You are on page 1of 14

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Tarikh Tasyri’ Adam Malik Indra, Lc., M.A

TASYRI’ ISLAMI PADA MASA SHIGHAR SHAHABAH DAN TABI’IN

DISUSUN OLEH :

CIA AMALIA MIRZA (12110120364)

YOHANA ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITA ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
penulis telah dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’ mengenai “TASYRI’ ISLAMI
PADA MASA SHIGHAR SHAHABAT DAN TABI’IN”. Makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’.

Dalam penulisan laporan ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan


baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dosen pembimbing Adam Malik Indra, Lc., M.A. Selaku dosen mata kuliah Tarikh
Tasyri’ yang telah membimbing dan mendidik penulis sehingga penulis menjadi mahasiswa
yang berilmu.

2. Semua pihak yang telah membantu penulis demi terselesainya makalah ini.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,
Aamiin.

Pekanbaru, 23 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................................
BAB II .......................................................................................................................................
A. Pengertian Sahabat...........................................................................................................
B. Sejarah Lahirnya Masa Sahabat Kecil......................................................................
C. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in...........................................
D. Sumber Hukum yang Dipakai Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in...................
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Hukum Islam..........................
F. Penerapan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
G. Pengaruh Golongan Khawarij dan Syi’ah pada Perkembangan Tasyri’...................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sahabat

Al-ashab, ash-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shabatan, shahibun


mengandung arti teman bergaul, sahabat, teman duduk, penolong, pengikut. Ash-shahib
mengandung arti kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang
yang melakukan dan menjaga sesuatu kata ini juga bisa diartikan sebagai orang yang
mengikuti sebuah mazhab atau aliran.

Makna shahabat menurut istilah syara, Ibnu hajar As asqalani mengatakan bahwa
sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw. beriman kepda beliau dan
meninggal dalam keadaan Islam.

Definisi ini mengandung arti bahwa orang tersebut menerima dakwah nabi, dalam
waktu lama maupun sebentar, meriwayatkan hadis dari belaiuatau pun tidak meriwayatkan,
ikut berbai’at kepada Rasulullah Saw sempat melihat, meskipun tidak pernah menemani.

B. Sejarah Lahirnya Masa Sahabat kecil

Sejarah bisa diartikan sebagai masa lampau umat manusia. Masa lampau ini tidak
hanya semata"mata masa lampau saja, tetapi ada batasan" batasan yang harus tercapai
sehingga bisa disebut sebagai sejarah. Setidaknyaada empat hal yang harus terpenuhi, yaitu
Pertama,Pembatasan yang menyangkut waktu. Kedua, pembatasan yang menyangkut
pristiwa, Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat, Keempat, pembatasan yang
menyangkut seleksi.

Menurut Ibnu 'haldun, sejarah tidak hanya sekedar rekaman masa lampau, yang
merupakan dokumentasi, tetapi lebih dari itu, yakni merupakan studi secara kritis untuk
menemukan suatu kebenaran dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sejarah yang
dipelajari kritis ini akan menimbulkn akibat yang positi karena bisa menjadi bahan perubahan
dan pertimbangan, juga bahan kajian untuk suatu masalah yang ada.

C. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin


Tasyri’ pada masa sahabat dan tabi’in berlangsung pada dua masa dinasti besar yang
memiliki kondisi sosial-politik yang berbeda. Karena itu kondisi hukum yang ada pada dua
dinasti tersebut juga berbeda.

a) Dinasti Umayyah

Dinasti Umayyah berkuasa selama 89 tahun, yaitu pada tahun 41 H/661 M – 132
H/750 M. Selama kurun waktu tersebut, terdapat 14 orang yang telah menjadi pemimpin.
Kepemimpinan tersebut didapat oleh setiap pemimpin melalu sistem waris layaknya kerajaan.
Awal pemerintahan umayyah dikarenakan Fitnah besar yang dihadapi umat islam pada akhir
pemerintahan khalifah Ali. ―Tahkim‖ yaitu perdamaian antara Ali sebagai khalifah dan
Mu’awiyah bin abi sufyan sebagai gubernur Damaskus. Pendukung Ali yang tidak
menyetujui tahkim melenceng dan tidak lagi mendukung Ali, mereka disebut dengan
kelompok Khawarij. kelompok ini disebut-sebut yang merencanakan pembunuhan terhadap
Ali dan Mu’awiyah, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh. Mu’awiyah mengambil alih
kepemimpinan umat Islam. ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok:

 Khawarij: gambaran politik mereka ―mengancam untuk membunuh raja yang zhalim
dan keluarganya, berpendapat bahwa pemerintahan islam tidak terbatas dalam
keluarga orang-orang tertentu. Pemimpin siapapun yang dipandang baik oleh mereka
untuk menjadi pemimpinnya.‖ Mereka yang menentang kekuasaan muawiyah karena
dianggapnya menyeleweng dari ajaran islam.
 Syi’ah: golongan yang menentang kekuasaan umayah sebab dalam pandangan mereka
muawiyah telah merampas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.Salah
satu pandangannya dalam politik, mereka berpendapat bahwa pemerintahan itu hak
Ali dan keluarganya.
 Jumhur Ulama’ Dalam suasana pertentangan itu, ulama’ hadir untuk berusaha
bersikap netral. Mereka tidak berpihak pada golongan Syiah maupun Khawarij. Yang
kemudian golongan ini dikenal sebagai kelompok Murji’ah.

Dalam perkembangannya, tasyri’ pada masa awal dinasti Umayyah tidak berbeda dengan
masa khulafa al-rasyidin, di mana tidak ada ulama yang membahas secara khusus tentang
fiqh. Namun perluasan wilayah yang sangat pesat, mengakibatkan terpencarnya para ulama
ke berbagai daerah. Serta terjadilah pertengkaran akibat perpecahan yang menjadikannya
beberapa kelompok, sehingga sistem musyawarah yang ada pada masa sebelumnya menjadi
luntur.
Terpencarnya para ulama ke berbagai daerah menjadi kesulitan utama untuk melakukan
musyawarah yang menghasilakan ijma’, sehingga yang muncul hanyalah fatwafatwa dari
para ulama masing-masing . 1Setiap ulama meriwayatkan hadist yang pernah mereka hafal.
Akibatnya, kepercayaan umat pada hukum Islam hanya terbatas pada ulama yang ada pada
daerah tertentu atau kelompok yang diikuti.

Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok dengan ego setiap kelompok yang
mengaku paling benar dalam setiap pendapatnya, memunculkan para pembuat hadist palsu
dari kelompok tertentu. Hadist palsu itu dibuat untuk kepentingan kelompok dan terkesan
menafikan kelompok lain.

Sumber hukum Islam yang dulunya bermula dipandang hanya dalam tekstual dan bersifat
kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase keemasan lahir para cendikiawan cendikiawan
muslim yang mampu memberikan penerangan. Dalam tatanan politik dinasti Umayyah, Islam
saat itu lebih dianggap sebagai politik dari pada ajaran atau doktrin. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya institusi-institusi politik yang dibentuk. Sehingga pada masa ini pula
terbentuk sebuah konsep politik Islam, yaitu politik yang aturannya termuat nilai-nilai Islam.

Dalam tatanan ekonomi dan teknologi, pada dinasti Umayyah banyak membangun sarana
transportasi, bank, pabrik-pabrik yang kemudian hasilnya diekspor serta memproduksi
senjata-senjata yang cukup canggih. Pada masa dinasti Umayyah kemajuan diperoleh pada
dasawarsa pertama —masa kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sofyan dimana beliau
meriwayatkan hadist dari rosulullah sebanyak 163 hadist, sampai Hisyam bin Abdul Malik,
sedangkan setelah masa itu terajadi kemunduran yang signifikan.

b) Dinasti Abbasyiah

Dinasti Abbasyiah berkuasa lebih lama dari dinasti Umayyah, yaitu pada tahun 132
H/750 M – 656 H/1258 M. Pada masa dinasti Abbasyiah terbagi menjadi dua periode.
Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu pada masa pemerintahan Abu Abbas
sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara 945-1258 M, yaitu masa Al-Mu’ti sampai
Al-Mu’tasim. Pembagian periode tersebut diasumsikan pada masa kemajuan dan kemunduran
dinasti Abbasyiah. Periode I merupakan masa kemajuan dinasti Abbasyiah, sebaliknya

1
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. Bandung : Pustaka Setia. 3. Harisudin, Noor. 2016. Pengantar
Ilmu Hukum, Surabaya : Salsabila Putra Pratama.
periode II merupakan masa kemunduran. Setelah masa umayyah terjadi kemunduran,
munculah masa Abasiyah yang dikenal dengan sebutan masa keemasan (golden age). 2

Masa ini, merekat pada dinasti Abbasyiah karena kemajuan keilmuan yang sangat pesat.
Wilayah yang semakin meluas dan akulturasi dengan bangsa-bangsa lain tidak memungkiri
timbul permasalahan yang baru. Bersamaan dengan itu dibutuhkan pula hukum baru yang
mengatur permasalahan tersebut.

Kebebasan yang diberikan oleh penguasa untuk mengeluarkan pendapat banyak memberi
keuntungan setiap ulama untuk berijtihad. Sehingga banyak melahirkan ulama seperti Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hambal yang kemudian disebut sebagai imam madzhab. Karena
kecermelangan para ulama dan kejayaan yang diraih sangat gemilang, Muhammad Ali As-
Sayis menamai periode ini dalam bukunya: ―Periode pertumbuhan kekuatan, kematangan
pemikiran, kehidupan ilmiah yang luas, pembahsan yang mendalam dan menghasilkan,
keindahan fikih, ijtihad mutlak, kebebasan yang berani dalam nalar dan istimbat.

Pada periode ini mulai ada kodifikasi keilmuan, khususnya fiqh menjadi disiplin ilmu
tersendiri yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam. Contohnnya: Pada
masa pemerintahan Dinasti Abasiyah Khalifah Al-Mahdi yang terkenal terpuji dan pemurah,
sistem pemerintahan mengalami kemajuan yang pesat. Nafthawaih berkata: saat kas negara
berada ditangan Al-Mahdi, dia mengembalikan hak-hak yang dirampas dan mengeluarkan
sebagian besar simpanannya serta membagi-bagikannya kepada yang berhak. Selain
munculnya para fuqoha dari Irak dan Hijaz serta munculnya sekte-sekte atau aliran teologi
dalam agama, pada masa ini pula banyak muncul periwayat hadist. Pada periode sahabat
kecil, mereka memperketat seleksi hadist terhadap penerimaan hadis. Sedangkan pada masa
tabi’in, mereka memperlihatkan keberaniannya dalam mencari dan meriwayatkan hadist.

Pada masa sahabat kecil dan tabi’in, para ulama dalam menerapkan suatu hukum
memperhatikan kondisi yang berlangsung di tempat tersebut (sosiokultural). Sehingga
perbedaan penerapan hukum bisa terjadi kapan dan di tempat yang berbeda.

Misalnya: masyarakat Madinah sangat berpegang teguh terhadap hukum kesukuan yang
berlaku pada saat itu. Maka, dalam hal perkawinan yang memiliki hak penuh adalah anggota
keluarga laki-laki, sedangkan perempuan tidak memiliki hak melakukan kontrak kawin

2
As-Suyuti, Imam. 2001. Tarikh Khulafa’. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.5, Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh
Tasyri’. Semarang : Rajamurah-Alqona’ah. Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam. (Bandung : Pustaka Media
2007). h. 81.
sendiri, melainkan diserahkan kepada walinnya. Berbeda dengan di Kufah yang sebagian
masyarakatnya adalah campuran dari berbagai daerah, maka norma-norma kesukuan tidak
begitu kuat mempengaruhi budaya disana. Sehingga dalam perkawinan, walau wanita
dianggap memiliki posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki, tetapi mereka memiliki hak
untuk melakukan kontrak sendiri tanpa diwakilkan wali.3

D. Sumber Hukum yang Dipakai Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in

Dalam menetapkan suatu hukum tidak akan lepas kepada sandaran atau sumber yang
dipakai. Begitu juga para sahabat kecil dan tabi’in memiliki sumber hukum yang dijadikan
rujukan. Sumber yang dipakai oleh sahabat kecil dan tabi’in tidak jauh berbeda dengan
periode sebelumnya. Pada masa ini sumber-sumber yang dipakai secara berurutan antara lain:

1. Al-Quran

Kata al-qur’an berasal dari bahasa arab yang artinya adalah bacaan dan secara istilah
adalah Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi muhammad SAW.
Bahasa al-qur’an adalah bahasa arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat
AlQur’an, antara lain: Asy-syu’ara (26): 192-195; Yusuf (12): 2.

Pada masa ini Al-Quran berada pada posisi pertama sebagai rujukan pembentukan
hukum. Al-Quran yang telah terkodifikasi sejak masa kekhalifahan Usman bin Affan,
mengalami perbaikan bentuk tulisan dan pemberian harakat dan barisan. Karena pada masa
kekhalifahan Usman belum terdapat harakat dan baris pada mushaf yang dikirim ke berbagai
kota. Hal ini berguna untuk menyatukan bunyi bacaan dalam Al-Quran.

2. As-Sunnah

Sunnah berasal dari bahsa arab yang berarti jalan yang bisa dilalui sedangkan secara
istilah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi SAW. Berupa perbuatan, perkataan, dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Para sahabat kecil dan tabi’in selalu merujuk pada
as-sunnah bila dalam meng-istimbhatkan hukum tidak ditemui dasar-dasarnya pada Al-
Quran. Pada masa ini perkembangan as-sunnah bertahap pada setiap periode. Dari inisiatif
meriwayatkan kemudian meriwayatkannya sampai pembukuan as-sunnah yang pertama yaitu
kitab Al-Muwattha’ karangan imam Malik.

3
mam as suyuthi, Tarikh Khulafa’. (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar 2001) 231[3] Muhammad Zuhri, Tarikh
Tasyrik. (Semarang, Rajamurah-Alqona’ah,1980) Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam. (Bandung: Pustaka
Media 2007). h. 92.
3. Ijma’

Secara bahasa ijma’ berarti bermaksud atau berniat. Ijma’ juga berati kesepakatan
terhadap sesuatau.4 Secara istilah ijma’ berarti kesepakatan terhadap hukum syara para
mujtahid setelah nabi Muhammad SAW wafat. Ijma’ menjadi sumber hukum yang ketiga
pada masa ini. Namun perluasan wilayah yang terjadi pada dinasti Muawiyyah dan
Abbasyiah mengakibatkan proses ijma’ para sahabat kecil dan tabi’in sedikit terhenti.
Permasalahan jarak yang sangat jauh untuk melakukan perkumpulan tidak memungkinkan
sebagaimana yang bisa dilakukan pada masa khulafa ar-rasyidin.

4. Ra’yu

Ra’yu Ijtihad para ulama dengan mencurahkan segala kemampuannya yang


disandarkan pada Al-Quran dan as-Sunnah menjadi alternatif dalam menetapkan hukum. Hal
ini tergambar jelas dari diri para ulama dalam menghadapi tuntutan hukum dengan kondisi
sosial-politik yang terjadi pada saat itu.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Hukum Islam

Pertumbuhan hukum Islam yang pesat pada masa sahabat kecil dan tabi’in tidak lepas
dari beberapa faktor yang terjadi pada masa itu, antara lain:

1) Perluasan Wilayah

Wilayah kekuasan yang luas pada masa ini menjadikan para ulama menyebar ke
berbagai daerah, baik sebagai utusan sebagai qadhi atau sebagai transmigran yang menuntut
ilmu. Keberadaan ulama di setiap daerah menjadi rujukan tanya bagi umat Islam dalam
menentukan sebuah hukum. Sehingga ulama yang tersebar luas di berbagai kota itu
memberanikan diri mengeluarkan fatwa demi mengisi kekosongan hukum yang disandarkan
dari pemahamannya terhadap Al-Quran dan as-Sunnah. Dari sinilah muncul perbedaan fatwa
pada setiap ulama karena tingkat pemahaman dan kecerdasan mereka yang berbeda.

Tidak cukup itu, akulturasi dengan bangsa-bangsa lain yang terjadi karena
perluasaanwilayah ini menciptakan budaya yang berbeda. Sehingga proses barter
keilmuanpun terjadi dan penerjemahan buku-buku dari luar ke bahasa Arab menjadi sesuatu
yang dibutuhkan, baik karena tujuan keilmuan atau karena kebutuhan sosial dan budaya.

4
Muhammad Zuhri, Tarikh Tasyri’. (Semarang, Rajamurah-Alqona’ah, 1980). h. 281.
2) Perhatian Penguasa Terhadap Keilmuan

Pertumbuhan hukum Islam memang lebih tampak pada periode Abbasyiah, hal ini tak
lepas karena para penguasa pada periode Abbasyiah mencurahkan perhatiannya tidak hanya
pada hal politik sebagaimana pada periode Umayyah, bahkan mereka lebih menekankan pada
sisi keagamaan dan keilmuan.5 Fasilitas keagamaan dan keilmuan yang mereka bangun
melahirkan para fuqaha yang diharapkan dapat menjadi qadhi yang dapat merealisasikan
tujuannya. Karena pada saat itu, umat Islam lebih menghormati orang yang alim dan saleh
serta menjadikan mereka sebagai sumber dalam menayakan hukum.

3) Kebebasan Berpikir

Porsi besar dalam mencurahkan pendapat dan berfikir bebas yang diberikan oleh para
penguasa mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam pada saat itu. Para ulama bebas
berijtihad sesuai dengan pemikirannya dan pemahamannya terhadap Al-Quran dan as-
Sunnah. Sehingga suatu masalah yang diajukan kepada para ulama akan diperoleh hukum
yang berbeda dengan ulama yang lain.

4) Pembukuan Berbagai Ilmu Pengetahuan

Proses kodifikasi berbagai macam keilmuan merupakan faktor dari pesatnya


pertumbuhan hukum Islam. Dengan adanya kodifikasi ilmu ini, para ulama atau setiap orang
dapat mempelajari sebuah keilmuan dengan mudah dan mempercepat proses transfer ilmu.

5) Munculnya Imam Madzhab

Munculnya imam madzhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad tidak lepas dari
empat faktor sebelumnya. Namun, lahirnya imam madzhab ini mempunyai pengaruh
tersendiri dalam pertumbuhan hukum Islam. Itu tidak lepas dari produk hukum yang
dihasilkan dari kecerdasan dan pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan as-Sunnah.
Bahkan pengaruh dari produk hukum yang dihasilkan oleh Imam Madzhab masih terlihat
jelas sampai sekarang.

F. Penerapan Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in

Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri’ dipegang oleh generasi tabi’in
yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan

5
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukukm Islam. (Bandung : Pustaka Media 2007). h.93.
tasyri’di berbagai kota besar. Dari para sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari Al-
qur’an dan menerima riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa. Generasi ini memakai
khittah yang telah dilalui oleh para sahabat yaitu kembali kepada dasar-dasar tasyri’ dan
memperhatikan benar-benar prinsip-prinsip yang umum dalam mentasyri’kan hukum. Karena
itu mereka akan memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja
dankarena itulah perselisihan paham diantara mereka belum meluas.

Pada masa ini pula, mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan paham yang
meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi
pemuka-pemuka tasyri’ tersebut, dan dalam hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang
maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan
daerah (tidak satu lingkungan), dan cara menggunakan ra’yu yang berbeda.6 Selain itu,
perkembangan zaman dan perbedaan struktur masyarakat turut mempengaruhi timbulnya
khittah-khittah baru dikalangan pemuka-pemuka tasyri’ tersebut. Telah dijelaskan di atas
bahwa telah terjadi perselisihan paham dalam menetapkan suatu hukum, selain beberapa
penyebab perbedaan yang telah disebutkan diatas, terjadinya perselisihan paham sahabat itu

karena perbedaan paham dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka Karena
pengetahuan mereka tantang hadits yang tidak sama. Penyebab-penyebab perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan dalam hal furu’(cabang) dan dalam hal ushul mereka tetap sepakat.
Akan tetapi, pada pertengahan abad kedua hijriah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para
mujtahidin ( abu hanifa dan sahabat-sahabatnya, Malik dan sahabat-sahabatnya, Asy Syafi’i
dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan sahabat-sahabatnya, dll). Pada abad ini perbedaan yang
awalnya tidak meluas menjadi meluas kepada ushul atau dasar-dasar tasyri’ dan hal ini
menyebabkan pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang masing-masing
mempunyai dasar,aliran,hukum furu’ yang berbeda. Adapun dasar argumen yang menjadikan
ijtihad sahabat merupakan bagian dari sumber hukum adalah:

1. Mereka ikut menyaksikan tindakan nabi meskipun hanya sebentar sebelum Nabi wafat.

2. Apa yang telah terjadi pada masa Rosul.

6
Abdul Wahab Khalaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
2002) . h.49.
3. Bahwa mereka memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayatayat Al
Qur’an dan sunnah sehingga konteks demikian, mereka memahami bahawa tujuan penetapan
tersebut untuk kemaslahatan umat.

Berdasarkan pada hal itulah para sahabat kecil sepakat menjadikan Al-Qur’an dan
sunnah sebagai sumber hukum sacara keseluruhan berurutan, yaitu Al-Qur’an, As-sunnah,
dan ketiga ijtihad.

G. Pengaruh Golongan Khawarij dan Syi’ah pada Perkembangan Tasyri’

1. Khawarij

Pemahaman khawarij ini berimplikasi terhadap penanaman fiqih. Beberapa pendapat


mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah. Sebagaimana
disebutkan oleh Manna Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok islam yang paling
ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.

Khawarij hanya memahami Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber tasyri’ sehingga


mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’, atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka
selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an.
Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan
sunnah dan ijma’.7

2. Syi’ah

Syi’ah adalah segolongan dari umat islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib
dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling
berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah
yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.

Dalam referensi lain bahwa Syi’ah dalam perkembangannya mereka mengkultuskan


Ali dan keluarganya, sehingga mereka pun percaya bahwa Ali dan keluarganya adalah
maksum. Sementara aliran fiqih dalam syi’ah ada dua, yakni Ushuli dan Akhbari.

Lantaran kesendirian syi’ah dalam kehendak dan buruk sangkanya terhadap orang
yang berbeda dengannya, itu membawa pengaruh dalam terhadap fiqih islam diantara

7
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), h.104-105.
mereka. Dan hal itu terjadi karena fiqih menurut mereka, meskipun bersandar pada Al-Qur’an
dan Sunnah, tetap saja menyalahi fiqih ahli sunnah dalam beberapa segi.

Pertama, syi’ah menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai prinsip yang
dianutnya dan tidak menerima tafsir yang bersandar pada hadis yang bukan dari imamnya.
Kedua, mereka tidak menerima berbagai hadis, kaidah-kaidah dasar fiqih dan masalah furu,
yang ebrasal dari ahli sunnah apapun jua tingkat keshahihannya. Ketiga, mereka mengakui
Ijma’ seperti pokok-pokok Syara’ dan mereka juga tidak menerima Qiyas (Analogi).

You might also like