You are on page 1of 126
Gti, tgp Fen oy “Gs Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA Kata Pengantar Ir. H. Erman Suparno, M.B.A., M.Si. ‘Anggota DPR/MPR RI Editor Dra. Yeyen Maryani, M.Hum. Yayasan Paramalingua Jakarta 2004 Unggah-Ungguh Bahasa Jewoa Diterbitkan oleh ‘Yayasan Paramalingua Jakarta 2004 Jalan Rawamangun Muka Ill No. 12 Jakarta Timur 13220 Cetakan Pertama Kata Pengantar Ir, Erman Supamo, M.B.A., MSi. ‘Anggota DPR/MPR RI Editor Dra. Yeyen Maryani, M.Hum. ISBN 979-686-394-9 Hak Pengarang Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Untuk guruku, ayah dan ibuku, anak dan istriku, seta sahabat karibku Penning Jo KATA PENGANTAR ANGGOTA DPR/MPR RI DAN PEMBINA YAYASAN SENI BUDAYA SAMIAJI Assalamu’alaikum wr.wb. UUD 1945, baik sebelum diamandemen (diamendemen) mau- pun setelah diamandemen, mengakui keberadaan bahasa-bahasa daerah yafig ada di Indonesia. Pada Penjelasan Pasal 36 UUD 11945 sebelum diamandemen disebutkan bahwa di daerah-daerah lyangmempunyai bahasa sendi- i yang dipetihara oleh rakyat- /nya dengan baik-baik (misainya bahasa Jawa, Sunda, Madura, [dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipeli- fhara juga oleh negara. Bahasa- [bahasa itu pun merupakan se- bagian ‘dari Kebudayaan indo- Inesia yang hidup. Sementara itu, di dalam Pasal32 UUD 1945 lyanig telah diamandemen dise- [butkan bahwa (1) negara mema- jjukan kebudayaan nasional In- Jdonesi di tengah peradaban du- Inia dengan menjamin kebebas- jan masyarakat dalam memeli- ‘bara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya dan (2) negara ‘menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Schubungan dengan itu, upaya apa pun yang Jberkenaan dengan usaha memelihara dan mengembangkan nilai- nilai budaya yang tidak bertentangan dengan norma keagamaan dan kesusilaan perlu mendapat dukungan semua pihak. v kan dan difungsikan sejalan dengan perkembangan yany dalam masyarakat. Seiain berfungsi sebagai iambag Noncue atau jati dri suatu bangsa, bahasa sebagai alat berpikir dan ber, komunikasi, secara tidak langsung, dapat ‘Menjadi media pem- bentuk kepribadian masyarakat penutumya, Unggah-ungguh baasa, undiasusuk basa, atau tingkat tutur bahasa yang dimiliki oleh beberapa suku bangsa dilndonesia, pert dimiliki masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali merupakan ba, gian budaya bangsa yang dapat mencerminkan keadaan sostal masyarakat pendukungnya, Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila seseorang menguasai unggale-ungguh bahasa, kepribadian orang itu pun akan menjadi baik, santun, dan beradab. Pemakai- dapat menjadi indikasi kesantunan si penut i i ee penutur atau si pemakai Schubungan dengan hal tersebut dan karena kecintaan saya tethadap budaya Jawa, termasuk di dalamnya bahasa Jawa, pe- ‘munculan buku Ungeal-Ungguh Bahase Jez ini merupakan satu upaya ke arab itu. Untuk itu, penerbitan bukt ini saya sambut de ngan gembira. Wassalamu’alaikum wr.wb. Jakarta, Januari 2004. it. H, Erman Suparno, M.B.A., MSi. SEKAPUR SIRIH. Unggah-ungguh bahasa yang lazim pula disebut undha-usuk bahasa atau tingkat tutur bahasa hingga kini masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat Jawa pun hingga kkini masih melestarikan unggah-ungguh tersebut. Hal itu terbukti denggan penggunaan unggah-ungguh secara luas pada kalangan masyarakat Jawa meskipun kualitas penguasaan antarindividu terhadap unggah-ungguh tersebut berbeda-beda. Dalam buku ini saya menggunakan istilah unggah-ungguh bahasa bukan undha-usuk bahasa atau tingkat tutur bahasa karena pertimbangan semantis belaka’ Undha-usuk bahasa atau tingkat ‘tutur bahasa hanya mengisyaratkan makna bahwa dalam bahasa itu terdapat tingkat-tingkatan, sedangkan unggah-unggh bahasa selain mengandung makna tingkat-tingkatan dalam bahasa ity juga mengandung makna kesantuanan atau etika. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah lama saya Takukan, yaitu sejak tahun 1989, Hasil penelitian awal tethadap unggak-ungguh ita pun pernah saya tuangkan ke dalam bagian buku saya yang berjudul Prinsip Dasar Berbakasa Jawa: Ngoko- Krama (1991). Karena tidak puas dengan temuan itu, pada tahun 1994 saya menulis buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa Berdasarkan Leksikom Pembentuknya. Akan tetapi, hasil penelitian dalam buku itu pun belum memuaskan hati. Padahal, buku itz telah beredar Juas, baik di kalangan akademik maupun di kalangan masya- rakat, Akhimye, setelah saya lakukan pengkajian ulang terhadap beberapa aspek, hal-hal baru banyak saya temukan. Temuan- temuan itu semuanya saya tuangkan dalam buku ini Saya agak kerepotan ketika harus membuat lambang fonetis bunyi dh dan th. Lambang bunyi tersebut seharusnya adalah d dan t yang diberi titik di bawahnya. Namun, lambang-lambang fonetis itu tidak saya temukan di dalam komputer schingga bunyi retofleks dh dan th saya ganti dengan fambang ¢ dan t vii & Sebenarnya sejak tahun 2002 naskah buku ini telah siap cetak. Namun, baru sekarang naskah tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku. Penerbitan buku ini pun karena budi baik Bapak H. Erman Suparno, anggota DPR/MPR RI yang masih peduli tezha- ‘dap bahasa dan budaya Jawa. Saya mengenal Pak Erman karena ‘Saya sering bertemu beliau ketika ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) di KomisilV DPR RI, di Panitia Ad Hoc (PAHI) dalam Amandemen keempat UUD 1945, dan diKomisi A ketika Sidang Tahunan MPR. Untuk itu, sudah selayaknyalah jika pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tultis kepada beliau Karena tanpa bantuan beliau, buku ini tidak mung- kin dapat terwajud. Semoga amal ibadah beliau mendapat ba- lasan yang setimpal dari Allah swt. Ucapan terima kasih juga pantas saya sampaikan kepada editor buku ini, Dra. Yeyen Maryani, M. Hum., sebab di sela-sela kkesibukannya ia masih menyempatkan diri untuk membaca nas- kak buku ini sebelum masuk ke percetakan. Saya menyadari betul bahwa buku ini pasti masih terdapat kekurangan. Untuk itu, saya mengharapkan masukan yang be- rupa kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan isi bu- sku ini pada masa yang akan datang. Akhimya, mudah-mudahan jerih payah saya ini bermanfaat. Jakarta, Januari 2004. S.8-T. Wisnu Sasangka Penulis LAMBANG 1, LAMBANG FONETIS {al bo] fel fa fe] ie a fu) bo fo] fb) {cl id) {d] fg] th] i) & fl a [im] fn] fal fal (pl fe {3} it) [aku] [ono] [edan] [enqas} [esom] [idu [ant] [ul] Tkarvnl [coro] [bobot] foupot] {dadil [dete] Igagall {hardi] Lisl] [kali] [bapar) (ali) {mabor] + {nakal] {(oilan) rab] {pupu] [ribot] {sulap] {tai bob bbs ysed bbb bbe bbbsdsdgdee aku ‘saya’ ana ‘ada’ cedan‘gila’ endlas ‘kepala’s cesemt ‘senyum’ idu ‘luda’ arit‘sabit! ula‘ular’ Karung ‘karung’ coro 'kecoak’ bobot berat’ cupet‘sempit’ adi 'jadi’ ahedie “berjemur’ ‘gagal ‘gagal’ ‘herdi‘gunung” jajal'coba’ kali ‘sungai’ ‘apak “bapak’ Jali “lupa’ mabur ‘terbang’ nakal ‘naka’ ngilang ‘menghilang” nyilih’meminjam’ pupu'paha ribut ‘ribut/riuh’ sulap ‘sulap’ tali ‘tali’ ix {+ [tiwol] > thiwul ‘nama makanan’ Iw]: fwatu) > wnt bat’ fy}: fyakin] +> — yakin‘yakin’ 2. LAMBANG LAIN “. Kalimat tidak berterima dan/atau tidak i ><__kontras antarbentuk leksil cian DAFTAR ISI DAFTAR St BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah 13 Tajuan .. 1.4 Ruang Lingkup ... 15 Kerangka Teoti 1.6 Metode dan Sumber Data .. BAB ILKAJIAN TERDAHULU 241 Kajian Terdahutu 2.1.1 Kajian terhadap Karti Basa 2.1.2 Kajian terhadap Tingkat Tutur Bahasa Jawa 213 Kajian Lain 2.14 Tanggapan Krit BABII BEBERAPA KONSEP DASAR 3:1 Leksikon Bahasa Jawa dari Segi Bentuk ... 3.1.1 Leksikon Ngoko 3.1.2 leksikon Madya 3.1.3 Leksikon Krama 3.14 Leksikon Krama Inggil 3.1.5 Leksikon Krame Andhap 3.1.6 Leksikon Netral .. 3.2.1 Leksikon 3.2.2 Leksikon Biasa 3.2.3 Leksikon Kasar 3.3 Leksikon Lain 3.2 Leksikon Bahasa Jura dari Segi Makna ... BABIV PENANDA LEKSIKONBAHASA JA\ 4.1 Penanda Morfologis awa 4.1.1 Penanda Morfologis Berupa Afiks 4.1.1.1 Afiks Penanda Leksikon Ngoko 4.1.1.2 Afiks Penanda Leksikon Krama 41:13 Alike Penanda Lekikon Netra . 1.2 Penanda Morfologis Berupa Klitik 4.2 Penanda Bukan Morfologis BABV BENTUK UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA 5a Febedaan Unggah-Ungguh Berdasarkan Btik 5.2 Bentuk Unggah-Ungguh B. 521 Ragam Neok ane Bahasa awa 5.2.1.1 Ngoko Lugu 5.2.1.2 Ngoko Alus 5.2.2 Ragam Krama 5.2.21 Krama 5.2.2.2 Krama Alus 53 Rangkuman BAB VI KAIDAH PERUBAHAN BENTUK UNGGAH- BAHASA JAWA ESCO fea Perubahan Bentuk Ngoko ke Krama 9.2 Perubahan Bentuk Ng ke Ngoko Alu 63 Perubahan Bentuk Koma ta ke Keone ‘Ales xii BABVIT - KAIDAH PEMILIHAN BENTUK UNGGAH-UNGGUH DAN KAIDAH PEMILIHAN BENTUK LEKSIKON BAHASA JAWA .. 7.1 Kaidah Pemilihan Bentuk Unggah-Ungguh . 7.1.1 Hubungan Simetris— Asimetris 7.1.2 Hubungan Akrab—Tidak Akrab 7.1.2.1 Hubungan Simetris—Akrab 7.1.2.2 Hubungan Simetris—Tidak Akrab 7.1.23 Hubungan Asimetris—Akrab .. 7.1.2.4 Hubungan Asimetris—Tidak Akrab 7.1.3 Hubungan Formal dan Nonformal 7.2 Kaidah Pemilihan Leksikon . 73 Pemakaian Leksikon Kranta Inggil dan Kama secara Bersama cen sn BAB VII ANALISIS BENTUK TUTURAN .. BABIX PENUTUP 9.1 Simpulan 9.2Saran .. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii BABI PENDAHULUAN Unggat-ungguh basa atau undha-usuk basa yang lazim pula di- sebut sebagai tingkat tutur bahasa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama dimiliki oleh suku Jawa, Sunda, dan Bali. Unggah-ungguk yang merupakan khasanah budaya bangsa itu sampai saat ini masih di- gunakan dan dilestarikan oleh masyarakat pemakainya. 11 Latar Belakang ‘Sampai saat ini unggah-ungguh bahasa Jawa masih diguna- kan oleh sebagian besar penutur berbahasa Jawa, baik pada lapis pertama (ring satu) maupun pada lapis kedua (ring dua), Yang dimaksud dengan lapis pertama adalah lapisan masyarakat yang, pada waktu itu pernah langsung berhubungan dengan pengusa (Kerajaan), baik penguasa yang berada diSurakarta maupuni yang berada di Yogyakarta. Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir ini—terutama yang berada di lapis pertama~mulai Knawatir terhadap keberadaan unggah-ungguh tersebut. Kekhawatiran itu disebabkan oleh ada- nya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda Jawa saat inj mulai tidak menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa se- cara baik. Akibatnya, kesalahan-kesalahan seperti yang terdapat dalam kalimat (15) berikut sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. (1) *Nywwun pangepunten kula ajeng siram rumiyin, ‘Maaf saya akan mandi dahulu.’ (2) *Kula le dhahar mengke mawon. ’Saya makan nanti saja,’ (8) *Ditek dalu kula nembe saged sare jam setengah kalih welas dalu. “Tadi malam saya baru bisa tidur pukul setengah’ dua belas malam.” (4) *Asmanipun putra hula Fitri Ramadani. "Nama anak saya Fitri Ramadani_’ (6) *Kula menghe tindake radi siang-siangan “Saya nanti berangkat agak siang,’ Kesalahan-kesalahan seperti yang terdapat dalam contoh kalimat (1-5) di atas tidak hanya ditemukan di dalam masyarakat lapis kedua, tetapi juga ditemukan di dalam masyarakatlapis pertama. Padahal, jika kaidah unggah-ungguh bahasa Jawa telah dikuasai secara baik, kesalahan-kesalahan seperti contoh di atas dapat di- hindari. Sebenamya, unggah-ungguh bahasa Jawa~dengan segala ma- cam persoalan yang melingkupinya~dalam setiap keserapatan selalu menjaditopik pembicaraan yang sangat hangat dan mena- rik. Baik dalam kalangan akademik maupun dalam semninar-semi- nar diluar akademik. Akan tetapi, karena hasil seminar itu tidak disosialisasikan atau dimasyarakatkan, kesalahan-kesalahan se- perti contoh di atas dibiarkan berlarut-larut dan tidak ada pe- nanganan atau usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah tersebut. Akibatnya, tuturan-tuturan menyimpang sepes- ticontoh (1—5) di atas tetap banyak dijumpai hingga saat ini, Kongres Bahasa Jawa, memang, telah digelar di Semarang tahun 1991, di Malang tahun 1996, dan di Yogyakarta tahun 2001, tetapi bukan berarti bahwa masalah unggah-ungguh bahasa Jawa telah selesai atau telah tuntas dibicarakan. Gagasan yang berkem- bang dalam ketiga kongres terhadap keberadaan unggah-ungguh bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ke- 2 lompok yang menginginkan unggah-ungguh bahasa tetap diles- tarikan seperti apa adanya dan kelompok yang menginginkan unggah-ungguh tersebut disederhanakan menjadi satu ragam sa- ja, yaitu ragam ngoko. Pencetus gagasan yang menginginkan ung ¢gah-ungguh bahasa Jawa disederhanakan sebagian besar berasal dari pemakai bahasa Jawa lapis kedua. Gagasan untuk menyederhanakan unggah-ungguh bahasa itu sebenarnya sangat bagus, tetapi fika bentuk-bentuk honorefik (bentuk hormat) juga disederhanakan atau malah ditiadakan jus- tru keganjilanlah yang akan diperoleh. Balkan, kesan kurang ajar yang akan muncul. Amatilah ragam ngoko berikut ini. (6) *Bapak, kowe arep mangan karo apa? “Bapak, Bapak akan makan dengan apa?” (7) *Wis kana ibu turu dhisik wae, aku isih arep nonton televisi 'Sudahlah sana ibu tidur dulu saja, saya masih akan me- nonton televisi’ (8) *Mba, kowe kuti ngapa ta, matane kok moto bae? “*Kek, Kakek sedang apa, mengapa mata kakek melotot?” (9) *Pak Lurah aja lungguh ning kono, kana Iho lungguh ning jerowae. "Pak Lurah jangan duduk di situ, sana duduk di dalam saja.” 20) Pat Bupati arep ngombe apa, mengko dakjupukke? “Pak Bupati ingin minum apa, nanti saya ambilkan? Para penggagas yang menginginkan agar unggah-ungguh dise- derhanakan menjadi seperti contoh (6—10) di atas, tidak hanya yang berasal dari golongan muda, tetapi juga dari golongan tua. Sayangnya, setelah dicermati lebih jauh, para penggagas itu ter- nyata tidak menguasai bahasa Jawa krama (halus) secara benar. Kunci utama menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara benar, sebenamya, terletak pada kemampuan memilih dan memi- Jah kata-kata bahasa Jawa secara cermat, Jika hal itu tidak dékua~ sai, kalimat yang disusun pun pasti menjadi tidak benar, Akibat- 3 nya, unggal-ungguh bahasa Jawa yang sebenarnya telah seder- hana tersebut dihujat habis-habisan. Berbagai tuduhan, seperti, unggah-ungguh bahasa Jawa tidak demokratis dan feodalistis, berulang-ulang dan berkali-kali dilontarkan pada setiap kesem- Patan. Mereka hanya bisa menghujattanpa memberikan peme- cahan. Lain halnya dengan generasi tahun 1928-an, beberapa puluh tahun yang lalu, para guru saat itu menyadari betul bahwa ada kesulitan dalam menggunakan kata-kata tertentu, terutama ketika harus menggunakan kata-kata yang memiliki bentuk 1goko, ‘madya, krama, dan krama inggil seperti yang ditulis dalam Pratelan Tembung Jawi manut Unggah-Ungguh (ditulis dengan mengguna- kan aksara Jawa) yang disusun oleh M. Dwijawiyata yang diter- bitkan di Batavia (Jakarta) pada bulan Februari 1930 berikut ini. Nalika para guru Jawi sami pepanggihan wonten ing Ngayogya- Vara steep oan Maret 193, som saeg masta we para guru ing pamulangan Jawi ageng alit sami rumacs kangelan anggenipun namtokeken unggal-ungguling basa Jawi. Awit saking punika perlu sanget kadamelaken serat pratelan bab unggah-ung- ‘gut: krama, krama inggil,krama desa, madya sapanunggilanipun, "Ketika para guru bahasa Jawa mengadakan pertemuan di ‘Yogyakarta, pada bulan Maret 1928, (mereka) sepakat berang- gapan bahwa para guru SD dan SLTP merasa kesulitan dalam menentukan tingkat tutur bahasa Jawa. Oleh karena itu, sa- ngat perlu dibuatkan buku penjelasan bab unggah-ungguh: krama, krama inggil, krama des, krama madya, dan sebagainya.” Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa generasi pada tahun 1928 telah menyadari betwl bahwa menentukan unggah- ungguh bahasa Jawa ternyata sangat sulit, Oleh karena itu, me- reka mencari pemecahan dengan menyusun semacam pedoman pemakaian kata-kata bahasa Jawa yang memiliki tingkat-ting- katan itu. Lain halnya dengan generasi sekarang, begitu kesulitan 4 ‘memahami unggah-ungguh bahasa Jawa, bukannya mencari pe- mecahan bagaimana mengatasi hal itu, atau mencari penyebab kesulitan itu, tetapi malah menghujat keberadaan unggah-ung- guh tersebut, ‘Anggapan yang berkembang di dalam masyarakat bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa itu sulit sebenarnya beralasan juga sebab para pakar atau para guru ketika menjelaskan masalah ini selalu mengatakan bahwa unggah-ungguh babasa Jawa itusangat sulit dan sangat banyak jumlahnya. Tanpa rasa kris sedikit pun, mereka selalu mengatakan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa dapat dibedakan menjadi tujuh bentuk, yaitu basa ngoko, basa kra- ‘ma, basa madya, krama desa, krama inggil, basa kedhaton (bagongan), dan basa kasar (Karti Basa 1946:64 — 84; Dwiraharjo 1991:6). Ketujuh tingkat tutur tersebut-terutama pada basa ngoko, basa rama, dan basa madya~masih dibagi-bagi lagi. Tingkat tutur ngoko dibedakan menjadi ngoko lugu dan ngoko andhap. Tingkat tutur ngoko andhap juga masih dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko an- tyabasa, dan ngoko basaantya, Sementara itu, tingkat tutur madya dibedakan menjadi tiga, yaitu madys ngoko, madya krama, dan ma- dyontara, Demikian pula tingkat tutur krama juga dibedakan men- jadi tiga benbuk, yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha kramma. Jika unggah-ungguh bahasa Jawa jumlahnya sebanyak itu, bagaimanakah kalimat ngoko berikut apabila akan diubah wu- judnya menjadi bentuk-bentuk krama tersebut. (11) Kowe mau tekan kene jam pira, Dhi? "Kamu tadi sampai di sini pukul berapa, Dik?” (12). Iki duzoekku lan kane duavekm, aja nganti keleru tho! “ini kepunyaanku dan itu kepunyaanmu, jangan sampai tertukar lo! Kedua kalimat tersebut paling-paling hanya dapat diubah men- jadi bentuk kramaa seperti berikut ini. (13) a. Panjenengan wau rawidh ing ngriki jam pinten, Dhi? >. Slirane wau dugi ngriki jam pinten, Dhi? ©. Sampeyan wau dugi ngriki jam pinten, Dhi? 4) Punika gadhan (gadhahan) kul 1 Ia lan punika kagungan ., Rimletesan, samen gantos kelentu Tho! ae iki duaveke fala lan nike ducweke sary nngantos klentu Ue! ——— Contoh yang terdapat pada (13a) dan (14a) termasuk bentuk yan sejenis, yaitu bentuk krama yang halus, sedangkan contoh aby dan (13c) yang sejenis dengan contoh (14b) agak berbeda dengan cen Pada (138) dan (14a). Jika (13a) dan (14a) termasuk bentuk rama yan lus, contoh (13b),. in ieama ya ng als, (13b), (13c), dan (14b) termasuk krama Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa contoh di tampak bahwa unggah-ungguh Dahasa awa seheoamnya takes banyak dan seruwet yang dikatakan orang. Permasalahan ung- galunggul bahase Jawa ii akan selesa jks tela ditemukan ce pembeda antara ragam yang satu dan ragam yang lain serta anta- ra enis leksikon yang satu dan jenis leksikon yang lain. Baoesatra Jawa karangan WS. Poerwadarminta (1939), misalnya, hanya ‘membagi leksikon bahasa Jawa menjadi ngoto, asa, krama,krana ngoko, dan krama inggil. Pembagian jenis leksikon itu diikuti pula oleh penyusun kamus berbahasa Jawa yang lain seperti yan dilakukan oleh Tim Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa 2003 da, Tim Penyusun Kamus Balai Bahasa Yogyakarta (2001). Di dalam ketiga kamus tersebut disebutkan bahwa kata ma- ga ned dan dar yangsemuanya bermaka ‘akan dike lompokkan sebagai ngoko, krama, dan krama inggil, sedangkan kata-kata yang netral seperti cendhela kursi, meja disebut sebagai oe kama ngoko karena leksikon tersebut dapat digunakan alam tingkat tutur krama dan ngoko, Sementara itu, leksikon ‘matur dan ngendika yang sama-sama bermakna’berkata’ dikelom- pokkan sebagai krama inggil. Padahal, matur hanya dapat digu- 6 akan untuk diri sendiri, sedangkan ngendika hanya digunakan ‘untuk orang lain, Mengapa leksikon yang berbeda seperti itu di- Kelompokkan ke dalam satu jenis leksikon yang sama? Sehubungan dengan hal di atas, ager masalah unggal-ung- guh tetap diminati generasi muda dan dapat dengan mudah di- pahami, perlu dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap nggah-ungguh tersebut schingga diperoleh Kejelasan antara pentuk yang, satu dan bentuk yang lain. fika telah ditemukan cii pembeda yang jelas antara bentuk yang satu dan bentuk yang fain, serta antaya ragam yang satu dan ragam yang lain, unggal- uungguh bahasa Jawa akan mudah dipelajari dan mudah dipahams orang schingga unggah-unggwh yang diyakini oleh pendukung- nya dapat membentuk kepribadian yang baik,santun, can Jemah Jembut itu dapat diselamatkan dari Kepunahan. 1.2 Masalah Kerumitan yang terdapat di dalam tingkat tutur bahasa Jawa sebenarnya bukan terletak pada bagaimana wujud kalimat krama ita, etapi bagaimana mengubah Falimat ngoko menjadi Kalimat fmm yang benar yang maknanya tidak menyalahi kaidah yang berlake di dalam masyarakat. Untuk mengubah bentuk ngoko menjadi bentuk kramatersebut dsperiukan Kaidals tertentu Salah ‘atu kaidah itu berhubungan erat dengan bentuk leksikon. teruta- tna leksikon yang memiliki bentuk krama, krama inggil, dan/ atau Joana andhap. Jika pemilihan leksikon tidak tepat, kalimat yang disusun pun dapat dipastikan salah Karena tidak akan berterima dalam pemakaian sehari-hari. Schubungan dengan hal diatas, masalah yang muncul dalam penelitian unggeh-unggah bahasa Jawa itu adalah sebagai ber- ikut. {@) Bagaimanakah wujud kalimat krama dalam bahasa Jawa? (6) Bagaimanakah kaidah pembentukan kalimat ngoko menjadi krama? (¢) Bagaimanakah penanda dan citi kalimat krama dalam bahasa Jawa? 7 (a) Bagaimanakah bentuk leksikon bahasa Jawa? () Bagaimanakah penanda leksikon krama bahasa Jawa? © Bapaimanakah iri pembeda leksikon bahasa Jawa? jagaimanakah pen; Jleksikon bahasa Jawa dal daeagmanakah penggunaan eksixon bahasa awa dalam in. (h) Bagaimanakah bentuk : Bageime entuk unggah-ungguh bahasa Jawa sesung- 1.3 Tajuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sel unggah-ungguh bahasa Jawa secara Tengap. Une i, ra litian ini berusaha mengungkapkan kaidah ragam krama dalam bahasa Jawa yang meliputi aspek sosiolinguistik, leksikal, mor, fologis, sintaktis, dan semantis Slain itu, penelitan ini bertujtan angi Kerumpangan pendeskripsian Ekowardono dk. (1993) dalam Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa dan pendes, kipsian Sasangka dalam Prinsip Dasar Berbahasa Jawa’ Ngoko. Krama (1991) dan dalam Tingkat Tutur Balsa jazoa Berdasarkan Lek. ‘glen Penttentuknya (1994), Hasil penelitian ini diharapkan dapat disvanfatkan untuk pembakuan unggah-ungguh bahasa Jawa daniugas bat dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran ba- 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini henya dibatasi pada ungaguh bahasa Java ragam baku yang digurakan oleh neeoe, rakat Jawa pada lapis pertama. Unggah-tingguh bahasa Jawa yang akan diteliti ini tidak dapat lepas dari leksikon pemben. tuknya dan hubungan antara peserta tindak ujaran yang melibat- Kan orang pertama (01), orang kedua (02), dan/atau orang ketiga (09). Sehubungan dengan itu, berturut-turut akan dibahas (a) beberapa konsep dasar leksikon bahasa Jawa, (b) penanda leke sikon bahasa Jawa, (c) bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa, (d) kaidah perubahan bentuk unggah-ungguh, (c) kaidah pemilihan bentuk unggah-ungguh dan kaidah pemilihan leksiken bahase 8 Jawa yang mencakup hubungan simetris dan asimetris peserta tindak ujaran, dan (f) analisis bentuk tuteraz. 1.5 Kerangka Teori Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan eklektis. Pendekatan ini memantaatkan secara kritis beberapa teori dan ‘wawasan para abli bahasa seperti teori sosiolinguistik yang di- ungkapkan oleh Poedjasoedarma (1979) yang memusatkan per- hatian pada pembicara, mitra bicara, dan yang dibicarakan. Se- ‘mentara itu, teoti struktural yang digunakan oleh Ekowardana (1989) yang memandang kata sebagai satuan bahasa yang me- nampakkan diri dalam bentuk dan makna juga dimanfaatkan dalam penelitian ini. Selain itu, teori tagmemik seperti yang di- ungkapkan oleh Pike (1992) yang menggunakan pendekatan etik dan erik dalam penganalisisan data juga dimanfaatkan untuk ‘mengontraskan bentuk unggah-ungguh yang satu dengan bentuk ‘unggah-ungguh yang lain, serta untuk mengontraskan leksikon yang, satu dengan Ieksikon yang lain. 1.6 Metode dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode deskriptif inferensial. Ar- tinya adalah bahwa penelitian ini tidak hanya semata-mata men- deskripsikan unggah-ungguh bahasa Jawa tetapi juga menyim- putkannya. Cara kerja yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pengumpulan data dilakukan dengan mengamati dan menyimak sumber data yang mencerminkan pemakaian ra- gam baku. Data yang telah terkumpul dipilah-pilah sesuai de- gan topik pembahasan. Analisis dilakukan dengan mengikuti te- ori yang dianggap sesuai. Penelitian ini menggunakan data lisan dan tulisan., Data lisan berasal dari rekaman berita RRI Surakarta, RRI Yogyakarta, dan RRI Semarang, sedangkan data tulisan berasal dari majalah dan buku seperti (a) majalah Jaya Baya tahun 1993--2002, (b) Majalah Panjebar Semangat tahun 1998— 2002, (c) tiga kamus berbahasa Ja- ‘wa, Yaitu (1) Baoesastra Djwa karangan Poerwadarminta 1939, (2) 9 Kamus Jawa (Bausastne jewa) Karangan Tim Balai Baha: ba 2001, dan (3) Kamus Pepak Bahasa Jawa karangan Tim Boon Pek ria Kongrs a Jawa 2001, (4) Pratelan Tembung Jawi ma- ‘arangan Dwijawiyata (1930), dar Riyanta karangan RB. Sulardi (1920), Selain feta meter sangat membantu d i s pi dant a ans ae ITERD is iri yang telah diuji ke- KAJIAN TERDAHULU Di dalam bab ini akan diungkapkan beberapa buku atau beberapa penulis yang pernah membahas unggah-ungguh atau undha-usuk dalam bahasa Jawa. Di antaranya adalah Karti Basa yang disusun oleh Jawatan Kementrian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1946), Tingkat Tusur Bahasa Jawa yang disu- sun oleh Poedjasoedarmo dkk. (1979), dan Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa yang disusun oleh Ekowardono dk. (1998). Ketiga buku itu dianggap mewakili zamannya masing- masing. Konsep dasar dalam ketiga buku itu akan diungkap- kan seperti uraian berikut 2. Kajian Terdahalu 2.1.1 Kajian terhadap Karti Basa Dalam Karti Basa terbitan Kemnentrian PP dan K (1946: 64~ 84) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa (buku itu menyebutnya dengan undha-usuk) terdiri atas (1) ngoko, (2) mad- 1ya, (3) krama, (4) krama inggil, (5) kedhaton, (6) krarea desa, dan (7) kasar. Undha-usuk ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko fugu dan ngoko andhap. Ngoko andhap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basaantya. Undha-usuk madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) madya ngoko, (2) madyantara, dan (8) madya krama, Undha-usuk krama juga dibedakan men- jadi tiga, yaitu (1) mudha krama, (2) kramantare, dan (3) wredha rama. n Di dalam buku itu disebutkan pula bahwa basa ngoko me- rupakan bahasa yang lugu (sederhana, wajar, alami) yang, be- lum mengalami perubahan apa pun. Kata-kata (leksikon) yang terdapat di dalamnya seluruhnya berupa ngoko. Jika di dalam Kalimat terdapat kata krama inggil, ragam itu disebut ngoko an- tyabasa. Namun, jika di dalam kalimat terdapat kata krama dan Frama inggil, ragam itu disebut basaantya. Sementara itu, basa madya merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara ‘basa ngoko dan basa krams. Kata-kata yang terdapat di dalamnya berupa kata madya dan ngoko. Jika dalam kalimat hanya ter- dapat kata madya dan ngoko, ragam itu disebut madya ngoko atau madyantara. Jika dalam kalimat terdapat kata thadya, kra- ma, dan krama inggil, ragam ita disebyut madya krama, Lain halnya dengan besa krama, basa krama merupakan ba- hasa yang hormat. Kata-kata yang terdapat di dalamnya semua ‘berupa krama, Jika dalam kalimat terdapat kata krama dan kra- ‘ma inggil, ragam itu disebut mudha krama. Naru, jika dalarh kalimat hanya berupa kata krama saja, ragam itu disebut kra- mantara dan «redha krama. Yang membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunanya. Jika yang menggunakan orang muda, ragam itu disebut mudha krama. Namun, jtka yang menggunakan orang tua, ragam itu disebut wredha krama, Lebih lanjut dalam buku itu dijelaskan bahwa mudha krama di- gunakan oleh anak muda kepada orang tua, Kramantara digu- nakan oleh orang yang sejajar status sosialnya, dan wredha kra- ma digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda, Selain ketiga undha-usuk tersebut, masih ada basa krama inggil, basa kedaton, basa krama desa, dan basa kasar. Basa krama inggil didefinisikan sebagai bahasa yang sangat santun yang bentuknya mirip dengan mudha krama, Bahasa kedhaton (di Yog- yakarta disebut basa bagongan) merupakan bahasa yang digu- nakan oleh keluarga raja dan/atas digunakan oleh para karya- wan (abdi) yang bekerja di dalam istana, Ragam bahasa terse- but hanya dipakai di dalam istana. Krama desa didefinisikan se- 2 yang kurang memahamii ragam vutkan bahwa krama agai ragam halus orang desa : alas orang Kota. Di dalam Karti Basa diseb ddesa tidak termasuk bahasa yang halus. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Karti Basa 1946 ‘Undha Usuk Ngoko Krama Inggil Basa Kedhaton ace Krama Desa Basa Antya Antya Basa Madya Basa Kasar Madya Krama Krama fudha Krama Madyantara Mudha Kr Madya Ngoko Kramantara Wredha Krama 13 2.1.2 Kajian terhadap Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jacoa yang, disusun oleh Poedja- soedarma dkk. (1973) yang diterbitan oleh Pusat Bahasa dise- butkan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa, di dalam buku ity disebut tingkat tutur bahasa Jawa, terdiri atas (1) ngoko, (2) madya, dan (3) krama. Ketiga tingkat tutur ity masih dipilah-pilah menjadi sembilan bentuk. Tingkat tutur ngoko dibedakan men- jadi ngoko lugu, basa antya, dan antyabasa; tingkat tutur madya dibedakan menjadi madya ngoko, madyantara, dan madya krama; tingkat tutur krama dibedakan menjadi mudha krama, kraman- tara, dan wredha krama. Di dalam uraiannya, Poedjasoedarma mengakui bahwa tingkat tutur kramantara dan woredia krama sudah jarang terdengar. Pendapat Poedjasoedarma tersebut di- ikuti oleh Purwo (1991), Purwo juga membagi tingkat tutur ba- hasa Jawa menjadi ngoko, madya, dan krama. Namun, ketiga je- nis tingkat tutur itu tidak diperincinya lagi. Meskipun Poedjasoedarma (1979:13~15) telah membagi tirigkat tutur menjadi sembilan, temnyata yang diberi penjelasan ‘panjang lebar hanyalah tingkat tutur yang berbentuk ngoko, madya, dan krama, sedangkan bagian-bagian Ketiga tingkat tu- tur itu penjelasannya sama dengan yang terdapat di dalam - Karti Basa. Poedjasoedarma berpendapat bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 tethadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko, tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun ka- dar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur kra- ‘ma diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti pe- nuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya “ perasaan segan 01 terhadap 02. 14 ‘Unggah-Ungguh Bahasa Jawa memurut Poedjasoedarma dk. (1973) Tingkat Tutur Ngoko Krama Ngoko Lugu Mudha Krama Basa Antya Kramantara Antya Basa Wredhakrama Madya Madya Krama Madyantara. © Madya Ngoko 21.3 Kajian Lain ; ‘Selain kedua kajian di atas, Kajian lain yang perlu diung- apkan adalah kajian yang dilakukan oleh Poerbatjaraka. Poer- batjaraka (dalam Sudaryanto, 1989:96~-103) berpendapat bah- wa unggah-ungguh bahasa Jawa pada prinsipnya terdiri atas tempat macam, yaitu ngoko, krama, ngoko kramn, das krama ngoko Demikian halnya dengan Hadiwidjana (1967:50-51), ia mem- bagi tingkat tutur menjadi empat, tetapi istilah yang diguna- kannya berbeda dengan Poerbatjaraka, Hadiwidjana membagi 6 sor « tingkat tutur bahasa Jawa menjadi basa baku, basa krama, basa iadya, dan basa hurmat. Sudaryanto (1989) juga membagi ting. Kat tutur menjadi empat, tetapi berbeda dengan Poerbatjarake dan Hadiwidjana. Sudaryanto membagi tingkat tutur bahase Jawa menjadi ngoko, ngoko alus, Arama, dan kramna alus Kajian Jain yang tidak kalah menarik adalah yang dilaku- fan oleh Ekowardono dkk. (1993). Fkowardono mengelompok- Kan unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu ngoko dan rama, Jka unggah-ungguh ngoko ditambah Kata krama ing, unggah-ungguh tersebut akan berubah menjadi ngoko alus. ka Unegab-ungguh krama ditambah krama inggil, ungah-ungguh tersebut akan berubah menjadi frema alus, Tanpa:pemunerian Kata krama ingg,unggab-ungguh itu hanya berupa ngoko lug atau krama lugu, Tampaknya terdapat kesamaan antara Suds yanto dan Ekowardono, ‘Unggah-Ungguh Bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1989) atau Ekowardono dkk. (1993) ‘Tingkat Tutur Ngoko. Krama Ngoko — Ngoko lus Krama Krama Alus (goko Lugu) (Krama Lugu) 2.2 Tanggapan Kritis Dalam Karti Basa (1946) unggah-ungguh disebu€ undha-usuk, sedangkan dalam Poedjascedarmo dkk. (1973) unggah-ungguh 16 disebut tingkat tutur. Penggunaan undha-usuk atau tingkat tu- tur dalam kedua buku tersebut tampak seperti contoh berikut. @ @ 8) (a) @® © Ngoko Lugu Adhiku arep ditukokake wedlus. ‘Adik saya akan dibelikan kambing.' Ngoko Antyabasa Adkik arep ditumbaske wedhus ta, Pak? ‘Adik akan dibelikan kambing, Pak?" Ngoko Basaantya Adhik arep dipundhutke menda ta, Pak? 'Adik akan dibelikan kambing, Pak?! Madya Ngoko . Samang napa pun nukokake klambi adhine Warti dhek wingi sore? 'Apakah Anda sudah membelikan baju untuk adik Warti kemarin sore?" Madyantara Samang napa pun numbasaken rasukan adhine Warti dhek wwingi sore? ‘Apakah Anda sudah membelikan baju untuk adik Warti kemarin sore?’ Madya Krama ‘Njnengon mapa pun mundhuthe rasukan adine Wart dick wingi sore? "Apakah Ania sudah membelikan baju untuk adik Warti kemarin sore?! Mudha Krama Bapak, panjenengan mangke dipunaturi mundhutaken buku kangge Mas Kris, "Sapa, Bapak nanti diminta membelikan buku untuk Mas Kris.' wv (® Kramantara Pak, sampeyan mangke dipunpurih numbasaken buku kang- ge Mas Kris. 'Bapak, Bapak nanti diminta membelikan buku untuk Mas Kris. (9) Wredha Krama Nak Trisna, sampeyan mangke dipunpurih numbasaken bu- Jeu kangge Mas Kris. ‘Nak Trisna, Anda diminta membelikan buku untuk Mas Kris! (10) Krama Inggit lug mangke ing saderengipun wivit jawah, abdi dalem sam- pun prihatos sanget kusoatos menawi kados tau ingkang ke- pengker, 'Padahal sebelum hujan turun, saya sudah sangat prihatin ‘hawatir apabila (terjadi) eeperti tahun yang lalu.' (11) Basa Kedhaton Lo, punika adh ingkang punii? Punapi jengandika meksile darbe adi malik? “Lo, ini adik yang mana? Apakah Anda masih mempunyai adik lagi? (12) Krama Desa Tiyang ketigen inggik sami nanem palowtja wenten dhekem- aan, janggel, kacarg, lan tela pohung. Kirangan mengke yen ‘wenten jawoh. ‘Karena musim kemarau, tentu semuanya menanam pala- wija. Ada yang menanam kedelai, jagung, kacang, dan singkong. Entahlah nanti jika ada huujan’ (3) Basa Kasar Lha wong rupamu pantes karo dhapure, jegesmu ya mung ngurttal karo raicek. ‘Dasar wajahmu sesuai dengan dirinya, bisamu hanya ma- kan dan tidus’, 18 larma (1979:9~12), Contoh (1-9) di atas berasal dari Poedjasoedarma (19; contoh (10-12) berasal dari Karti Busa (1946:76-85), dan con- ‘tolt (13) berasal dari Sutrisna (1982:66). ; iia contoh di atas dilihat berdasarkan teksikon pemben- sniknye, terutama tingkat tutur ngoko, ntadye, dan krama, tampake seperti beriktut. is Variasi Bentuk singlet Tutur —TingkatTutur' —-Leksikon 4 t t NgokoLugu > _ngoko ko Naoko < Ngoko Andhap > ngoko + krona kramta (2) Basa Antya + ng (2) Antyabasa + goko + krgma ingglf ama + ngoko + MadyaKrama Pie i inggilferama andhap tau > madya + ngoko + Madya €_-Madyantara praia MadyaNgoko — madlya + ngoko Mudha Krama > rama + krama inggil/ rama andhap Krama Kramantara. = + rama Wredha Krama —> krama {1 ————— + krama inggi ee Bama andy 19 Pembagian unggah-ungguh tersebut, apabila di ‘ngan melihat kata-kata yang, disusun di dalamnya atau dengen berdasarkan pada Kosakata (leksikon) pembentuknya, yeng fampak rapi hanya yang terdapat pada unggah-ungguh ngoke sedangkan pembagian Yang lain, terutama pada unggah-ung. guh krama, terdapat kekacauan istilah dan terdapat kekacauen pengelompokan leksikon, jika di dalam suatu tuturan semua Jeksikonnya berupa ngoko, tuturan itu disebut ngoko liga, Tika -4i dalam suatu tuturan terri atas lekstkon ngoko, krmainggi, dan krama andiap, tuturan itu disebut ngoko antyabasa Jike: dy dalam suatu tuturan terditi atas leksikon ngoko, krama, krama inal, dan krama andhap, taturan itu disebut ngoko bascantya, Sementara itu, jika suatu taturan terdiri atas leksikon maiye dan ngoko, tuturan itu disebut madya ngoko, jika suata tuturan terdiri atas leksikon madya, krama, dan ngoko, tuturan itu dise. bat banat sedangkan jika suatu tuturan terdiri atas leksi- on madya, ngoko, krama,krama i ran Aaya ack kena kre ingy dan rac andi, ara Unggah-ungguh yang subt diidentifikasikan adalah mudha rams, tramantara, dan wredia krama. Ketiga unggah-ungguh tersebut dibedakan bukan berdasarkan pada katackata ‘pem. bentuknya (leksikon pembentuknya), tetapi dibedakan berda sarkan pemakainya. Mudha krama, misalnya, didefinisikan se. bagai tuturan yang digunakan orang muda terhadap orang tua, atau dapat juga didefinisikan sebagai bahasanya anak rude terhadap orang tua. Karena yang menggunakan adalah orang muda, unggah-ungguh mudia krana menuntut munculnya leke sikon krama inggil dan krama ardhap di samping leksjkon brama Hal itu berarti bahwa setiap orang muda mempunyai semacam kewajiban untuk menggunakan bahasa yang paling antan ke. pada orang tua. Lain balnya dengan wredha krama, unggah-uny didefinisikan sebagai bahasanya orang tua terhadep orang ares da, Karena yang menggunakan tuturan ini adalah orang tua, 20 Teksikon krama inggil dan krama andhap tidak wajib muncul, te- tapi kedua leksikon itu kehadirannya bersifat mana suke (opsi- onal). Hal itu mengisyaratkan makna bahwa tidak ada sema- cam kewajiban bagi orang tua untuk menggunakan bahasa yang paling santun kepada orang muda. Akibatnya, leksikon yang wajib muncul dalam unggah-ungguh wredha krama hanya leksikon yang berbentuk krama, Sementara itu, unggah-ungguh kramantara didefinisikan sebagai unggah-ungguh yang berada di antara mudha krama dan wredha krama, Di dalam unggah- ungguh ini pembicara dan mitra wicara (lawan bicara) merasa -mempunyai kesejajaran status sosial a Jika dilihat dari kata atau leksikon yang dirangkaikan da- lam suatu tuturan, tampak bahwa kata-kata yang terdapat pa~ da kramantara {contoh (8)} sama seperti yang terdapat pada wredha krama {contoh (9)} yaitu semuanya berbentuk krama. Ka- ta atau lekstkon yang berbentuk krama inggil dan krama andhap tidak muncul dalam kedua unggah-ungguh tersebut. Anehnya, walaupun bentuk atau wujud kata yang digunakannya sama, yaitu semuanya berbentuk krama, yang satu disebut wrediia ‘rama dan yang lain disebut kramantara. Demikian pula dengan mudin krama dan krama inggil, kata- kata yang terdapat di dalam kedua unggah-ungguh tersebut juga sama, yaitu semuanya berbentuk krama ditambaly krama inggil atau krama andhap. Anehnya, walaupun bentuk atau wu- jud kata yang digunakannya sama, yang satu disebut mudha rama dan yang lain disebut krama inggil. Padahal, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa suatu tu- turan disebut krame inggi! hanya karena di dalam tuturan ter- sebut terdapat leksikon krama inggil. Cobalah cermati kembali contoh (10) di atas. jika contoh (10) tersebut diamati akan tam- pak bahwa leksikon krama inggil yang terdapat dalam tuturan tersebut hanya abdi dalem ‘hambamu (saya), sedangkan leksi- kon yang lain berbentuk krama. Jika demikian halnya, di ma- nakah letak perbedaan anatar krama inggil dan mudha krama? a Bukankah kedua unggah-ungguh itu sama-sama terdiri atas leksikon krama, krama inggil, dan krana andhap? Mengapa yang satu disebut krama inggil dan yang lain disebut mudha krama? Pembagian unggah-ungguh yang lain yang juga didefinisi- kan secara semantis adalah krama desa, basa kedhaton, dan basa kasar. Yang dimaksud dengan krama desa adalah bahasa krama yang dipakai/digunakan oleh orang yang kurang dapat berba- hasa dengan benar. Sementata itu, yang dimaksud dengan basa edhaton (bahasa istana) adalah bahasa yang digunakan oleh para kerabat istana atau orang-orang yang berada di dalam istana dan wilayah pemakaiannya pun terbatas hanya di dalam istana, sedangkan yang dimaksud dengan basa kaser adalah ba- hasa yang di dalamnya terdapat leksikon yang bernilai rasa ka- sar. Jika dicermati lebih dalam, krama desa lebih tepat disebut sebagai bahasa krama yang kurang baku atau bahasa krama nonstandar (substandar) karena banyak kata krama yang tidak baku—misalnya menggunakan analogi yang salah seperti kata milai dan wedos~digunakan dalam percakapan sehari-hari, Pe- namaan krama desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dila- kukan orang kota terhadap orang desa, Saat itu, orang yang tidak dapat berbahasa dengan benar menurut ukuran orang negari (Kota) diidentikkan dengan orang desa sehingga bahasa krama yang digunakannya pun disebut krama desa. Sementara ‘itu, basa kedhaton lebih tepat dikelompokkan ke dalam subdia- Jek atau lebih dekat ke bentuk kreol daripada ke dalam suatu ragam tertentu. ‘Kekonsistenan pembagian unggah-ungguh di dalam kedua buku itu hanya tampak pada unggab-ungguh ngoko, dan mad- ya, sedangkan pada pembagian unggal-ungguh krama terdapat ketumpangtindihan istilah. Tuturan yang terdiri atas leksikon kransa, krama inggil, dan krama andhap disebut dengan dua isti- lah, yaitu mudha krama dan krama inggil, sedangkan tuturan 22 yang hanya terdiri atas leksikon krama juga disebut dengan dua istilah,yaitukramantara dan toreda ama. a Hai lain yang lepas dari pengamatan Poedias as73), Sudaryanto 989), ddan Ekowardono dk, (1993) adalah adanya perubahan faktor sosial yang ikut menentukan pemi- lihan suatu bentuk tingkat tutur akhir-akhir ini, Dalam masya- rakat Jawa dewasa ini terdapat perubahan sikap, yaitu bahwa tidak semua orang bersedia menggunakan bentuk krama ke- pada mitra wicara, terutama jika mitra wicara atau 02 merasa status sosialnya sama atau sejajar dengan yang mengajak ber- bicara (01). Dalam keadaan seperti itu, 02 cenderung akan ‘menggunakan bentuk krama,jika 01 juga menggunakan bentuk rama, Akan ‘etapi, jika 01 menggunakan bentuk ngoko, 02 pun cenderung akan menggunakan bentuk nigoko pula. Oleh karena itu, tidak aneh jika Poedjasoedarma dk. berpendapat babwa bentuk kramantara dan wredhakvama saat ini mulai jarang terde- ngar. Penyebabnya diduga terdapat pergeseran perasaan status / sosial, yaitu mitra wicara (02) merasa sejajar status sosialny dengan (04). uL Gh ws % joedarma dik, BAB III BEBERAPA KONSEP DASAR Suatu untaian kalimat disebut ngoko atau krama'sebenarnya bergantung pada pemakaian dan pemilihan leksikon atau kata (Kosakata) di dalam kalimat itu secara tepat. Sampai saat ini is- tilah ngoko, madya, dan kramasekurang-kurangnya digunakan un- tuk dua pengertian, yaitu untuk merujuk pada pengertian leksi- kon dan pengertian konstruksi (Purwo, 1991:1). Istilah ngoko dan rama dalam penelitian ini pun digunakan untuk dua pengertian, yaitu digunakan untuk merujuk pengertian leksikon dan untuk ‘merujuk pengertian konstruksi (kalimat atau struktur kalimat). Meskipun begitu, dalam penelitian in‘ istilah madya sepertihalnya Krama inggil dan krama andhap hanya digunakan untuk merujuk ke Pengertian leksikon bukan untuk merujuk ke pengertian kon- struksi. Untuk merujuk pengertian konstruksi digunakan istilah ngoko lugu, ngokoalus, krama lugu, dan krama alus. Konstruksi ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus sebenarnya hanya merupakan varian dari konstruksi ngoko dan krama (lebih lanjut masalah ini akan diuraiakan pada Bab V), Bentuk madya dalam tulisan ini tidak dikelompokkan ke da- lam bentuk konstruksi (Kalimat), tetapi dikelompokkan ke dalam Jenis leksikon (kata/kosakata). Hal itu disebabkan konstruksi ma dya sebenarnya merupakan bagian dari konstruksi krama yang kadar kehalusannya rendah, Namun, yang perlu diingat adalah ‘bahwa yang rendah adalah kadar kehalusan bahasa bukan kadar 24 kesantunan si pembicara. Schubungan dengan penjelasan di atas, dalam bab ini hanya akan dibicarakan bentuk leksikon bahasa Jawa dari segi bentuk dan makna. 3 Leksikon Bahasa Jawa dari Segi Bentuk Menurut Kridalaksana (1993:127) leksikon merupakan’ kom- ponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa, Selain it, lekstkon juga me- rupakan kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa. Jka dilihat dari segi bentuk, leksikon baljasa Jawa dapat dibedakan menjadi enam, yaitu leksikon (1) ngoko, (2) madya, (3) krama, (4) krama ing- gil, (6) krona andhap, dan (6) netral. Keenam leksikon tersebut tam- pak pada uraian berikut. 3:11 Leksikon Ngoko Leksikon ngoko merupakan dasar dari semua leksikon (Poe- djasoedarma, 1979:24). Hal itu berarti bahwa leksikon ini meru- pakan dasar pembentukan leksikon madya, krama, krama andhap, dan krama inggil.Jika dilihat dari pemakaiannya, leksikon ngoko dapat digunakan oleh orang pertama (01), orang kedua (02), dan orang ketiga (03) seperti contoh berikut. (2) Aku arep mangan pelem. ‘Saya akan makan mangga’ (2) Kowe arep mangan pelem? "Kamu akan makan mangga? (8) Dheweke arep mangan pelem? ‘Dia akan makan manga?" ‘akan 'makan’ pada ka- ‘Tampak bahwa butir arep ‘akan’ dan mangon 'makan' p limat (1) sampai dengan kalimat (3) merupakan leksikon ngoko: ‘yang dapat digunakan oleh orang pertama aku'saya' seperti pada kalimat (1), oleh orang kedua kowe ‘kamu’ seperti pada kalimat 8 (2), dan oleh orang ketiga dheweke ‘dia’ seperti pada kalimat (3). Kata aku, kowe, dan dieweke juga termasukleksivon ngoko, ° Setiap leksikon ngoko selaiu mempunyai padanan leksikon kerama, madye, krama inggil, dan/atau krama andhap. Jka tetdapat suatu leksikon yang diduga ngoko, tetapi ternyata tidak mempu- nyai padanan leksikon krama, madya, krama inggil, atau krama an- hap, leksikon tersebut dikelompokkan ke dalam leksikon netral. Amatilah Tabel 1 di bawah ini Tabel 1 wo, | Leksion Padanan Leksikon Ngoko | Madya | Krama | Kame | Krama Inggil_| Andhap T. | cendhela - = : 5 2. | abang - fabrit |. a 3. | arep ajeng | badhe | - : 4 lunge = | kesah | tindak = 5. | awel = | suka | atur ing’ 6._| tangan ema |e asta ae Jika tabel tersebut diamati, tampak bahwa leksikon cendhela 'jendela’ pada (1) tidak mempunyai padanan leksikon madya, kra- ‘ma, krama inggil, dan krama andhap. Hal itu berarti bahwa cendhela tidak termasuk leksikon ngolo, tetapi termasuk leksikon netral, Leksikon abang 'merah' (ngoko) pada (2) hanya mempunyai padan- an leksikon krama, yaitu abrit !merah, tetapi tidak mempunyai pa- danan leksikon madya, krama inggil, atau krama andhap. Leksikon arep‘akan' (ngoko) pada (3) mempunyai padanan leksikon madya dan krama, yaitu ajeng dan badhe ‘akan’, tetapi tidak mempunyai padanan leksikon krama inggil dan krama andhap. Leksikon lunga (ngoko) pada (4) mempunyai padanan leksikon krama dan krama inggil, yaitu kesah dan tindak, tetapi tidak mempunyai padanan 26 leksikon madya dan leksikon krama andhap. Leksikon aweh ‘beri’ (ngoko) pada (5) mempunyai padanan leksikon krama, krama inggil, dan krama andhap, yaitu suka, atur, dan paring yang semuanya ber- ‘makna ‘beri, tetapi tidak mempunyai padanan leksikon madya Sementara itu, leksikon tangan 'tangan’ (ngoko) pada (6) hanya ‘mempunyai padanan leksikon krania inggil, aitu asta, tetapi tidak mempunyai padanan leksikon madya, krama, atau krama andhap. Di dalam penelitian inbleksikon netral tidak dikelompokkan ke dalam Ieksikon ngoko sebab jika leksikon netral dikelompok- ‘kan ke dalam leksion ngoko berarti leksikon netral tersebut harus ‘mempunyai padanan leksikon lain. Selain itu, batasan yang di- ungkapkan oleh Poedjasoedatma dk. yang mengatakan bahwa Ieksikon nigoko merupakan dasar semua leksikon tidak berlaku. ‘Oleh karena itu, dalam penelitian ini leksikon ngoko didefinisikan sebagai leksikon dasar yang mempunyai padanan leksikon krama, ‘madya, krama inggil, atau krama andhap, sedangkan leksikon netral tidak. Leksikon netral akan dibicarakan lebih lanjut pada butir 316 3.1.2 leksikon Madya Leksikon madya merupakan leksikon krama yang kadar ke- halusannya rendah. Meskipun begitu, apabila dibandingkan de- ngan leksikon ngoko, leksikon madya tetap menunjukkan kadar kehalusan: Leksikon madya hanya berjumlah sekitar 54 kosakata, Pemakaian leksikon madya sama dengan pemakaian leksikon ngoko, yaitu dapat dipakai oleh 01, 02, dan 03. Seperti tampak pa- da contoh berikut ini. (4) Kula ajeng teng Salatiga, sampeyan ajeng teng pundi? ‘Saya akan ke Salatiga, Anda akan ke mana?’ (6) Nika ajeng teng Salatiga napa teng Surakarta? "Kamu akan ke Salatiga atau ke Surakarta?’ (©) Kiyambake ajeng teng Salatiga napa teng Karanganyar? 'Dia’akan ke Salatiga atau ke Karanganyar?’ 2 Butir ajeng akan’ dan teng 'ke! pada kalimat (4--6) diatas me- rupakan leksikon madya yang digunakan oleh (01) kula ‘saya', (02) ndika ‘kamu, dan oleh (03) kiyambake ‘dia’. Sementara itu, kata ndika, Kiyambake, dan napa juga termasuk leksikon madya, sedang- kan batir kula dan sampeyan termasuk leksikon krama. ‘Apabila Tabel 1 pada 3.1.1 di atas diamati tampak bahwa se- mua bentuk leksikon madya (lihat butir (3) pada tabel tersebut) selalu mempunyai padanan leksikon ngoko dan krama, tetapi ti- dak semua bentuk ngoko mempunyai padanan bentuk madya. Agar lebih jelas perhatikan pula Tabel 2 dan 3 berikut ini, Tabel 2 [Ngoko | Madya | Krama | Makna bang - abrit ‘merah gedhe 5 ageng ‘hesar’ larang - awis ‘mahal’ percaya . pitados | ‘percaya’ pitike : ayam ‘ayam’ Tabel 3 [[Madya [_Ngoko | Krama | Makna | empun | uwis ]_sampun | “sudah" onten | ana wonten ‘ada! ajeng. arep badhe takan' ndika kowe panjenengan | ‘kamu’ menyang | ahateng Pada Tabel 2 di atas tampak oposisi leksikon ngoko dan krama tanpa ada bentuk madya, sedangkan pada Tabel3 tampak bahwa ‘semua leksikon madya selalu mempunyai bentuk leksikon ngoko 28 dan krama. Jika diamati lebih jauh, ternyata, leksikon madya int dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu jenis leksikon madya yang merupakan pemendekan (abreviasi) leksikon krama dan yang bukan merupakan pemendekan leksikon krama ‘Yang termasuk leksikon madya golongan pertama yaitu ant- pun, canten, empun, engga, enggil dugi, kedugen king, mawon, napa, mika, miki, niku, ngge, nggene, nggen. ngeten, mjing, onten, riyin, seB, feng, dan tesil/tasit. Leksikon tersebut sebenamya berasal dati leksikon krama yang dipendekkan, yaitu sebagai berikut. Krama Madya : 7 sampun + ampiun ‘jangast santpun + empun'sudah’ ‘wicanten > canten ‘bicara’ mangga > engga’silakan/mari™ dumugi + dugi’sampai’ Kedumugen > —_ kedugen ‘kedatangan’ saking + king’dari’ emawon = > ~—-mawoon’ aja’ punapa + napaapa punika nike kangge + — ngge’untuk’ mnggenan + ~—_riggen ‘tempat rene benjing = ying ‘besok ‘wonten = onten ‘ada’ rumiyin > riyin’autu’ | smweg = xg’sedang’ dhateng > teng’ke’ taksih > tesih/tasih ‘masih’ i leksi- Leksikon madya yang bukan berasal dari pemendekan lek on arama adalah amit kat, aieng ‘akan, kajenge ‘bias’, kriyin iGahuiu’, caket’dekat , kiyambak’‘sendiri’, Kiyantbake ia’, mawi"me- 29 makai',enggih ya’, miki“ini’, niu ‘itu, ture/turene “kata/katanya’, samang (mang) ‘kamu’, jengandika/dika ‘kare’, metih ‘lagi’, semen. ten/semonten ‘sekian', seking ‘dari’, nyetani‘menamai/menyebut’, retos ‘mengerti’, dhaveg ‘ayo’, sanunggil ‘satu’, wikana ‘ental’. sakniti‘sekarang,, kang slira/slirane ‘kamu’, sampeyan ‘kamu’, dhek napa “kapan’, kepripunfpripun ‘bagaimana’,setri“perempuan’,pa- setren ‘vagina’, setungeil ‘satu’, mengke ‘nanti’, meketen/ngeten/ngo- ten “begini’, siyin/sengiyin ‘dahulu’. Leksikon madya yang bukan berasal dari pemendekan leksi- kon krama ada yang berupa variasi fonem dan ada pula yang be- Tupa metatesis leksikon krama, seperti tampak pada kata kiyam- bak, enggik, melih, sementen/semonten, scking, sanunggil, sehinggil, ‘mengke, dan setri, Bentuk-bentuk itu sebenarnya berasal dari lek- sikon krama piyambak, inggih, malik, semanten, saking, satunggil, mangke, dan estri Krama Madya piyambak + kiyambak’sendiri’ iyambakipun + kiyambake ‘dia’ malih + melih lagi’ semanten + _semonter/sementen ‘sudaly’ saking + seking ‘dari’ satunggil + sanunggil’satu’ satunggil + _setunggil ‘satu’ mangke + mengke/mengheh ‘nanti’ estri + setri’perempuan’ Hal lain yang perlu diungkapkan adalah bahwa terdapat beberapa leksikon madya yang mulaijarang digunakan. Leksikon itu adalah jengandika’kamu’, ndika’kamu’, samang’kamu’, dhaweg ‘ayo’, dan wikana ‘entah’. Namun, bentuk pendek semang yaitu mang masih sering dipakai seperti pada beberapa contoh berikit, 30 ( Mangpendhetke buku niku, Dhi. “Engkau ambilkan buku itu, Dik.’ (8) Kula mangtukokke lurik Pedan sing tejatirta “Aku engkaw belikan kain lurik buatan Pedan jenis teja- tirta’ (9) Yu, nyravun tulung tenggok niki mangunggahke teng pun- ata fala. “Kak, tolongiah bakul ini engkau naikkan ke bahu saya.’ 3.1.3 Leksikon Krama Leksikon kratha sebenarya merupakan bentuk halus dari Ieksikon ngoko. Peridapat itu agak berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Poerwadarminta (1939:248) dan Tim Penyusun Kamus Balai Bahasa Yogyakarta (2001:414 ). Mereka berpendapat baitwa leksikon krama merupakan tembung urmat (pakurmatan) ing unggah-ungguh basa atau leksikon penghormatan ii dalam tingkat tutur berbahasa. Dalam penelitian ini bentuk halus tidak dianggap sama dengan bentuk hormat. Hal itu di- karenakan orang yang berbahasa halus kepada mitra wicara be- Jum tentu bahwa ia hormat kepada mitra wicaranya itu. Ia meng- gunakan bentuk krama atau bentuk halus tersebut bisa saja ka- rena beberapa alasan, yaitu karena (1) belum mengenal mitra wicara, (2) mengtharapkan mitra wicara juga menggunakan ben- tuk krama, (3) merasa segan kepada mitra wicara, dan/atau (4) menghindari anggapan bahwa dirinya tidak tahu sopan santun. Pemakaian leksikon krama ini sama dengan pemakaian leksikon ngoko dan madya, yaitu dapat dipakai oleh 01, 02, dan 03 seperti tampak pada beberapa contoh kalimat di bawah ini. (10) Kuta bathe drateng Magelang. ‘Saya akan ke Magelang.' (11) Panjenengan badhe dhateng Magelang? 'Anda/kamu akan ke Magelang?" 31 (12) Piyamtakipun badhe dhateng Magelang? "Dia akan ke Magelang?! Tampak bahwa butir badhe ‘akan! he ‘akan’ dan dhateng ‘ke! pada kalimat 0-12) merupakan leksikon krama yang dapat digunakarvoleh ea Pertama kula ‘saya’ seperti pada kalimat (10), oleh orang ke- Keng imferengan ‘kamu’ seperti pada kalimat (11), dan oleh orang bt 2 vambakipun ‘dia’ seperti pada kalimat(12).Sementaraity, fa, panjenengan, di bakipun dalam contoh di > rast i canenergan dan yelp dalam contoh dats ter i Leksikon krama sebenamnya merupakan bentuk halus dari Teksikon ngoko. Oleh Karena it, semua leksikon krama past! ‘empunyai padanan leksikon ngoko. Amatilah Tabel 4 berikut. Tabel 4 Krama [_Ngoko | Makna abrit | ~abang | “mera” tenten | beda “beda’ cekap | cukup | ‘cukup’ dial bengi ‘malam’ ebah ba ‘gerak’ fulis | serat “tulis’ Tabel datas mempertihatkan bahwa setiap leksikon kramaselalu ‘mempunyaj padanan leksikon ngoko. Bahkan, jika dicermatilebih Tee elam™ akan tampak pula bahwa bentuk leksikon krama dapat Beane menjadi dua macam, yaitu (1) leksikon krama yang Srenye sama oa berbeda dengan bentuk ngoko dan (2) lek- la yang bentuknya merupakan n goto. Amatilah tabel berks PoTwahen leksikon 32 Tabel 5 Krama Ngoko gedhe cilik ireng bengi urip omah geni Tabel 6 Krama Ngoko | _Makna anargi amarga “sebab’ apunten | apura ‘maar cekap cukup ‘cukup’ cobi coba ‘coba’ batos batin ‘batin’ betah butuh ‘butuh’ eb, obalt “gerak’ Jika kedua tabel tersebut diamati tampak bahwa bentuk leksikon rama yang terdapat pada Tabel 5 sama sekali berbeda bentuk~ nya dengan leksikon ngoko, sedangkan leksikon krama yang fer- dapat pada tabel 6 merupakan perubahan bentuk dari leksikon ngoko. Perubahan leksikon ngoko menjadi leksikon krama akan diuraikan lebih lanjut pada Bab VI. Leksikon krama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu leksikon krama baku dan leksikon krama tidak baku. Poedjasoedarma (1979) menyebut leksikon krama beku sebagai leksikon krama standar, sedangkan leksikon krama yang tidak baku disebutnya sebagai krama substandar. Leksikon krama yang substandar ini 33 Jazim pula disebut dengan nama krama.desa. Munculnya lek- sikon tersebut dikarenakan si pembicara, entah 01 atau 02, kurang, mengertileksikon krama yang baku. Leksikon krama desa ini da- pat dipakai oleh 01, 02, dan 03. Berikut disajikan beberapa contoh. (13) Kula lambang yatrane onten, Kang? ‘Saya menukar wang, ada, Kak?" (14) Sampeyan wax lambang yatra? ‘Anda tadi menukar uang?* (15) Kiyambake wau lambang yatra? "Dia tadi menukar uang” ‘Tampak bahwa butir lambang dan yatre ‘tukar' dan ‘uang' pada kalimat (13) .d, (15) merupakan leksikon substandar atau krama esa yang dapat dipakai oleh (01) kula ‘saya’ seperti pada kalimat (13), oleh (02) sampeyan 'Anda/kamut' seperti pada kalimat (14), dan oleh (03) kiyambake ‘dia’ seperti pada kalimat (15). Bentuk kra- ma standar dari lambang dan yatra adalah lintu dan arta, Leksikon krama desa itu kurang lebih berjumlah 77, sedangkan leksikon rama baku (standar) jumlahnya sangat banyak. Leksikon krama substandar atau krama desa ini ada yang me- rupakan variasi dari krama baku, dari ngoko, atau ada pula yang bukan berasal dari keduanya, tetapi benar-benar leksikon krama desa yang merupakan bentakan baru. Léksikon krama desa yang merupakan variasi leksikon krama baku itu adalah sebagai berikut. Krama Baku KramaDesa aksama > aksami ‘maar nama = nami 'nama’ ‘wangsul + bangsul ‘kembali’ _ wongsalsvangsul > —bongsal-bangsul ‘berulang kali’ benjing enjing + _benjang enjang "besok’ satunggal + setunggiVeenunggil ‘satu! nate = natos'pernab’ 34 sepult + sepal ‘tua’ jawah => jwoh“hujan’ ejmoahan =» —_—Kejawohar‘kehuujanan’ estri + seiri’perempuan’ rumiyir + siyin ‘dalla’ saged > waged ‘dapat’ rama > krami‘kawin’ atau ‘halus’ pitados + pitajeng/percados ‘percaya’* tedha > tedlii‘makan’ tetedhan > tetedhen‘makanan’ semanten + sementen'sekiar’ semanten + semonten ‘seukuran itu’ namung + naming ‘hanya’ mekaten <> ngeten ‘begini’, ngaten “begini’ mangke > mengke/mengkih ‘nanti’ margi > mergi jalan’ sawatarwis > watawis ‘antara’ Leksikon krama desa yang merupakan variasi leksikon ngoko adalah sebagai berikut. Ngoko Krama Desa arti + artos ‘arti tangga + tanggi tetangga’ | tangga teparo — —» —_tanggi tepalih ‘tetangga kanan ki’ ‘egal = tegil’kebun’ Haga = tlagi ‘telaga’ terus + teras'terus’ ulema > ulami‘ulama’ cina + cinten Cina’ ‘tut > tumunten ‘segera’ pangling + pandung ‘lupa tidak mengeral” kepatinan =+ kepatosan‘kepatihan’ = sepisan + sepindhah’sekali/pertama’ 35 way tagu sy 3.1.4 Leksikon Krama Inggil Di dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat sejumlah lek- sikon yang dapat digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan meninggikan mitra wicara. Leksikon itu lazim di- sebut dengan krama inggil. Leksikon krama inggil hanya dapat di gunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang diajak berbi- cara (02) maupun untuk orang yang dibicarakan (03),sedangkan diri sendiri (01) tidak dibenarkan menggunakan leksikon ini. Ber- ikut disajikan beberapa contoh. (16) Panjenengan punapa badhe tindak dhateng Surabaya? ‘Apakah Anda akan pergi ke Surabaya?’ (17) Piyambakipun punapa badhe tindak dhateng Surabaya? ‘Apakah dia akan pergi ke Surabaya?’ (18) Bapak badhe tindak dhateng Surabaya? "Bapak akan pergi ke Surabaya? (19) Mas Yoyok arep tindak menyang Surabaya? Mas Yoyok akan pergi ke Surabaya ?” Butir findak 'pergi' pada kalimat (16-19) merupakan leksikon krama inggil yang hanya dapat dipakai oleh orang kedua, yaita oleh panjenengan ‘Anda /kamu' seperti contoh (16), oleh bapak"ba- pak’ seperti contoh (18), oleh Mas Yoyok seperti contoh (19), dan. dapat pula dipakai oleh orang ketiga, yaitu piyambakipun 'dia'se- perticontoh (17). Namun, butir tindak tidak dapat digunakan un- tuk dir sendiri seperti tampak pada kalimat (20) dan (21) berikut ° ini, (20) ‘Aku arep tindak menyang Surabaya. 'Saya akan pergt ke Surabaya.’ (21) *Kula badhe tindak dhateng Surabaya. ‘Saya akan pergi ke Surabaya.’ 38 Penyimpangan pemakaian krama inggil untuk diri sendiri, seperti pada kalima¢ 20) dan (21) diatas, dapat menimbulkan reaksi bagi orang yang mendengarkannya (entah 02 tat 03). Reaksi itu ada- Jah 01 dianggap sombong Karena merendahkan orang lain dan meninggikan dirisendiri, atau 01 dijadikan bahan tertawaan kare- na tidak dapat berbahasa dengan benar. SSecara sintaktis kalimat (20) dan (21) sebenarnya termasuk ka- Jimat yang gramatikal sebab dalam kedua konstruks! itu, unsur~ unsur kalimat telah terpenuhi, yaitu aku dan kula ‘saya’ pada kali~ mat (20) dan (21) berfungsi sebagai subjek, arep findek dan bade tindak ‘akan pergi' pada kalimat (20) dan (21) berfungsi sebagai predikat, serta menyang Surabaya dan dhateng Surabaya ke Suraba- $2" juga pada kalimat (20) dan (21) berfungst sebagat keterangan Namen, secara pragmatis dan/atau sosiolinguistis kalimat (20) dan (21) keberterimaan maknanya Hal itu dikarena- kan di dalam masyarakat JaWa ada semacam kesepakatan bahwa ‘untuk memberi penghormatan kepada mitra wicara, selalu akan digunakan prinsip merendahkan diri sendiri dan meninggikan orang lain. ‘Cara pelaksanaan prinsip itu adalah (01) menggunakan kram andhap untuk diri sendiri dan menggunakan krama inggi! untuk orang lain, Akan tetapi, jk leksikon krama ings tidak memiiki padanan leksikon krariaandhgp, C1 dapat menggunakan leksikon Kxama. Demikian pula jika leksikon krama inggi! tidak memilikt padanan leksikon krama andhap atau leksikon kraa, 01 dapat nenggunakan leksikon ngoko untuk merendahkan diri sendiri Jedi, leksikon kramainggi! hanya dapat digunakan untuk orang la- jn bukan untuk diri sendiri. Oleh karena itulah, mengapa kalimat (20) dan (21) di atas menjadi tidak berterima? Ternyata, semata- jnata karena kedua kalimat tersebut menyalahi prinsip tersebut, Kalimat (20) dan (21) di atas akan menjadi berterima apabila leke sikon tindak (kramainggil) diganti dengan lunga (ngoko) atau kesalt (krama) seperti pada kalimat (22) dan (23) berikut ini, 39 (22) Aku arep Iunga menyang Surabaya. ‘Saya akan pergi ke Surabaya.” (23) Kula badhe kesah dhateng Surabaya. ‘Saya akan pergi ke Surabaya.’ Pemakaian leksikon krama kesal se , sperti tampak pada contoh (23) dikarenakan lekstkon tindak (krama inggil) tidak Rerearslvas danan leksikon krama andhap. Leksikon tindak hanya tnemiliki pa- danan kata kesalt (krama) dan lunga (ngoko). Karena itulah, untuk merendahkan diri sendiri, 01 menggunakan krama. Leksikon krama inggil ini ada yang mempunyai padanan Ieksi- kon krama dan ngoko serta ada pula yang hanya mempunyai pa- danan leksikon ngoko dan tidak mempunyai padanan leksikon lain, Agar lebih jelas perhatikan Tabel 7 dan 8 berikut. Tabel 7 Krama Inggit’_ | Srama | Ngoko | Makna dalem | griya | omiah ‘rumaht dhahar | nedha | mangan | ‘makan' pinarak | lenggah | linggih | ‘duduk’ rawuh | dugi/ | teka ‘datang’ dunugi kondur | wangsu/| balifmutih | ‘pulang’ manituk 40 Tabel 8 Krama | Ngoko | Makna | > Tangan | ‘tangan’ | a bayen ‘bersalin' - irung | ‘hidung! : rambut | ‘rambut! gue ‘leher Diantara beberapa leksikoi krama inggil ini yang paling mem- bingungkan adalah penggunaan kata atur dan bentukannya, yaitu ngaturi, ngaturake, ngaturaken, diatur, diaturake, dipunatun, dan di- punaturaken, Meskipun beg, jika prinsip penggunaan kranaing- ‘pildipegang, yaitu hanya digunakan untuk orang lain, Kesulitan penggunaan kata atur dan bentukannya tersebut dapat dihindari ‘Amatilah beberapa contoh berikut. (24) a. Pak Lurah arep dakaturi buku iki b. Pak Lurah badhe kida aturi buku punika “Pak Lurah akan saya beri buku ini.’ (25) a. Pak Lurah arep kokakaturi/koaturi buku iki? b. Pak Lurah badhe panjenengan aturi buku punika? “Pak Lurah akan engkau beri buku ini?” (26) a. Pak Lurait arep diaturi buku iki? b. Pak Lurah badhe dipunaturi buku punika? “Pak Lurah akan diberi buku ini?’ Kalimat (24) dan (25) seolah-olah mengesankan bahwa 01 dan 02 menggunakan krama inggil untuk diri sendiri (untuk diri 01 dan 02), tetapi jike dicermati lebih mendalam, ternyata 01 dan 02 me- 41 lakukan pekerjaan untuk orang lain, yaitu untuk Pak Lurah. Jadi bukan untuk dirt sendiri. Sementara itu, kalimat (26) menunjuk- kan bahwa 01 bertanya kepada 02 yang isinya menanyakan bah- wa Pak Lurah akan diberi buku ini, tetapi pelaku pemberi buku itu belum jelas sebab bisa 01 (yang bertanya), bisa 02 (yang dita- nya), atau bisa pula 03 (orang lain) yang akan memberikan buku itu kepada Pak Lurah. Kata aturi di atas dapat diganti dengan kata caosi sebab caosi juga termasuk kramaa inggil sehingga kedua kata tersebut dapat bersubstitusi seperti contoh berikut. : (27) a. Pak Lurah arep dakeaosi buku iki. b. Pak Lurat badiie kula caosi buku prenika, "Pak Lurah akan saya beri buku ini,” (28) a, Pak Lurah arep kokcaosi/kocaosi bucku iki? b. Pak Lurak badhe panjenengan caosi bukoe punika? ‘Pak Lutah akan engkau beri buku ini?’ (29) a. Pak Lurah arep dicaosi buku iki? Pak Lurah badhe dipuncaosi buku punika? “Pak Lutah akan diberi buku ini?” oP Karena aturi dan caosi termasuk leksikon krama inggil, kedua kata tersebut hanya dapat digunakan untuk orang lain sehingga jika digunakan untuk diri sendiri kalimat menjadi tidak berterima. Amatilah contoh berikut, (20) a, *Akw arep kokaturV/koaturt bisku? 1b. *Aku arep panjenengan aturi buku? ¢. *Kula badhe panjenengan aturi buku? “Saya akan kamu beri buku?” 42 Ql) a. *Aku arep diaturi buku? D. *Kule bade dépunaturi buku? “Saya akan diberi buku” Seolah-olah kalimat (30) dan (32) mengesankan bahwa 02 meng- ‘gunakan krama inggil untuk orang lain. Padahal, jika dicermatile- bih mendalam, ternyata 01 “memaksa” orang lain, yaitu 02 atau 03 melakukan pekerjaan untuk diri 01 sendiri sehingga kalimat ‘menjadi tidak berterima. Jadi, informasi yang sebenarnya dapat diungkapkan kalimat (30) dan (31) diatas adalah bahwa 01 meng- gunakan krama inggil untuk dirisendiri, bukan dirisendiri meng- ‘gunakan kramceinggit untuk orang lain. Meskipun aturi diganti ca- si, kalimat itu tetap tidak akan berterima seperti perubahan ber- ikut. (82) a. *Aku arep kokcaosi/kocaosi buku? b. “Aku arep panjenengan caosi buku? c. *Kula badhe panjenengan caosi buku? ‘Saya akan kamu beri buku” (83) a. *Aku arep dicaosi buku? b. “Kula badhe dipuncaosi buku? “Saya akan diberi buku?” Kalimat (30-33) di atas menjadi tidak berterima karena krama ing- gil (aturi dan caosi) digunakan untuk diri senditi. 3.15 Leksikon Krama Andhap Selain terdapat sejumlah leksikon yang diginakan untuk menghormati mitra wicara dengan cara meninggikan mitra wica- 1a, terdapat pula leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan cara merendahkan diri sendiri. Leksikon itu lazim disebut krama andhap. Leksikon krama andhap hanya dapat digunakan untuk diri sendiri dan tidak dapat digunakan untuk ‘orang lain, baik untuk 02 maupun untuk 03 seperti tampak pada 2 beberapa contoh di bawah (34) a. Mangke kula kemawon ingkang sowan Pak Wari. 1b. Mengko aku wae sing sowan Pak Waridi ‘Nanti saya saja yang menghadap Pak Waridi’ (85) a. *Mangke panjenengan kemawoir ingkeng sowan dhateng sgriya kula, b. *Mengko kowe wae sing sowan menyang omaliku 'Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’ (6) a. *Mangke piyambakipun kemawon ingkang soivan dhateng ‘riya hula, bb. *Mengko dheweke wae sing sowan menyang omakia.” 'Nanti dia saja yang datang ke rumah saya’ Butir sowan 'menghadap' pada (34—36) di atas merupakan leksikon krama andhap yang hanya dapat digunakan oleh 01, yaitu Jkula atau aku ‘saya’ seperti pada kalimat (34a~34b), tetapi untuk 02 dan 03 yaitu untuk panjenengan atau kowe ‘Anda /kama' seperti pada contoh (35a—35b) dan untuk piyambakipun atau dieweke' dia! seperti pada contoh (36a—36), butir sowan tidak dapat diguna- kkan. Hal itu dikarenakan butir sowan merupakan krama andhap yang hanya bisa digunakan untuk diri sendiri bukan untuk orang lain. Oleh karena itu, kalimat (35a—35b) dan (36a—36b) menjadi tidak berterima maknanya karena menyalahi aturan tersebut. Secara sintaktis kalimat (35a~35b) dam (36a ~36b) sebenamya termasuk kalimat yang gramatikal sebab unsur-unsur pengisi fungsi kalimat itu telah terpenuhi, yaitu ingkang sowan dhateng gri- ya kula atau sing sowan menyang omabi'yang datang ke rumah sa- ya! pada (35a —35b) dan (36a ~36b) berfungsi sebagai subjek, pan jenengan kemawon atau kowe toae 'Anda/ kamu saja! pada (35a— '35b) dan piyambakipun kemawon atau dlieweke wae ‘dia saja' pada (G6a~36b) berfungsi sebagai predikat, dan mangke atau mengko 4 ‘nanti! pada (35) dan (36) berfungsi sebagai keterangan. Akan tetapi, secara pragmatis dan/atau sosiolinguistis kalimat (35) dan (@6) di atas keberterimaan maknanya diragukan. ‘Penyimpangan pemakaian krama andhap untuk orang lain, se- perti kalimat (35) dan (36) di atas, dapat menimbulkan reaksi, Re- aksi itu sama dengan ketika 01 menggunakan krama inggil untuk diri sendiri, yaitu 01 dianggap sombong karena merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri, atau 01 ditertawakan oleh orang lain karena dianggap tidak dapat berbahasa dengan benar. Kalimat (35) dan (36) akan menjadi berterima jika butir sowan yang merupakan krama andhap diganti dengan leksikon kra- ‘ma inggil,yaitu diganti dengan rawuh seperti ubahan (37) dan (38) berikut. G7) a, Mangke panjenengan kemawon ingkang rawuh dhateng priya kula, b, Mengko kowe wae sing rawuh menyang omalku. "Nanti Anda saja yang datang ke rumah saya.’ (@8) a. Mangke piyambakipun kemawon ingkang ravouh diateng sgriya kul 1b, Mengko dheweke wae sing rawouh menyang omaltku.’ "Nanti dia saja yang datang ke rumah saya’ Leksikon krama andhap ini jumlahnya sangat sedikit, tidak se- banyak leksikon krama inggil. jumlah krama andhap ini hanya enam kata, yaitu paring ‘beri’, matur ‘melapor’ atau ‘berbicara’, ldherek ikut, sowan atau marak ‘menghadap/datang/berkunjung’, ‘suwun ‘minta’ atau ‘mohon’. Hal lain yang perlu diungkapkan adalah bahwa leksikon krama andhap ada yang mempunyai pa- danan bentuk krama inggil dan ada pula yang tidak. Demikian fa sebaliknya, leksikon krama inggil tidak selalu mempunyai padanan leksikon krama andiap, Tabel 9 dan 10 berikut ini dapat ‘memperjelas hal itu. 45

You might also like