You are on page 1of 2

Isu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan saat ini sangatlah kompleks.

Berbeda dengan laki-laki yang mampu berpartisipasi di ranah publik, perempuan secara
kultural dipandang hanya memiliki peran gender domestik. Perempuan perlu
memperjuangkan hak-haknya karena hal tersebut. Dalam Padahal, menurut Ahsin (2020),
peran gender seolah menjadi kesepakatan sosial yang dibentuk oleh budaya peradaban.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan adalah objek
seksualitas laki-laki, dan penggambaran perempuan sebagai makhluk yang lemah menjadi
wacana yang lazim tentang perempuan yang banyak ditampilkan di media (Widianingrum,
2021). Ketidaksetaraan gender, khususnya yang berkaitan dengan perempuan sebagai korban
mayoritas, menjadi topik yang menarik untuk penelitian wacana. Menurut Lull dalam Sobur
(2018), wacana adalah metode yang dilakukan oleh ide atau objek mana yang diperdebatkan
secara terbuka dengan masyarakat luas untuk mencapai pemahaman bersama. Kajian
feminisme pada umumnya menuntut perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
(kesetaraan). Perempuan tidak hanya tunduk pada kata orang
lain, khususnya laki-laki, namun perempuan juga memiliki keistimewaan yang sama, yaitu
mengikuti kata hati atau keinginannya sendiri (Basarah, 2019). Dalam hal feminisme, tidak
jarang perempuan mau angkat bicara ketika mengalami diskriminasi, pelecehan, atau
ketidakadilan berbasis gender. Seperti kasus yang terjadi menjelang akhir tahun 2021 terkait
viralnya perilaku cabul seorang guru di salah satu perguruan tinggi di Riau dengan arahan
mahasiswanya. Banyak media cetak dan online melaporkan kasus tersebut setelah menjadi
viral. Kejadian tersebut juga diliput oleh portal berita cnn Indonesia. Kasus tersebut bermula
dari seorang mahasiswi yang memberikan bimbingan skripsi. Usai menyelesaikan
pengarahan, sang mahasiswi tiba-tiba diganggu fisik oleh seorang guru yang korup. Sang
mahasiswi pun mengaku bahwa profesor yang tidak jujur itu menciumnya.
Isu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan saat ini sangatlah kompleks.
Berbeda dengan laki-laki yang mampu berpartisipasi di ranah publik, perempuan secara
kultural dipandang hanya memiliki peran gender domestik. Perempuan perlu
memperjuangkan hak-haknya karena hal tersebut. Dalam Padahal, menurut Ahsin (2020),
peran gender seolah menjadi kesepakatan sosial yang dibentuk oleh budaya peradaban.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan adalah objek
seksualitas laki-laki, dan penggambaran perempuan sebagai makhluk yang lemah menjadi
wacana yang lazim tentang perempuan yang banyak ditampilkan di media (Widianingrum,
2021). Ketidaksetaraan gender, khususnya yang berkaitan dengan perempuan sebagai korban
mayoritas, menjadi topik yang menarik untuk penelitian wacana. Menurut Lull dalam Sobur
(2018), wacana adalah metode yang dilakukan oleh ide atau objek mana yang diperdebatkan
secara terbuka dengan masyarakat luas untuk mencapai pemahaman bersama. Kajian
feminisme pada umumnya menuntut perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
(kesetaraan). Perempuan tidak hanya tunduk pada kata orang lain, khususnya laki-laki,
namun perempuan juga memiliki keistimewaan yang sama, yaitu mengikuti kata hati atau
keinginannya sendiri (Basarah, 2019). Dalam hal feminisme, tidak jarang perempuan mau
angkat bicara ketika mengalami diskriminasi, pelecehan, atau ketidakadilan berbasis gender.
Seperti kasus yang terjadi menjelang akhir tahun 2021 terkait viralnya perilaku cabul seorang
guru di salah satu perguruan tinggi di Riau dengan arahan mahasiswanya.
Banyak media cetak dan online melaporkan
kasus tersebut setelah menjadi viral. Kejadian tersebut juga diliput oleh portal berita cnn
Indonesia. Kasus tersebut bermula dari seorang mahasiswi yang memberikan bimbingan
skripsi. Usai menyelesaikan pengarahan, sang mahasiswi tiba-tiba diganggu fisik oleh
seorang guru yang korup. Sang mahasiswi pun mengaku bahwa profesor yang tidak jujur
menciumnya. Siswi tersebut mengalami kerugian psikologis akibat pelecehan tersebut.
Namun, dia mengajukan keluhannya ke departemen setelah mempertimbangkan sejumlah
faktor. Siswi tersebut kemudian membuat video di mana dia mengakui bahwa dia telah
dilecehkan oleh seorang dosen karena tidak mendapat dukungan apapun. Hingga kasus
tersebut diliput oleh berbagai media, hingga menjadi viral dan menjadi topik perdebatan
publik yang intens. Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang ditujukan
kepada perempuan yang seringkali berujung pada pemerkosaan. Padahal perempuan memiliki
hak untuk menikmati dan dilindungi oleh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di
segala bidang, namun kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat tidak
manusiawi (Sumera, 2013). Pelecehan seksual dan kesusilaan atau pelanggaran moral ada
dua macam.
pelanggaran kesusilaan yang berdampak tidak hanya pada persoalan hukum suatu bangsa
tetapi juga pada persoalan hukum semua bangsa dan termasuk persoalan global. dari kelas
menengah ke bawah. Karena kejahatan seksual dianggap sebagai tindakan kriminal, mereka
yang melakukannya berisiko menghadapi hukuman pidana. Karena pelecehan seksual adalah
tindakan pemaksaan yang menghina, meremehkan, dan mempermalukan perempuan (Jawa),
maka hukum masyarakat mengatur hubungan seksual. kekerasan. Pelecehan seksual tidak
bermoral karena menyebabkan perempuan yang menjadi korban perkosaan sangat menderita
dalam hidup. Akibatnya, diperlukan hukuman pidana yang berat untuk menghentikan laki-
laki melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan dan mencegah penyebarannya. Untuk
mencegah pelaku dan mencegahnya mengulangi perbuatannya, ia juga harus menerima
hukuman yang sepadan (Supanto, 2004).

You might also like