Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
BANJARMASIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Agama Islam, selain baju dan pakaian bawahan (baik rok maupun celana) – Hijab
juga digadang-gadang sebagai salah satu pakaian yang syar’i. Hal ini dibuktikan dengan adanya
ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil yang mewajibkan perempuan untuk menggunakannya.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang sering dihubungkan dengan hal tersebut adalah: (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59). Pemakai hijab di Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yang dibuktikan dengan semakin disukainya hijab oleh para
Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam,
Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 sebagai salah satu alasannya. Kondisi ini berbeda
dengan era sebelumnya dimana pemakai hijab didominasi oleh orang dewasa.
Namun bentuk dan corak hijab yang muncul pada era sekarang tidak jarang mengabaikan
nilai dan fungsi hijab dalam Islam sebagai penutup aurat agar terhindar dari laki-laki yang bukan
mahramnya ketika berada di tempat umum. Hilbab kini menjadi simbol yang tidak hanya sekedar
nilai atau fungsi tetapi juga dijadikan sebagai pesona atau daya pikat bagi sebagian besar
Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam,
Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020
Peneliti ingin merubah pola pikir Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)
MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 yang
kurang tepat menggunakan media social. Banyak mahasiswi Universitas Islam Kalimantan,
Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 yang sudah mulai
mengabaikan aturan pakaian syar’I seperti tidak menampakan bagian tubuh, menutup aurat dan
tidak memakai pakaian yang ketat. Kebanyak Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan
(UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan
2020 mulai mengabaikan aturan pakaian syar’I karena terpengaruh oleh trend yang muncul
dibeberapa media sosial. . Jika sudah seperti itu maka beberapa Mahasiswi Universitas Islam
Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada
Angkatan 2020 sudah keluar dari konsep ekonomi yang namanya kebutuhan pokok menjadi
keinginan. Untuk memunuhi kebutuhan berpakaian Mahasisiwi Universitas Islam Kalimantan,
Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 cukup memilih atau memakai
pakaian yang nyaman dipakai serta menutupi dari ujung kaki sampai telapak tangan dan
menggunakan hijab.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, maka penulis menganggap perlu adanya
perumusan masalah sebagai berikut :
KAJIAN TEORI
Dalam Agama Islam, selain baju dan pakaian bawahan (baik rok maupun celana) – jilbab
juga digadang-gadang sebagai salah satu pakaian yang syar’i. Hal ini dibuktikan dengan adanya
ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil yang mewajibkan perempuan untuk menggunakannya.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang sering dihubungkan dengan hal tersebut adalah: (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59) – tidak hanya sampai di situ, beberapa
permasalahan seperti lahir perbedaan pendapat tentang permasalahan bagaimana hukum
menggunakan jilbab, ada yang mengatakan menggunakan jilbab bukan hanya sebatas sebuah
kewajiban saja – lebih dari itu, jilbab sering dikaitkan dengan batas aurat perempuan - selain
wajah dan telapak tangan maka wanita wajib menutup anggota badan,9 meskipun sebagian kaum
elit tertentu tidak mewajibkan perempuan menggunakan jilbab sebagaimana model jilbab yang
kita ketahui pada masa sekarang.
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacammacam suku, sehingga budaya
yang dimilikinya sangatlah beragam. Dalam hal berpakaian misalnya, perkembangan dunia
modern sangat mempengaruhi perkembangan pakaian yang dipakai oleh masyakarakat
Indonesia, khususnya pakaian masyarakat muslimah Indonesia. Pada awal masuknya Islam,
busana/pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Islam Indonesia tidak seperti masa sekarang,
belum ditemukan adanya istilah busana muslim atau pakaian syar’i, tidak ada perbedaan yang
sugnifikan antara busana yag dikenakan kaum pribumi dengan masyarakat yang sudah memeluk
Islam. Kemudian dengan adanya orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Makkah, baru
muncul model busana muslim yang ditiru dari busana orang-orang Arab, misalnya berjubah
putih bagi kaum laki-laki, berkerudung bagi kaum wanita yang mana saat itu model dari
kerudung sendiri masih terkesan kerudung longgar – bagian rambut dan leher masih terlihat, hal
ini berlangsung sampai tahun 1930-an, pakaian wanita muslim pun masih berwujud baju kurung,
kerudung longgar, atau baju kebaya dengan kain selendang
Kemudian jika dilihat dari segi historis – penggunaan busana Islami misalnya jilbab yang
menutupi bagian kepala dengan rapat baru bebas digunakan pada era 90-an, sebab pada masa-
masa sebelumnya gaya jilbab yang menutupi kepala dengan rapat dianggap sebagai gaya radikal
dan menentang pemerintahan Orde Baru,20 dan jika kembali kepada ragam model pakaian yang
disebut-sebut sebagai pakaian syar’i khususnya dalam medsos, pada dasarnya baru mulai
merebak dalam beberapa tahun belakangan ini. Begitu halnya dengan wacanawacana, seperti
meme, caption, situs-situs tertentu, dan instagram, juga baru mencuat ke masyarakat dalam
beberapa tahun ini.
Jika kembali melihat ilustrasi dari pakaian syar’i yang penulis cantumkan di atas – dapat
dilihat bahwa pakaian syar’i memang dihubungkan dengan hal-hal tertentu seperti teks al-Qur’an
dan Hadis. Kemudian dalam ilustrasi juga digambarkan bahwa yang dinamakan pakaian syar’i
adalah pakaian yang memiliki kriteria tertentu, seperti kerudung tebal dan besar, baju yang
menjuntai, tidak ketat - tidak tipis – tidak transparan, kemudian pakaian tersebut tidak
menyerupai pakaian orang kafir dan sebagainya. Dengan melihat teks al-Qur’an (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59) maupun serta kriteria-kriteria yang
mereka gunakan tentunya ada pemangkasan terhadap hal lain yang berada di luar teks al-Qur’an,
hadis, dan kriteria-kriteria tersebut. Misalnya seperti ungkapkan bahwa jika berpakaian
sebagaimana pakaian waita kafir/ wanita jahiliyah – sudah tentu pakaian tersebut tidak bisa
dikatakan syar’i.
Berdasarkan beberapa uraian tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya masing-masing
masyarakat Islam Indonesia memang memiliki batasan-batasan sendiri terhadap pakaian yang
dianggap syar’i. Hal ini tentu tergantung sejauh mana penguasaan mereka terhadap ilmu agama
serta bagaimana kondisi kehidupan sosial dari masing-masing pribadi, apalagi fenomena yang
harus kita pahami bahwa Indonesia memang terdiri dari masyarakat yang multikultural.
Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan agama. Berbusana
muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap diri sendiri, menghargai dan
menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah
kaidah umum tentang cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia:
1. Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak
memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.Allah Ta‘ala berfirman dalam al-Qur‘an surat
Al-A‘raf ayat 26: “Wahai anak cucu Adam!Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutup aurat.”
2. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya.Imam al-
Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya:59Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai
kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”(HR. al-Bukhari)
3. Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).Imam Ibnu Majah
meriwayatkan dalam kitab sunannya:Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu ia berkata bahwa
Rasulallah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa mengenakan pakaian
ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari
Kiamat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa’I dan Ibnu Majah).
Rulli Nasrullah menyebutkan bahwa pada masa kini, hubungan antar manusia tidak lagi
real di depan mata (Interface) - tidak pula secara fisik, melainkan sudah terwakili oleh perangkat
teknologi komunikasi yang tentunya sudah biasa ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari.15 Sebagaimana gambar-gambar sebelumnya, setiap masyarakat yang memiliki handphone
misalnya, bisa mengakses apapun yang terdapat di media sosial. Bahkan bisa jadi, saat
mengkonsumsi gambar-gambar tersebut terkadang masyarakat tidak terlalu menelusuri sumber
otentik siapa penulis atau produsen dan mengapa hal itu ditampilkan. Sebaliknya Manusia
sebagai produsen, memiliki kebebasan untuk menampilkan apapun di media sosial di luar
pranata sosial mereka, sesuai dengan pemahaman mereka dan sisi kreatifitas mereka .
Closure atau fixes meaning adalah makna yang sudah matang atau final atau makna akhir,
makna ini tidak akan mengalami perubahan-perubahan lagi. Sehingga jika oleh kelompok
tertentu yang disebut sebagai pakaian syar’i adalah pakaian yang sesuai dengan alQur’an, hadis
dan teks-teks agama lainnya (sebagaiman penjelasan sebelumnya), maka makna dari pakaian
syar’i di sini sudah final. Ia tidak akan mengalami perubahan; sesuai dengan teks-teks al-Qur’an
dan Hadis. Namun Laclau dan Mouffe memberikan catatan bahwa sebenarnya konsep closure
tidak akan pernah fixes meaning, tidak akan pernah menjelaskan sesuatu yang final- artinya alam
konteks masyarakat yang multikultural tentunya masing-masing individu maupun kelompok
memiliki pilihan makna tertentu terhadap sebuah wacana. Begitu halnya dengan closure pakaian
syar’i – bagi orangorang atau kelompok yang pro dengan konsep pakaian syar’i tentunya
menganggap makna tersebut sudah final. Akan tetapi kita perlu membuka pikiran bahwa dalam
masyarakat yang majemuk tentunya ada kelompok yang kontra dengan wacana tersebut. Ada
kelompok yang memiliki argumentasi sendiri terkait dengan definisi dari pakaian syar’i -
misalnya seperti fenomena yang belum lama mencuat ke permukaan yaitu fenomena berhijab
tetapi memakai pakaian ketat pada wanita muslim. Bagi yang pro, maka mereka memiliki
pendapat bahwa memakai pakaian ketat sudah keluar dari aturan islam yang sudah mengatur
bagaimana cara wanita berpakaian, hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam. Berbeda dengan
kelompok yang kontra – mereka juga memiliki konsep tersendiri bahwa mereka sudah mentaati
aturan islam yang mewajibkan wanita untuk berhijab.
Begitu halnya dengan wacana pakaian syar’i, tentu akan ada kelompok lain yang
memahami bahwa pakaian syar’i tidak harus bergamis, berkerudung lebar, menggunakan cadar –
ada hal lain yang harus dipertimbangkan dari sekedar menggunakan busana sesuai tekstual al-
Qur’an, misal seperti kondisi sosial masyarakat Indonesia dan letak geografis Indonesia serta
penafsiran-penafsiran lain terhadap (QS. An-Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-
Ahzab[33]:59). Laclau dan Mouffe berpendapat – hal demikianlah yang dinamakan fenomena
sosial, termasuk wacana – sejatinya wacana pada tahapan closure tidak akan pernah final.
Kemudian Laclau dan Mouffe mengungkapkan, dalam sebuah tatanan masyarakat atau dalam
konsep kehidupan sosial – hegemoni (pengaruh/dominasi) bisa saja terjadi. Jika mungkin
beberapa tokoh ilmuan sosial atau tokoh-tokoh filsafat dan pengikutnya seperti Karl Mark,
mengatakan bahwa hegemoni bisa terjadi sebab ada pengaruh ekomoni. Orang yang hasil
perekonomiannya lebih tinggi maka kelas sosialnya akan lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Atau kelompok yang memiliki kuasa (power) maka akan dengan mudah menghegemoni
kelompok di bawahnya. Bagi Laclau dan Mouffe, hegemoni bukan dalam seputar kekuasaan atau
ekonomi, melainkan berada dalam wacana. Dalam tatanan masyarakat hegemoni tidak melulu
berasal dari kaum mayoritas yang berkuasa, sebaliknya kaum minoritas bisa saja menghegomoni
kaum mayoritas lainnya – asal mereka memiliki celah dan ruang.
Apabila dilihat kembali beberapa ilustrasi pakaian syar’i medsos memang memiliki peran
penting untuk menampilkan wacanawacana. Jika berkaca pada Laclau dan Mouffe, melihat
konteks wacana Pakaian Syar’i sebenarnya telah terjadi sebuah fenomena sosial berupa
hegemoni dari wacana pakaian syar’i terhadap pakaian-pakaian lain yang dianggap tidak syar’i.
Performance pakaian syar’i yang awalnya tergolong minoritas, selalu dihubungkan dengan
sebuah busana yang sesuai dengan syari’at agama – hal ini semakin memperkuat hegemoni yang
dilakukan dan mereka juga menemukan celah dan ruang untuk menghegemoni kelompok
lainnya. Kemudian dengan adanya wacana-wacana tersebut tentunya akan memunculkan
kelompok pro dan kontra. Dalam istilah analisis wacana Laclau dan Mouffe hal ini
menggambarkan bahwa telah terjadi sebuah chain of equivalence (rantai kesetaraan),25 di mana
kelompok minoritas menginginkan kesetaraan atau pengakuan tentang keberadaan mereka meski
pada dasarnya identitas yang mereka bawa bukan berasal dari kebudayaan asli negara tersebut.
Perihal ini juga disebut sebagai motif atau tujuan dari chain of equivalence (rantai kesetaraan) –
adanya sebuah gerakan dalam masyarakat yang menginginkan pengakuan agar mereka juga
dipandang sama sebagaimana kelompok-kelompok lain atau budayabudaya lain yang berada di
Indonesia, meski pada dasarnya budaya atau identitas yang mereka bawa bukanlah identitas
masyarakat Indonesia.
METODOLOGI PENELITIAN
Auerbach and Silverstein (2003) menyatakan bahwa, metode kualitatif adalah sebagai
berikut. "Qualitative research is research that involves analyzing and interpreting texts and
interviews in order to discover meaningful patterns descriptive of a particular phenomenon”.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang melakukan analisis dan interpretasi teks dan hasil
interview dengan tujuan untuk menemukan makna dari suatu fenomena.
Dalam hal metode kualitatif, Steven Dukeshire & Jennifer Thurlow (2002). Qualitative
research involves the use of non mumerical data and often entails the collection and analysis of
narrative data. Qualitative research methods are particularly useful for gaining rich, in depth
information concerning an issue or problem as well as generating solutions Examples of
qualitative research methods include focus groups (where selected individuals participate in a
discussion on pre-specified topics), in-depth interviews, and participant observation (where the
researcher acts as both participant and observer in gathering information concerning an
ongoing process). Penelitian kualitatif berkenaan dengan data yang bukan angka, dan
menganalisis data yang bersifat naratif Metode penelitian kualitatif terutama digunakan untuk
memperoleh data yang kaya, informasi yang mendalam tentang isu atau masalah yang akan
dipecahkan. Metode penelitian kualitatif menggunakan focus group, interview secara mendalam,
dan observasi berperan serta dalam mengumpulkan data.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
metode peneltian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendalami peristiwa khusus
pada kondisi obyek yang alamiah dan menghasilkan data deskriptif secara tertulis atau lisan,
dimana dalam pengumpulan datanya secara fundamental sangat bergantung pada proses
pengamatan peneliti itu sendiri.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang
digunakan. Teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability
Sampling dan Nonprobability Sampling. Probability sampling meliputi, simple random,
proportionate stratified random disproportionate stratified random, dan area random. Non-
probability sampling meliputi, sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental,
purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling. Penelitian ini menggunakan
sampling jenuh karena penelti ingin semua Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)
MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 dijadilan
sampel. Pemilihan sampling jenuh juga mempermudah peneliti dan tidak memerlukan waktu
banyak untuk pengumpulan data sampel.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang
alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi
berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan
data penelitian kualitati . Wawancara memungkinkan peneliti mengumupulkan data yang
beragam dari responden dalam berbagai situasi dan konteks, wawancara dilakukan bila peneliti
bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna sujektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur karena peneliti
merasa metode ini cocok yang memungkinkan peneliti untuk menambah pertanyaan baru dan
memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait degan suatu konteks yang sedang dibahas
dalam sesi tersebut. Lincoln and Guba dalam Sanapiah Faisal, mengemukakan ada tujuh langkah
dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu
2. Observasi
Peneliti melakukan observasi bertujuan supaya peneliti lebih memahami konteks data
dalam keseluruhan situasi sosial. Jadi dapat diperoleh pandangan yang holistik dan menyeluruh.
Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para
ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang
sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang
sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas.
Marshall (1995) menyatakan bahwa "through observation, the researcher learn about
behavior and the meaning attached to those behavior". Melalui observasi, peneliti belajar
tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengandalkan dokumen sebagai salah
satu sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian. Dokumen yang digunakan dapat
berupa sumber tertulis, film, dan gambar atau foto.
2. Penyajian data
Menyajikan data secara sederhana dalam bentuk kata-kata dapat dilakukan dengan
membentuk bagan, grafik, dan sejenisnya. Melalui penyajian data, maka data akan lebih
terorganisir dan tersusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah dipahami. Peneliti
menggunakan penyajian data agar memberikan gambaran yang sistematis tentang kejadian yang
merupakan hasil penelitian atau observasi, data lebih cepat ditangkap dan dimengerti,
memudahkan dalam membuat analisis data, membuat proses pengambilan keputusan dan
kesimpulan lebih tepat, cepat, dan akurat.
Afifah, N. (2018). PAKAIAN SYAR’I, MEDIA, DAN KONSTRUKSI. Sosiologi Reflektif, 13(1), 51-63.
Apriliana, D. S. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI BAJU SYAR'I. Jurnal
Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, 5(1), 11-28.
Dede, & Firmansyah, D. (2022). Teknik Pengambilan Sampel Umum dalam Metodologi Penelitian:
Literature Review. Jurnal Ilmiah Pendidikan Holistik, 1(2), 89-114.
Dewi, M. T., & Puspitasari, C. (2018). PENERAPAN KONSEP SYAR’I MODERN PADA DESAIN BUSANA
PENGANTIN MUSLIMAH. Jurnal Seni Rupa, 6(3), 235-241.
Fauzi, A. (2016). Pakaian Wanita Muslimah. Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1), 41-57.
Fazri, F. N., Malik, K., & Pratamasunu, G. Q. (2022). Metode Pengumpulan Data Pada Deteksi Pakaian
Hijab Syar'I Berdasarkan Citra Digital Menggunakan Teachable machine Learning. Jurnal Sains &
Teknologi, 5(2), 194-203.
Firmansyah, M., Masrun , M., & Yudha S, I. K. (2021). ESENSI PERBEDAAN METODE KUALITATIF DAN
KUANTITATIF. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 3(2).
Mekarisce, A. A. (2020). Tekhnik Pemeriiksaan Keabsahan Data pada Penelitian Kualitatif di Bidang
Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 12(3), 145-159.
Puspitasari, C., & Dolah, J. (2018). Analisis Integrasi antara. Kemajuan dalam Penelitian Ilmu Sosial,
Pendidikan dan Humaniora, 207(3), 325-328.
Sugiyono. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Umar, H. (2011). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Utari, A. A., & Awaru, A. T. (2019). FENOMENA JILBAB SYAR’I DIKALANGAN MAHASISWA. Jurnal
Sosialisasi Pendidikan Sosiologi, 6(3), 7-13.
Utari, N. P., & Siregar, S. N. (2015). Pemaknaan Penggunaan Jilbab Syar’i diKalangan Mahasiswa
Psikologi (Studi pada Forum Mahasiswa Islam Psikologi ( FORMASI ) Ar-Ruuh Universitas Medan
Area). Jurnal Simbolika, 1(1), 62-73.
Zaluchu, S. E. (2021). Metode Penelitian di dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan. Jurnal Teknologi
Berita Hidup, 3(2).