 30000
sesuai dengan nilai ESAL (Tabel Psi koefisien kekuatan bahan (a2) dengan
2.20), digunakan ketebalan (D1) 4,4 CBR 100% sebesar 0,14 (Gambar 4.9),
inch (11 cm) tebal (D2) 20 cm (8 inch)
- Lapis pondasi atas dengan ketebalan - Lapis pondasi bawah dengan bahan butiran
minimum sebesar 6 inch (15 cm) kelas B Modulus 16000 Psi koefisien
sesuai dengan nilai ESAL (Tabel bahan (a3) dengan CBR 50% sebesar 0,125
2.20), digunakan ketebalan (D2) 8 inch (Gambar 4.10), tebal 25 cm (10 inch).
(20 cm) Dengan penyesuaian ketebalan lapis
- Untuk memperoleh ketebalan pada pondasi atas dan bawah diperoleh seberapa
pondasi bawah dihitung dengan besar lapis permukaan yang dibutuhkan. Untuk
persamaan berikut : lapis permukaan disesuaikan dengan SN yang
SN = SN1 + SN2 + SN3 ditetapkan sebelumnya sebesar 5, maka
SN = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3 dipeoleh lapis permukaan sebesar :
5 = (0,4 x 4,4) + (0,14 x 8 x SN = SN1 + SN2 + SN3
1,0) + (0,125 x D3 x 1,0) SN = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3
[( , , ) ( , , )] 5 = (0,4 x D1) + (0,14 x 8 x 1,0) + (0,125
D3 =
, , x 10 x 1,0)
[( , ) ( , )]
D3 = [( , , ) ( , , )]
, D1 =
,
= 16,96 inch = 42,4 cm [( , ) ( , )]
Besarnya nilai D3 adalah 16,308 inch atau D1 =
,
40,77 cm maka digunakan D3 sebesar 42 cm = 6,575 inch = 16,438 cm  16 cm
atau 16,8 inch kemudian SN perkerasan
dihitung kembali seperti berikut :
SN = a1 SN1 + a2 SN2 m2 + a3 SN 3 m3
SN = (0,4 x 4,4) + (0,14 x 8 x 1,0) +
(0,125 x 16,8 x 1,0)
SN = 1,76 + 1,12 + 2,1
SN = 4,98  5
Tebal masing – masing lapis perkerasan Gambar 4.13 Hasil perencanaan tebal tiap lapisan metode AASHTO (existing)

dapat diterima karena SN perkerasan lebih Pembahasan


besar dari SN rencana. Tebal masing – masing Daya Dukung Tanah
lapisan perkerasan. Nilai daya dukung tanah yang diperoleh
dari hasil pengolahan data CBR dengan
pengujian DCP (Dynamic Cone Penetrometer)
yang dilakukan sebesar 1,10%, tidak dapat
dipergunakan dikarenakan nilai CBR yang
diperoleh dibawah nilai standar minimum tanah
dasar sebesar 5%. Karena nilai CBR tanah dasar
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 13
dibawah 5% maka digunakanlah CBR Jika pelapisan ulang pada pondasi bawah
minimum sebesar 5%. Jika digunakan nilai (D3) tidak diinginkan, maka dengan
CBR yang didapat dengan pengujian DCP menyamakan ketebalan pondasi atas (D2) dan
sebelumnya, maka diperlukan suatu stabilisasi pondasi bawah (D3) dengan kondisi dilapangan
tanah dasar dengan campuran tertentu agar (Tabel 4.33), diperoleh tebal lapis permukaan
memenuhi nilai persyaratan CBR minimum. sebesar 13 cm dengan meggunakan metode
Bina Marga dan 16 cm dengan menggunakan
Perbandingan Perencanaan metode AASHTO, sehingga ketebalan
Perbandingan perencanaan dari masing – permukaan dilapangan masih kurang jika
masing metode guna memperlihatkan parameter dibandingkan dengan perhitungan yang didapat
yang digunakan dalam perencanaan perkerasan dan perlu dilakukan pelapisan ulang pada lapis
yang mengakibatkan hasil ketebalan yang permukaan pada kondisi lapangan.
Tabel 4.33 Perbedaan susunan tebal perkerasan lentur jalan akses BIL (existing)
berbeda. Perbandingan perencanaan dengan
No Lapisan Bahan Tebal susunan perkerasan (cm)
menggunakan metode Bina Marga dan Bina Marga AASHTO Kondisi lapangan

AASHTO dapat dilihat pada Tabel 4.31 1 Lapis permukaan LASTON 13 16 11


2 Pondasi atas Batu pecah 20 20 20
dibawah ini. 3 Pondasi bawah Sirtu/Pitrun 25 25 25
Uraian Metode Bina Marga Metode AASHTO 1993 Total tebal lapisan 58 61 55

Daya Dukung Tanah Koreksi dengan nilai CBR Dinyatakan dengan Modulus
Perbedaan ketebalan antara metode Bina Marga
Resilent (MR)
Lintas Ekivalen Berdasarkan LEP, LEA, LET, LER Berdasarkan perhitungan dan AASHTO pada kondisi existing sebesar 3
Faktor Regional Menyatakan keadaan lokasi
ESAL, W18
Parameter baru
cm (Tabel 4.33) dikarenakan penggunaan
parameter dalam memperoleh nilai faktor
Parameter Baru Tidak digunakan Reliabilitas, Simpangan
baku, dan koefisien drainase
pertumbuhan yang dipergunakan AASHTO
Penentuan Tebal ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 SN = a1D1 + a2D2 m2 + berbeda dengan yang digunakan Bina Marga.
Perkerasan a3D3m3
Persamaan yang digunakan Bina Marga yaitu
Dari beberapa parameter metode di atas, (1+i)n , dan pada AASHTO ((1+g)n – 1)/g).
terlihat bahwa untuk perhitungan tiap metode
sudah disesuaikan dengan kondisi yang berlaku KESIMPULAN DAN SARAN
pada daerah masing – masing. Kesimpulan
Dari hasil analisis dapat disimpulkan
Nilai Ketebalan Tiap Lapisan Masing – sebagai berikut :
Masing Metode 1. Peningkatan nilai CBR tanah dasar sangat
Berdasarkan analisis yang dilakukan (Tabel perlu dilakukan agar nilai CBR sebesar
4.32), didapatkan hasil akhir untuk susunan 1,10% sebelumnya yang diperoleh dengan
tebal perkerasan lentur (redesign) bahwa total pengujian DCP dapat memenuhi nilai
ketebalan lapisan dengan menggunakan metode standar CBR minimum yaitu 5% untuk
Bina Marga didapatkan sebesar 61 cm dan tanah berjenis lempung.
metode AASHTO sebesar 71 cm. Nilai total 2. Nilai ketebalan total (existing) dengan
ketebalan yang didapat baik menggunakan menggunakan metode Bina Marga
metode Bina Marga dan metode AASHTO didapatkan sebesar 58 cm, metode
lebih tebal dibandingkan dengan kondisi saat ini AASHTO sebesar 61 cm dan kondisi
dilapangan yaitu sebesar 55 cm. Dalam kondisi lapangan sebesar 55 cm. Nilai tersebut
ini (redesign), ketebalan pada lapangan menunjukkan agar lapis permukaan yang
khususnya ketebalan pada pondasi bawah masih ada dilapangan diganti dengan ketebalan
kurang jika dibandingkan dengan hasil sebesar 13 cm dengan metode Bina Marga
perhitungan yang didapat. Agar sesuai dengan dan 16 cm dengan metode AASHTO.
hasil perhitungan maka perlu dilakukan 3. Nilai ketebalan total (redesign) dengan
pelapisan ulang pada pondasi bawah dengan menggunakan metode Bina Marga
cara membongkar lapisan sebelumnya. didapatkan sebesar 61 cm, metode
Tabel 4.32 Perbedaan susunan tebal perkerasan lentur jalan akses BIL (redesign) AASHTO sebesar 71 cm dan kondisi
No Lapisan Bahan Tebal susunan perkerasan (cm) lapangan sebesar 55 cm pada akses Bandar
Bina Marga AASHTO Kondisi lapangan
1 Lapis permukaan LASTON 11 11 11
Udara Internasional Lombok. Nilai tersebut
2 Pondasi atas Batu pecah 20 20 20 menunjukkan agar seluruh lapisan
3 Pondasi bawah Sirtu/Pitrun 30 42 25
perkerasan yang ada dilapangan diganti
Total tebal lapisan 61 71 55
dengan yang baru dengan ketebalan tiap

Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 14


lapis perkerasan menggunakan nilai hasil Suprapto Tm. 2004. Bahan dan Struktur Jalan
perhitungan. Raya. Yogyakarta: Biro Penerbit
4. Perbedaan nilai ketebalan antara metode KMTS FT UGM.
Bina Marga dan metode AASHTO sebesar Palin A. 2013. Analisa Kapasitas dan Tingkat
10 cm kondisi redesign dan 3 cm kondisi Pelayanan Pada Ruas Jalan
existing. Wolter Monginsidi Kota Manado.
Saran Manado: Universitas Sam
Dari beberapa analisis dan kesimpulan Ratulangi.
diatas, maka penyusun memberikan beberapa Taufikkurrahman. 2013. Penggunaan Metode
saran – saran sebagai berikut : Analisa Komponen dan Metode
1. Pemeliharaan ruas jalan sebaiknya AASHTO 1993 untuk
dilakukan secara berkala mengingat Perbandingan Nilai Tebal
tingginya pertumbuhan kendaraan yang Lapisan Perkerasan Lentur Jalan
melintas. Raya. Malang: Universitas
2. Perlu dilakukan upaya stabilisasi tanah Wisnuwardhana Malang.
pada daerah yang memiliki tanah berjenis V. Schaefer, L. Stevens, dkk. 2008. Design
lempung. Guide for Improvement Quality
3. Untuk rekan – rekan yang ingin of Roadway Subgrades and
mengerjakan tugas akhir mengenai Subbase. Center for
perencanaan jalan, agar data – data seperti Transportation Research and
data lalu lintas, pertumbuhan lalu lintas Education. CTRE Project 04-
menggunakan data terbaru. 186.
Weasley. 1988. Mekanika Tanah / L. D. Wesley.
DAFTAR PUSTAKA Jakarta: Badan Penerbit
AASHTO. 1993. AASHTO Guide for Design Pekerjaan Umum.
of Pavements Structures
1993.Washington: American
Association of State Highway and
Transportation Officials.
Mario D, dkk. Analisa Perbandingan
Perencanaan Tebal Perkerasan
dengan Menggunakan Metode
Bina Marga, Asphalt Institute dan
AASHTO 1993. Padang:
Universitas Bung Hatta Padang.
Shirley H. 2000. Penuntun Praktis
Perencanaan Teknik Jalan Raya.
Bandung: Politeknik Negeri
Bandung.
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga. Pedoman
Desain Perkerasan Jalan Lentur.
No. 002/P/BM/2011.
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga. Manual
Desain Perkerasan Jalan. No.
02/M/BM/2013.
Pedoman Konstruksi dan Bangunan. Survai
Pencacahan Lalu Lintas dengan
cara Manual. Pd. T-19-2004-B.
Sukirman S. 1999.Perkerasan Lentur Jalan
Raya.Bandung: Nova.
Schwartz ,Charles W. & Carvalho Regis L.
2007. Evaluation of Mechanistic-
Empirical Design.
Jurnal Teknik Sipil, Universitas Mataram, NTB 15

You might also like