You are on page 1of 20

METODOLOGI PENELITIAN

LIFE SYTLE PAKAIAN SYAR’I PADA KALANGAN MAHASISWI UNIVERSITAS


ISLAM KALIMANTAN (UNISKA) MUHAMMAD ARYAD AL-BANJARI
BANJARMASIN, FAKULTAS STUDI ISLAM, PRODI EKONOMI SYARIAH PADA
ANGKATAN 2020 DALAM TINJAUAN EKONOMI SYARIAH

Oleh :

Rahman Nur Rahimin (2005020034)

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN ( UNISKA )

MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARY

BANJARMASIN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Agama Islam, selain baju dan pakaian bawahan (baik rok maupun celana) – Hijab
juga digadang-gadang sebagai salah satu pakaian yang syar’i. Hal ini dibuktikan dengan adanya
ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil yang mewajibkan perempuan untuk menggunakannya.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang sering dihubungkan dengan hal tersebut adalah: (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59). Pemakai hijab di Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yang dibuktikan dengan semakin disukainya hijab oleh para
Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam,
Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 sebagai salah satu alasannya. Kondisi ini berbeda
dengan era sebelumnya dimana pemakai hijab didominasi oleh orang dewasa.

Namun bentuk dan corak hijab yang muncul pada era sekarang tidak jarang mengabaikan
nilai dan fungsi hijab dalam Islam sebagai penutup aurat agar terhindar dari laki-laki yang bukan
mahramnya ketika berada di tempat umum. Hilbab kini menjadi simbol yang tidak hanya sekedar
nilai atau fungsi tetapi juga dijadikan sebagai pesona atau daya pikat bagi sebagian besar
Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam,
Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, permasalahannya adalah, karena gaya dan


bentuk hijab di Indonesia saat ini, nilai dan fungsi hijab sering berubah. Sehingga akhir-akhir ini
muncul fenomena yang kembali mencuat adalah fenomena tentang penggunaan hijab tetapi
berpakaian ketat. Pada kehidupan sosial masyarakat Islam Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi, khususnya media social. Sebagai contoh ragam medsos yang akif
digunakan oleh masyarakat yakni whatsapp, tiktok dan instagram. (Chaider S. Bamuallim,
Hilman Latief) menyebutkan bahwa pada masa kini, medsos tidak sebatas digunakan untuk
mengakses Ilmu pengetahuan, melainkan untuk belajar Ilmu Agama.

Perkembangan budaya dan teknologi yang senantiasa bergerak maju, mempengaruhi


bentuk dan mode pakaian perempuan. Sementara penelitian yang dilakukan Di Sri Apriliana
yang meneliti tentang Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Baju Syar’I (Studi Kasus
Mahasiswi UIN Antasari Banjarmasin) menyatakan bahwa Perkembangan budaya dan teknologi
yang senantiasa bergerak maju, mempengaruhi bentuk dan mode pakaian perempuan. Dan dalam
perjalanan budaya dan teknologi manakala terjadi kemerdekaan kreativitas, para perancang mode
sering menengok kebelakang, lalu mengadaptasi mode-mode masa silam dengan sentuhan-
sentuhan populer dan berbagai macam improvisaasi. Pengulangan ini tentunya mengalami
perubahan bentuk dan corak, serta tampil dengan peningkatan mutu. Sebab tidaklah
mengherankan bila dalam perputaran mode busana sering kembali kepada bentukbentuk lampau.
Dari sinilah pakaian syar’i hadir dengan mode-mode pakaian terbaru dan jenis yang bermacam-
macam warna dan bentuk agar menarik para konsumen untuk membeli pakaian syar’i yang
dipilih bukan lagi karena religiusitas tetapi bisa juga karna tren yang dibuat oleh para designer
sehingga pencinta tren fashion pun berdatangan untuk memakai pakaian syar’i yang telah
mengalami perubahan mulai dari zaman ke zaman.

Peneliti ingin merubah pola pikir Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)
MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 yang
kurang tepat menggunakan media social. Banyak mahasiswi Universitas Islam Kalimantan,
Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 yang sudah mulai
mengabaikan aturan pakaian syar’I seperti tidak menampakan bagian tubuh, menutup aurat dan
tidak memakai pakaian yang ketat. Kebanyak Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan
(UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan
2020 mulai mengabaikan aturan pakaian syar’I karena terpengaruh oleh trend yang muncul
dibeberapa media sosial. . Jika sudah seperti itu maka beberapa Mahasiswi Universitas Islam
Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada
Angkatan 2020 sudah keluar dari konsep ekonomi yang namanya kebutuhan pokok menjadi
keinginan. Untuk memunuhi kebutuhan berpakaian Mahasisiwi Universitas Islam Kalimantan,
Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 cukup memilih atau memakai
pakaian yang nyaman dipakai serta menutupi dari ujung kaki sampai telapak tangan dan
menggunakan hijab.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, maka penulis menganggap perlu adanya
perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana motif Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB


Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 dalam
mengkonsusmi Pakaian Syar’i?
2. Bagaimana tinjauan Ekonomi Syariah tentang perilaku konsumsi dan Life Style
berpakaian bagi perempuan Muslimumat Islam?
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Pakaian Syar’i


Secara istilah, pakaian adalah barang yang dipakai (meliputi baju, celana dan aksesoris),
sedangkan syar’i adalah istilah yang diambil dari Bahasa Arab yang berarti sesuai dengan aturan
(syari’at) atau hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia meliputi hubungan
manusia dengan Allah Swt, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan
alam sekitar yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadist.

Dalam Agama Islam, selain baju dan pakaian bawahan (baik rok maupun celana) – jilbab
juga digadang-gadang sebagai salah satu pakaian yang syar’i. Hal ini dibuktikan dengan adanya
ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil yang mewajibkan perempuan untuk menggunakannya.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang sering dihubungkan dengan hal tersebut adalah: (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59) – tidak hanya sampai di situ, beberapa
permasalahan seperti lahir perbedaan pendapat tentang permasalahan bagaimana hukum
menggunakan jilbab, ada yang mengatakan menggunakan jilbab bukan hanya sebatas sebuah
kewajiban saja – lebih dari itu, jilbab sering dikaitkan dengan batas aurat perempuan - selain
wajah dan telapak tangan maka wanita wajib menutup anggota badan,9 meskipun sebagian kaum
elit tertentu tidak mewajibkan perempuan menggunakan jilbab sebagaimana model jilbab yang
kita ketahui pada masa sekarang.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacammacam suku, sehingga budaya
yang dimilikinya sangatlah beragam. Dalam hal berpakaian misalnya, perkembangan dunia
modern sangat mempengaruhi perkembangan pakaian yang dipakai oleh masyakarakat
Indonesia, khususnya pakaian masyarakat muslimah Indonesia. Pada awal masuknya Islam,
busana/pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Islam Indonesia tidak seperti masa sekarang,
belum ditemukan adanya istilah busana muslim atau pakaian syar’i, tidak ada perbedaan yang
sugnifikan antara busana yag dikenakan kaum pribumi dengan masyarakat yang sudah memeluk
Islam. Kemudian dengan adanya orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Makkah, baru
muncul model busana muslim yang ditiru dari busana orang-orang Arab, misalnya berjubah
putih bagi kaum laki-laki, berkerudung bagi kaum wanita yang mana saat itu model dari
kerudung sendiri masih terkesan kerudung longgar – bagian rambut dan leher masih terlihat, hal
ini berlangsung sampai tahun 1930-an, pakaian wanita muslim pun masih berwujud baju kurung,
kerudung longgar, atau baju kebaya dengan kain selendang

Contohnya seorang peneliti asal Perancis – (Deny Lobard) mencantumkan ilustrasi


perempuan Muslimah Aceh di Era Pada tahun 1607-1636 ( masa kesultanan kerajaan Aceh/
Sultan Iskandar Muda) dalam karyanya yang berjudul An Achein Woman, ia gambarkan seorang
perempuan Aceh dengan pakaian baju panjang dan kerudung tertutup. Ilustrasi tersebut diambil
dari naskah Peter Mundy pada tahun 1637.18 Pada tahun 1990 ditemukan pula foto perempuan
Aceh yang mengenakan jilbab, akan tetapi jilbab yang mereka kenakan belum seperti yang
dikenakan masyarakat muslimah zaman sekarang. Rata-rata dari mereka menggunakan
selendang yang ditekuk di daerah pundak.

Kemudian jika dilihat dari segi historis – penggunaan busana Islami misalnya jilbab yang
menutupi bagian kepala dengan rapat baru bebas digunakan pada era 90-an, sebab pada masa-
masa sebelumnya gaya jilbab yang menutupi kepala dengan rapat dianggap sebagai gaya radikal
dan menentang pemerintahan Orde Baru,20 dan jika kembali kepada ragam model pakaian yang
disebut-sebut sebagai pakaian syar’i khususnya dalam medsos, pada dasarnya baru mulai
merebak dalam beberapa tahun belakangan ini. Begitu halnya dengan wacanawacana, seperti
meme, caption, situs-situs tertentu, dan instagram, juga baru mencuat ke masyarakat dalam
beberapa tahun ini.

Jika kembali melihat ilustrasi dari pakaian syar’i yang penulis cantumkan di atas – dapat
dilihat bahwa pakaian syar’i memang dihubungkan dengan hal-hal tertentu seperti teks al-Qur’an
dan Hadis. Kemudian dalam ilustrasi juga digambarkan bahwa yang dinamakan pakaian syar’i
adalah pakaian yang memiliki kriteria tertentu, seperti kerudung tebal dan besar, baju yang
menjuntai, tidak ketat - tidak tipis – tidak transparan, kemudian pakaian tersebut tidak
menyerupai pakaian orang kafir dan sebagainya. Dengan melihat teks al-Qur’an (QS. An-
Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-Ahzab[33]:59) maupun serta kriteria-kriteria yang
mereka gunakan tentunya ada pemangkasan terhadap hal lain yang berada di luar teks al-Qur’an,
hadis, dan kriteria-kriteria tersebut. Misalnya seperti ungkapkan bahwa jika berpakaian
sebagaimana pakaian waita kafir/ wanita jahiliyah – sudah tentu pakaian tersebut tidak bisa
dikatakan syar’i.

Berdasarkan beberapa uraian tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya masing-masing
masyarakat Islam Indonesia memang memiliki batasan-batasan sendiri terhadap pakaian yang
dianggap syar’i. Hal ini tentu tergantung sejauh mana penguasaan mereka terhadap ilmu agama
serta bagaimana kondisi kehidupan sosial dari masing-masing pribadi, apalagi fenomena yang
harus kita pahami bahwa Indonesia memang terdiri dari masyarakat yang multikultural.

Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan agama. Berbusana
muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap diri sendiri, menghargai dan
menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah
kaidah umum tentang cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia:

1. Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak
memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.Allah Ta‘ala berfirman dalam al-Qur‘an surat
Al-A‘raf ayat 26: “Wahai anak cucu Adam!Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutup aurat.”
2. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya.Imam al-
Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya:59Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai
kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”(HR. al-Bukhari)
3. Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).Imam Ibnu Majah
meriwayatkan dalam kitab sunannya:Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu ia berkata bahwa
Rasulallah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa mengenakan pakaian
ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari
Kiamat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa’I dan Ibnu Majah).

B. Pakaian Syar’i Dalam Media Sosial


Media sosial merupakan salah satu media yang memiliki peran penting untuk
performance pakaian syar’i. Hal ini tergambar dengan beredarnya foto-foto, gambar, meme
ataupun tulisan-tulisaan. Tidak hanya sampai di situ, performane tersebut sering pula dikaitkan
dengan teks-teks Agama untuk menguatkan masing-masing dari apa yang telah dipaparkan oleh
si produsen.

Rulli Nasrullah menyebutkan bahwa pada masa kini, hubungan antar manusia tidak lagi
real di depan mata (Interface) - tidak pula secara fisik, melainkan sudah terwakili oleh perangkat
teknologi komunikasi yang tentunya sudah biasa ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari.15 Sebagaimana gambar-gambar sebelumnya, setiap masyarakat yang memiliki handphone
misalnya, bisa mengakses apapun yang terdapat di media sosial. Bahkan bisa jadi, saat
mengkonsumsi gambar-gambar tersebut terkadang masyarakat tidak terlalu menelusuri sumber
otentik siapa penulis atau produsen dan mengapa hal itu ditampilkan. Sebaliknya Manusia
sebagai produsen, memiliki kebebasan untuk menampilkan apapun di media sosial di luar
pranata sosial mereka, sesuai dengan pemahaman mereka dan sisi kreatifitas mereka .

Closure atau fixes meaning adalah makna yang sudah matang atau final atau makna akhir,
makna ini tidak akan mengalami perubahan-perubahan lagi. Sehingga jika oleh kelompok
tertentu yang disebut sebagai pakaian syar’i adalah pakaian yang sesuai dengan alQur’an, hadis
dan teks-teks agama lainnya (sebagaiman penjelasan sebelumnya), maka makna dari pakaian
syar’i di sini sudah final. Ia tidak akan mengalami perubahan; sesuai dengan teks-teks al-Qur’an
dan Hadis. Namun Laclau dan Mouffe memberikan catatan bahwa sebenarnya konsep closure
tidak akan pernah fixes meaning, tidak akan pernah menjelaskan sesuatu yang final- artinya alam
konteks masyarakat yang multikultural tentunya masing-masing individu maupun kelompok
memiliki pilihan makna tertentu terhadap sebuah wacana. Begitu halnya dengan closure pakaian
syar’i – bagi orangorang atau kelompok yang pro dengan konsep pakaian syar’i tentunya
menganggap makna tersebut sudah final. Akan tetapi kita perlu membuka pikiran bahwa dalam
masyarakat yang majemuk tentunya ada kelompok yang kontra dengan wacana tersebut. Ada
kelompok yang memiliki argumentasi sendiri terkait dengan definisi dari pakaian syar’i -
misalnya seperti fenomena yang belum lama mencuat ke permukaan yaitu fenomena berhijab
tetapi memakai pakaian ketat pada wanita muslim. Bagi yang pro, maka mereka memiliki
pendapat bahwa memakai pakaian ketat sudah keluar dari aturan islam yang sudah mengatur
bagaimana cara wanita berpakaian, hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam. Berbeda dengan
kelompok yang kontra – mereka juga memiliki konsep tersendiri bahwa mereka sudah mentaati
aturan islam yang mewajibkan wanita untuk berhijab.
Begitu halnya dengan wacana pakaian syar’i, tentu akan ada kelompok lain yang
memahami bahwa pakaian syar’i tidak harus bergamis, berkerudung lebar, menggunakan cadar –
ada hal lain yang harus dipertimbangkan dari sekedar menggunakan busana sesuai tekstual al-
Qur’an, misal seperti kondisi sosial masyarakat Indonesia dan letak geografis Indonesia serta
penafsiran-penafsiran lain terhadap (QS. An-Nur[24]: 31), (QS. al-Ahzab[33]: 33), (al-
Ahzab[33]:59). Laclau dan Mouffe berpendapat – hal demikianlah yang dinamakan fenomena
sosial, termasuk wacana – sejatinya wacana pada tahapan closure tidak akan pernah final.
Kemudian Laclau dan Mouffe mengungkapkan, dalam sebuah tatanan masyarakat atau dalam
konsep kehidupan sosial – hegemoni (pengaruh/dominasi) bisa saja terjadi. Jika mungkin
beberapa tokoh ilmuan sosial atau tokoh-tokoh filsafat dan pengikutnya seperti Karl Mark,
mengatakan bahwa hegemoni bisa terjadi sebab ada pengaruh ekomoni. Orang yang hasil
perekonomiannya lebih tinggi maka kelas sosialnya akan lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Atau kelompok yang memiliki kuasa (power) maka akan dengan mudah menghegemoni
kelompok di bawahnya. Bagi Laclau dan Mouffe, hegemoni bukan dalam seputar kekuasaan atau
ekonomi, melainkan berada dalam wacana. Dalam tatanan masyarakat hegemoni tidak melulu
berasal dari kaum mayoritas yang berkuasa, sebaliknya kaum minoritas bisa saja menghegomoni
kaum mayoritas lainnya – asal mereka memiliki celah dan ruang.

Apabila dilihat kembali beberapa ilustrasi pakaian syar’i medsos memang memiliki peran
penting untuk menampilkan wacanawacana. Jika berkaca pada Laclau dan Mouffe, melihat
konteks wacana Pakaian Syar’i sebenarnya telah terjadi sebuah fenomena sosial berupa
hegemoni dari wacana pakaian syar’i terhadap pakaian-pakaian lain yang dianggap tidak syar’i.
Performance pakaian syar’i yang awalnya tergolong minoritas, selalu dihubungkan dengan
sebuah busana yang sesuai dengan syari’at agama – hal ini semakin memperkuat hegemoni yang
dilakukan dan mereka juga menemukan celah dan ruang untuk menghegemoni kelompok
lainnya. Kemudian dengan adanya wacana-wacana tersebut tentunya akan memunculkan
kelompok pro dan kontra. Dalam istilah analisis wacana Laclau dan Mouffe hal ini
menggambarkan bahwa telah terjadi sebuah chain of equivalence (rantai kesetaraan),25 di mana
kelompok minoritas menginginkan kesetaraan atau pengakuan tentang keberadaan mereka meski
pada dasarnya identitas yang mereka bawa bukan berasal dari kebudayaan asli negara tersebut.
Perihal ini juga disebut sebagai motif atau tujuan dari chain of equivalence (rantai kesetaraan) –
adanya sebuah gerakan dalam masyarakat yang menginginkan pengakuan agar mereka juga
dipandang sama sebagaimana kelompok-kelompok lain atau budayabudaya lain yang berada di
Indonesia, meski pada dasarnya budaya atau identitas yang mereka bawa bukanlah identitas
masyarakat Indonesia.

Ibn al-Atsir rahimahullah menerangkan, pakaian syuhroh (ketenaran) adalah pakaian


yang menjadi terkenal di masyarakat karena warnanya berbeda dengan warna pakaian mereka,
sehingga pandangan manusia tertuju kepadanya dan dia bergaya dengan kebanggan dan
kesombongan. Karakteristik wanita muslimah, seperti kenyataan riil yang berkembang pada
umumnya di masyarakat bahwa seorang wanita mempunyai karakter yang memang tidak di
miliki oleh orang-orang non Islam misalnya, seperti halnya kaum wanita muslimah selalu
berbusana, dan dalam berpakaian di sesuaikan dengan kebutuhannya, seperti halnya mereka tau
waktu dan kapan harus di pakai sehingga pakaian mereka selalu serasi, lebih tampak anggun
dalam penampilannya.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif


Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi. Obyek dalam penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah atau natural setting,
sehingga metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Obyek yang alamiah
adalah obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat
peneliti memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak
berubah. Sebagai lawannya dari metode ini adalah metode eksperimen di mana peneliti dalam
melakukan penelitian tempatnya berada di laboratorium yang merupakan kondisi buatan, dan
peneliti melakukan manipulasi terhadap variabel. Dengan demikian sering terjadi bias antara
hasil penelitian di laboratorium dengan keadaan di luar laboratorium atau keadaan
sesungguhnya. Dalam penelitian kuantitatif peneliti menggunakan instrument untuk
mengumpulkan data atau mengukur nilai variabel yang diteliti, sedangkan dalam penelitian
kualitatif, peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif instrumennya
adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi instrumen, maka peneliti harus
memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis,
memotret, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna.

Auerbach and Silverstein (2003) menyatakan bahwa, metode kualitatif adalah sebagai
berikut. "Qualitative research is research that involves analyzing and interpreting texts and
interviews in order to discover meaningful patterns descriptive of a particular phenomenon”.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang melakukan analisis dan interpretasi teks dan hasil
interview dengan tujuan untuk menemukan makna dari suatu fenomena.

Selanjutnya dinyatakan bahwa: "The qualitative approach to research design leads to


studies that are quite different from those designed using the more traditional approach. The
traditional approach, often referred to as quantitative research, leads to hypothesis-testing
research, whereas the qualitative approach leads to hypothesis-generating research". Penelitian
kualitatif sungguh berbeda dengan penelitian tradisional (kuantitatif). Penelitian kuantitatif
digunakan untuk menguji hipotesis, sedangkan penelitian kualitatif digunakan untuk menemukan
hipotesis.

Dalam hal metode kualitatif, Steven Dukeshire & Jennifer Thurlow (2002). Qualitative
research involves the use of non mumerical data and often entails the collection and analysis of
narrative data. Qualitative research methods are particularly useful for gaining rich, in depth
information concerning an issue or problem as well as generating solutions Examples of
qualitative research methods include focus groups (where selected individuals participate in a
discussion on pre-specified topics), in-depth interviews, and participant observation (where the
researcher acts as both participant and observer in gathering information concerning an
ongoing process). Penelitian kualitatif berkenaan dengan data yang bukan angka, dan
menganalisis data yang bersifat naratif Metode penelitian kualitatif terutama digunakan untuk
memperoleh data yang kaya, informasi yang mendalam tentang isu atau masalah yang akan
dipecahkan. Metode penelitian kualitatif menggunakan focus group, interview secara mendalam,
dan observasi berperan serta dalam mengumpulkan data.

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
metode peneltian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendalami peristiwa khusus
pada kondisi obyek yang alamiah dan menghasilkan data deskriptif secara tertulis atau lisan,
dimana dalam pengumpulan datanya secara fundamental sangat bergantung pada proses
pengamatan peneliti itu sendiri.

B. Pendekatan Dan Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang
dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada di lapangan dan juga besifat
secara deskriptif sumber data penelitian kualitatif. Peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif karena peneliti ingin memahami perasaan orang. Perasaan orang sulit dimengerti kalau
tidak diteliti dengan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam
dan observasi berperan serta ikut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif karena penelitian yang jelas teorinya belum ada tetapi
fenomenanya sudah ada.

C. Subjek Dan Lokasi Penelitian


Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mahasiswi Universitas Islam
Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada
Angkatan 2020 Di Jalan Adhyaksa No.2, Sungai Miai, Kec. Banjarmasin Utara, Kota
Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70123. Peneliti memilih ditempat itu karena Kampus UNISKA
lahir atas gagasan para tokoh-tokoh agama dan tuntutan masyarakat Kalimantan akan adanya
perguruan tinggi yang bernafaskan Islam dan melahirkan intelektual muslim. Sehingga sangat
cocok kalau peneliti ingin meneliti tentang Life Style Pakaian Syar’I karena kampus yang lahir
atas tuntutan masyarakat untuk melahirkan intelektual muslim.

D. Teknik Sampling
Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang
digunakan. Teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability
Sampling dan Nonprobability Sampling. Probability sampling meliputi, simple random,
proportionate stratified random disproportionate stratified random, dan area random. Non-
probability sampling meliputi, sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental,
purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling. Penelitian ini menggunakan
sampling jenuh karena penelti ingin semua Mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)
MAB Banjarmasin, Fakultas Studi Islam, Prodi Ekonomi Syariah pada Angkatan 2020 dijadilan
sampel. Pemilihan sampling jenuh juga mempermudah peneliti dan tidak memerlukan waktu
banyak untuk pengumpulan data sampel.

E. Tekhnik Penghimpun Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data
yang ditetapkan
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan
berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural
setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden,
pada suatu seminar, diskusi, di jalan dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka
pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepade pengumpul data, dan sumber
sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lew orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik
pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dengan observasi (pengamatan),
interview (wawancara), dan dokumentasi.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang
alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi
berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi.

1. Wawancara
Wawancara adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan
data penelitian kualitati . Wawancara memungkinkan peneliti mengumupulkan data yang
beragam dari responden dalam berbagai situasi dan konteks, wawancara dilakukan bila peneliti
bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna sujektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Esterberg (2002) mendefinisikan interview sebagai berikut “meeting of two persons to


exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and
join construction of meaning about a particular topic". Wawancara adalah merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin


melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan
data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya
pada pengetahuan dan keyakinan pribadi.

Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa: interviewing provide the researcher a


means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or
phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi dengan wawancara, maka
peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan
melalui observasi.

Selanjutnya Esterberg (2002) menyatakan bahwa "interviewing is at the heart of social


research. If you look through almost any sociological journal, you will find that much social
research is based on interview, either standardized or more in-depth” Interview merupakan
hatinya penelitian sosial. Bila anda lihat jurnal dalam ilmu sosial, maka akan anda temui semua
penelitian sosial didasarkan pada interview, baik yang standar maupun yang dalam.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur karena peneliti
merasa metode ini cocok yang memungkinkan peneliti untuk menambah pertanyaan baru dan
memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait degan suatu konteks yang sedang dibahas
dalam sesi tersebut. Lincoln and Guba dalam Sanapiah Faisal, mengemukakan ada tujuh langkah
dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu

1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan.


2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
3) Mengawali atau membuka alur wawancara.
4) Melangsungkan alur wawancara.
5) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.
6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam cacatan lapangan.
7) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.

2. Observasi
Peneliti melakukan observasi bertujuan supaya peneliti lebih memahami konteks data
dalam keseluruhan situasi sosial. Jadi dapat diperoleh pandangan yang holistik dan menyeluruh.
Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para
ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang
sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang
sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas.

Marshall (1995) menyatakan bahwa "through observation, the researcher learn about
behavior and the meaning attached to those behavior". Melalui observasi, peneliti belajar
tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.

Sanafiah Faisal (1990) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi


(participant observation), observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt observation
dan covent observation), dan observasi yang tak berstruktur (unstructured observation).
Selanjutnya Spradley, dalam Susan Stainback (1988) membagi observasi berpartisipasi menjadi
empat, yaitu passive participation, moderate participation, active participation, dan complete
participation.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi nonpartisipan karena


peneliti ingin lebih fokus mengamati partisipan tanpa ikut berinteraksi langsung dengannya.
Peneliti ingin menemukan hal hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam
wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan partisipan.
Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar persepsi responden, sehingga
peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif. Hal-hal yang akan diamati antara lain:

1) Kesan umum: kondisi fisik, penampilan


2) Ekspresi wajah: senang, sedih, cemas, tenang, dll
3) Sikap dan perilaku subjek
4) Kontak mata
5) Gaya bicara
6) Kelancaran menjawab pertanyaan
7) Keterbukaan saat menjawab pertanyaan
8) Reaksi: marah, cemas, tegang, nafas cepat, dll.
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan,
kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain.
Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film,
dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif. Dalam hal dokumen Bogdan menyatakan "In most
tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly to refer to any
first person narrative produced by an individual which describes”.his or her own actions,
experience and belief.

Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan


wawancara dalam penelitian kualitatif. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,notulen rapat, agenda dan
sebagainya.

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengandalkan dokumen sebagai salah
satu sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian. Dokumen yang digunakan dapat
berupa sumber tertulis, film, dan gambar atau foto.

F. Teknik Analisa Data


Menurut Bogdan (Sugiyono, 2016) analisa data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisa data menurut Miles & Huberman (Sugiyono,2016) dalam penelitian kualitatif
dilakukan pada saat pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
waktu tertentu. Jika hasil wawancara yang telah dianalisis dirasa belum memuaskan, maka
peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi hingga data yang diperoleh dianggap kredibel dan
datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2018). Langkah-langkah dalam analisa data menurut Miles dan
Huberman yaitu :
1. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, fokus pada hal-hal
penting, serta dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas dan memudahkan peneliti dalam pengumpulan data
berikutnya.reduksi data juga digunkan agar peneliti bisa memberikan gambaran yang lebih
spesifik dan membuat peneliti lebih mudah dalam mengumpulkan data yang selanjutnya dapat
mencari data tambahan jika diperlukan. Peneliti juga lebih mudah dalam penarikan kesimpulan.
Sehingga proses reduksi data ini dilakukan dengan proses seleksi yang ketat demi tercapainya
tujuan reduksi data yang baik, sehingga penyusunan laporan penelitian juga dapat tersusun
dengan baik dan berkualitas.

2. Penyajian data
Menyajikan data secara sederhana dalam bentuk kata-kata dapat dilakukan dengan
membentuk bagan, grafik, dan sejenisnya. Melalui penyajian data, maka data akan lebih
terorganisir dan tersusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah dipahami. Peneliti
menggunakan penyajian data agar memberikan gambaran yang sistematis tentang kejadian yang
merupakan hasil penelitian atau observasi, data lebih cepat ditangkap dan dimengerti,
memudahkan dalam membuat analisis data, membuat proses pengambilan keputusan dan
kesimpulan lebih tepat, cepat, dan akurat.

3. Kesimpulan atau verifikasi


Pada tahap ini, kesimpulan awal yang masih bersifat sementara akan berubah menjadi
kesimpulan yang pasti dan kredibel setelah dilakukan pengecekan oleh peneliti.

G. Uji Keabsahan Data


Keabsahan data dilakukan untuk membuktikan apakah penelitian yang dilakukan benar-
benar merupakan penelitian ilmiah sekaligus untuk menguji data yang diperoleh. Uji keabsahan
data dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility, transferability, dependability, dan
confirmability. Disini peneliti menggunakan uji reabilitas Karena reliabilitas berkenaan dengan
derajad konsistensi, maka bila ada peneliti lain mengulangi atau mereplikasi dalam penelitian
pada obyek yang sama dengan metode yang sama maka akan rnenghasilkan data yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Cipto, R. C. (2022). ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN TERHADAP


KEPUTUSAN PEMBELIAN PAKAIAN SYAR’I DI TOKO KHADIJAH BALIKPAPAN. Jurnal Akuntansi
Manajemen Madani, 8(1), 25-39.

Abdussamad, Z. (2021). Metode Penelitian Kualitatif. Makasar: Syakir Media Press.

Afifah, N. (2018). PAKAIAN SYAR’I, MEDIA, DAN KONSTRUKSI. Sosiologi Reflektif, 13(1), 51-63.

Apriliana, D. S. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI BAJU SYAR'I. Jurnal
Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, 5(1), 11-28.

Azwar , S. (1998). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dede, & Firmansyah, D. (2022). Teknik Pengambilan Sampel Umum dalam Metodologi Penelitian:
Literature Review. Jurnal Ilmiah Pendidikan Holistik, 1(2), 89-114.

Dewi, M. T., & Puspitasari, C. (2018). PENERAPAN KONSEP SYAR’I MODERN PADA DESAIN BUSANA
PENGANTIN MUSLIMAH. Jurnal Seni Rupa, 6(3), 235-241.

Fauzi, A. (2016). Pakaian Wanita Muslimah. Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1), 41-57.

Fazri, F. N., Malik, K., & Pratamasunu, G. Q. (2022). Metode Pengumpulan Data Pada Deteksi Pakaian
Hijab Syar'I Berdasarkan Citra Digital Menggunakan Teachable machine Learning. Jurnal Sains &
Teknologi, 5(2), 194-203.

Firmansyah, M., Masrun , M., & Yudha S, I. K. (2021). ESENSI PERBEDAAN METODE KUALITATIF DAN
KUANTITATIF. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 3(2).

Handayani, L. (2022). OMUNIKASI PERSUASIF GURU DALAM MENSOSIALISASIKAN PENGGUNAAN


PAKAIAN SYAR’I TERHADAP SISWA-SISWI DI MADRASAH ALIYAH PERSIAPAN NEGERI BESITANG.
Jurnal Sosio-Komunika, 1(2), 140-144.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.

Mekarisce, A. A. (2020). Tekhnik Pemeriiksaan Keabsahan Data pada Penelitian Kualitatif di Bidang
Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 12(3), 145-159.

Mulyadi, M. (2011). PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SERTA PEMIKIRAN DASAR


MENGGABUNGKANNYA. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 15(1), 127-138.

Puspitasari, C., & Dolah, J. (2018). Analisis Integrasi antara. Kemajuan dalam Penelitian Ilmu Sosial,
Pendidikan dan Humaniora, 207(3), 325-328.
Sugiyono. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Umar, H. (2011). Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Utari, A. A., & Awaru, A. T. (2019). FENOMENA JILBAB SYAR’I DIKALANGAN MAHASISWA. Jurnal
Sosialisasi Pendidikan Sosiologi, 6(3), 7-13.

Utari, N. P., & Siregar, S. N. (2015). Pemaknaan Penggunaan Jilbab Syar’i diKalangan Mahasiswa
Psikologi (Studi pada Forum Mahasiswa Islam Psikologi ( FORMASI ) Ar-Ruuh Universitas Medan
Area). Jurnal Simbolika, 1(1), 62-73.

Zaluchu, S. E. (2021). Metode Penelitian di dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan. Jurnal Teknologi
Berita Hidup, 3(2).

You might also like