You are on page 1of 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tantangan di era pengetahuan yang semakin dinamis, berkembang, dan semakin


maju memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan intelektual
tingkat tinggi. Keterampilan intelektual tinggi ditandai kemampuan penalaran yang
logis, sistematis, kritis, cermat, dan kreatif serta memiliki kompetisi sikap yang baik
dalam mengkomunikasikan gagasan dan memecahkan masalah. Kemampuan-
kemampuan yang membekali intelektual peserta didik tersebut dapat dikembangkan
melalui pendidikan. Pada era pengetahuan, modal intelektual, khususnya kecakapan
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) merupakan kebutuhan sebagai tenaga
kerja yang andal di abad 21 (Galbreath, 1999). Memasuki dunia kerja pada abad 21
diperlukan tujuh keterampilan sebagai berikut: 1) berpikir kritis dan pemecahan
masalah; 2) kreatifitas dan inovasi; 3) kolaborasi, kerjasama tim; 4) pemahaman lintas
budaya; 5) komunikasi, literatur media; 6) komputer dan ICT; dan 7) karir dan
kemandirian (Fadel, 2009).
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu bagian dari keterampilan yang
dituntut pada abad ke-21. Kemampuan berpikir kritis berperan dalam membekali
peserta didik untuk menangani masalah sosial, ilmiah, dan praktis secara efektif di masa
mendatang (Snyder dan Snyder, 2008). Kemampuan berpikir kritis adalah proses
intelektual dalam pembuatan konsep, mensintesis, menganalisis, mengaplikasikan, dan
mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman,
refleksi, dimana hasil proses ini digunakan sebagai dasar saat mengambil tindakan
(Walker, 2006). Kemampuan berpikir kritis berperan penting dalam kesuksesan hidup
peserta didik di masa yang akan datang dan mampu memecahkan permasalahan
lingkungan. Berpikir kritis juga berperan penting dalam proses pembelajaran di sekolah
karena membantu peserta didik dalam menjelaskan, menganalisis, menginterpretasikan,
mengevaluasi, dan menyimpulkan materi atau persoalan pembelajaran sehingga hasil
belajar peserta didik menjadi meningkat. Hal ini senada dengan penelitian yang
dilakukan oleh Puspitasari (2014) bahwa kemampuan berpikir kritis dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik.
2

Kemampuan berpikir kritis juga diamanahkan oleh kurikulum 2013 yang


menekankan peserta didik untuk berpikir secara kritis dalam mengidentifikasi,
memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Hasil
akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan
untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek
kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Peningkatan keterampilan berpikir
kritis telah menjadi salah satu prioritas dalam pembelajaran di sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah terdapat beberapa
kompetensi yang terkait dengan penguasaan keterampilan berpikir kritis, yaitu bahwa
lulusan harus dapat: a) membangun, menggunakan dan menerapkan informasi tentang
lingkungan sekitar secara kritis; b) menunjukkan kemampuan berpikir kritis; c)
menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya; d)
menunjukkan kemampuan memecahkan masalah; e) menunjukkan kemampuan
mengenali gejala alam dan sosial dilingkungan sekitar; f) menunjukkan kemampuan
belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Kemampuan berpikir kritis peserta didik Indonesia masih rendah. Indikasinya
hasil studi Progamme for International Student Assesment (PISA) dan Trends in
International Mathematics and Science Stud (TIMSS) yang mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. PISA merupakan studi yang dikembangkan oleh beberapa negara maju
di dunia yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) yang menilai capaian pendidikan berdasarkan kerangka kerja
mulai dengan konsep literasi yang peduli dengan kapasitas peserta didik untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilan serta untuk menganalisis, bernalar dan
berkomunikasi secara efektif apabila mereka dihadapkan pada masalah, harus
menyelesaikan dan menginterpretasi masalah pada berbagai situasi (OECD, 2003).
Rata-rata skor PISA Indonesia pada tahun 2006 berada di peringkat ke-50 dari 57
negara, pada tahun 2009 berada di peringkat ke-60 dari 65 negara, dan pada tahun 2012
Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara.
3

Hasil studi untuk TIMSS peserta didik Indonesia menempati peringkat 32 dari
38 negara pada tahun1999, peringkat 37 dari 46 negara pada tahun 2003, dan peringkat
35 dari 49 negara pada tahun 2007 (Balitbang Kemendikbud, 2011). Berdasarkan hasil
studi PISA dan TIMSS rata-rata skor peserta didik Indonesia pada di bawah skor rata-
rata internasional yaitu 500, dan hanya mencapai Low International Benchmark.
Berdasarkan capaian tersebut, rata-rata peserta didik Indonesia hanya mampu mengenali
sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan
berbagai topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak
(Efendi, 2010).
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sadia (2008), menujukan
bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik SMPN dan SMAN di provinsi Bali
masih rendah. Hasil penelitian Priatna (2003), Suryadi (2005), menunjukan bahwa
kemampuan berpikir kritis peserta didik di kota Bandung masih rendah dan hasil
penelitian Hadi (2013), menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik di
kota Malang masih rendah.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis juga terjadi pada peserta didik di MA
Negeri Karanganyar. Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi enam aspek berpikir
kritis (Fascione, 2013) di MA Negeri Karanganyar di dapatkan data bahwa kemampuan
berpikir kritis peserta didik masih rendah, dari 112 peserta didik, kemampuan berpikir
kritis tingkat tinggi peserta didik hanya sebesar 7%, kemampuan berpikir kritis tingkat
sedang 11% dan 82% kemampuan berpikir kritis peserta didik masih rendah. Dari tiap
aspek berpikir kritis didapatkan aspek interpretasi 19,64%, aspek analisis 41,07%, aspek
evaluasi 48,21%, aspek kesimpulan 45,83%, aspek penjelasan 29,91%, dan aspek
pengaturan diri 58,92%.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik juga terlihat pada hasil
Ujian Nasional (UN), berdasarkan analisis hasil UN 2013/2014 menunjukkan bahwa
pada materi Lingkungan khususnya pada indikator “Lingkungan”, rata- rata skor yang
diperoleh peserta didik MA Negeri Karanganyar adalah 66,03, untuk tingkat Kota
nilainya 79,00, dan untuk tingkat provinsi 80,46, dari 156 peserta didik MA Negeri
Karanganyar IPA yang mengikuti Ujian Nasional tahun 2013/2014 66,03% yang lulus
dan 33,97% tidak lulus (BSNP, 2013).
4

Hasil observasi analisis 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) di MA Negeri


Karanganyar yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian diperoleh gap antara skor ideal
dan skor ketercapaian sebesar 12,50 %. Skor gap tersebut berasal dar beberapa
komponen SNP yang memperoleh skor 1 dan 2. Komponen standar proses memiliki gap
2.31%. Standar proses berkaitan dengan aktifitas antara peserta didik dengan pendidik
serta lingkunganya selama proses pembelajaran. Rendahnya standar proses dipengaruhi
oleh kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas. Hasil
observasi diketahui bahwa proses pembelajaran senderung mengarahkan peserta didik
untuk menyerap berbagai informasi dengan cara menghafal sehingga peserta didik
kurang diberi kesempatan membangun pengetahuanya sendiri melalui pengalaman.
Guru lebih dominan, akibatnya peserta didik cenderung pasif hanya menerima materi
pelajaran yang diajarkan dan cenderung diam pada saat guru bertanya. Peserta didik
sulit dalam mengkategorikan, mengklarifikasi makna, memahami dan mempelajari
istilah asing, peserta didik sulit memahami objek yang diajarkan, peserta didik tidak
mengemukakan pendapat dan menghubungkannya dengan hasil diskusi, serta tidak
mencermati dan mengkritisi sanggahan terhadap pendapat yang telah disampaikan.
Hasil analisis bahan ajar materi biologi di MA Negeri Karanganyar khususnya
Kompetensi Dasar “Lingkungan” menunjukan bahwa isi bahan ajar hanya berisi
kumpulan materi dan latihan soal-soal yang kurang memberdayakan kemampuan
berpikir kritis peserta didik, selain itu gambar belum menarik, gambar tidak jelas, belum
adanya kesimpulan, penilaian diri dan belum memenuhi enam aspek berpikir kritis
secara maksimal. Ditinjau dari analisis persentase potensi bahan ajar dalam melatihkan
keterampilan berpikir kritis Fascione (2013) sebagai berikut: 1) aspek interpretasi 26,46
%, 46,59 % dan 24,26 % dengan kategori rendah; 2) aspek analisis 10,58%, 37,16 %
dan 13,45 % dengan kategori rendah; 3) aspek evaluasi 18,74 %, 8,33 %, dan 12,5
dengan kategori rendah; 4) aspek kesimpulan 14,42 %, 9,61 %, dan 12,49 % dengan
kategori rendah; 5) aspek penjelasan 14,28 %, 85,70 %, 16,06 % dengan kategori
rendah; dan 6) aspek pengaturan diri 19,73, 19,73 %, dan 13,15 % dengan kategori
rendah. Berdasarkan persentase analisis bahan ajar di MA Negeri Karanganyar dapat
disimpulkan belum memenuhi aspek berpikir kritis secara maksimal, diprediksi kurang
5

berpotensi membantu keberhasilan belajar peserta didik dan kesuksesan di masa depan
sehingga perlu adanya pengembangan. Bahan ajar yang dapat digunakan dalam
memberdayakan kemampuan berpikir kritis dan bersifat mandiri adalah modul.
Modul merupakan solusi untuk permasalahan bahan ajar di MA Negeri
Karanganyar karena memuat serangkaian kegiatan sistematis sehingga sesuai dengan
karakter berpikir kritis yang dapat dipelajari melalui instruksi dan praktek yang
dirancang secara khusus. Modul disusun berdasarkan perkembangan peserta didik
sehingga mudah dipahami dan mendukung belajar peserta didik. Modul berisi sajian
materi yang dilengkapi dengan rangkaian kegiatan, pelatihan, dan penilaian diri untuk
melihat tingkat penguasaan belajar peserta didik sehingga lebih berpotensi sebagai
sarana untuk memberdayakan kemampuan berpikir kritis dalam mencapai hasil belajar
maksimal (Prastowo 2012; Nasution 2011).
Modul yang berpotensi dapat memberdayakan berpikir kritis adalah modul
yang dilengkapi dengan aktifitas, salah satunya yang mengintegrasikan aktifitas
pembelajaran ke dalam modul. Modul pada materi Lingkungan dapat di integrasikan
dengan model Challenge Based Learning (CBL). Model CBL merupakan pembelajaran
baru yang menggabungkan pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis
proyek, dan pembelajaran konstekstual yang difokuskan pada penyelesaian dari
permasalahan yang ada di kehidupan sehari-hari. Pembelajaran ini menciptakan ruang
dimana peserta didik berpikir kritis dan aktif mencari solusi untuk memecahkan
tantangan yang ada. Modul berbasis Challenge Based Learning adalah modul yang
bercirikan sintaks dari pembelajaran CBL yang meliputi pemberian ide besar atau
gagasan utama, pemberian pertanyaan penting, tantangan, pertanyaan pemandu,
aktivitas pemandu, sumber pemandu, solusi, kemudian publikasi (Johnson et al., 2009).
Keunggulan integrasi model pembelajaran CBL antara lain peserta didik aktif dalam
pembelajaran, sebab peserta didik berpikir bagaimana memecahkan masalah yang
dihadapi, masalah muncul dari kehidupan sehari-hari maupun berakar dari
permasalahan atau isu-isu global, dan dilakukan sebuah perencanaan untuk
menyelesaikannya. Peserta didik ditantang untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadirkan atau proyek yang harus diselesaikan. Penyelesaian yang dilakukan berupa
tindakan nyata dan solusi yang berasal dari hal-hal sederhana yang biasa mereka
temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari, dalam proses pemecahan masalah terjadi
6

suatu proses berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis. Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Swiden (2013), Baloian et al (2006), Jou et al (2010)
dan Sodikin (2013) menunjukan bahwa model pembelajaran CBL dapat meningkatkan
motivasi dan prestasi belajar peserta didik, serta hasil penelitian O’Mahony et al (2012),
Luis dan Marrero (2013), Tajuddin dan Jailani (2013) menunjukan bahwa model
pembelajaran CBL dapat meningkatkan hasil belajar belajar peserta didik. Penelitian
Modul berbasis CBL pada materi Lingkungan diharapkan dapat digunakan untuk
memecahkan permasalahan lingkungan dalam kehidupan. Berdasarkan latar belakang
di atas, maka penelitian yang berjudul: “Pengembangan Modul Berbasis Challenge
Based Learning pada Materi Lingkungan untuk Memberdayakan Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta didik” perlu untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana produk pengembangan modul berbasis Challenge Based Learning pada
materi Lingkungan?
2. Bagaimana kelayakan modul berbasis Challenge Based Learning pada materi
Lingkungan?
3. Bagaimana efektivitas modul berbasis Challenge Based Learning pada materi
Lingkungan terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.


1. Menyusun produk pengembangan modul berbasis Challenge Based Learning pada
materi Lingkungan.
2. Mengetahui kelayakan modul berbasis Challenge Based Learning pada materi
Lingkungan.
3. Mengetahui efektivitas modul berbasis Challenge Based Learning pada materi
Lingkungan terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik.
7

D. Spesifikasi Produk

Modul yang dikembangkan berupa media cetak yang menggunakan satu


Kompetensi Dasar yaitu Lingkungan. Modul dikembangkan sesuai karakteristik
(Sukiman, 2012) yang mencakup petunjuk mandiri (self intruction), kesatuan isi (self
contained), berdiri sendiri (stand alone), adaptif (adaptive), dan bersahabat dengan
pemakai (user friendly).
Modul yang dikembangkan berupa modul guru dan modul siswa yang berbasis
Challenge Based Learning (CBL).
a) Modul Guru
Spesifikasi modul guru yang dikembangkan meliputi judul, karateristik modul
berbasis CBL, pedoman penggunaan modul CBL, rancangan pelaksaan pembelajaran
(RPP), konfirmasi kegiatan pembelajaran yang berisi materi pembelajaran Lingkungan
yang disesuaikan dengan sintaks CBL, rangkuman materi, latihan soal tiap bab, uji
kompetensi akhir, proses penilaian pembelajaran, kunci jawaban, daftar pustaka dan
glosarium.
b) Modul Siswa
Untuk spesifikasi modul siswa yang dikembangkan meliputi judul, karateristik
modul berbasis CBL, pedoman penggunaan modul siswa, kegiatan pembelajaran yang
berisi materi pembelajaran Lingkungan yang disesuaikan dengan sintaks CBL,
rangkuman materi, latihan soal tiap bab, uji kompetensi akhir, lembar penilaian diri,
kunci jawaban, daftar pustaka dan glosarium.
Modul berbasis CBL pada materi Lingkungan untuk peserta didik SMA/MA
kelas X semester genap yang memiliki karakteristik menurut (Johnson et al., 2009)
yaitu kegiatan pembelajaran CBL dalam modul hasil pengembangan akan diletakkan
sebelum memasuki materi yang terdapat dimodul. Hal ini sesuai dengan karakteristik
sintaks pembelajaran CBL yang dimana dalam setiap kegiatan pembelajarannya selalu
diawali dengan penyajian gagasan utama atau ide besar kemudian pertanyaan penting,
baru pemberian tantangan kepada peserta didik, dalam menyelesaikan tantangan peserta
didik akan diberikan pertanyaan-pertanyaan pemandu yang berfungsi mengarahkan
peserta didik untuk menyelesaikan tantangan. Dengan demikian, penerapan sintak
pembelajaran CBL yang diletakkan sebelum memasuki materi modul diharapkan tidak
akan merusak ke esensialan dan kebermaknaan kegiatan pembelajaran CBL. Selain itu,
8

dengan meletakkan sintaks pembelajaran CBL diawal materi diharapkan dapat


mengakomodasi proses berpikir kritis peserta didik dengan lebih baik.

E. Manfaat Penelitian
Modul berbasis Challenge Based Learning perlu dikembangkan karena memiliki
beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Bagi peserta didik
a) Melatih peserta didik untuk memberdayakan potensi kemampuan berpikir
kritis peserta didik.
b) Memberikan bantuan individual secara langsung untuk meningkatkan hasil
belajar melalui pemberdayaan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
c) Membantu peserta didik untuk belajar mandiri.
2. Bagi guru
a) Memberikan informasi terkait dengan modul pembelajaran baru yang
berpotensi untuk memberdayakan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
b) Mendapatkan referensi pilihan modul yang baik untuk pembelajarn Biologi.
3. Bagi sekolah
Sebagai sumber informasi dan dasar pertimbangan dalam mengupayakan modul
pembelajaran yang berkualitas dan mampu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis peserta didik.

F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Penelitian pengembangan modul berbasis Challenge Based Learning pada


materi Lingkungan untuk memberdayakan kemampuan berpikir kritis peserta didik
memiliki asumsi dan keterbatasan sebagai berikut:
Asumsi yang digunakan dalam penelitian adalah
1. Modul berbasis CBL melatihkan kemampuan berpikir kritis pada materi ajar

Lingkungan.

2. Instrument yang telah divalidasi mampu mengukur data secara tepat dan akurat.
9

Keterbatasan produk adalah:


1. Materi yang dapat dikembangkan dengan modul berbasis CBL terbatas pada materi
Lingkungan.
2. Penggunaan modul berbasis CBL hanya terbatas untuk mengukur kemampuan
kemampuan berpikir kritis peserta didik.
3. Modul yang dikembangkan berupa teks dan bersifat visual sehingga perlu ketelitian
peserta didik dalam membaca dan memahami isi modul.

G. Definisi Istilah
Adapun definisi istilah dalam penelitian pengembangan modul berbasis
Challenge Based Learning adalah sebagai berikut:
1. Modul adalah bahan belajar yang dirancang secara sitematis berdasarkan kurikulum
tertentu dan dikemas dalam bentuk satuan pembelajaran terkecil dan memungkinkan
dipelajari secara mandiri dalam satuan waktu tertentu (Purwanto et al., 2007).
2. Pembelajaran Challenge Based Learning adalah sebuah model mengajar baru yang
menggabungkan aspek penting seperti pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran
berbasis proyek dan pembelajaran kontekstual (CTL) yang difokuskan pada
permasalahan nyata dalam dunia. Pembelajaran ini menjadikan penyelesaian
masalah sebagai perhatian utama, memberikan akses pada peralatan abad 21,
mengharuskan peserta didik bekerja secara kolaborasi dan memanage waktu
dibawah bimbingan guru (Johnson et al., 2009).
3. Modul berbasis Challenge Based Learning adalah modul yang dirancang untuk
memandu peserta didik dalam menemukan konsep secara mandiri yang mencakup
pada satu pokok materi yaitu Lingkungan, yang dimana modul ini ditujukan untuk
mengakomodasi kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan menerapkan
langkah pembelajaran CBL di setiap kegiatan pembelajaran yang meliputi: ide
besar/gagasan utama (The Big Idea), pertanyaan penting (Essential Question),
tantangan (The Challenge), pertanyaan pemandu (Guiding Questions), aktivitas
pemandu (Guiding Activities), sumber pemandu (Guiding Resources), solusi
(Solutions), penilaian (Assessment) dan publikasi (Publishing) (Johnson et al.,
2009).
10

4. Kemampuan Berpikir Kritis


Kemampuan berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual aktif dan
terampil konseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, atau mengevaluasi
informasi yang dikumpulkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau
komunikasi, sebagai panduan untuk kepercayaan dan tindakan. Ada enam aspek
berpikir kritis yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, kesimpulan, penjelasan, dan
pengaturan diri (Fascione, 2013).

You might also like